Sebelumnya mohon maaf jika yang dimaksud dengan Indonesia Raya dalam tulisan ini bukan seperti yang dimaknai dalam lagu kebangsaan kita, melainkan plesetan dari akronim RAYA yang berarti Beras Kaya.
Sebagai salah satu program jaring pengaman sosial secara nasional maka dilucurkanlah istilah RASKIN yang artinya beras untuk kalangan miskin yang harganya terjangkau karena disubsidi. Meski kita tahu disatu sisi pemerintah selalu menggalakkan diversifikasi pangan lokal untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional , namun disisi lain selalu saja memperkenalkan beras ke seantero musantara melalui program RASKIN bukan NGANKIN alias Pangan Miskin.
Ditambah lagi dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau diplesetkan oleh berbagai kalangan menjadi Bantu Langsung Tewas (swadaya masyarakatnya) yang katanya berbeda dengan BLT kali lalu, saat ini dikenal dengan istilah BLT PLUS meski hanya dalam jangka waktu 6 bulan saja dan tidak begitu jelas PLUSnya dimana.
Mengherankan ketika pemerintah mengajari rakyatnya untuk menjadi peminta-minta yang membuat bangsa ini semakin malas dan semakin kehilangan harga diri dimata bangsa lain melalui TV swasta dan asing yang menayangkan peristiwa bagaimana warga miskin antri BLT dan saling berebut seolah tidak lagi peduli dengan lainnya dan kelihatan menjadi sangat egois
Disamping itu, landasan moral yang dipakai untuk mengajak warga miskin menerima uang tanpa kerja juga sulit dipertanggungjawabkan karena mengajari kita terbiasa dengan TDB (Tangan Di Bawah) yang seharusnya adalah TDA (Tangan Di Atas).
Wajar jika banyak pihak menolak termasuk beberpa pejabat daerah karena efektivitas BLT sangat diragukan dan sangat tidak mendidik mental untuk BERDIKARI yang sering diucapkan Bung Karno dalam setiap pidatonya.
BLT versus SEBAR UANG ?
Belum selesai masalah terkait BLT, kita dikejutkan dengan aksi sebar uang dari motivator TDW alias Tung Desen Waringin.
Terlepas dari niat mulia untuk menolong warga miskin, namun bagi saya pribadi tindakan tersebut lebih kentara sensasinya dibanding unsur edukasinya. Kita dapat melihat di tayangan betapa warga berlarian berebut uang recehan seribu, lima ribu dan sepuluh ribu rupiah yang ditebar dari udara dengan pesawat yang artinya berapa juta yang dibutuhkan untuk sewa pesawat. Dan yang lebih memilukan, dengan bangganya TDW disiaran TV menginformasikan bahwa kegiatan tersebut telha diliput sehari sebelumnya oleh media asing. Tidak adakah cara yang lebih beradab dalam menolong orang miskin tanpa harus memamerkan kemiskinan negeri ini sekaligus menjadi lebih terkenal ?
Cara TDW dalam tebar uang sebenarnya juga dilakukan oleh pihak lain melalui kebiasaan dalam kegiatan “ekonomi berbiaya tinggi” seperti misalnya kegiatan suap yang terjadi di Bea Cukai maupun disemua lini kehidupan keseharian kita.
Hanya bedanya TDW dengan tulus mencoba berbagi, sedang pihak lainnya karena ada kepentingan tertentu seperti money politic yang mencoba membeli suara, suap di Bea Cukai supaya diperlancar dan dapat potongan biaya dll.
BLT sebenarnya juga sebentuk tebar uang atas nama negara yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi gejolak warga miskin akibat kenaikan BBM, bahka ada yang menyatakan sebagai suap politik.
Yang jelas baik BLT maupun tebar uang dan suap semuanya tidak bersifat mendidik masyarakat untuk berjuang denga etos kerja yang tinggi untuk meraih kemandirian dan sungguh lebih mulia para laskar mandiri yang meskipun menjadi menjadi pemulung dan dianggap sampah masyarakat namun selain memperoleh uang dari hasil keringat sendiri, mereka tidak merugikan pihak lain serta mampu mengurangi timbunan sampah sehingga meningkatkan kualitas lingkungan.
Belajar dari Prinsip Pelikan
Dalam sebuah kutipan tulisan seorang motivator Andrew Ho berjudul Prinsip Pelikan, dikatakan
“Thus, races arose from an original coding which God pulled out as needed for adaptation to the environment.”
Walter Lang
Kutipan dari Walter Lang menyatakan bahwa peradaban umat manusia di dunia ini mengalami perkembangan karena senantiasa beradaptasi terhadap lingkungan. Kalimatnya itu menegaskan bahwa pencapaian perkembangan kehidupan kita saat ini pun tidak lepas dari proses yang menuntut kita untuk mengadaptasikan diri. Fenomena yang pernah terjadi pada burung-burung pelikan di pantai Monterey, California berikut ini telah menginspirasi saya untuk menjelaskan beberapa hal penting untuk meningkatkan daya adaptasi kita. Oleh sebab itu saya menyebutnya prinsip Pelikan.
Pantai Pelikan di California Amerika Serikat memang terkenal karena ciri khas burung pelikan yang hidup bebas di sekitar pantai tersebut. Burung-burung pelikan liar itu selalu mendapatkan makanan ikan segar berlimpah dari para nelayan ikan tuna. Mereka berkembang biak dan hidup damai di pantai tersebut
Tetapi sejak pemerintah memberlakukan undang-undang yang melarang para nelayan menangkap ikan tuna di tempat itu, banyak sekali burung pelikan mati kelaparan. Para ilmuwan berusaha mengatasi persoalan itu dengan berbagai cara, tetapi tidak segera membuahkan hasil. Mereka khawatir burung-burung tersebut akan punah.
Kemudian mereka berinisiatif mendatangkan burung pelikan pesaing dari Florida. Para ilmuwan berharap akan terjadi pembauran dan perkawinan antara burung pelikan Monterey dan Florida, yang menghasilkan bibit pelikan-pelikan yang tangguh dan pandai mencari ikan sendiri. Tetapi dalam waktu singkat dan belum sempat terjadi perkawinan, burung pelikan Monterey sudah mampu berburu ikan sendiri. Kemajuan itu benar-benar menakjubkan.
Burung pelikan yang sudah terbiasa mendapatkan makanan dengan mudah dari para nelayan, tanpa perlu berusaha keras mencari ikan sendiri, cenderung tidak memiliki kekuatan untuk bertahan ketika situasi sudah mengarah pada krisis makanan. Mereka menghadapi kesulitan besar tatkala terjadi sedikit saja perubahan keadaan. Kesulitan yang mereka hadapi dikarenakan mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan beradaptasi.
Dari tulisan Andrew Ho diatas, dapat dibayangkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah sekarang dengan RASKIN, BLT dan sebangsanya seperti halnya para nelayan yang memberi makan berupa ikan pada burung Pelikan disekitarnya yang berbuah ketergantungan sehingga ketika para nelayan diharuskan pergi, maka burung Pelikan menjadi tak berdaya dan kemudian mati karena tidak tahu lagi cara berburu ikan untuk dimakan.
Yang dipersoalkan disini bukan masalah pemerintah dengan baik hati mau membantu rakyatnya melalui RASKIN dan BLT (meskipun kita tahn tugas utama pemerintah adalah mensejahterakan rakyatnya) , melainkan strategi yang dipilih dengan RASKIN dan BLT tidaklah pas dan bahkan ditenggarai menimbulkan ketergantungan dan menciptakan kemalasan.
Yang penting bukan seberapa subur lahannya, tetapi seberapa hebat petaninya
Dari potensi yang dimiliki baik berupa SDA maupun SDM, sungguh tidak bisa diterima akal sehat apabila Indonesia bisa terperangkap dalam krisis berkepanjangan sampai saat ini. Mengingat begitu besar kekayaan baik intelektual maupun sumber daya alam yang kita miliki, lalu apa yang salah dengan kondisi saat ini ?
Lahan yang terbentang luas dengan dua kali musim baik musim kemarau maupun hujan dengan sinar matahari yang tak lelah menyinari bumi katulistiwa, mengapa kita masih harus impor beras dan menjadikannya beras miskin (RASKIN)? Seberapa kuat pemerintah akan mampu memberi subsidi dan apakah subsidi merupakan opsi yang tepat dalam pemberdayaan masyarakat menuju mandiri ?
Jadi menjadi PR kita semua, mencari apa akar masalah terkait dengan busung lapar, banjir, kekeringan dibanyak persawahan , tanah longsor, kebakaran hutan, penggundulan hutan secara sadar , minimnya infrastruktur pertanian sehingga kita kekurangan pangan (bukan hanya beras?) Kita bisa hitung berapa banyak luasan sawah yang gagal panen karena banjir maupun kekeringan ?
Fokus perhatian pemerintah yang terlalu memanjakan lahan basah (persawahan) dan mengabaikan potensi lahan kering terutama di KTI (Kawasan Timur Indonesia) menjadi salah satu sebab kenapa kita harus impor beras.
Belum lagi kampanye konsumsi beras yang seolah-olah lebih bergengsi dan bergizi dibanding dengan makanan lokal yang ada di berbagai daerah turut memperparah ketergantungan pangan nasional pada beras. Bahkan istilah RASKIN menunjukkan kebenaran keberpihakan pemerintah hanya pada jenis pangan nasional berupa beras. Padahal kita tahu diseantero nusantara begitu banyak dan beragam makanan pokoknya seperti Madura dan NTT dengan jagungnya, Maluku dengan sagunya, dan Papua dengan umbi-umbian dll.
Jadi jika kita ingin mempunyai kedaulatan pangan yang kuat , mau tidak mau pemerintah harus melakukan revitalisasi pertanian (dalam arti luas) antara lain dengan memperbaiki dan menyediakan infrastruktur yang mendukung pertanian, membangun jalan-jalan aspal antar desa yang merupakan pusat produksi pangan, melakukan reforma agraria dengan membagi lahan milik pemerintah kepada petani gurem dan penyakap, membiasakan para pejabat dan keluarganya mengkonsumsi pangan beragam termasuk pangan lokal dalam keseharian mereka (bukan hanya pada saat kampanye penganekaragaman konsumsi pangan lokal), menghilangkan paket beras RASKIN dan BLT, menyiapkan petani terampil, cerdas dan mandiri melalui pendampingan dinas terkait, dan yang tak kalah penting politik beras murah harus ditinggalkan dan diganti dengan menghargai jerih payah petani dengan harga layak sehingga profesi petani sejajar dengan profesi lainnya.
Yang tak kalah pemting bagaimana agar semua kegiatan atas nama pembangunan nasional selalu didasarkan pada etika lingkungan seperti yang terus disuarakan oleh pakar ekologi kita Bapak Otto Soemarwoto yang telah berpulang. Tugas generasi muda khususnya para intelektual muda untuk terus menyuarakan arti penting melestarikan lingkungan sehingga generasi penerus mewarisi lingkungan yang berkualitas dalam mendukung kehidupannya.
Dalam kaitan dengan pembangunan pertanian yang menjadi perhatian utama adalah menjaga agar daerah hulu tetap mampu menjadi daerah resapan air dalam artian fungsi hidrologis hutan harus terus dipelihara dengan meniadakan pembalakan hutan secara liar, membatasi privatisasi air sehingga air tetap tersedia untuk kegiatan pertanian sebagai penopang pangan nasional dan menjaga kedaulatan bangsa khususnya dalam hal kedaulatan pangan. Jadi tidak ada yang tidak mungkin termasuk menggantikan RASKIn dengan kaya beras atau lebih tepatnya kaya pangan yang berlimpah.
Mari kita bangun pertanian Indonesia yang tangguh seperti halnya syair lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengajak kita semua untuk “ Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”
YBT Suryo Kusumo
t.suryokusumo@gmail.com