Friday, December 28, 2007

'Gereja Liar' di Batam

KABARNTT, Batam--SUASANA perayaan Natal tahun 2007 di Batam sangat berbeda dengan suasana di kampung (NTT). Di kota yang sangat heterogen ini, nuansa Natal nyaris tak terasa, kecuali meriahnya dekorasi untuk kepentingan bisnis seperti terlihat pusat-pusat perbelanjaan.

Tapi jangan kaget ketika kita berada di tengah komunitas masyarakat NTT yang berjemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Eklesia Batam. Di jemaat itu, suasana Natal sangat terasa. Seolah kita berada di kampung halaman sendiri, di NTT. Mungkin karena jemaatnya kebanyakan orang-orang NTT sehingga ada kedekatan
emosi antarjemaat. Jemaat Eklesia berisi orang-orang dari Alor, Rote, Sabu, Timor, Flores, Batak, Ambon, Jawa, dan lainnya.

Acara kebaktian hingga perayaan Natal KAKR berlangsung hikmat dan penuh keceriaan. Anak-anak sekolah minggu sangat bergembira dan tampak penuh sukacita saat menyanyikan
lagu-lagu Natal. Para pemuda dengan penuh hikmat mengikuti berbagai acara Natal di gereja. Para orangtua pun demikian.

Dan seperti biasa, gereja penuh sesak sejak minggu-minggu Advent hingga kebaktian pada tanggal 24, 24, dan 26 Desember. Semua orang menjadi sangat akrab ketika di
gereja. Kendati tidak semuanya saling kenal dengan baik sebagaimana kita di kampung, di NTT sana. Hampir semua anggota jemaat GMIT Eklesia Batam adalah kaum
marjinal. Mereka adalah kumpulan para pemulung, satpam, buruh bangunan, sopir Metro Trans (angkot), dan hanya sedikit karyawan di perusahaan-perusahaan dalam kawasan
industri. Saya sendiri adalah bagian dari jemaat ini. Mayoritas mereka adalah juga para penghuni perumahan Ruli Indah Permai :) Ruli adalah rumah liar.

Oh ya... disebut ruli karena bangunan tempat tinggal mereka dibangun di atas
lahan yang bukan milik mereka. Ciri bangunannya, terbuat dari dinding tripleks bekas dengan atap seng bekas maupun karet. Mereka rawan kena gusur dan hidupnya senantiasa
diliputi perasaan waswas karena sewaktu-waktu bisa digusur aparat trantib.

Tapi kisah para penghuni ruli seperti itu sudah tidak menarik lagi bagi warga Batam. Itu sudah menjadi cerita biasa. Tapi khusus bagi kaum marjinal asal NTT yang hidup
di Batam, mereka punya "bonus" kegelisahan, yakni menyangkut gedung gereja, tempat mereka berbakti setiap hari Minggu dan hari raya. Lantaran mereka adalah para penghuni ruli, maka mereka pun seolah harus berbakti kepada Tuhan di Gereja Liar. Saya sebut gereja liar karena gereja ini juga dibangun di atas lahan yang bukan milik GMIT alias lahan milik entah siapa.

Sehingga sampai kini, jemaat merasa waswas suatu ketika bangunan gereja kami yang sederhana itu juga bakal kena gusur. Lantas kami akan kebaktian di mana setelah kena
gusur? Padahal (kalau tidak salah) jemaat ini sudah berdiri lebih dari tujuh tahun. Tapi tak mudah bagi pengurus gereja ini memperoleh lahan untuk membangun sebuah gedung kebaktian yang lebih aman dari 'ancaman' penggusuran.

Sebab, saya lihat di dekat gedung kebaktian sedang ada pematangan lahan (cut and fill). Tampaknya akan ada pembangunan gedung besar sehingga semakin membuat waswas.
Harapan saya, seluruh jemaat Tuhan turut mendukung dalam doa sehingga kerinduan jemaat GMIT Eklesia Batam untuk memperoleh lahan untuk mendirikan gedung kebaktian yang lebih baik bisa segera terwujud. Amin.(*)

Eddy Mesakh

di Batam

Tuesday, December 18, 2007

Tiga Siswa Menyibak Keganasan Penambang

Oleh: Polce Amalo

ANGIN musim panas di akhir Juli 2007 menerjang wajah Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tiga siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) 2 di kota itu, bersama seorang guru berjalan menuju pantai Pantai Pasir Panjang, Kelurahan Kelapa Lima. Peluh membasahi wajah mereka.

Ketiganya, Kristina Puu Heu, Jefry Tuan, dan Alyan M Sioh, serta guru pembimbing Marselina Tua akan mengumpulkan data, memulai penelitian soal tingkat kerusakan terumbu karang di sepanjang pantai tersebut.

Penelitian yang membawa Kristina dan dua rekannya menjuarai seleksi karya ilmiah tingkat nasional terumbu karang di Jakarta, 26 Agustus 2007. Karya itu ditulis dari hasil penelitian yang hanya membutuhkan waktu tidak kurang satu minggu.

Sejak 2000, di pesisir pantai Pasir Panjang, aktivitas penambangan terumbu karang dilakukan sedikitnya oleh lima warga. Waktu terus berjalan hingga di penghujung 2007, keindahan terumbu karang, yang berfungsi sebagai rumah dan sumber makanan berbagai jenis makhluk hidup di bawah laut itu, justru terus digerus. “Sudah tujuh tahun mereka (lima warga) merusak terumbu karang di sekitar pantai,” kata Marselina Tua.

Tak jauh dari situ, terpampang papan bertuliskan larangan ada aktivitas penambangan di sepanjang pantai. Papan itu dipajang Dinas Pertambangan dan Energi Nusa Tenggara Timur selama bertahun-tahun. Toh, penambangan terumbu karang terus berlangsung tanpa ada upaya pencegahan dari pihak berwenang. Selain itu, jarak lokasi penambangan tidak lebih satu kilometer di arah barat kantor Wali Kota Kupang, atau sekitar 50 meter di sisi barat Jalan Timor Raya.

Tiap hari, ruas jalan Timor Raya dipadati kendaraan bermotor. Termasuk kendaraan dinas milik pegawai dinas pertambangan dan energi. Kerap, pejabat kantor pemerintahan provinsi, juga kabupaten, dan kota menjamu tamu mereka di dua restoran yang dibangun di dua sisi Jalan Timor Raya. Tetapi lain di pantai, aktivitas penambangan tak pernah dibendung.

Kini, pantai berpasir putih itu jadi saksi bisu keganasan penambang. Tak henti-hentinya mengambil terumbu karang kemudian disusun melingkar di lokasi berbeda sebelum dibakar menjadi kapur. Kita seolah lalai atau kurang memedulikan, bahwa manusia sangat bergantung pada ekosistem alamiah. Karena, dari alam pula, makanan, dan kebutuhan lainnya diperoleh.

Hasil penelitian mereka, cukup mengejutkan. Selama tujuh tahun kegiatan penambangan, terumbu karang yang rusak mencapai 56.376,6 meter persegi, atau tidak kurang 20.296 ton ikan hilang selama periode itu.

Ini didasarkan pendapat Bambang Murdiyanto dalam buku Ekosistem Terumbu Karang, 2003 yang menulis, satu kilometer persegi terumbu karang yang sehat menghasilkan 36 ton ikan/tahun. Apa boleh buat, lingkungan kawasan pesisir Pantai Pasir Panjang telah dikepung aneka persolan, mulai ancaman abrasi sampai pencemaran lingkungan. Pemerintah diminta serius mencegah ini.

Menurut Krisna, penelitian berawal dari kepedulian pelajar terhadap penyelamatan lingkungan, atas prakarsa Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang Tahap II (Coral Reef Rehabilitation and Management Programme-Coremap-Phase II) Nusa Tenggara Timur bersama dinas kelautan dan perikanan setempat.

Pemrakarsa ingin menciptakan kepekaan berpikir dalam pelestarian terumbu karang di kalangan pelajar. Meskipun, banyak warga belum memandang pelestarian terumbu karang dan kebersihan pantai sebagai bagian dari menyelamatkan lingkungan. “Setelah beberapa lama meneliti persoalan terumbu karang, kami makin tahu pentingnya menyelamatkan lingkungan,” katanya.

Isu penyelamatan terumbu karang inilah yang menempatkan ketiganya sebagai peringkat pertama lomba yang menampilkan 140 makalah dari seluruh provinsi tersebut. Sebelumnya, selama proses seleksi di tingkat provinsi, ketiganya sempat tidak masuk hitungan tim juri. "Kami cuma menempati peringkat tiga 19 makalah. Juara satu dan dua disabet anak-anak SMA Negeri 1 Kupang," tutur Kristina.

Selama beberapa lama melakukan penelitian, mereka sadar bahwa penyelamatan pantai sangat penting. Misalnya, tidak membaung sampah di pantai, dan warga harus saling mengingatkan, tidak merusak keindahan dan panorama pantai, atau mengambil terumbu karang. Bukan pemandangan aneh, ketika matahari mulai memancarkan sinarnya, air laut tampak membiru. Tetapi ketika matahari sudah ke peraduan, ratusan pengunjung tumpah ruah di sana. Mereka meninggalkan berbagai jenis bekas bungkusan makanan, dan air mineral berserakan.

Sementara itu, Marselina, Sarjana Biologi, Universitas Nusa Cendana tahun 1991 memahami kesulitan tiga siswanya, sebab, tidak mudah menyelesaikan penelitian dalam waktu singkat. “Kami bekerja keras tanpa kenal lelah,” katanya.

Kesulitan yang alami peneliti muda ini seperti wawancara. Ini diakibatkan wawancara harus dilakukan di tengah laut, termasuk pemotrean. Terumbu karang yang ada di pesisir pantai, sudah habis. Sekarang penambang sudah masuk terlalu jauh ke dalam laut. Karena itu, mereka harus naik perahu.


Tiba di tahap penulisan makalah, kesulitan baru dihadapi seperti penguasaan metodologi penelitian, dan kerjasama antaranggota tim. Di tahap presentasi makalah, mereka harus bekerja lebih keras karena ternyata ketiganya tidak siap tampil. “Mereka kurang mengusai panggung,” jelas Marselina. Hal yang sama diakui mereka. Itu yang akhirnya hanya menempatkan ketiganya di pemenang ketiga lomba tersebut.

Atas prestasi mereka di tingkat nasional, pada 19 Desember 2007, forum academia NTT for Development menganugerahkan kepada ketiganya Piala NTT Academia Award, Piagam, dan Uang Tunai dalam kategori studi kelautan. Prestasi mereka diharga karena mampu memproduksi pengetahuan dan inovasi yang relevan dengan pembangunan di Nusa Tenggara Timur.


NTT Academia Award ini juga akan diberikan kepada Kusa Bill Noni Nope, dosen Politeknik Negeri Kupang yang secara kolektif bersama Tim Mahasiswa Pasca Sarjana Unpar berhasil meraih juara I Simposium ke-IX Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, dan Tim Robotika Politeknik Negeri Kupang melakukan inovasi teknologi robotika, dan menempati dalam 40 besar kelompok finalis dari 200 peserta dalam lomba inovasi robotika di ITS, Surabaya.

Thursday, December 13, 2007

Yudhono-Rudd Harus Tuntaskan Persoalan Laut Timor

KabarNTT, Kupang – Masalah batas perairan antara Indonesia dan Australia yang mencakup Gugusan Pulau Pasir, Celah Timor dan aktivitas nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor, harus menjadi salah satu agenda utama pertemuan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Australia Kevin Rudd. Ketua Kelompok Kerja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni, mengatakan ini di Kupang, Senin (10/12).

Rencananya, Yudhoyono dan Rudd akan bertemu di sela Pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, yang mulai berlangsung Rabu (12/12).

“Indonesia dan Australia harus mengakui ada masalah serius yang perlu segera diselesaikan pasca lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Tanoni dalam siaran persnya yang dirima KabarNTT, Senin (10/12).

Yang dimaksud Tanoni adalah batas perairan Indonesia-Australia: dari landasan kontinen hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Zona Perikanan, di Laut Timor. Menurutnya, penetapan batas melalui perjanjian 14 Maret 1997 itu tak memperhatikan fakta-fakta geologi, geomorfologi, serta prinsip Hukum Internasional. “Akhirnya yang diuntungkan cuma Australia,” ujarnya.

Secara khusus Kelompok Kerja ini menyayangkan penguasaan Gugusan Pulau Pasir oleh Australia. Padahal, perjanjian Indonesia-Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Timor itu, hingga saat ini belum diratifikasi.

“(Karena belum diratifikasi) Seharusnya perjanjian itu belum berlaku,” ujar Tanoni. Celakanya, menurut dia, Australia dengan dukungan Departemen Luar Negeri RI malah menjadikan itu sebagai alat pembenar untuk memberangus aktivitas nelayan tradisional di Laut Timor.

Memorandum of Understanding antara kedua pemerintah pada 1974, yang sepakat membebaskan nelayan tradisional mencari nafkah pada lima titik di perairan Gugusan Pulau Pasir dan sekitarnya pun, menurut Tanoni, tak banyak gunanya. Soalnya titik-titik yang disepakati itu berada dalam zona 12 mil perairan Australia. Akibatnya, patroli laut Australia leluasa menangkap nelayan Indonesia dengan alasan melanggar batas perairan.

Sudah banyak nelayan Indonesia yang ditangkap. Sepanjang 2007, hingga 28 November lalu, Konsulat RI Darwin mencatat ada 129 nelayan yang menghuni pusat penahanan (detention center) Darwin, Northern Territory. “Jumlah ini akan meningkat menjadi 201 dengan datangnya 72 awak yang beberapa hari ini ditangkap," kata Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar, akhir November lalu. Ketika itu patroli Australia baru saja menangkap lagi delapan kapal nelayan Indonesia.

Tragisnya, kata Tanoni, situasi yang tak menguntungkan itu kini mendorong nelayan Timor untuk melintasi perbatasan guna mencari suaka ekonomi di Australia. Bulan lalu saja, menurut temuan Kelompok Kerja, ada tiga nelayan yang nekad menjual rumah dan berlayar menuju Australia. “Kalau dibiarkan, persoalan perbatasan ini akan menjadi kerikil dalam hubungan Indonesia-Australia ke depan,” ujar Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat. (Redaksi)

Korupsi dan Kinerja Aparat Hukum di NTT


(Refleksi Perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia Tahun 2007)

Oleh. Paul SinlaEloE

Penulis adalah Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah merativikasi Konvensi Anti Korupsi di Merida, Meksiko pada tanggal 9 Desember 2003. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan menjadi Hari Anti Korupsi Sedunia dan oleh karenanya pada tanggal 9 Desember setiap tahunnya semua negara di dunia merayakannya. Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang mengikatkan diri dan tunduk pada konvensi anti korupsi ini, pada tanggal 9 Desember 2007 juga secara nasional merayakan hari anti korupsi. Di sepanjang jalan utama di setiap kota di Indonesia, banyak bertebaran spanduk-spanduk seruan moral dari Instansi penegak hukum untuk tidak melakukan korupsi. Sungguh sebuah ajakan yang sangat mulia. Bukan saja karena korupsi itu memang perbuatan dosa, melainkan juga bahwa korupsi saat ini, perlahan namun pasti, telah berkembang menjadi semacam budaya baru di kalangan masyarakat.

Namun sekarang, berharap banyak terhadap seremonial yang dilakukan oleh pengambil kebijakan semacam ini merupakan sesuatu yang tidak penting. Telinga, dan bahkan hati sebagian pejabat dan ‘orang-orang berkuasa’ lain di negeri ini sudah semakin bebal dengan semacam seremonial anti-korupsi. Jika punya kekuatan dan kekuasaan, hukum di pengadilan akan sangat mudah dilolosi, hanya dengan sedikit mengeluarkan duit hasil korupsi untuk menyogok. Oleh karena itu, agak lucu sebenarnya jika mendengar peringatan Hari Anti Korupsi di Negeri Sarang Korupsi dilaksanakan secara meriah, dan malah menghambur-hamburkan lagi banyak uang rakyat, yang dalam pelaksanaannya di lapangan, dana peringatan tersebut masih berpeluang untuk ditilep oleh panitia pelaksana. Perayaan hari anti korupsi di Indonesia, ibarat sebuah aktivitas yang kontraproduktif.

Peringatan Hari anti Korupsi juga dilaksanakan oleh Instansi/aparat Penegak Hukum di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ironisnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa perayaan hari anti korupsi sedunia di NTT ini dilakukan ditengah menjamurnya praktik korupsi. Di NTT, korupsi sudah merambah kemana-mana mulai dari tingkat Provinsi sampai pada level desa bahkan sudah sangat menggerogoti lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga muncul kesan, praktik korupsi di NTT telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat di provinsi yang masuk dalam kategori miskin ini.

Bertolak dari fakta yang demikian, maka dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia tahun 2007, patut kiranya seluruh warga NTT melakukan refleksi terhadap kinerja aparat hukum dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi. Untuk itu, catatan akhir tahun 2007 dari Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), dapat dijadikan sebagai salah satu bahan refleksi bersama.

PIAR NTT merupakan salah satu organisasi non pemerintah (NGO) yang bersifat independent dan non profit yang konsern terhadap persoalan korupsi, dalam aktivitasnya pada tahun 2007, melakukan pemantauan dan advokasi terhadap 80 kasus dugaan korupsi yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota dan 1 Provinsi, yaitu: Prov. NTT, Kota Kupang, Kab. Kupang, Kab. TTS, Kab. TTU, Kab. Belu, Kab. Alor, Kab. Rote Ndao, Kab. Sumba Timur, Kab. Sikka, Kab. Ende, Kab. Flotim, Kab. Ngada, Kab. Manggarai. 80 kasus dugaan korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT ini terdiri dari 8 kasus baru (Kasus yang terjadi di Tahun 2006 & 2007) sedangkan kasus lama (kasus yang terjadi Tahun 1999 s/d 2005) berjumlah 72 kasus. Dari 80 kasus dugaan korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 215.464.750.567,00 (Dua Ratus Lima Belas Milyar Empat Ratus Enam Puluh Empat Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Lima Ratus Enam Puluh Tujuh Rupiah).

Hasil Pantauan PIAR NTT juga menunjukan bahwa dari 80 kasus dugaan korupsi terdapat 363 pelaku bermasalah dan Mark Up merupakan modus operandi korupsi terbanyak. Perincian berdasarkan jabatan dari 363 pelaku bermasalah ini adalah sebagai berikut: DPRD sebanyak 204 orang, Bupati/Walikota sebanyak 7 orang, Wakil Bupati sebanyak 3 orang, Pejabat PEMDA sebanyak 54 orang, Pelaku swasta sebanyak 34 orang, panitia tender sebanyak 6 Orang, PIMPRO/BENPRO sebanyak 14 orang, pejabat bank 3 orang, pejabat PDAM 5 orang, anggota KPU 5 orang dan lain lain (Termasuk Gubernur NTT) sebanyak 28 orang. Ke 363 pelaku bermasalah ini ditangani oleh pihak kepolisian sebanyak 131, kejaksaan sebanyak 196 sedangkan yang di tangani oleh PN/PT sejumlah 36 orang.

80 kasus dugaan korupsi yang di pantau oleh PIAR NTT ini oleh aparat penegak hukum di Split menjadi 183 berkas perkara, dengan rincian penanganan sebagai berikut: Pertama, KEPOLISIAN. Hasil pantauan PIAR NTT menunjukan bahwa pihak kepolisian menangani 36 berkas perkara dengan 131 pelaku bermasalah. Dari 131 pelaku bermasalah ini, pihak kepolisian telah menentapkan 117 orang pelaku bermasalah dengan status tersangka dan 14 orang pelaku bermasalah laiannya belum ditetapkan status hukumnya. (NB: Karena pelaku bermasalah yang diperikasa sebagai saksi pada kasus dugaan korupsi di NTT, dalam amatan PIAR berpeluang besar menjadi tersangka, maka dalam kajian ini yang berstatus saksi oleh PIAR dianggap belum memiliki status hukum). Dalam penuntasan kasus dugaan korupsi di NTT, pihak Kepolisian juga telah meng-SP3-kan 1 kasus dugaan korupsi, yakni: “Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional DPRD Kota Kupang TA 2003-2004”.

Kedua, KEJAKSAAN. Hasil pantauan PIAR NTT menunjukan bahwa ada 111 berkas perkara yang ditangani oleh aparat kejaksaan dengan jumlah pelaku bermasalah sebanyak 196 orang. Status hukum dari para 196 pelaku bermasalah ini adalah tersangka berjumlah 151 orang, terdakwa sebanyak 19 orang dan terdapat 26 orang pelaku bermasalah yang belum ditetapkan status hukumnya. Dalam penuntasan kasus dugaan korupsi di NTT, masih sering terjadi ”bolak-balik” berkas perkara dari para tersangka antara kepolisian dan kejaksaan. Bahkan berkas perkara dari Bupati Kupang, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal ikan di Kab. Kupang, berkas perkaranya bolak-balik selama 9 kali, sejak tahun 2003.

Ketiga, PN/PT. Hasil pantauan PIAR NTT menunjukan bahwa ada 36 palaku bermasalah36 berkas perkara yang masuk dalam proses persidangan di PN/PT dengan jumlah pelaku bermasalah sebanyak 36 orang. Dalam persidangan terhadap ke 36 pelaku bermasalah ini, Hakim PN/PT telah memutuskan 18 orang atau (50 % berkas perkara) divonis bebas, 8 orang (22 % berkas perkara) di putus bersalah dan untuk yang belum divonis sebanyak 10 orang (28 % berkas perkara).

Sejalan dengan gambaran kinerja aparat hukum dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi di NTT, maka yang menjadi pertanyaan refleksi untuk direnungkan bersama adalah pantaskah institusi/aparat penegak hukum di NTT memasang spanduk anti korupsi untuk merayakan hari anti korupsi sedunia pada tahun 2007....???? Only Heaven knows.

Monday, December 10, 2007

Another NTT is possible, Urgensitas konvergensi Academia NTT



(Menyambut Hari Ulang Tahun ke-49 NTT)

Oleh : Jonatan Lassa

Inisiator Forum Academia for NTT Development, kandidat Doktor Kajian Disaster Governance, Center for Development Research (ZEF), University of Bonn, Jerman.

TULISAN ini perlu dibaca dengan sikap optimis. Optimisme yang berlandaskan pada visi bahwa "Another NTT is possible". Bahwasannya NTT yang kini dikelola saat ini tidak didasarkan pada pengetahuan yang memadai lagi, warisan abad ke-20. Di abad 21, diperlukan generasi-generasi baru dan muda yang mampu melihat bagaimana dan ke mana abad 21 ini bergerak. Generasi baru yang mampu menutupi banyak sekali gap dalam pembangunan bangsa, termasuk kesenjangan digital dan pengetahuan.

Menyambut Ulang Tahun Nusa Tenggara Timur (NTT) ke-49, pertanyaan "Apakah NTT itu" perlu diajukan lagi. Jawaban yang lebih visioner dan segar dibutuhkan ketimbang jawaban-jawaban remeh-temeh, pesimis, dan bahkan konyol seperti "Nanti Tuhan Tolong", "Nasib Tak Tentu."

NTT bukan sekadar kelanjutan dari Sunda Kecil. NTT tepatnya adalah "Indonesia Tenggara Timur"
(East of Southeastern Indonesia). Kata 'timur' dalam singkatan ini sebagai pembeda dari Indonesia Tenggara Barat, yakni NTB. Visi tentang ke-Indonesia-an itu harus diperjelas, sehingga kita lebih jelas lagi bahwa Indonesia Tenggara Timur adalah Indonesia yang sama yang sudah berusia lebih dari 60-an tahun.

Dan di penghujung dari usia tersebut, kemampuan daya beli (purchasing power parity - PPP) di NTT, asumsi penulis (berdasarkan berbagai referensi) masih berada di bawah US$ 300 ketimbang PPP 2006 tingkat nasional saat ini yang mencapai level US$ 3900 (CIA Factbook-2007). Kenapa asumsi yang dipakai? Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kecuali kenyataan bahwa pada masa kepimimpinan Eston Funay di Bappeda I NTT, dalam artikelnya bersama Prof. Vincent Gaspersz di Jurnal Ekonomi Rakyat (Th. II - No. 8 - November 2003), mereka bahkan menggunakan angka kisaran kira-kira atas pendapatan perkapita NTT.
Tanpa bermaksud mengolok-olok, tetapi itulah tipikal ironi bernama pemimpin dan pengelolaan organisasi/lembaga formal di "Indonesia Tenggara Timur" dalam 60-an tahun merdeka yang menyusun rencana pembangunan di atas angka-angka yang dikira-kira. Sebagai rakyat di tanah rantau, penulis sulit memberikan feedback secara memadai karena data-data dasar sebagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas publik sebuah pemerintahan tidak tersedia secara digital (baca: online). Sebuah indikasi kesenjangan digital lagi.

NTT baru dalam visi "Indonesia Tenggara Timur" atau ITT yang coba penulis gagas adalah sebuah semangat (antusias/spirit/
Geist) ke-Indonesia-an yang hidup: "Fidele a la mort" (Perancis: setia sampai mati). Tapi slogan baru bisa bermakna bila terjadi pengejawantahan dalam realitas keseharian negara bangsa (bernegara, berbangsa dan bernegara-bangsa). Baik rakyat maupun negara hidup dalam semangat saling menopang 24 jam sehari 7 hari seminggu. Tanpa henti.

Visi tentang ke-NTT-an juga perlu digugat ketimbang visi normatif "Terwujudnya masyarakat Nusa Tenggara Timur yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."

Visi normatif tersebut terbukti tidak meresapi ke dalam keseharian pembangunan. Sebagai misal, berdirinya Mal Flobamora di Kota Kupang, beserta ruko-ruko yang tumbuh ibarat jamur di musim hujan hanya memberikan indikasi kuat bahwa tingkat konsumtif NTT menjulang tak terimbangi dengan produksi. Tanpa sumbangan APBN yang disuplai dari Jakarta, NTT ibarat negeri yang tinggal menunggu hari-hari terakhir hidupnya.

Misi "Tiga Batu Tungku" menjadi sangat abstrak. Alhasil, tingkat pertumbuhan NTT di tahun 2005 hanya mencapai 3,1% (BPS Online) atau jauh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yakni 5,6% pada tahun yang sama. Tahun 2005, jumlah calon angkatan kerja muda (usia 16-18) hanya 42.1% yang terdaftar di sekolah, sedangkan nasional adalah 53.9% (BPS Online 2007). Betapa besarnya disparitas pertumbuhan tersebut.

Bila menambah daftar masalah seperti kemiskinan, gizi buruk, serta berbagai indikasi angka kesejahteraan sosial seperti kesehatan dan perumahan, angka performa perdagangan NTT, potret akan semakin negatif. Tidak perlu terkejut ataupun kecut. Penulis akan sangat terkejut bila ada yang mampu menambahkan daftar data dan informasi baik negatif ataupun positif khususnya yang belum diketahui. Akan lebih terkejut lagi bila ada yang mengaku gampang mewujudkan NTT yang lebih baik.

Conventional wisdom mengatakan bahwa kritik yang baik wajib memberikan solusi. Dan solusi yang ditawarkan di sini lebih merupakan upaya menutupi satu celah dari sekian banyak celah.

Konvergensi Academia NTT
Dalam teori tentang pengelolaan pengetahuan
(knowledge), disimpulkan bahwa penciptaan pengetahuan yang baru (bagi pembangunan NTT atau di mana saja) akan selalu diperhadapkan ketidaktahuan baru (new unknowns). Dan ketika kita lebih tahu, alangkah baiknya kita semakin tahu apa yang tidak kita tahu sebagai rangsangan untuk mendapatkan jawaban yang lebih memadai (Evers, Gerke & Menkhoff 2006).

Implikasinya, baik pemimpin, intelektual dan insan academia yang peduli pada pembangunan ITT tidak cukup memimpin ITT dengan membeli ataupun menggunakan pengetahuan instant impor mirip mie instant impor sebagai resep menanggulangi kemiskinan dan kemelaratan. Tidak cukup dengan memiliki daftar pengetahuan yang diketahui, tetapi juga daftar ketidaktahuan dalam ruang yang berubah dan waktu yang bergerak maju.

Data yang bersifat anekdotal menunjukkan bahwa NTT tidak kurang ilmu pengetahuan untuk membangun dirinya sendiri. Kita tahu berapa banyak dosen bergelar doktor, master dan sarjana yang tersebar di berbagai universitas seperti Undana, Unwira dan sebagainya, termasuk aparat bergelar master dan doktor yang semakin menjamur. Tetapi kita tidak tahu apa yang mereka tidak tahu dan seberapa tahu mereka terhadap ketidaktahuan mereka?

Persoalannya bukan sekadar bahwa ada kutub divergensi yang semakin melebar akibat ketiadaan medium dan forum untuk membuat konvergensi atau kerja sama dan visi yang lebih padu, tetapi kombinasi dari 'semua hal' yang dikerjakan secara kompartmental alias terpisah-pisah di kamar masing-masing. Alhasil, NTT yang dibangun tidak berhasil menunjukkan bangunan yang utuh selain indikasi permukaan yang memberikan signal bahwa konsumerisme menerpa masyarakat, pemerintah maupun intelektual dan akademisi kita. Tanpa bermaksud terjebak pada "kutukan perbandingan", tetapi di usia yang relatif matang, "Indonesia Tenggara Timur" tidak menghasilkan satu universitas pun dalam daftar 50 besar Universitas di Indonesia. Boleh diperdebatkan soal angka tersebut. Penulis bahkan tidak mengetahui jawaban yang tepat atas fenomena tersebut selain bahwa itu menambah daftar ketidaktahuan penulis.

Walaupun demikian, sudah saatnya kita melangkah maju. Diperlukan strategi membangun "Indonesia Tenggara Timur" dari sisi pengetahuan
(knowledge-based development). Diperlukan berbagai titik penghubung pengetahuan (knowledge hubs), pusat unggulan (center of excellence) yang bersifat misioner dalam penyebaran pengetahuan tanpa mengisolasi pengetahuan yang telah diproduksi bertahun-tahun di universitas-universitas di NTT.
Lembaga pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai kabupaten di NTT perlu didukung oleh anggaran daerah untuk menjadi "knowledge clusters" alias simpul-simpul distribusi ilmu pengetahuan tempat orang berkerumun untuk mendapatkan pengetahuan.

Andaikan saja ada "knowledge clusters" yang terhubungkan tiap waktu dengan berbagai titik penghubung pengetahuan di berbagai universitas di NTT dibarengi dengan pemanfaatan social capital NTT, yakni anak-anak NTT yang sedang tersebar di berbagai negara baik Australia, Amerika, Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, hingga mereka yang berada di dalam negeri termasuk NTT, maka pengalaman sharing pengetahuan bisa terjadi dalam waktu yang lebih cepat, efektif dan efisien.

Penulis lewat Forum Academia NTT menawarkan kontribusinya tanpa pamrih kepada universitas dan pendidikan tinggi di NTT tapi juga kepada berbagai pihak termasuk pemerintah daerah yang terhubung dengan jaringan internet. Forum Academia NTT dimaksudkan sebagai sebuah lembaga yang relatif 'cair' untuk melakukan inisiatif-inisiatif baru demi kemajuan pendidikan seperti: (1) Pemberian award atau "Nobel" tingkat NTT tahunan, (2) publikasi info beasiswa (mailing list, websites, webblog). (3) diskusi-diskusi tematik pembanguan NTT.
Forum Academia NTT juga berkehendak melakukan jaringan 'NTT Young Scientist" di mana para dosen, guru, mahasiswa dan pelajar di berbagai pulau di NTT dapat saling bertukar informasi, paper, artikel, publikasi elektronik, serta publikasi-publikasi ilmiah yang bersifat 'open source'-- maupun tidak, dengan para academia NTT di luar negeri yang memiliki akses 'sejuta journal'.

Lalu di mana letak opitimisme "Another NTT is possible"? Opitimismenya adalah bahwa ketika filsafat "sapu lidi" - bersatu kita teguh bercerai kita runtuh - merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan kalangan academia dan intelektual di NTT. Bila social capital ini diabaikan, maka NTT sebagai Indonesia Tenggara Timur akan tetap tertinggal di abad 21. *

(Tulisan ini diambil dari Opini Pos Kupang, Senin 10 Desember 2007. Halaman 14)

Natal, Momentum Wujudkan Indonesia Baru?

Oleh: YBT Suryo Kusumo

Pengembang masyarakat perdesaan

tony.suryokusumo@gmail.com

SETIAP penghujung tahun, kita selalu diajak untuk merenungkan sebuah kosakata yang telah akrab dalam kehidupan keseharian, namun sulit sekali terwujud secara berkelanjutan, yakni kata DAMAI’.

Natal selalu mengajak kita kembali ke fitrah, mempertanyakan arti sebuah perjalanan kehidupan dari mulai kelahiran kita sampai periode saat ini dalam sebuah kosmos yang kita kenal sebagai bumi yang satu tempat kita berpijak dan berkiprah.

Damai di bumi, damai di hati, damai dalam kemajemukan (suku, bangsa, agama, adat-istiadat, bahasa, budaya, ideologi dan perpolitikan). Bahkan para pendiri negara ini sejak dini telah meletakkan sebuah pondasi filosofi yang kokoh yang menekankan pentingnya perdamaian sehingga tercapai kompromi dalam perumusan PANCASILA .

Dalam Pembukaan UUD 45 , bapak bangsa mempersiapkan berdirinya sebuah negara yang damai melalui ungkapan yang menyatakan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, keadilan sosial.’

Namun, akhir-akhir ini kita sebagai sebuah bangsa merasakan betapa semakin jauhnya dari harapan bapak bangsa. Perayaan keagamaan yang harusnya disyukuri dengan penuh sukacita dan kemenangan, berubah jadi kekhawatiran dan ketakutan oleh teror dan ancaman kekerasan.

Kemajemukan yang seharusnya makin memperkaya satu dengan yang lain, seperti indahnya pelangi dengan beragam warna, ternyata tak mampu membendung emosi dan sentimen keagamaan, kedaerahan yang sempit. Perbedaan tak dianggap sebagai berkah, tapi sebagai ancaman.Kita semakin terjebak dalam kesempitan cara pandang, sehingga kian meninggalkan akal sehat dan nurani.

Ketika melakukan pembenaran untuk membinasakan mereka yang berbeda, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita pada Tuhan, Sang Pencipta? Kalau kita membunuh untuk membela saudara seiman, apakah surga akan penuh dengan orang yang tangannya bergelimang darah? Apakah kekerasan adalah solusi terbaik? Tidak kah justru menimbulkan dendam berkelanjutan?

Mengapa ampunan dan kata maaf tak mampu kalahkan rasa benci dan dendam?

Bukankah kita lebih baik mengasihi musuh yang menganiaya kita, sehingga dengan kasih maka diharapkan musuh akan bertobat untuk tidak memakai jalan kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi.

Lalu kepada siapa kita akan membagi KASIH jika tidak kepada sesama kita, meskipun berbeda SARA?

Mari, dalam mensyukuri nikmat dan anugerah yang kita terima dalam hidup ini, kita telah mampu lebih mengedepankan suara hati nurani yang bersih, bening, dan jujur. Biarlah Sang Maha Kuasa menyentuh hati kita lewat nurani kita, sehingga kita tidak mengotori kehidupan yang sedang kita jalani dengan berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun non fisik.

Kita mencoba kembali untuk merajut benang-benang persaudaraan yang terkoyak oleh berbagai sebab dengan tali silaturahmi dan persaudaraan sejati. Coba tengok kembali perjalanan hidup kita selama setahun terakhir, sehingga kita mampu kembali ke fitrah dan di awal tahun baru 2008 kita mampu menjadi manusia baru yang sungguh-sungguh berubah, mengarah ke kebaikan budi dan nurani.

KKN dan sejenisnya juga merupakan bentuk lain dari teror bom di Bali dan sebentuk kekerasan lain yang sangat halus karena menyerobot/merampas hak orang lain yang bukan milik kita. Juga memutus rantai rahmat yang diberikan Tuhan YME kepada sesama kita melalui kekuasaan yang kita miliki?

Bukankah kekuasaan yang ada ditangan kita adalah amanah dari Sang Maha Murah? Mengapa kita menjadi serakah dan buta hati untuk mengambil hak orang lain maupun memeras orang lain yang tak berdaya karena kebetulan kita diberi sedikit kekuasaan yang bukan milik kita karena sebenarnya merupakan mandat dari rakyat yang setiap sata dapat dicabut? Bukankah memperdagangkan/membisniskan kekuasaan yang kita miliki, berarti mengkhianati pengabdian kita yang tulus kepada sesama kita?

Marilah kita bangun raga kita ini dengan jiwa yang bersih dan jauh dari kepura-puraan serta melepas topeng yang tidak perlu kita kenakan. Janganlah kita menjadi bangsa pendosa yang terkutuk karena tidak mampu memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita untuk bertobat sejati. Atau kita menjadi bangsa munafik yang seolah-olah sangat religius tetapi sebenarnya sangat jauh dari sumber kehidupan itu semdiri yakni Sang Pencipta?

Bagaimana kita harus menerangkan kepada komunitas dari bangsa lain yang melihat kesemarakan kehidupan beragama di Indonesia yang tinggi yang ditandai dengan siaran acara televisi berupa mimbar agama dari semua agama, sinetron yang berbau religi , namun disisi lain KKN jalan terus bahkan masuk ke kalangan DPR yang nota bene wakil rakyat dan juga yudikatif ?Atau kita termasuk golongan bangsa TOMAT (Tobat namun kemudian kumat) untuk selalu menipu Tuhan dengan retorika dan segala puja puji yang penuh kepura-puraan ? Bagaimana kita mengaku sangat toleran satu dengan yang lain, sementara beberapa tempat ibadah mengalami pembakaran, dirusak, bahkan dilakukan pengeboman?

Bagaimana sila kedua Pancasila menegaskan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sementara orang-orang pinggiran terus digusur tanpa alternatif jalan keluar yang lebih baik? Merampas hak hidup berupa pekerjaan di sektor non formal melalui penggusuran paksa hanya karena melanggar aturan PERDA namun tanpa solusi adalah sebentuk pembunuhan keji secara perlahan dan menghilangkan harapan hidup seseorang beserta keluarga yang ditanggungnya.

Bagaimana kita mengaku beradab, sementara di beberapa tempat, orang dapat saling membinasakan seperti layaknya anjing hanya karena adanya perbedaan SARA? Jangan kita terjebak dalam romantisme sempit sentimen keagamaan maupun kesukuan yang membuat kita kerdil dan buta hati, dimana kita seolah-olah Sembahyang Terus, namun Mencuri/Maksiat tetap Jalan (STMJ)

Natal lahirkan kesadaran baru”

Natal, dalam artian kelahiran seharusnya mampu juga melahirkan sikap dan kesadaran baru yang berbeda dari sikap lama. Apabila sebelumnya kita gemar ber KKN ria maka semangat NATAL seharusnya mampu mengubah menjadikan diri kita lebih mencintai kejujuran dan solider dengan rakyat kecil yang menderita.

Kalau sebelumnya kita lebih mementingkan diri kita dan keluarga saja, NATAL kali ini seharusanya mampu memperluas perhatian kita untuk kepentingan yang lebih luas yakni kepentingan umu/publik.

Sebagai pegawai negeri yang tak lain pelayan publik, misalnya, bagaimana layanan publik menjadi lebih baik dan manusiawi. Tantangan bagi dinas-dinas pemerintah setelah Natal, yakni di awal 2008 tidak kalah dalam kualitas pelayanannya dibanding BUMN seperti Bank BUMN, Telkomsel, dan lembaga lain yang sejenis maupun dengan sektor privat seperti kantor Telkomsel, Indosat, dll.

Kita dapat merasakan bagaimana sektor privat melayani warga sebagai pelanggan dengan penuh kesungguhan, sikap yang sangat ramah, ruangan yang bersih dan ber AC antrian yang tertib dan tempat duduk yang nyaman, Alangkah indahnya jika hal yang sama juga dapat dinikmati ketika kita masuk kantor dinas-dinas pemerintah dimana rakyat diperlakukan seperti halnya pelanggan (customer).

NATAL seharusnya mampu menggugah kesadaran kita akan arti pentingnya sikap kesederhanaan” seperti yang diteladankan Yesus sendiri. Kita kurangi kebisaaan hidup penuh foya-foya dan boros digantikan dengan sikap hidup hemat dan berinvestasi”

Kita hentikan kebiasaan ketergantungan pada alkohol dan narkoba, mabuk-mabukan, pesta berlebihan. Termasuk juga kebiasaan merokok yang seolah tak merugikan, namun sebenarnya juga berbahaya karena dapat mengakibatkan sakit jantung, impotensi, kelainan pada janin dan membahayakan orang lain.

NATAL sebaiknya mampu meningkatkan kesadaran arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Natal yang kebetulan selalu jatuh pada musim hujan dapat jadi momentum untuk melahirkan kebiasaan baru untuk menanam dan memelihara tanaman yang mampu menghijaukan dan menyejukkan lingkungan kita, terutama lahan tidur, lahan kritis, dan lahan di sekitar kita yang belum termanfaatkan. Kebiasaan menumbuhkan tanaman juga mampu membersihkan polusi udara, mengurangi rasa stres, menjadikan alam sebagai sahabat, memberi tempat bagi kehidupan yang layak bagi burung dan satwa lainnya.

NATAL dapat dijadikan sebagai awal untuk lebih meningkatkan sikap hidup bersih (termasuk jiwa kita), membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjadikan ruang publik seperti pasar tradisional , rumah sakit umum, sekolah dll menjadi lebih bersih, tertib, teratur dan enak dipandang.

Mari kita bulatkan tekad untuk kedepan, melalui Natal tahun ini kita mampu lahir kembali sebagai bangsa yang besar dalam mewujudkan nilai luhur religiositas, meninggalkan kebiasaan dosa berupa KKN, politik uang, perjudian, mabuk, kekerasan dalam segala bentuknya , mampu meningkatkan pelayanan publik dengan standar yang lebih baik, mewujudkan kasih dalam perbuatan nyata sehari-hari diseputar tempat kerja, lingkungan keluarga kita, tetangga dll.

Kita jangan terjebak dalam pesta pora yang mengenyangkan perut semata, memuja kemewahan dalam konsumsi pakaian, pohon natal dan gemerlapnya lampu dan hiasan Natal maupun terperangkap dalam Sinterklas Kapitalis’, namun mampu menggali arti kesahajaan, pengorbanan untuk mampu mengantar kelahiran anak manusia’ oleh seorang gadis desa yang lugu bernama Maria, perwujudan rasa tanggung jawab dan kebapakan dari Yosep, dan yang paling penting adalah bagaimana Allah Bapa menyambung kembali tawaran keselamatan melalui kelahiran PutraNya Yesus ke dunia. Mari kita wujudkan Natal yang penuh kasih dan damai, tidak dengan ucapan maupun jabat tangan semata, melainkan dalam aksi nyata dan praksis kehidupan keseharian kita.

Membagi kasih tanpa merasa berbuat lebih, mendorong terciptanya kedamaian tanpa kekerasan, menyongsong tahun baru 2008 dengan semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus demi peningkatan harkat dan martabat sesama.

Kita wujudkan Indonesia Baru dengan habitus baru yang berwajah humanis manusiawi dalam tatanan negara yang modern dan demokratis, menjunjung harkat dan martabat manusia melalui penghargaan terhadap HAM. Semoga.(*)

Saturday, December 8, 2007

Bas Wie, Kisah Hidup‘The Kupang Kid’

Bas Wie telah menjadi legenda. Kisah bocah 12 tahun yang terbang dari Kupang ke Darwin dengan duduk di bagian roda pesawat (wheel compartment) milik tentara Belanda di tahun 1946 telah menjadi bagian dari ingatan abadi orang Australia dan mendunia. Ia akan selalu dikenang, dengan aksi beraninya, bergantung di bagian roda pesawat selama 3 jam. Itu lah sebabnya sebutan ‘Kupang Kid’ hanya akan menjadi milik Bas seorang.

Koki kecil di Penfui ini menjadi saksi akhir Perang Dunia Kedua. Kupang, dan daerah Timor secara keseluruhan kala itu menjadi medan pedang Australia dan Jepang. Pulau Timor menjadi buffer zone bagi tentara Australia, yang memilih menghadang Jepang di Timor sebelum tentara matahari terbit sempat bergerak menuju daratan Australia. Perang telah memisahkan ia dari keluarga besarnya.

Kisah koki kecil pemberani

Bas Wie, anak yatim piatu, bekerja sebagai koki di bandara. Setelah Jepang kalah perang. Ia hanya ingin naik pesawat dan pergi. “Saat itu, karena masih kecil, sungguh beta sonde tau kalau ada negeri lain di luar sana,” kata Bas jujur di usianya yang sudah melewati kepala tujuh.

Saat itu Bas menyelinap, dan mencoba mencari pintu pesawat, tetapi semuanya terkunci. Hanya bagian roda lah yang kosong. Ia pun hinggap di situ.

Saat pesawat meninggalkan landasan pacu di Penfui, baru lah garis hidup atau mati menjadi begitu dekat dengan Bas. Tarikan balik roda pesawat, saat pesawat lepas landas membuatnya kembali panik. Ia nyaris remuk dimakan roda pesawat DC-3. Bas pun bergeser mencari posisi aman yang paling mungkin. Ia pun meringkuk di bagian pesawat yang dalamnya sekita 20 centimeter, dan tingginya sekitar 51 centimeter. Atau tepat diantara tengki minyak dan pipa pembuangan. Di tempat itu panas dan dingin menjadi satu. Selama tiga jam ia bertahan di sana.

Langit sudah gelap, saat pesawat DC-3 mendarat di markas RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin. “Saat saya menyalakan senter, dan sorot ke atas, ada tubuh seorang bocah di sana. Ia sudah tidak sadarkan diri lagi, setengah tubuhnya terbakar parah, dan di sisi tubuh yang lain membeku,” tutur Jim Fleming, pensiunan air vice-marshal RAAF. Saat itu Jim memang yang bertugas untuk memeriksa pesawat DC-3 milik angkatan udara Belanda yang bermalam di sana.

“Kedua bola matanya berputar, dan yang tampak hanya dua bola mata putih, saat itu kami berpikir bocah ini sudah mati,” kata Jim mengenang kejadian malam itu. Meskipun ia terluka parah di bagian perut, Bas bisa diselamatkan. Hingga hari ini Jim yang akrab dengan sekian jenis pesawat, masih tak percaya bahwa Bas bisa bertahan hidup. Ia pulih setelah dirawat di Australia Utara selama tiga bulan.

Terancam dideportasi

Setelah dinyatakan sembuh, Bas oleh pemerintah setempat hendak dikirim pulang ke Kupang. Menteri urusan Imigrasi kala itu, Arthur Caldwell, beteriak kencang untuk memulangkan Bas, namun keputusannya dihujani protes luar biasa oleh warga Darwin. Masyarakat Darwin, menggangap anak kecil dengan keberanian semacam itu, tak patut dideportasi. Akhirnya Bas Wie pun ditampung dan menjadi tanggungan Negara. Tetapi setiap tahunnya Bas harus memperbarui ijin tinggal di sana. Kebijakan rasial itu memang belum lah dihapus. Untuk itu Bas setiap tahunnya memang harus menghitung apakah akan tetap tinggal atau dideportasi.

Keputusan final baru ada pada tahun 1958 Bas resmi menjadi warga Negara Australia. Penetapan ini memang melengkapi kebahagiaannya, sebab pada Bulan Desember tahun sebelumnya (1957), Bas telah menyunting nona manis dari Perth. Di usia 24 tahun, Bas Wie ‘anak Kupang’ menikah dengan Margaret.

Pertemuan keduanya, menurut Margaret atau kini dikenal sebagai Mrs.Wie sangat berkesan. Saat bertemu pertama kali Margaret baru berusia 15 tahun, dan baru mulai bekerja sebagai junior draftswoman, sedangkan Bas Wie bekerja sebagai internal mail officer di Departemen Pekerjaan dan Perumahan.

“Saat itu ia datang ke meja saya sambil membawa surat, personal delivery,” kata Margaret mengenang dan ia kemudian melanjutkan, “menurut saya, itu memang cinta dalam pandangan pertama.” Delapan belas bulan kemudian Bas dan Margareth menikah di sebuah gereja kecil tempat Bas kecil bekerja sebagai putra altar (ajuda).

Penggalan kisah hidup Bas Wie mendunia di tahun 1978, saat Bas dan keluarganya diangkat dalam program ‘This Is Your Life’. Kisah hidupnya tak hanya mendunia, tetapi sudah menjadi bahan sejarah museum Australia Utara.

Pulang ke Sabu

Setelah sekian lama tahun merantau, pada tahun 1991 Bas pulang dan bertemu keluarga besarnya di Sabu. Pertemuan yang sangat mengharukan. Bocah 12 tahun ini, sudah setengah abad lebih merantau. Entah apa yang dipikirkan Bas Wie saat kembali ke Sabu saat itu, melihat kekeringan, juga kebersahajaan keluarga besarnya. Suka dan duka adalah satu, sama seperti panas dan dingin yang menjadi satu saat itu meringkuk di roda pesawat.

Bas sendiri sudah tidak bisa berbahasa Sabu lagi, dan jarang kontak dengan keluarga besarnya. Menurut Bas keluarga besarnya memang susah, tapi mereka bahagia. Hingga kini ia masih menyimpan foto keluarganya, menurut Margaret kemampuan mengingat jangka pendek Bas sudah menurun, namun ingatannya untuk peristiwa lampau masih lah kuat.

Minggu ini, minggu kedua Bulan Desember 2007, Opa Bas dan Oma Margaret merayakan 50 tahun pernikahan mereka. Keduanya dikaruniai lima orang anak dan tujuh cucu. Dari Kupang, anak-anak Kupang yang lain hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Pernikahan Opa dan Oma. Kisah hidup Opa Bas adalah kisah yang luar biasa, nyaris seperti dongeng.

(Bram, bahan diolah dari Time/ntnews.com/ABC/)

Tuesday, December 4, 2007

Di Kupang, Serangan Jantung Diminta Pulang

KUPANG, Kabar NTT--Ada-ada saja kejadian di Rumah Sakit Umum(RSU) Prof.Dr.WZ.Johannes Kupang. Meskipun baru saja terkena serangan jantung, pasien disuruh pulang. Kasus ini terjadi Jumat malam lalu(30/11), terhadap seorang Ibu. Karena keterbatasan ruangan pasien diminta pulang, karena tidak ada ruangan Intensive Care Unit (ICU). Keesokan paginya sang Ibu kembali harus dilarikan ke RSU karena mendapatkan serangan jantung.

“Awiiiii, org kena serangan jantung dan langsung suruh pulang tu beta baru pertama kali seumur hidup dengar, seharusnya ada waktu yg cukup tuk observasi dolu,” kata Fel setengah tak percaya bahwa kejadian ini memang benar terjadi terhadap Ibunya.

Nanti Tuhan Tolong

Hingga hari ini sang Ibu masih terbaring di RSU karena kondisinya tidak memungkinkan untuk dievakuasi ke RS yang peralatannya lebih komplit. Komplit atau lengkap di sini artinya harus di-terbangkan ke Bali atau Jawa. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pasien dari keluarga yang mampu, sedangkan yang masuk dalam golongan asli NTT (Nanti Tuhan Tolong), hanya bisa berbaring tak berdaya.

“Kalo kena pi yg sonde mampu kasarnya, apa katong kastenga ko lewat sa"su ko? Sonde heran kalo masih ada anggapan yg sering kita dengar seperti contoh bila ada yg meninggal mendadak, diyakini oleh pihak keluarga yang ditinggalkan bahwa itu meninggal karna ‘orang bikin’... padahal, mungkin saja meninggal karna serangan jantung (Hidden Death),” tutur Fel yang masih menyesalkan kenapa fasilitas kesehatan di Kota Kupang belum juga dibenahi.

Tingginya penderita jantung di Kupang, menurut Fel disebabkan oleh pola makan yang tidak mempertimbangkan komposisi makanan sehat. “Nah, beta pikir, dengan pola makan katong org Kupang yg cenderung sonde bisa telan nasi kalo sonde ada itu daging (sapi maupun fafi), minus sayuran dan buah-buahan, tambah lai dengan hobi minum laru, resiko kena penyakit jantung itu cukup tinggi,” kata Fel dengan yakin.

RSU Dadolek (kamomos)

Fasilitas kesehatan di Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT ini memang amat memprihatinkan. Indikasinya ada beberapa. Rumah sakit ini selain terkenal jorok (kamomos), fasilitas kesehatannya pun sangat minim. Hingga saat ini alat pacu jantung di Rumah Sakit ini rusak. Kenyataan ini sudah berulang kali dibeberkan oleh dr.Frank Touw dan sejumlah dokter lain yang dengan mudah dipindahkan karena bersikap vocal karena ‘kaget’ terhadap suasana di RSU.

Tak hanya alat pacu jantung, CT Scan pun jangan harap bisa ditemukan di sini. “Tolong do ko bapak-bapak di atas lebe memperhatikan sarana maupun prasarana medis yang ada di Kupang do,” harap Fel yang khusus berharap terhadap kasus yang menimpa Ibunya.

Kondisi pelayanan kesehatan di Kupang sebenarnya sudah amat parah. Para dokter tak mampu keluar dari kepungan para birokrat maupun mafia ‘pengadaan barang’. Akibatnya, upaya renovasi terjebak dalam perebutan proyek, dan pengadaan barang obat-obatan maupun alat kesehatan selalu saja lengket dengan ‘mark up’ alias penggelembungan harga. Di NTT , baru Kabupaten Sumba Timur, dengan Bupatinya Mehang Kunda, yang berani memotong jalur pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan.

Tak hanya itu, para dokter praktek di Kupang pun saat ini sudah ‘lengket’ ditempeli para agen penjualan obat. Umumnya para agen marketing perusahaan obat berlomba memasarkan obat-obatan untuk dipakai sang dokter. Sehingga tak jarang, pasien yang mengeluh karena obat yang diberikan sangat keras, alias jauh dari kebutuhan, hanya untuk memenuhi target penjualan.

Belajar dari kondisi ini Pemda NTT yang didukung Pemkab di NTT bekerja sama dengan satu-satunya Universitas Negeri di Provinsi ini untuk mendirikan Fakultas Kedokteran. Besar harapan bahwa para dokter semakin banyak dan pelayanan kesehatan pun semakin bisa menjangkau banyak kalangan dengan semangat pelayanan.

Kenyataannya saat ini, NTT masih sangat bergantung pada dokter PTT yang umumnya segera kembali ke daerah asal setelah selesai PTT. Umumnya para dokter baru ini pun juga berjuang keras untuk segera balik modal untuk ongkos pendidikan dokter yang memang mahal. Dengan kenyataan ini NTT pantas untuk khawatir.

Jika dalam lima tahun ini tidak ada pembaruan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan maka bisa dipastikan NTT telah sangat ketinggalan, bahkan akan tertinggal jauh dari saudaranya di Timor Leste. Saat ini tak kurang dari 500 dokter asal Timor Leste sedang belajar di Kuba. Dengan tambahan 500 dokter wajah pelayanan kesehatan di sana akan berubah jauh. Cepat atau lambat, Timor Leste akan menjadi pembanding baru oleh NTT (Bram)

Sunday, December 2, 2007

Kota Kupang Luncurkan Website

KUPANG, Kabar NTT-Pemerintah Kota Kupang di awal Bulan Desember 2007 ini memberikan sebuah gebrakan baru, menghadirkan Kota Kupang di dunia maya. Dalam komentar di halaman awal Kota Kupang (http://kotakupang.com/) Daniel Adoe, walikota terpilih dalam Pilkada tahun ini menyatakan sebagai pimpinan eksekutif ia merasa mustahil dapat membangun Kota ini tanpa kerjasama berbagai pihak.

"Kami berharap bahwa Website ini akan menjadi sebuah media komunikasi antara kita. Media ini akan memungkinkan pemerintah bertegur sapa dengan rakyatnya, khususnya rakyat Kota Kupang atau setiap elemen yang peduli dengan keberlangsungan pembangunan di Kota Kupang," ujar Dan Adoe.

Sekedar catatan duet Duo Dan: Dan Adoe dan Dan Hurek, Walikota dan Wakil Walikota terpilih dalam Pilkada Kota Kupang yang penuh dengan drama emosional ini, berhasil menjadi pemenang dengan jumlah pemilih: 40.504. Disusul saingan terdekat, Jefri Riwukoreh-John Dae: 32.801, disusul Al Foenay-Andreas Agas: 32.601 suara. Sedangkan Yonas Salean-Alex Ena yang diprediksi menjadi rival utama hanya mendapat: 24.596 suara.

Pilkada dengan sistem langsung, tanpa perwakilan, yang baru pertama kali dijalankan Kota Kupang ini benar-benar menguras emosi, pikiran dan uang. Drama Pilkada ini ramai menjadi headline sejumlah surat kabar lokal. Berapa banyak tali persahabatan patah selama Pilkada? Berapa banyak orang yang stress karena tak berhasil meloloskan jagonya, dan berapa banyak uang yang habis untuk kampanye? Mudah-mudahan lewat web site ini hasil nyata Drama Pilkada Kota Kupang dapat diberitakan.

Arti penting website ini tak hanya menjadi barang baru untuk Warga Kota Kupang, tetapi web site ini juga menjadi cara baru bagi warga Kota Kupang untuk menyampaikan saran, pandangan, dukung dan kritik untuk lebih memajukan Kota Kupang. Kita menunggu apakah web Kota Kupang ini dikelola biasa-biasa saja, seperti web pemda di berbagai kota, kabupaten, dan provinsi di Indonesia atau kah website menjadi cara baru untuk lebih mendekatkan para aktivis di Pemda Kota Kupang untuk lebih terbuka dan lebih merakyat dalam menjalankan roda pemerintahan.

Apa pun itu terobosan Duo Dan perlu dimaksimalkan, agar dukungan masyarakat saat Pilkada tidak sia-sia. Mudah-mudahan pemimpin yang merakyat dan paham kesulitan masyarakat kecil, menengah, dan atas dari berbagai unsur masyarakat Kota Kupang merupakan karakter Duo Dan. Jadi kalau ada yang nyong deng nona rasa kurang pas tentang Kota Kupang na, tolong bilang do, supaya itu web site ada guna ju. (Bram)

KORUPSI: Sebab dan Akibat


Oleh. Paul SinlaEloE*)

Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan oleh kebanyakan pakar diyakini usianya setua dengan peradaban masyarakat. Sejarawan Onghokham (1983) menyebutkan korupsi telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok. Secara lebih konkrit, Eep Saefulloh Fatah (1998), menegaskan bahwa di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun 1200 SM, telah ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi.

Korupsi secara leksikal adalah istilah dari bahasa latin, yakni “Corruptio/Corruptus” yang berari kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 1984). Istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto, 1986).

Istilah korupsi ini kemudian oleh para ahli dirumuskan definisinya sesuai dengan latar

belakang dari dari yang merumuskan definisi tersebut. Walaupun sekarang ditemui banyak definisi korupsi yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Dalam definisi yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. (Waterbury, 1994). Sedangkan untuk pengertian yang lebih dipersempit, Eep Saefulloh Fatah (1998), mendefinisikan korupsi sebagi penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga atau klik, melampaui batas-batas yang dibuat oleh hukum.

Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, Mochtar Mas’oed (1994) berpendapat bahwa tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah.

Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.

Dari pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, Adji (1996) berpendapat bahwa pengertian korupsi seharusnya tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.

Di Indonesia, korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. (KBBI, 1995). Secara yuridis, sebagimana yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah korupsi dipersempit artinya menjadi: “Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Dalam perkembangannya, korupsi telah menjadi wabah penyakit yang menyerang setiap negara di dunia. Korupsi kini sudah menjadi ancaman serius yang membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan sudah seharusnya tindakan korupsi digolongkan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. (Romli Atmasasmita, 2001). Sarah Lery Mboeik (2004), berpendapat bahwa tindakan korupsi telah berakibat pada disharmoni dan disintegrasi bangsa, baik berdasarkan kelompok/golongan atau berdasarkanetnis dan semakin lebarnya jurang perbedaan sosial-ekonomi antara pelbagai lapisan masyarakat. Akibat lain yang ditimbulkan dari suatu tindak korupsi adalah ketidakstabilan pemerintahan, terjadinya revolusi sosial dan menimbulkan ketimpangan sosial budaya (J. S. Nye, 1967).

Menurut M. Mc Mullan (1961), tindak korupsi juga dapat berakibat pada tidak efisiennya pelayanan pemerintah, kepada masyarakat, ketidak adilan dalam kehidupan bernegara, terjadinya pemborosan sumber-sumber kekayaan negara, rakyat tidak mempercayai pemerintah dan terjadinya ketidakstabilan politik. Sedangkan menurt mantan Wapres Amerika Serikat, Al Gore (1999), korupsi merupakan sumber penyebab runtuhnya suatu rezim.

Pada konteks Indonesia, S. Anawary (2005), berpendapat bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana menggerogoti batang tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Gadrida Rosdiana Djukana (2007), tindak korupsi di Indonesia juga telah mengakibatkan tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil, parahnya angka kekerasan terhadap perempuan, melonjaknya angka putus sekolah, meningkatnya pengidap gizi buruk dan merebaknya persoalan kriminalitas.

Dampak atau akibat dari tindak korupsi ini, juga digambarkan secara baik oleh Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003), dalam 3 (tiga) kategori, yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya. Secara politik, tindakan korupsi juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara, Karena: Pertama, prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh para koruptor. Ketiga, posisi pejabat dalam struktur pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal ini disebabkan karena proses penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih dipengaruhi oleh politik uang (Money Politic) dan kedekatan hubugan (Patront Client), ketiga, Proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga proses pembangunan berkelanjutan terhambat.

Sedangkan dampak korupsi dari aspek sosial diantaranya: Pertama, Pada tingkat yang sudah sangat sistematis, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran (Fairness). Hal ini disebabkan karena semua persoalan diyakini bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua, Korupsi mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan hukum untuk mencapai segala keinginannya.

Dari aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat. Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat. Kedua, Harga barang menjadi lebih mahal. Hal ini disebabkan karena perusahaaan harus membayar “UPETI” atau “BIAYA SILUMAN“ sejak masa perijinan sampai produksi. Khusus untuk biaya siluman, biasanya dapat mencapai 20%-30% dari total biaya operasional perusahaan. Tingginya biaya siluman ini otomatis akan menurunkan tingkat keuntungan usaha dari para pemilik modal/pengusaha. Agar para pemilik modal/pengusaha tetap memperoleh banyak keuntungan dalam usahanya, biasanya mereka menekan upah buruh. Ketiga, Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi dan politik. Realitas seperti ini mebabkan sektor usaha yang berkembang hanya di sektor elite, sementara sektor ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang. Keempat, Produk petani tidak mampu bersaing. Tingginya biaya siluman juga mengakibatkan harga-harga faktor produksi pertanian (Pupuk, Pestisida, Alat Mekanik, dll) sangat mahal. Akibatnya harga-harga produk petani juga meningkat, sehingga tidak mampu meraih keuntungan karena kalah bersaing dengan produk impor.

Keseluruhan dampak dari tindakan korupsi yang telah dipaparkan diatas, dalam ilmu kriminologi, dipastikan dapat terjadi karena dua hal, yakni: Pertama, adanya niat (Intention). Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb. Kedua, adanya kesempatan (Moment). Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll. Dengan pemahaman seperti ini, maka dari aspek kriminologi korupsi akan terjadi sesuai dengan rumus sebagai berikut: C=I+M (Ket: C=Corruption/Korupsi, I=Intention/Niat, M=Moment/Kesempatan). Rumus yang demikian pada dasarnya menunjukan bahwa apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika kesempatan untuk melakukan korupsi itu ada/terbuka lebar tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga tak akan terjadi.

Berkaitan dengan itu, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi, M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan, D=Discreation/Kewenangan, A=Accountability/pertanggungjawaban). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.

Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: Pertma, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.

Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca : Para Pemegang Kebijakan).

*) Staff Div. Anti Korupsi PIAR NTT.

Friday, November 30, 2007

Kepedulian dan kontribusi warga menjaga kelestarian lingkungannya

Di negeri kita Indonesia, begitu banyak orang yang mengetahui perlunya menjaga kelestarian lingkungan, namun sayangnya kebanyakan masih dalam taraf pengetahuan saja dan belum menjadi pemahaman bersama yang diikuti dengan tindakan nyata berupa gerakan bersama melestarikan lingkungan.

Kita dapat melihat dalam hidup keseharian, betapa banyak hal-hal yang sederhana yang seharusnya dapat dilakukan masyarakat, namun tetap saja tidak dilakukan sebagai sikap keseharian.

Bahkan terkait dengan hidup berbangsa dan bernegara , berbagai UU terkait lingkungan hidup telah mengatur terkait kelestarian lingkungan.

Salah satunya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 6 Ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup."



Kebersihan adalah sebagian dari iman


Dibeberapa tempat antara lain seperti di terminal bus tertempel tulisan yang sangat menarik yang berbunyi “Kebersihan adalah sebagian dari iman”

Kita diajak sekaligus ditantang untuk membuktikan kalau kita benar-benar mengaku sebagai orang yang beriman, maka sudah selayaknya perilaku dan sikap kita memberikan kontribusi yang positip terhadap terjaganya dan meningkatnya derajat kebersihan di lingkungan kita.


Tidak usah jauh-jauh, mari kita mulai bertindak dari “menjaga kebersihan disekitar kita”.

Sebagian besar warga mengetahui bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang tidak terpuji dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan. Namun kalau kita amati, berapa persen dari para perokok yang membuang putung rokok di tempat sampah ? Bahkan dikawasan elit seperti bandara masih banyak para perokok yang dengan entengnya membuang putung meski tampilan fisiknya perlente dan intelek. Belum lagi kebiasaan untuk mentaati larangan merokok di area publik. Sering terlihat begitu tidak sopan dan cueknya para perokok mengepulkan asapnya tanpa merasa bersalah mekipun keberadaan seseorang yang ada disampingnya sangat merasa terganggu dengan kepulan asap rokoknya. Apalagi bagi mereka yang tidak merokok, apabila menghisap asap rokok atau yang dikenal dengan perokok pasip akan menanggung resiko yang lebih besar dibanding perokok itu sendiri. Artinya kalau warga bangsa ini sadar begitu banyak aspek negatip dari kebiasaan merokok baik terkait kesehatan badan, kesehatan ekonominya, kebersihan lokasi dan udara, maka sudah selayaknya kampanye anti rokok didukung oleh sebagian besar warga.


Dikalangan yang lebih elit seperti di bandara El Tari, tampak betapa kebersihan bagian luar kurang terjaga, baik ditempat parkir kendaraan maupun di ruang tunggu luar. Memang ruang tunggu keberangkatan relatip bersih, namun bagian luar kurang diperhatikan. Kebersihan di toilet juga masih menyisakan bau aroma yang tak sedap karena kran air yang macet dll.


Pengalaman ketika transit di bandara Juanda Surabaya, terlihat betapa cueknya sebagian besar penumpang dalam menjaga kebersihan bandara, Terlihat beberapa penumpang meninggalkan begitu saja sampah-sampah di kursi tanpa mau membuang ditempat sampah meski keberadaan tempat sampah hanya berada disampingnya. Mereka tidak peduli pada kebersihan dan tidak menghargai jerih payah para petugas kebersihan yang dengan sekuat tenaga menjaga tingkat kebersihan bandara yang bertaraf intenasional.


Menjadi pertanyaan yang menarik, sebenarnya tindakan para pelaku buang sampah sembarangan ini karena ketidaktahuan atau karena memang tidak mau tahu alias bebal ?


Kita juga dapat melihat terkait permasalahan banjir yang kita semua tahu salah satu penyebabnya adalah banyaknya warga yang membuang sampah sembarangan sehingga menyumbat atau mengurangi kapasitas saluran darinase/pembuangan dan juga mendangkalkan daerah tampungan air. Namun kegiatan buang sampah sembarangan tidak semakin menurun, terbukti masih terus beroperasinya alat pengeruk sampah di sungai maupun di daerah tampungan air dan pengerukan setiap tahun pada saluran pembuangan.


Belum lagi apabila dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan karena adanya tumpukan sampah yang dapat menyebabkan bau yang tidak sedap, munculnya wabah berbagai penyakit dll.


Pertanyaannya, apa yang salah dengan masyarakat kita yang meski sudah tahu akibat buruk dari aktivitas membuang sampah sembarangan namun tetap saja melakukannya ?”



Pembelajaran dari usia dini dan dari keteladanan


Memang masalah menanamkan sikap kepedulian terhadap kelestarian lingkungan bukan hal yang mudah namun bisa dilakukan.

Yang pertama dilakukan adalah kesadaran dari diri kita sebagai bagian dari ekosistem untuk menjaga keseimbangan ekosistem dunia yang kita huni. Kita harus memulai dari sekarang juga, dari diri kita sendiri tanpa harus menunggu saat yang tepat untuk melakukannya. Yang paling mudah adalah menanamkan keadaran dalam diri kita sendiri bahwa perilaku membuang sampah sembarangan bukan hanya permasalahan melanggar hukum manusia tetapi juga melanggar dari aturan norma moral karena selain membuat lingkungan menjadi tidak indah dan nyaman, juga membahayakan bagi sesama lainnya, menimbulkan pencemaran baik di air, darat maupun udara yang dapat menyebabkan turunnya kualitas kehidupan manusia maupun hewan lainnya.Kita hanya diingatkan oleh diri kita sendiri untuk menyimpan dulu dan bertahan untuk tidak membuang dulu sampah sembarangan apabila belum ditemukan tempat sampah yang disediakan.


Pengalaman ketika naik kapal di laut, begitu mudah para penumpang, bahkan juga ABK membuang sampah ke laut, seolah-olah tidak akan terjadi dampak negatip, padahal kita tahu dampak negatip sampah plastik yang dapat merusak binatang laut berupa terumbu karang yang berfungsi dalam mengatur keseimbangn ekosistem laut. Banyak diantara kita masih menganggap bahwa laut adalah “tempat buangan sampah yang sangat luas” yang dengan seenaknya kita bisa membuang sampah tanpa perlu merasa bersalah.


Demikian pula dengan keberadaan sungai yang seperti halnya laut , masih dianggap sebagai tempat buangan sampah yang “meluas dan memanjang”. Bahkan yang lebih mengenaskan, masih banyak pemilik pabrik disepanjang sungai yang mengambil jalan pintas membuang limbah berbahaya ke sungai hanya demi pertimbangan efisiensi biaya semata karena tidak perlu mengolah limbah, tanpa mau berpikir panjang bahwa tindakannya akan sangat membahayakan warga disepanjang sungai yang memanfaatkan air sungai, padahal mereka tahu fungsi sungai salah satunya adalah menyediakan bahan baku untuk air bersih dan juga dapat digunakan sebagai jalur transportasi. Kita masih ingat pelaksanaan PROKASIH (Program Kali Bersih) yang pernah dicanangkan pemerintah dijaman ORBA salah satunya di Kali Ciliwung ternyata tidak berkelanjutan karena tidak didukung dan menjadi bersama gerakan warga Jakarta dan sekitarnya yang dilewati Kali Ciliwung.

.


Kebiasaan membibitkan dan menumbuhkan tanam


Sejak usia dini sebaiknya anak-anak kita sudah dikenalkan dengan lingkungan, diajak mengamati dan meneliti alam, mengenal lebih dekat dengan alam ciptaan TUHAN.

Kecintaan terhadap alam harus terus ditumbuhkan dengan jalan memelihara tanaman, membibitkan berbagai tumbuhan dan tanaman, menanam dan menumbuhkannya sehingga mempunyai fungsi yang positip dalam menunjang keberadaan bumi yang kita tumpangi. Pendidikan diusia dini seperti PAUD, TK, SD, SMP sudah selayaknya mengajarkan betapa pentingnya berperilaku positip dan berkontribusi dalam ikut serta melestarikan alam melalui tindakan keseharian yang gampang semisal membuang sampah ditempatnya, menghijaukan lingkungan sekolah dll. Kebiasaan Romo Mangun yang selalu melempar biji apa saja untuk supaya tumbuh merupakan bukti kecintaan beliau pada lingkungan. Tidak perlu kita muluk-muluk menanam sampai ribuan pohon, namun apabila sebagian besar warga negara sadar bahwa kecintaan kepada bumi pertiwi diwujudkan salah satunya melalui menumbuhkan tanaman dan menjadikannya sebagai sebuah gerakan bersama, maka alam Indonesia dipastikan akan lebih hijau, teduh, sejuk , segar dan nyaman. Dengan kondisi demikian pasti derajat kesehatan masyarakat juga akan semakin meningkat seiring meningkatnya kualitas alam yang mendukungnya.


Kebisaaan memberi kado berupa tanaman


Kebiasaan baru sebaiknya ditumbuhkan di masyarakat dalam rangka lebih menghijaukan bumi sekaligus berkontribusi secara nyata dan bukan hanya wacana, dalam mengurangi laju pemanasan global, mengurangi emisi karbon dan menciptakan lingkungan yang lebih sejuk dan nyaman. Kebiasaan memberi kado berupa tanaman perlu disosialisasikan dan menjadi kebanggaan sebagai warga yang peduli pada kelestarian lingkungan.Juga kebisaaan menyatakan rasa sayang dan kecintaan terhadap seseorang dengan memberi setangkai bunga segar akan sangat membantu mendekatkan manusia dengan alam dan memberi lapangan kerja bagi pengrajin bunga segar dan tidak hanya ada di tayangan sinetron.


Peduli tanam pohon


Program “gerakan penanaman sejuta pohon” yang dicanangkan pemerintah ternyata juga hanya sebatas menanam tanpa memonitor kelanjutan hidup tidaknya tanaman, yang terpenting secara seremonial dan secara formalitas sudah dilakukan. Sebenarnya penamaan gerakannya perlu diganti dengan “gerakan menumbuhkan sejuta pohon” sehingga ada tanggung jawab moral untuk terus mengupayakan agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang sehingga mempunyai fungsi dalam melestarikan lingkungan.


Daur ulang (3R; Reduce, Re-use, Re-cycle,)

MENGURANGI (Reduce) ?

Kebiasaan kita warga kota yang sering mengklaim diri sebagai warga modern ternyata justru menjadi produsen sampah terbesar dibanding warga yang tinggal diperdesaan.

Dan harus diingat bahwa alam tidak pernah memproduksi sampah, justru peradaban manusialah yang mengaku dirinya semakin maju yang justru semakin menggila dalam memproduksi sampah. Namun bukannya kita tidak dapat memperbaiki kesalahan, melalui perubahan perilaku yang sangat mudah seperti mengubah kebiasaan memakai kantong plastik dengan tas belanja kain atau lainnya yang dapat dipakai berulangkali, memakai sapu tangan dan mengurangi penggunaan kertas tissue, memakai handuk berulang-ulang ketika di hotel mampu mengurangi pemborosan air dan pencemaran detergent, mengurangi berlangganan majalah dan koran dan menggantikan dengan membaca melalui dunia maya (on-line) sehingga dapat mengurangi penggunaan kertas yang dibuat dari bahan kayu-kayuan, dll.

Pemanfaatan tanaman herbal dalam pengobatan, pemanfaatan pestisida hayati.botani, pemanfaatan pupuk organik, pengurangan pemanfaatan obat nyamuk melalui penggunaan kelambu dan memasang kasa-kasa, meupakan tindakan sederhana namun penuh makna dalam mengurangi pencemaran lingkungan.

Penanaman sayur dan TOGA (tanaman obat keluarga) dan mengkonsumsinya dalam keseharian mampu mengurangi sampah berupa kemasan makanan awetan, selain juga lebih sehat bagi tubuh kita.

MENDAUR ULANG (Recycle) ?

Sebagian besar masyarakat kita masih sering menganggap para pemulung adalah kaum hina dengan strata sosial yang rendah, padahal kalau kita paham arti pentingya sebuah proses daur ulang dalam pelestarian lingkungan maka sudah selayaknya kita mengangkat topi dan memberi penghargaan yang tinggi pada para pemulung atas jasanya ikut serta secara tidak langsung mengurangi pencemaran lingkungan. Sudah seharusnya kita justru bertindak membantu mereka dengan jalan memilah sampah rumah tangga kita menjadi dua bagian yakni sampah organik dan sampah non organik yang masih dapat didaur ulang. Logam, plastik dan serpihan kaca dapat didaur ulang sehingga menghemat sumber daya alam dalam penggunaannya.

MENGGUNAKAN ULANG (Reuse) ?

Apalagi jika telah tumbuh kesadaran untuk mengomposkan sendiri sampah organik yang dihasilkan dari rumah tangga maupun lingkungan sekitarnya dengan menggunakan alat dekomposer dan bahan aktivator mikrobia akan sangat membantu karena mengurangi volume sampah yang harus diangkut ke TPA, juga dapat meningkatkan kesuburan kahan disekitar rumah. Mengelola sampah dengan cara membuang sudah usang dan perlu dicari alternatip yang lebih ramah lingkungan. Pembuangan sampah selain hanya memindahkan masalah juga memboroskan BBM dalam pengangkutannya. Juga pemakaian kertas daur ulang untuk keseharian kita akan sangat membantu dalam pelestarian lingkungan. Pembuatan kerajinan dari bahan daur ulang juga membantu menjaga lingkungan dari pencemaran selain meningkatkan pendapatan.


Sikap hidup hemat (energi, BBM.dll)


Tayangan iklan PLN di televisi tentang kebiasaan perlunya mematikan listrik yang tidak perlu pada jam 17 – 22 , sebenarnya bukan hanya didasari keterbatasan kemampuan PLN dalam memasok listrik pada jam sibuk dan terkuranginya tagihan listrik, namun sebenarnya juga menyadarkan kita arti pentingnya berhemat energi, terutama energi lsitrik yang sebagian juga dihasilkan dari penggunaan BBM dan batubara sebagai sumber energi yang tidak terbarukan. Jangan karena kita mampu membayar listrik sebeberapapun banyaknya lantas kita mentang-mentang alias seenaknya sendiri dalam pemakaian listrik.


Pemanfaatan sarana transportasi yang hemat energi terus dikampanyekan oleh berbagai pihak. Kita masih ingat kampanye yang dilakukan A’a Gym seorang dai kondang dan juga seruan Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono dalam pemakaian sepeda sangatlah luar biasa apabila dapat menjadi gerakan bersama warga kota baik di Jakarta maupun di kota besar lainnya. Manfaat yang dapat dirasakan selain menurunkan besarnya pemakaian BBM yang masih disubsidi negara, mengurangi polusi udara, meningkatkan kebersamaan, meningkatkan derajad kesehatan pengendaranya, juga

mengurangi pengeluaran ongkos transpor yang kalau ditabung dan diinvestasikan dalam bidang yang produktip bisa menjadi sumber pembiayaan keuangan bagi pembangunan bangsa tanpa harus terus berhutang ke Bank Dunia atau negara lainnya. Artinya kita tidak harus membayar bunga ke bangsa lain tetapi kepada rakyatnya yang mampu brhemat dan menabung untuk investasi yang berarti ikut meningkatkan pendapatan masyarakat.Namun pihak pemerintahan kota harus secara adil menyediakan jalur khusus untuk moda transportasi yang tidak bermesin seperti sepeda, becak, andong/ cidomo dll.



Pentingnya penegakan hukum

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran membuang sampah sembarangan dan yang bersifat merusak lingkungan seperti illegal logging mengakibatkan semakin banyak warga yang tidak peduli dengan kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan semakin menggilanya para cukong kayu membabat habis hutan. Tidak ada penindakan sama sekali terhadap “para pembuang sampah sembarangan” dan pelanggar hukum lingkungan lainnya yang notabene seharusnya sudah memahami arti penting kelestarian lingkungan.


Demikian pula lepasnya para pelaku pembalakan liar dalam skala besar dari jeratan hukum dengan berbagai alasan pembenaran “hukum yang tidak benar” semakin membuat rakyat yang berada disekitar daerah pembalakan liar semakin was-was kira-kira bencana apa lagi yang akan meluluhlantakkan dan memporakporandakan kehidupan mereka dan keturunannya ? Apalagi dikaitkan dengan rencana akan diselenggarakannya pertemuan internasional di Bali terkait perubahan iklim global dimana Indonesia sebagai tuan rumah, lalu apa kata dunia ?


Maka menjadi wajar apabila Indonesia dijuluki “negeri seribu satu bencana”, karena perilaku warga kita yang tidak ramah lingkungan dan tidak menjadikan alam sebagai sahabat. Ilegal logging,, tata ruang yang dilanggar karena atas nama bisnis dan pertumbuhan ekonomi, prosedur tetap yang tidak diikuti berakibat pada datangnya banjir bandang, kekeringan dan longsor dimana-mana, juga luapan lumpur di Porong Sidoarjo yang semakin melebar dan tak terkendali .


Tindakan kita yang lebih banyak reaktif daripada proaktif semakin menjadikan kita sebagai sebuah bangsa yang terus dirundung malang karena tidak mau belajar dari pengalaman. Kita masih terus menantang alam dan berusaha menaklukkan, padahal yang dibutuhkan dalam hidup adalah bagaimana kita berdamai dengan alam tanpa menjadi rakus, tamak yang berakibat kita menjadi sengsara karena perilaku kita sendiri.


Masalahnya, kapan kita mau sadar dan bertindak ? Masih perlukah kita mengunggu bencana yang lebih besar dan lebih membinasakan ? Dimanakah peran kita sekecil apapun terhadap kelestarian lingkungan ?



YBT Suryo Kusumo

Pengembang masyarakat perdesaan

tony.suryokusumo@gmail,com