Thursday, December 13, 2007

Yudhono-Rudd Harus Tuntaskan Persoalan Laut Timor

KabarNTT, Kupang – Masalah batas perairan antara Indonesia dan Australia yang mencakup Gugusan Pulau Pasir, Celah Timor dan aktivitas nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor, harus menjadi salah satu agenda utama pertemuan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Australia Kevin Rudd. Ketua Kelompok Kerja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni, mengatakan ini di Kupang, Senin (10/12).

Rencananya, Yudhoyono dan Rudd akan bertemu di sela Pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, yang mulai berlangsung Rabu (12/12).

“Indonesia dan Australia harus mengakui ada masalah serius yang perlu segera diselesaikan pasca lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Tanoni dalam siaran persnya yang dirima KabarNTT, Senin (10/12).

Yang dimaksud Tanoni adalah batas perairan Indonesia-Australia: dari landasan kontinen hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Zona Perikanan, di Laut Timor. Menurutnya, penetapan batas melalui perjanjian 14 Maret 1997 itu tak memperhatikan fakta-fakta geologi, geomorfologi, serta prinsip Hukum Internasional. “Akhirnya yang diuntungkan cuma Australia,” ujarnya.

Secara khusus Kelompok Kerja ini menyayangkan penguasaan Gugusan Pulau Pasir oleh Australia. Padahal, perjanjian Indonesia-Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Timor itu, hingga saat ini belum diratifikasi.

“(Karena belum diratifikasi) Seharusnya perjanjian itu belum berlaku,” ujar Tanoni. Celakanya, menurut dia, Australia dengan dukungan Departemen Luar Negeri RI malah menjadikan itu sebagai alat pembenar untuk memberangus aktivitas nelayan tradisional di Laut Timor.

Memorandum of Understanding antara kedua pemerintah pada 1974, yang sepakat membebaskan nelayan tradisional mencari nafkah pada lima titik di perairan Gugusan Pulau Pasir dan sekitarnya pun, menurut Tanoni, tak banyak gunanya. Soalnya titik-titik yang disepakati itu berada dalam zona 12 mil perairan Australia. Akibatnya, patroli laut Australia leluasa menangkap nelayan Indonesia dengan alasan melanggar batas perairan.

Sudah banyak nelayan Indonesia yang ditangkap. Sepanjang 2007, hingga 28 November lalu, Konsulat RI Darwin mencatat ada 129 nelayan yang menghuni pusat penahanan (detention center) Darwin, Northern Territory. “Jumlah ini akan meningkat menjadi 201 dengan datangnya 72 awak yang beberapa hari ini ditangkap," kata Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar, akhir November lalu. Ketika itu patroli Australia baru saja menangkap lagi delapan kapal nelayan Indonesia.

Tragisnya, kata Tanoni, situasi yang tak menguntungkan itu kini mendorong nelayan Timor untuk melintasi perbatasan guna mencari suaka ekonomi di Australia. Bulan lalu saja, menurut temuan Kelompok Kerja, ada tiga nelayan yang nekad menjual rumah dan berlayar menuju Australia. “Kalau dibiarkan, persoalan perbatasan ini akan menjadi kerikil dalam hubungan Indonesia-Australia ke depan,” ujar Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat. (Redaksi)

No comments: