Sunday, July 29, 2007

Press Release

“The International Conference on Rights of People in Nusa Tenggara Timur, Indonesia in Timor Sea and in Ashmore Reef & Cartier Islands”.

On the 25-27 October 2007, the IAJ-TGAP (International Association of Jurists for Maritime Delimitation in Timor Sea and in the Pacific Rim) will hold an International Conference on Rights of People in Nusa Tenggara Timur, Indonesia in Timor Sea and in Ashmore Reef & Cartier Islands in Denpasar – Bali, Indonesia.

The purpose of the International Conference includes:

  • To identify the Rights of People in Nusa Tenggara Timur, Indonesia in the Timor Sea and in Ashmore Reef & Cartier Islands
  • To reopen and review all Treaties and Agreements made by Government of Indonesia and the Government of Australia concerning Maritime Bondaries in Timor Sea and Ashmore Reef & Cartier Islands
  • To determine the Indonesian Traditional Fishing Rights in Ashmore Reef & Cartier Islands based on International Law and Human Rights
  • To determine the Maritime Boundaries among Indonesia, Australia and Timor Leste in Timor Sea.
  • To establish a cooperation in Timor Sea by concerning parties

The International Conference will be enriched by various experts, scholars and Participants locally and internationally such as:

    • International law scholars both at national and international level.
    • International legal experts from various countries.
    • NGOs, Govermental Agencies, Civil Society Groups
    • Traditional Fishermen from Roti Island

The conference will be held in Bali International Convention Centre, Nusa Dua P.O. Box 36, Nusa Dua 80363 Bali, Indonesia in 25-27 October 2007. Further information can be obtained at IAJ-TGAP by Email: info@iaj-tgap.org or Phone: +31-70-77 99 856.

Signed by:

Ms. Yetty Haning
IAJ-TGAP Coordinator
Den Haag - Nederland

Emas, Lembata & Merukh

Penulis : Siti Maemunah, JATAM - 0811920462

Emas, logam kuning yang sebagian besar digunakan untuk perhiasan. Mendengar kata emas, orang selalu berpikir harganya yang mahal. Jika tambang emas skala besar akan masuk di suatu wilayah, kita lantas membayangkan akan mendapatkan kesejahteraan. Benarkah?

Tak heran jika pembicaraan yang mengemuka ditengah publik kemudian, sebatas cerita infrastruktur yang akan disediakan perusahaan hingga angka bagi hasil buat daerah. Itu pula yang disampaikan Yusuf Merukh, terkait rencana tambang emasnya di Lembata. Tak tanggung-tanggung, Merukh menyatakan akan membangun apartemen untuk menampung warga yang tergusur, termasuk membangun sekolah unggulan mulai dari tingkat TK hingga SMU, menampung anak-anak mereka. Ini lagu lama perusahaan tambang.

Sayangnya, sedikit sekali publik mendapatkan imbangan informasi, apa resikonya jika tanah mereka digali dan diambil emasnya.

Misal informasi bagaimana orang dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah - pontang-panting digusur oleh Aurora Gold, perusahaan tambang emas dari Australia, atau cerita marga Rumpit di Sumatera Selatan yang sungainya tak bisa digunakan, sejak tambang emas Laverton, juga masyarakat adat Kao Malifut yang tergusur hutan adatnya dan perginya ngafi - ikan teri di teluk Kao. Apalagi cerita dua tambang yang dimiliki Yusuf Merukh di Sumbawa dan Minahasa Selatan.

Di Sulawesi Utara, Merukh memiliki 20% saham Newmont Minahasa Raya (NMR). Alih-alih menyediakan apartemen buat warga korban, sejumlah 266 warga Buyat pantai terpaksa pindah - akibat pemukiman mereka tidak sehat lagi. Perusahaan menutup tambangnya pada tahun 2003, mewariskan lebih 4 juta ton limbah tailing di teluk Buyat dan 5 lubang tambang dengan luasan puluhan hektar, kedalaman ratusan meter - yang tak pernah bisa ditutup sampai kapanpun.

Di Nusa Tengara Barat, Merukh juga memiliki saham Newmont Nusa Tenggara (NNT). Hingga saat ini, teluk Senunu di Sumbawa, telah menjadi buangan sekitar 290 juta ton tailing, yang terus bertambah hingga tambang tutup nanti. Warga melaporkan penggusuran lahan, krisis air hingga berkurangnya tangkapan ikan.

Pertanyaannya kemudian, jika emas di Lembata di gali - dengan skala yang sama dan metode yang sama - samakah nasibnya dengan tempat lain diatas ?

Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui apa karakteristik atau ciri pertambangan emas. Sehingga kita bisa membayangkan, bagaimana jika emas di Lembata digali dalam skala besar.

Di tambang PT Freeport di Papua - pemilik setengah cadangan emas Indonesia, untuk mendapat satu gram emas, dibuang 650 kilogram limbah tailing dan 1730 kilogram limbah batuan (overburden). Sementara di Tambang Laverton di Sumatera Selatan, dibutuhkan setidaknya 104 liter air - hanya untuk mengambil satu gram emas dari batuan. Dari dua tambang ini, kita mendapatkan gambaran ciri pertambangan emas.

Pertama, Pertambangan emas membutuhkan lahan sangat luas untuk digali. Semua proyek pertambangan, terutama pertambangan terbuka, memerlukan lahan dalam jumlah luas untuk membangun lobang tambang, pabrik pengolah bijih, fasilitas penunjang seperti pelabuhan dan jalan, serta fasilitas lain seperti perumahan pekerja. Untuk keperluan itu maka terjadi pembukaan hutan, lapis tanah dikupas dan digerus dari permukaan hingga kedalaman tertentu, tata air (hidrourologi) dirombak. Kegiatan ini menyebabkan terganggunya tata air setempat, resiko bencana longsor serta banjir

Biasanya, dengan cara apapun - penduduk akan dipaksa merelakan lahannya untuk ditambang. Hanya dua pilihan yang tersedia, warga menyerahkan lahan dengan ganti rugi sepihak atau tidak dapat apa-apa. Konflik tanah dengan warga sekitar terjadi hampir di semua lokasi tambang, mulai Aceh hingga Papua.

Kedua. Pertambangan emas butuh air dan menghasilkan limbah yang jumahnya luar biasa besar. Hampir 98% batuan yang digali akan dibuang menjadi limbah.

Sedikitnya, ada 3 jenis limbah utama pertambangan emas. Batuan limbah (overburden) adalah batuan permukaan atas yang dikupas untuk mendapatkan batuan bijih atau batuan yang mengandung emas. Selanjutnya ada tailing - bijih emas yang sudah diambil emasnya menggunakan bahan kimia - diantaranya Merkuri atau Sianida. Tailing berbentuk lumpur yang mengandung logam berat. Menurut Peraturan pemerintah (PP) No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) jo PP No 85 tahun 1999, disebutkan bahwa limbah yang megandung logam berat seperti Merkuri dan Sianida termasuk dalam kelompok Limbah B3. Terakhir, air asam tambang - limbah yang menyebabkan kondisi keasaman tanah, yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah - sehingga berpotensi meracuni tanaman dan mahluk hidup sekitarnya.

Pertambangan merupakan industri rakus air. Penggunaan air dari sumber-sumbernya dengan skala besar untuk menjalankan proses pengolahan batuan menjadi bijih logam. Luar biasa tingginya kebutuhan air untuk operasi industri tambang menyebabkan pemenuhan air warga setempat dikalahkan, sering mereka harus rela mencari mata air baru atau harus berhadapan dengan kekerasan untuk mempertahankan sumber air mereka.

Jangan lupa, pada saat pembuatan lobang (pit) penambangan dan pembangunan pabrik serta instalasi lainnya, kegiatan pengupasan tanah, peledakan, serta pengoperasian alat-alat berat pengangkut tanah dan lalu lalang kendaraan berat dengan intensitas tinggi menjadi sumber pencemaran udara - akibat peningkatan volume debu.

Apa akibatnya? Penduduk lokal harus pontang panting berhadapan dengan perusakan lingkungan yang luar biasa karena limbah tambang.

Umumnya, tailing dibuang ke daerah lembah dengan membuat penampung (tailing dam), dibuang ke sungai hingga ke laut - biasa disebut STD.

Submarine Tailing Disposal (STD), dipromosikan oleh pelaku pertambangan sebagai cara pembuangan limbah yang paling baik dan ramah lingkungan, termasuk di Lembata. Dua tambang di Indonesia yang menggunakan STD, keduanya milik Yusuf Merukh dan Newmont.

STD di negara asal Newmont - Amerika Serikat, tidak mungkin lolos dari Clean Water Act - Undang-undang yang mengatur lingkungan perairan disana. STD sebenarnya adalah teknologi buruk dan murah. Menurut Enviromental Protection Agency (EPA) - Badan Lingkungan Amerika Serikat, biaya menggunakan STD lebih murah 17% dibanding membangun tailing dam, padahal dampak kerusakan akibat STD sangatlah luar biasa.

PT NMR - salah satu tambang Merukh, membuang limbahnya kelaut, dikenal dengan Submarine Tailing Disposal (STD). Setiap harinya, perusahaan membuang 2000 ton limbah tailing ke teluk Buyat, sejak tahun 1996. Delapan tahun kemudian, sekitar 80% warga mengalami gangguan kesehatan, mulai tumor di badan, gangguan saraf, hingga Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) dan paru-paru.

Ketiga, Berbeda dengan lahan pertanian yang bisa ditanami terus menerus - berkelanjutan, tambang memiliki umur. Di Indonesia, meski umur perijinannya mencapai 25 hingga 50 tahun, tapi umumnya tambang skala besar hanya mencapai 4 hingga 12 tahun. Tentu tak termasuk nama Freeport dan INCO di Sulawesi selatan - yang cadangan mineralnya luar biasa besar. Mereka telah beroperasi hampir 4 dekade.

Keempat, Resiko perubahan-perubahan sosial yang terjadi akibat besarnya aliran modal dalam waktu pendek dan serbuan pendatang. Misalnya, dihampir semua lokasi tambang, bisnis hiburan, termasuk prostitusi berkembang subur. Kota Timika, salah satu contohnya. Kota tambang Freeport di Papua tersebut saat ini mendapatkan peringkat pertama dalam jumlah penderita HIV AIDS terbesar di Indonesia.

Itulah gambaran "daya rusak" pertambangan, yang tak pernah diampaikan pemerintah dan pelaku pertambangan, sejak awal.

Saat perusahaan tambang sudah selesai beroperasi, penduduk bukannya bebas dari masalah, perusahaan bisa dengan sekehendak hati meninggalkan lokasi yang telah rusak dengan lubang-lubang puluhan hektar menganga.

Marga Rumpit di tepi sungai Tiku, heran - bagaimana sungai mereka kembali keruh setelah tambang emas Laverton tutup. Ternyata, perusahaan diam-diam membuat saluran yang menghubungkan penampung tailing dengan sungai Tiku. Mereka juga meninggalkan lubang menganga puluhan hektar sedalam ratusan meter.

Jika Lembata memilih tambang, artinya ekonomi jangka pendek yang dipilih - yang hanya akan dinikmati sedikit orang. Tak heran jika bupati Andreas Duli Manuk dan Piter Boli Keraf, ketua DPRD Lembata - ngotot meloloskan ijin Merukh pada masa mereka masih menjabat.

Lantas siapa yang menanggung dampak pertambangan kelak, lima atau delapan tahun kemudian - setelah mereka tidak menjabat? (selesai).


NTT Sarang Koruptor

Paul SinlaEloE, PIAR-NTT

Kleptokrasi (Pemerintahan yang dipimpin oleh para pencuri). Itulah argumen yang paling tepat dilontarkan oleh setiap orang yang dengan serius mencermati maraknya kasus dugaan korupsi dengan kamuflase penyalahgunaan anggaran di Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 2006, catatan akhir tahun PIAR NTT, menunjukan bahawa dari Dari 75 kasus dugaan korupsi yang dipantau oleh PIAR-NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 406.694.358.657,00 dengan sebaran yang cukup merata (Lih. Diagram).

Data PIAR-NTT pada tahun 2006 ini, dipertegas dengan hasil temuan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT Selama periode 2003-2007, yang di publikaiskan pada tanggal 30 Mei 2007 menunjukan bahwa di NTT 1.967 Kasus dugaan Korupsi dengan nilai temuan Rp. 50.061.226.820,54. Dari temuan itu sudah ditindak lanjuti 1.080 kasus dengan nilai Rp. 32.437.826.139,00. Sedangkan 887 kasus denan nilai temuan Rp.17.623.400.680,00 yang tersebar di 16 kabupaten/kota di NTT, belum ditindak lanjuti. (Lihat Tabel).


TEMUAN YANG BELUM DITINDAKLANJUTI

SELAMA PERIODE 2003-2007

    No DAERAH JUMLAH KASUS INDIKASI KERUGIAN NEGARA
    1 PEMPROV NTT 239 Rp 5.007.695.849,00
    2 KAB. KUPANG 33 Rp 682.379.281,00
    3 KOTA KUPANG 29 Rp 199.978.348,00
    4 KAB. BELU 43 Rp 305.431.079,00
    5 KAB. TTU 73 Rp 2.177.528.592,00
    6 KAB. TTS 109 Rp 1.984.437.627,00
    7 KAB. ROTE NDAO 16 Rp 199.250.806,00
    8 KAB. ALOR 51 Rp 1.169.084.798,00
    9 KAB. ENDE 45 Rp 515.958.050,00
    10 KAB. MANGGARAI 37 Rp 1.445.318.081,00
    11 KAB. MANGGARAI BARAT 3 Rp 155.781.841,00
    12 KAB. NGADA 22 Rp 208.943.786,00
    13 KAB. SIKKA 57 Rp 1.522.778.445,00
    14 KAB. FLORES TIMUR 23 Rp 200.751.733,00
    15 KAB. LEMBATA 33 Rp 958.446.407,00
    16 KAB. SUMBA BARAT 46 Rp 248.128.986,00
    17 KAB. SUMBA TIMUR 28 Rp 641.506.991,00
    TOTAL 887 Rp 17.623.400.700,00

Keseluruhan data di atas pada prinsipnya mengharuskan agar salah satu amanat reformasi yakni pemberantasan korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara di Nusa Tenggara Timur harus segera dilakukan. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca : Para Pemegang Kebijakan).

Masih Adakah Ruang Bagi Masyarakat Adat?

Kor. Sakeng, Yay. ANIMASI SoE-TTS

Masyarakat menilai sejumlah produk tata ruang yang dibuat negara atau pemerintah (baik pusat maupun daerah), sebagai tindakan pengambilalihan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya. Pasalnya, semua perencanaan tata ruang tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam perencanaan itu. Kemana lagi rakyat mau menghidupi diri kalau semua aset penghidupannya dicaplok? Masih adakah ruang bagi masyarakat (khususnya masyarakat adat) membuat tata ruang sendiri?

Pertanyaan yang dilematis itulah yang menginspirasi masyarakat adat Tune-Bonleu membuat perencanaan tata ruang sendiri dengan perspektif adat. Demikian yang dibeberkan Arit Oematan, seorang tokoh muda dari masyarakat adat Tune-Bonleu di Desa Tune dan Bonleu, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) (24/6).

"Dasar dari pemikiran tersebut terbersit dari apa yang dirasakan masyarakat selama ini. Masyarakat sudah sangat resah dengan berbagai kebijakan tata ruang yang tidak mempertimbangkan akses terhadap aset penghidupan masyarakat," ungkap Oematan.
Menurutnya, segenap unsur masyarakat adat Tune-Bonleu telah melakukan serangkaian tahapan kegiatan yang mengarah kepada rencana tata ruang adat. Pada tahun yang lalu masyarakat Tune-Bonleu telah berhasil membuat peta milik masyarakat yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah di hadapan publik.

Proses pembuatan peta secara pertisipatif memakan waktu selama tiga bulan. Mengapa? Tahap pertama, masyarakat melakukan pemetaan manual di atas tanah dan kertas flap dengan menggunakan metode pandekatan PRA (Participatory Rural Apraisal). Tahap kedua, penjajakan wilayah (transek) dengan menggunakan perangkat manual dan elektornik seperti JPS dan lain-lain. Tahap ketiga, pembuatan peta manual dengan memasukan titik koordinat yang tercatat melalui JPS dan tahap terakhir adalah finalisasi peta dengan menggunakan skala.
Selanjutnya pengesahan peta masyarakat oleh tokoh-tokoh adat yang disebut Amaf dengan pendekatan ritual adat.

Jika dibandingkan, peta yang dibuat masyarakat dengan peta-peta lainnya tidak ada bedanya. Peta ini akan menjadi salah satu alat bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan dan menegakkan hak-hak masyarakat adat yang kian hari kian tereksploitasi.

Tokoh adat Yusuf Liem menambahkan bahwa peta yang dibuat masyarakat itu akan menjadi warisan berharga bagi generasi berikut secara turun-temurun.

Work shop perencanaan tata ruang
Menurut Arit Oematan, sekarang ini sedang dilakukan perencanaan tata ruang. Tahap pertama dalam bentuk work shop yang melibatkan semua unsur yang peduli untuk melihat dan mengidentifikasi apa saja yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang itu. Work shop awal dalam perencanaan tata ruang telah dilakukan oleh masyarakat pada tanggal 22-24 Juni lalu, bertempat di Desa Bonleu, melibatkan sedikitnya 150 warga kedua desa dengan keterwakilan dari unsur Amaf atau tokoh adat, generasi muda dan masyarakat lainnya.

Workshop yang memakan waktu tiga hari ini difasilitasi oleh Tory Koeswardono, aktivis Walhi Jakarta di bawah koordinasi organisasi masyarakat adat AAP (Abuat Atola Pah Manifu) yang diketuai Arit Oematan.
Pada prinsipnya selama workshop peserta yang hadir dalam pelatihan ini sangat antusias. Itu karena masyarakat dilatih untuk melihat kembali wilayah dan kebutuhannya yang selanjutnya menjadi titik acuan dalam perencanaan tata ruang wilayah adat.

Walaupun demikian, ada beberapa agenda tindak lanjut pasca work shop yang mesti dilakukan. Yaitu dokumentasi dan kaji ulang aturan-aturan adat tentang sumber daya alam, identifikasi ketersediaan lahan (baik yang bisa dikelola untuk kepentingan pangan maupun yang harus dilindungi demi kepentingan hidrologi dan ritus adat), mengidentifikasi kembali wilayah-wilayah hutan dan pemanfaatannya, termasuk jenis vegetasi dan tingkat kerapatan serta penyebarannya.
Lalu mengukur kembali debit-debit air untuk mengetahui seberapa besar penggunaan untuk persawahan, mengidentifikasi lahan (baik lahan basah maupun lahan kering), serta menghitung kebutuhan pangan dalam setahun yang nantinya dikonversi pada kebutuhan lahan dan pemetaan kembali padang rumput untuk kebutuhan area penggembalaan dan pakan ternak.

Beberapa agenda tindak lanjut yang dibangun dari kesepakatan workshop tersebut akan dikerjaklan sendiri oleh masyarakat dibawah koordinasi AAP dan Amaf dengan rentang waktu selama tiga bulan jika memungkinkan. Selanjutnya akan dipresentasikan hasilnya melalui workshop dan temu adat.

Jika hasil dari kerja selama tiga bulan ternyata masih ada cela, maka akan dilakukan tahap kedua untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Barulah pada tahap berikut dilakukan penetapan tata aturan (regulasi) dan tata ruang dengan muatan dari hasil pemetaan dan dokumentasi yang telah dilakukan sebelumnya.

"Kita berharap apa yang dicita-citakan masyarakat untuk membuat tata ruang sendiri dapat mencapai hasil yang maksimal agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun," tegas Oematan.