Tuesday, November 6, 2007

Korupsi dan Kemiskinan

Oleh. Paul SinlaEloE*

Sebuah bangsa yang memiliki fondasi pembangunan yang kokoh, selalu memiliki syarat mutlak berupa kedaulatan atas pangan bagi rakyatnya dan mampu mengakomodasi setiap bentuk kapasitas rakyat dalam pembangunan untuk menciptakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. (HS. Dillon, 2003). Sayangnya dalam sejarah pembangunan Indonesia, dua syarat mutlak tersebut tidak pernah diwujudkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) sehingga walaupun pembangunan di Indonesia katanya pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disebut-sebut telah memasuki gerbang Negara industri, nyatanya hingga kini penduduk miskin jumlahnya tetap banyak (bahkan terus bertambah banyak), sementara para koruptor semakin merajalela.

Pada konteks NTT, Wajah telanjang seputar pembangunan masih sama dan tidak jauh berbeda dengan kondisi umum di setiap wilayah Indonesia. persoalan kemiskinan dari mayoritas rakyat menyatu dengan perilaku para birokrat yang korup. Relitas ini dapat dibuktikan dengan melihat data korupsi terkini hasil temuan BPK-RI yang dipublikasikan pada tanggal 16 Mei 2006, yang mana tertera dengan jelas bahwa sampai dengan semester II TA 2005 terdapat 331 kasus penggunaan dana anggaran publik yang berindikasi korupsi dan diduga dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp. 184,54 M. Dari 331 kasus ini, 40 kasus dengan dugaan kerugian negara sejumlah Rp. 84,29 M sudah ditindaklanjuti. Sedangkan 291 kasus dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 100,29 M belum dipertanggungjawabkan.


Sedangkan pada sisi yang lain, data BPS NTT sampai dengan 17 Januari 2006, menunjukan bahwa di NTT terdapat 952.508 RT yang mana 75,45% adalah RT miskin atau dengan kata lain di NTT terdapat 718.640 RT miskin. Data Kemiskinan ini diperparah lagi dengan Angka kematian ibu melahirkan adalah 554 jiwa/1000 kelahiran dan angka kematian bayi adalah 72 jiwa/1000 kelahiran. Disamping itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa NTT juga merupakan salah satu propinsi yang masuk dalam kategori daerah dengan kasus gizi buruk dan busung lapar menduduki prosentase sangat tinggi. Hal ini dipertegas dengan data Dinas Kesehatan Propinsi NTT tahun 2005 yang menunjukan bahwa dari 477.829 jiwa jumlah balita di NTT, terdapat 99.139 balita yang bermasalah dalam hal gizi buruk dan busung lapar dengan perincian sebagai berikut: balita yang mengalami kurang gizi sebanyak 85.604 jiwa, balita yang mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis sebanyak 13.072 jiwa dan balita yang mengalami gizi buruk dengan kelainan klinis sebanyak 463 jiwa.

Bertolak dari fakta tingginya prosentasi angka kemiskinan ini dan spektakulernya angka korupsi di NTT, maka tentu secara logika yang logis akan timbul pertanyaan apakah korupsi sebagai pebab ataukah merupakan akibat dari kemiskinan..?? Dalam melihat korupsi dan kemiskinan di NTT sebagai suatu hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari prespektif teoritis, memang tidaklah gampang karena akan timbul perdebatan yang hasilnya dapat diprediksi yakni Akbar Tanjung (baca: Akan Berakhir Tanpa Ujung), karena hasil perdebatan tersebut sangat tergantung dari latar belakang dan kepentingan dari pihak yang mengeluarkan argumen sehingga mengaburkan kondisi riil yang terjadi di NTT. Namun di satu sisi, yang harus diingat adalah fakta di NTT menunjukan bahwa akibat kemiskinan yang terjadi telah membuat manusia kehilangan martabat karena kontribusi dari kemiskina ini telah membuat manusia kehilangan kapasitasnya (baca: Kemampuan) untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasarnya secara layak.

Hasil pantauan PIAR-NTT terhadap permasalahan korupsi dan kemiskinan di NTT, menunjukan bahwa korupsi dan kemiskinan merupakan 2 (dua) fenomena yang berbeda tapi memiliki keterkaitan yang erat. (Dok. PIAR-NTT, 2005). Sebagai misal, dalam hal pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) rendahan (tingkat golongan bawah) seringkali meminta “uang pelicin” pada saat memberikan pelayanan untuk masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan jumlah gaji dari PNS tersebut terlampau sedikit atau kecil, sehingga untuk menghidupi keluarganya masih kurang atau bisa dikatakan tidak mencukupi. Namun pada sisi yang lain, ada pejabat yang hidupnya sudah berkelimpahan masih tega “menggasak” uang negara hingga milliayaran rupiah, padahal uang tersebut adalah uang yang dikumpulkan dari dan atas nama rakyat miskin untuk pembangunan menuju kesejahteraan.

Pengalaman PIAR-NTT dalam melakukan advokasi terhadap berbagai kasus korupsi dan persoalan kemiskinan di NTT, juga menemukan bukti bahwa korupsi merupakan salah satu faktor pebab terjadinya kemiskinan di NTT. (Dok. PIAR-NTT, 2005). Salah satu buktinya adalah selain dana sebesar Rp. 100,29M yang tidak dapat dipertanggungajawabkan oleh “para petinggi” di NTT sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, terdapat juga dana untuk menanggulangi KLB gizi buruk di NTT pada tahun 2005 sebesar Rp. 64.227.000.000,00 yang belum dipertanggungjawabkan oleh pejabat di 15 dari 16 kabupaten/kota di NTT dan diduga terindikasi korupsi.

Data dugan korupsi diatas belum termasuk sejumlah kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar jutaan hingga Miliyaran Rupiah yang sampai saat ini belum berhasil dituntaskan oleh aparat penegak hukum. Kasus-kasus korupsi tersebut diantaranya adalah kasus SARKES yang terindukasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38M dan diduga melibatkan Gubernur NTT, kasus Dugaan Korupsi Dana Proyek Ressetlemen Di Tude-Mauta- Kabupaten Alor sebesar Rp. 5.540.000.000,- yang terjadi yang kebocoran sebesar Rp. 1.375.658.571,- Kasus Penyalahgunaan Dana Keuangan Negara Pemda Kab. TTS Untuk Membayar Dana Purna Bhakti Anggota DPRD Kab. TTS Periode 1999-2004 yang melibatkan 35 Anggota DPRD Kab TTS Periode 1999-2004 dan Daniel A Banunaek (Bupati TTS) yang diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 1,4 M, Kasus Penyalahgunaan Dana untuk Pembayaran Uang Ganti Rugi Tanah Pembangunan Jalan Lingkar (Jalur 40 Sikumana) Terhadap 24 Warga Masyarakat yang melibatkan Gabriel Yakob Hendrik (Lurah Kelurahan Sikumana) dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp. 41.000.000,- Kasus Penyalahgunaan Dana Kenaikan Tunjangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kab. Belu yang melibatkan Ketua, wakil ketua dan seluruh anggota DPRD kab. Belu periode 1999-2004 dengan total dugaan kerugian negara sebesar Rp. 55.153.560,- Kasus Penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional Tahun 2003-2004 di Pemkot Kupang yang diduga merugikan keuangan negara Rp. 4.500.000.000,- dan duduga melibatkan Magdalena Hermanus, Yefta Bengu, Belina Uly (Mantan Kabag Keuangan Pemkot Kupang dan sekarang mennjadi Asisten II di Pemkot Kupang), Yonas Salean (Sekot Kupang), S.K. Lerik (Walikota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004, kasus dana kontigensi di lingkup Pemkot Kupang, yang terindikasi merugikan keuanagan negara sebesar Rp.2. 682.800.000,- dan diduga melibatkan S.K. Lerik (Walikota Kupang), Yonas Salean (Sekda Kota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004.

Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan diatas, maka pada akhir tulisan ini dapat ditarik suatu titik simpul bahwa Kemiskinan dan korupsi sesungguhnya merupakan dua issue mandiri. Masing-masing mempunyai substansi yang berbeda, namun kedua issue ini kalau dikaji secara kritis memiliki keterkaitan yang sulit dipisahkan. Kedua issue ini memeiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan harus diakui bahwa pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT) korupsilah yang mebabkan kemiskinan dan bukan kemiskinan mebabkan korupsi. Untuk itu, apabila ingin mengatasi persoaalan kemiskinan di NTT, otomatis pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dan sangat urgent, sehingga tidak dapat di tunda-tunda lagi.


*Staf Div. Anti Korupsi PIAR – NTT

Bencana dan Komitmen Forum Parlemen NTT

Ipi Seli Seng*

Syukurlah, akhirnya fakta bencana di NTT mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan. Sabtu (27/10) dalam kesempatan sosialisasi Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan encana (UU PB) di Kupang, para legislator yang tergabung dalam Forum Parlemen NTT mendukung berbagai upaya penanganan bencana di NTT dengan cara menginisiasi rancangan peraturan daerah penanggulangan bencana (PK, 30/10). Dalam arti yang sangat positif, sikap forum parlemen NTT ini memberikan angin segar bagi harapan akan tersedianya landasan hukum (regulasi) bagi penanggulangan bencana di NTT.


Apa yang terjadi di NTT memang tidak lepas dari konteks nasional. Secara nasional, landasan hukum untuk penanggulangan bencana telah disahkan DPR RI Mei lalu (UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Setelah bencana Aceh 2005, banyak kalangan mulai merasakan kelemahan bangsa ini dalam menanggulangi bencana. Bencana Aceh memberi banyak pelajaran dan informasi berharga mengenai berbagai ketidakpaduan dalam tanggapan kedaruratan, ketidakberesan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, ketidakmampuan dalam mitigasi, dan ketidaksiapan menghadapi bencana berikutnya.

Ketidaksiapan Menghadapi Bencana

Setelah Aceh memberi pelajaran berharga, muncul pula bencana di Jawa Tengah, luapan lumpur di Jawa Timur, dan tempat lainnya. Faktanya sama, Indonesia belum siap menghadapi bencana. Hak-hak korban bencana sebagai manusia terabaikan begitu saja. Banyak klaim, banyak tuntutan, banyak keluhan dari masyarakat korban bencana. Bencana aceh dan rentetan bencana setelahnya menjadi titik balik dan munculnya kesadaran akan pentingnya perhatian terhadap fakta bencana di Indonesia. Secara geografis, geologis, iklim, demografis Indonesia merupakan wilayah yang paling rentan terhadap berbagai ancaman bencana tetapi malah tidak siap menghadapi bencana. Salah satu tugas negara (seturut Pembukaan UUD 1945) yakni melindungi segenap tumpah darah tidak mampu berjalan pada kondisi luar biasa semisal bencana. Inilah fakta sekaligus ironi menyedihkan yang kemudian memunculkan kesadaran akan pentingnya regulasi yang mengatur secara utuh dan terpadu keseluruhan proses penanggulangan bencana ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Konteks lokal NTT tidak berbeda jauh. Bencana di NTT memang bukan hal baru. Selalu berulang bahkan dengan intensitas dan frekuensi meningkat. Banyak sebenarnya pelajaran dari berbagai pengalaman bencana. Sayangnya, setiap kali bencana, siapa pun di NTT selalu kebingungan dalam kordinasi, selalu mempersoalkan tidak memiliki titik komando dan wewenang setara, dan kelimpungan dalam soal anggaran. Padahal setiap tahun misalnya banjir, longsor, angin kencang selalu terjadi di Pulau Flores. Guncangan tektonik dan tsunami selalu mengancam di utara dan selatan perairan kita. Kurang pangan dan kelaparan hampir merata di seluruh NTT. Hama belalang masih bikin pusing petani Sumba, dan beberapa bulan lalu menyerang TTU. Banjir DAS Benenain masih terus terjadi di wilayah selatan Belu. Belum lagi wabah penyakit yang selalu terkategori KLB seperti diare, demam berdarah, dll. Sekarang ini, di Sikka, wabah antrax dinyatakan sebagai KLB.

Sekali lagi, fakta bencana ini bukan baru terjadi dua atau tiga tahun belakangan. Fakta bencana ini sudah terjadi, dan selalu berulang. Entah berapa hitungan kerusakan dan kerugian. Susah mengkalkulasi. Tetapi saya yakin, kerusakan dan kerugian amat besar. Sebagai contoh, banjir tahunan DAS Benanain menyebabkan terutama kerugian di sector produksi pertanian masyarakat. Setiap kali banjir, panen jagung tertinggi hanya mencapai ½ dari dari luas areal tertanam. Katakan saja, sebagai perbandingan, bila panen jagung normal mencapai 100 tetapi ketika banjir hanya mencapai 50 (ini panen tertinggi). Artinya ada kerugian sebesar 50. Coba kalkulasi berapa besar kerugian setiap tahun. Itu baru pada hitungan produksi.

Belum lagi bila kita menghitung implikasi dampak terhadap berbagai hal semisal akses masyarakat korban terhadap kesehatan, pendidikan, pemenuhan pangan, dll. Kualitas hidup masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani secara perlahan menurun. Banjir bukan saja bisa enimbulkan kerusakan secara langsung dan cepat (rapid on-set) tetapi sekaligus secara perlahan (slow on-set) merupakan benih kerusakan sistem penghidupan masyarakat. Tidak heran di beberapa desa langganan banjir di wilayah hilir DAS Benenain seperti Desa Lasaen, Fafoe, Umatoos (Kecamatan Malaka Barat) walaupun memiliki tiga kali musim tanam tetapi tetap saja mengalami kurang pangan dan gizi buruk.

Kesadaran akan pentingnya perhatian terhadap bencana di tingkat lokal NTT memang berjalan tertatih-tatih. Issue penanggulangan bencana kalah seksi dibanding issue politik. Walaupun bencana terjadi di mana-mana tetap saja penanggulangan bencana berada urutan perhatian nomor buncit. Mana ada porsi anggaran pembangunan yang secara tegas dan jelas memprioritaskan penanggulangan bencana. Mana ada rencana pembangunan yang bernapaskan penanggulangan bencana. Tanggapan kedaruratan, rehabilitasi, rekonstruksi pun masih jalan di tempat apalagi praktis mitigas dan kesiapan. Ironis memang. Di satu sisi NTT berada pada wilayah rentan bencana tetapi di sisi lain orang-orang NTT sendiri seakan tidak peduli atas fakta ini. Kerja-kerja penanganan bencana dianggap mengada-ada dan ditertawakan.

Tidak heran, sedikit sekali orang NTT yang tahu ketika International Strategy Disaster Reduction (salah satu lembaga PBB yang secara khusus membidangi bencana) secara khusus memberikan pengakuan dan mengundang secara resmi sebuah lembaga non pemerintah di NTT (Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana/PMPB) sebagai satu-satunya lembaga non pemerintah di Indonesia yang memiliki kepedulian dan bekerja di bidang kebencanaan sejak tahun 1998 untuk hadir dan berbicara dalam forum resmi PBB di New York USA dalam peringatan International Day of Natural Disaster Reduction pada 10 Oktober lalu.

Ranperda dan Forum parlemen NTT

Kita kembali kepada kesadaran "luar biasa" dari Forum Parlemen NTT yang notabene adalah anggota DPRD NTT. Bagi saya, (RAN)PERDA inisiatif tentang penanggulangan bencana di NTT memang harus didukung semua pihak. Tetapi juga harus disadari, siapa pun tidak boleh berlebihan pula meyakini bahwa NTT bisa bebas dari bencana hanya dengan mengandalkan deretan huruf demi huruf dalam isi (RAN)PERDA Penanggulangan Bencana. (RAN)PERDA ini hanya payung bagi sistem, proses, mekanisme, pembagian peran dan tanggungjawab dalam penanggulangan bencana yang terintegrasikan dalam pembangunan.

Bila penanggulangan bencana itu terintegrasi dalam perencanaan dan implementasi pembangunan maka (RAN)PERDA ini akan memainkan peran sebagai: pertama, dasar formal untuk tindakan penanganan bencana. Regulasi ini memberikan dukungan resmi untuk rencana-rencana, penataan-penataan kelembagaan, tindakan-tindakan kesiapan, tindakan tanggap darurat, dsb. Kedua, membagi tanggung jawab secara hukum; dan ini membantu memastikan bahwa tanggung jawab tersebut akan dilaksanakan secara benar. Ketiga, menimbulkan efek secara tepat sehingga memastikan bahwa semua tataran struktur penanganan bencana mendapatkan manfaat dari dukungan yang disediakan. Keempat, menyediakan keruntutan berpikir terhadap hal-hal yang diperlukan untuk penanganan bencana. Kelima, Memberikan kewajiban yang luas kepada pemerintah provinsi NTT untuk memikul tanggungjawab untuk sejauh mungkin melindungi masyarakat dan wilayah NTT dari akibat bencana dan kepada organisasi-organisasi dan orang-perorangan yang mungkin terkena berbagai dampak bencana; Keenam, Memberikan jaminan atas hak-hak yang melekat pada masyarakat NTT, yang dimungkinkan hilang atau lepas pada saat terjadinya bencana.

Untuk itu, bagi siapa saja akan memperjuangkan adanya regulasi daerah ini membutuhkan dua hal penting. Pertama, membutuhkan pemahaman secara tepat tentang bencana. Sangat jamak bencana dilihat sebagai fenomena alam semata. Bencana adalah bencana alam. Pandangan ini tidak seluruh tepat tetapi juga tidak seluruhnya salah. Namun dalam konteks saat ini, kita tidak cukup melihat bencana sebagai urusan alam semata. Bencana saat ini harus juga dilihat sebagai bagian dari kelalaian manusia baik itu dalam pembangunan maupun hal lain. Sebagai contoh, longsor dan banjir di Manggarai baru lalu tidak sepenuhnya merupakan fenomena alam semata. Ada sekian banyak kerusakan lingkungan, ada kelalaian tata ruang wilayah, ada ketidakberesan dalam pembangunan, dan lain sebagainya yang turut andil dalam kejadian bencana longsor ini.

Bencana banjir di Besikama pun sama. Tidak cukup melihat banjir tahunan ini sebagai "mau-nya" alam tanpa berusaha melihat sekian banyak kerusakan di wilayah hulu dan tengah. Peningkatan frekuensi dan intesitas banjir mungkin saja berbanding lurus dengan tingkat kerusakan pesisir DAS Benenain. Selain itu, melihat bencana hanya sebagai fenomena alam hanya akan menghantar pada tindakan kedaruratan setelah kejadian tanpa usaha preventif sebelum bencana. Dalam kaitan ini, RANPERDA sebaiknya memberikan pengartian dan pengertian yang utuh terhadap bencana. RANPERDA akan sangat bermanfaat bila mengatur tata laku dan peran semua pihak secara jelas dan tegas baik sebelum, saat, dan sesudah bencana.

Kedua, (RAN)PERDA Penanggulangan Bencana membutuhkan pemetaan dan analisis risiko bencana secara tegas dan jelas. Sebuah ancaman bencana belum tentu mengakibatkan dampak yang sama dan umum. Akibat bencana (besar dan kecilnya) sangat bergantung pada kuat atau lemahnya sistem dan asset penghidupan masyarakat.

Banjir di wilayah selatan Belu misalnya memang sangat merugikan bagi masyarakat dataran Besikama, tetapi untuk wilayah hulu (TTS) dan tengah (TTU) banjir bukan persoalan utama walaupun dua wilayah ini masuk dalam kawasan DAS Benenain dan mungkin pula sebagai penyumbang kenaikan frekuensi dan intesitas banjir di wilayah hilir. Demikian pun kekeringan misalnya mungkin berbeda dampak bagi wilayah yang masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dengan wilayah yang masyarakat bukan sebagai petani. Pemetaan dan analisis risiko yang tegas dan jelas akan memberikan gambaran yang tegas dan jelas pula mengenai siapa, apa, bagaimana tindakan penanggulangan bencana sesuai konteks wilayah dan manusia setiap daerah di NTT. Selamat berjuang forum parlemen NTT!!!

*Penulis adalah Koordinator Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) PMPB-NTT

Monday, November 5, 2007

Theofilus, Satu Dari 1001 Kasus Gizi Buruk di TTS

Oleh: Dody Kudjilede

Cerita ini masih segar dalam ingatan saya walau hampir lima tahun berlalu. Singkatnya memprihatinkan. Ternyata ‘kasus luar biasa’ yang pernah terjadi dulu justru terulang kembali. Apa sih yang sebenarnya dilakukan pemerintah di daerah ini? Membeli mobil dinas sebanyak-banyak kemudian diputihkan sesudah masa jabatan berakhir? Atau memberi bantuan untuk rakyat miskin padahal memperkaya diri sendiri dengan memotong sana sini apa yang seharusnya menjadi hak rakyat? Sebelum saya melanjutkan seribu sumpah serapah terhadap para pejabat pemerintahan, sebaiknya saya bercerita dulu.

Rumah Mungil

Arloji di tangan menunjukkan jam dua belas lewat seperempat. Artinya setelah menempuh perjalanan penuh debu selama kurang lebih satu jam, akhirnya kami tiba juga di sebuah rumah mungil. Rumah mungil itu di tengah pedalaman Desa Noemuke, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur.

Noemuke merupakan salah satu daerah endemik gizi buruk (malnutrisi) di Kecamatan Amanuban Selatan. Jumlah balita penderita gizi buruk didesa ini mencapai hampir 80% dibanding dengan balita sehat. Selain kwashiorkor dan marasmus, Pneumonia juga merupakan salah satu momok penyakit yang menyerang balita di sana.

Panas yang menyengat tidak mampu menggoyahkan semangat kami untuk datang menjemput seorang anak gizi buruk yang direkomendasikan oleh teman-teman dari Suplementary Feeding Center (SFC).

Saya ikut untuk menemani teman dari Therapic Feeding Center (TFC), yang belum hafal lokasi-lokasi kerja CARE International Indonesia karena baru bertugas di tempat itu. CARE International sendiri adalah sebuah NGO yang bergerak di bidang kemanusiaan. Di Kecamatan Amanuban Selatan karya mereka lebih difokuskan pada penanganan Gizi Buruk. Ucapan selamat siang kami tak dibalas oleh penghuni rumah itu. Mungkin mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.

Rumah itu tidak memiliki bilik lain selain ruangan tempat kami duduk yang hanya tanah beralaskan tikar. Mungkin disitulah segala aktivitas dirumah itu dilakukan. Tidur, makan, menerima tamu dan lalin-lain. Diatas disebuah ranjang tanpa kasur, terbaring seorang anak kecil berusia tiga setengah tahun, kelihatan lemah tak berdaya. Mukanya pucat, dia menatap saya dalam diam yang mengiris ketika saya mencoba memanggil namanya.

Keceriaan yang saya undang untuk turut hadir bersama dirumah itu seolah tak berarti apa-apa. Bahkan tawa kami seolah sembilu yang mengiris hati kecilnya, entah kenapa, mungkin karena dia tak bisa tertawa seperti kami. Matanya yang sayu memancarkan sebuah keinginan yang kuat untuk bangkit. Tapi keadaannya terlalu lemah bahkan untuk merangkak. Tubuhnya hanya kulit pembungkus tulang, iganya bahkan dapat dilihat dan dihitung dengan pasti. Berat tubuhnya tidak sampai empat kilogram di usianya yang hampir mencapai empat tahun itu. Artinya setiap tahun adik kecil ini hanya bertambah satu kilogram. Ini keadaan yang sudah tentu memprihatinkan bagi siapapun yang melihatnya. Dan dirumah berdinding pelepah berukuran enam kali enam inilah segala penderitaannya dimulai.. Boleh dikatakan, keluarga ini tiarap di bawah garis kemiskinan.

Theofilus namanya

Tidak ada tempat dirumah itu untuk menyimpan persediaan pangan selain beberapa puler jagung kering yang saya lihat menggantung dilangit rumah itu. Dan itulah makanan mereka sehari-sehari. Termasuk si kecil Theofilus. Yah, Theofilus nama anak itu.

Sejak lahir, Theo, begitu dia biasa panggil keluarganya, tak pernah merasakan makanan yang bergizi baik untuk mendukung pertumbuhannya, ASI milik ibunya tak pernah didapat sejak dia berusia dua bulan. Sejak itu Theo hanya bisa makan jagung yang sudah di olah ibunya menjadi tepung dan dimasak.

Dan ketika para orang tua balita yang lain sedang berlomba-lomba membeli bubur SUN untuk anak mereka, saat itu Theo bahkan sedang menyesuaikan perutnya agar bisa menerima ‘bubur’ yang di masak oleh ibunya.

Keadaan itu terus berlangsung hingga saat kami tiba. Saya yang hanya bisa bahasa dawan nao mukae’ akhirnya harus memakai pak kader posyandu sebagai penerjemah untuk menjelaskan maksud kedatangan kami. Dan pak kader yang pintar berkata-kata ini pun mulai dengan menjelaskan hingga detil maksud kami. Kebetulan para kader posyandu di kecamatan Amanuban Selatan adalah ujung tombak keberhasilan CARE sehingga tahu persis apa yang harus dia jelaskan. Mula-mula Bapak dan Mama dari Theo keberatan karena kami harus membawa Theo dan ibunya untuk dirawat, tapi setelah dijelaskan panjang lebar dan dengan sedikit ancaman bahwa kalau tidak ikut maka pak camat sendiri yang akan menjemput, akhirnya kedua orang tua ini menyerah. Menyebut nama pak camat merupakan jurus terakhir agar pasien mau ikut dengan kami, karena masyarakat masih sangat takut dengan yang namanya pemerintah. Di saat yang sama saya mencoba membayangkan siapa figur yang mungkin membuat saya takut. Dan membayangkan Pak Camat.

Theo akhirnya bisa kami bawa ke Panite, ibukota kecamatan, dimana Panti Rawat Gizi (TFC) yang didirikan CARE International berdiri. Begitu sampai di panti, Theo langsung di timbang dan diukur tinggi badannya, hasilnya kemudian di cross check dengan Z-score (tabel gizi) yang ada untuk bisa menentukan pada posisi mana status gizi Theo. Ia dipastikan berada di posisi min 3 Status Gizi Z-score atau sudah berada pada gizi buruk akut (marasmus). Theo diwajibkan untuk minum High Energy Milk (HEM) delapan kali sehari sesuai jadwal yang diberikan oleh perawat. HEM adalah susu yang sudah dicampur lagi dengan lemak (minyak) dan gula.

Setelah menjalani perawatan selama dua minggu, berat badan Theo mulai naik. Dia sudah mulai tertawa, mulai bisa merespon orang yang memanggil namanya, dia bahkan sudah kuat berjalan.

Setelah dirawat selama hampir tiga bulan hingga akhirnya dia benar-benar dinyatakan sehat ia diijinkan pulang oleh dokter. Semua tersenyum puas dengan keberhasilan yang dicapai, upaya luar biasa yang diberikan oleh para nurse dan dokter di Panti Rawat Gizi CARE International memang patut diacungi jempol.

***********

Saya tidak tahu apakah sesudah itu Theo tetap sehat atau kembali lagi seperti ketika pertama kali saya melihatnya. Saya tidak tahu karena sesudah itu pemerintah Kabupaten TTS mengambil alih Panti Rawat Gizi itu dari CARE International dan saya juga berhenti dari pekerjaan saya. Kabar Terakhir yang saya dengar dari teman-teman yang ada di Panite mengatakan bahwa Panti Rawat Gizi itu kini mubazir ditangan pemerintah, tidak ada satupun pasien yang dirawat disitu sejak di hand over ke Pemda. Lalu kemana dana yang tiap tahun dikucurkan untuk penanggulangan gizi buruk didaerah itu?

Sekarang, siapa yang bisa tersenyum dengan keadaan yang sudah dilupakan bertahun-tahun ini dan terulang lagi? Siapa yang harus disalahkan karena keadaan ini terulang lagi? Pemerintah kah? Atau rakyat sendiri yang harus disalahkan? Sumpah serapah saya hilang mengingat bayangan Theo.