Wednesday, October 31, 2007

Kemiskinan: Apa Yang Harus Dilakukan?

Oleh. Paul SinlaEloE*)


Kemiskinan merupakan persoalan yang dihadapi oleh Indonesia sejak merdeka sebagai sebuah negara bangsa Pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hingga kini belum mampu ditanggulangi. Ketidakmampuan Indonesia dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini disebabkan karena strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) dan stakeholders lainnya, belum menjawab akar persoalan kemiskinan itu dan hanya merespon dampak dari persoalan kemiskinan yang diperparah dengan cara pandang yang senantiasa bertolak dari asusmsi bahwa penyebab kemiskinan adalah berasal dari kaum miskin itu sendiri (Blamming the Victim) dan masalah ekonomi semata. Padahal realita menunjukan bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh suatu proses pemiskinan atau yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan struktural.

Secara teoritis, paham kemiskinan struktural dapat dipahami dan disimpulkan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memepertahankan seluruh hak-hak dasarnya sehingga orang tersebut tidak dapat mengembangkan hidupnya secara bermartabat. Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan. Dikatakan tidak menguntungkan karena kehidupan bernegara di Indonesia tidak hanya melahirkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan.

Tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan akibat perlakuan negara yang tidak adil, diskriminatif, eksploitatif ini, telah menyebabkan banyak warga masyarakat yang gagal memperoleh peluang dan atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan mereka yang malang semakin terjerumus dan terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan atau tak setara dengan tuntutan hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia.

Dari realitas yang demikian dan mengingat bahwa sampai dengan saat ini proses pemiskinan di Indonesia masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi, maka upaya penanggulangan kemiskinan struktural adalah sesuatu yang mutlak diperlukan.

Menurut Sarah Lery Mboeik (2005), kemiskinan struktural hanya dapat ditanggulangi jika hak-hak dasar dari kaum miskin ditegakan. Secara lebih spesifik, Sarah Lery Mboeik (2005) juga berpendapat bahwa hak-hak dasar dari kaum miskin yang harus ditegakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan struktural, idealnya meliputi : Pertama, hak atas pangan. Kedua, hak atas kesehatan. Ketiga, hak atas pendidikan. Keempat, hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha, Kelima, hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak. Keenam, hak atas air bersih dan sanitasi. Ketujuh, hak atas tanah. Kedelapan, hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kesembilan, hak atas rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Di Indonesia, penanggulangan kemiskinan struktural dengan pendekatan yang berbasis hak dasar (Right-Based Approach) ini, idealnya harus dilaksanakan oleh Negara/Pemerintah karena secara yuridis formal, tugas utama dari Negara/Pemerintah adalah untuk mensejahterakan rakyat demi terwujudnya masyarakat yang adil di dalam kemakmuran dan makmur di dalam keadilan.

Namun, penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis hak dasar (Right-Based Approach) ini, tidak bisa begitu saja diharapkan atau diserahkan kepada Negara/Pemerintah, walaupun Pemerintah Indonesia (BAPPENAS dan MENKOKESRA) telah berhasil melahirkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) melalui suatu proses yang relatif partisipatif dan menempatkan masyarakat miskin sebagai subyek yang memang harus dihargai dan dipenuhi hak-hak dasarnya, sebab : Pertama, sudah menjadi rahasia umum bahwa aktor utama atau pelaku bermasalah dalam hal kemiskinan struktural adalah Negara/Pemerintah. Kedua, berdasarkan rezim yang pernah berkuasa di Indonesia, belum ada indikasi kuat bahwa pemerintah yang sedang berkuasa, akan konsisten untuk menegakan hak-hak dasar dari kaum miskin sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi.

Dengan kondisi bernegara di Indonesia yang seperti ini, maka untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat dan terpenuhinya hak-hak dasar dari kaum miskin, otomatis Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO) dan seluruh Stakeholder demokrasi yang di golongkan sebagai organisasi masyarakat sipil harus sama-sama bekerja dengan kaum miskin dalam rangka mendesak ”Rezim Indonesia Bersatu” yang diarsiteki oleh SBY-MJK untuk segera melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Melakukan analisis kemiskinan struktural secara partisipatif di setiap wilayah dan sektor.
  2. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pemenuhan hak-hak dasar.
  3. Membatalkan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan/menghambat pemenuhan hak-hak dasar.
  4. Membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pemenuhan hak-hak dasar.
  5. Mengelola anggaran negara (termasuk anggaran daerah) secara terbuka, bertanggungjawab, efisien dan efektif.
  6. Menghapuskan berbagai bentuk penyimpangan, Korupsi, pungli, penggusuran paksa tanpa kompensasi, pencaplokan tanah, kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan lainnya yang merugikan Massa-rakyat.

Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa nasehat dari Mansour Fakih (2003), yakni : “TUHAN tidak akan mengubah nasib kaum miskin kalau mereka tidak merebutnya,” sangat relevan bagi kaum miskin dan para aktivis yang terlibat di Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO) dan seluruh Stakeholder demokrasi yang di golongkan sebagai organisasi masyarakat sipil yang konsen pada persoalan kemiskinan untuk dijadikan bahan permenungan sebelum menentukan aksi konkrit.

*) Staff Div. Anti Korupai PIAR NTT



Monday, October 29, 2007

The Tamarind Economy: Fondasi Ketahanan Pangan NTT?

Opini Pos Kupang 1 Oktober 2007

Oleh Jonatan Lassa

POS Kupang 14 September 2007 memberitakan masyarakat di Sikka mengeluh terhadap harga asam yang menurun ke level Rp 1.500,00 dari sebelumnya bertengger di level Rp 2.000,00-an. Harian Kompas 28 September 2007 memberitakan harga asam dengan level Rp 1.500,00 di TTU mampu memberikan cadangan cash yang ditukarkan kepada pangan bisa bertahan selama 2-3 bulan.

Apa artinya kedua berita di atas bagi strategi pengentasan kemiskinan dan kelaparan, dan dalam kaitan yang lebih luas, apa artinya bagi ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan di NTT?

Studi dan penelitian berkaitan dengan pangan di NTT khususnya Timor Barat (Lassa 2003 dan Barbiche & Geraets 2007, Suharyo et. al. 2007), menunjukkan bahwa kontribusi asam terhadap ekonomi pedesaan di TTS cukup meyakinkan. Laporan Penelitian SMERU (Oleh Suharyo et. al. 2007 , berjudul "Iklim Usaha di Provinsi NTT: Kasus Perdagangan Hasil Pertanian di Timor Barat"), dikatakan bahwa "Hampir semua warga desa menjual asam. Dalam setahun volume asam yang dijual masyarakat desa ini rata-rata mencapai 30 ton sehingga diperkirakan penerimaan desa dalam setahun dari pungutan tersebut mencapai sekitar Rp1.500.000, 00".
Penelitian penulis di Desa Toineke tahun 2002 menunjukkan bahwa total penjualan asam yang tercatat adalah 260 ton (setara dengan Rp 260 juta pada bulan yang sama). Sedangkan hasil penjualan 'kapuk' tahun 2002 yang tercatat di desa yang sama 40 ton (setara dengan Rp 40 juta). Total 300 juta yang terdistribusikan kepada lebih dari 1.500 penduduk di Desa Toineke dari dua komoditas yang 'tidak penting' di mata penguasa.

Desa yang sama dinyatakan sebagai tahun kelaparan oleh Pemda TTS (PK 23/09-2002) yang kemudian dibarengi oleh penilaian kondisi darurat dua LSM Internasional yang sekadar menjustifikasi 'bantuan beras' diperlukan dan dijawab juga oleh bantuan karitatif WFP di berbagai desa di TTS.

Fenomena di atas sedikit menjelaskan mengapa tujuan mulia para donor dan lembaga internasional dan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dan kelaparan (melalui slogan-slogan MDGs) demi peningkatan ketahanan pangan di NTT selalu gagal dalam 30 tahun terakhir di NTT.

Karakter dasar lembaga pemerintahan dan berbagai LSM internasional di NTT seperti WFP dalam 30 tahun di NTT terakhir (waktu yang relatif panjang), terus terjebak dan menjebak diri melakukan pendekatan jangka pendek dan karitatif. Intervensi terhadap ketahanan pangan di NTT kerap terjebak pada nafsu proyek yang mau melihat hasilnya 'sesegera mungkin'. Nafsu akuntibilitas egosentrik terhadap 'funders' tidak akan menghasilkan fondasi dasar yang kokoh terhadap ketahanan pangan di NTT.

Sangat disayangkan. Ekonomi asam (tamarind economy) jarang menjadi pembahasan serius ketika para aktor pembuat kebijakan pembangunan pada lingkaran inti (pemerintah, DPRD, Bappeda, instansi sektoral terkait, LSM, donor maupun para akademisi universitas lokal seperti Undana) di NTT membicarakan strategi pengentasan kemiskinan, mitigasi kekeringan dan kelaparan, maupun ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan.

Asam (tamarind) oleh ekonom mainstream, pengambil kebijakan (Pemerintah & LSM) dan para aktor pembangunan dalam arti luas masih memandang asam sebagai komoditas sampingan dan bijinya identik dengan indikator kelaparan. Sedangkan rakyat pedesaan NTT telah sangat lama bergantung pada komoditas asam sebagai penopang penghidupannya, sebuah mekanisme bertahan yang bertahan tanpa mampu dibaca oleh kaum ahli pembangunan. Suatu aset sumber daya alam 'sampingan' yang tidak bisa dikesampingkan.

Pertanda 'verbalisme' menghantui para pengambil kebijakan pembangunan pedesaan di NTT? Pertanda adagium 'memulai dari apa yang ada' dari Tiga Batu Tungku penguasa NTT saat ini tidak dimengerti para bupati dan para anggota DPRD yang terhormat yang terus menuntut naik gaji? Dan khususnya buat LSM/INGOs dan lembaga-lembaga PBB, seperti WFP yang karitatif dan jangka pendek, sesungguhnya ketagihan dengan proyek kemiskinan dan kelaparan di NTT?
Tulisan ini menantang para pengambil kebijakan untuk melihat keindahan dan kekuatan asam sebagai komoditas hutan non kayu (NTFP) yang sesungguhnya merupakan penopang utama berbagai komunitas di NTT, karenanya dibutuhkan instrument penguatan yang khusus dan berkelanjutan.

Kerentanan NTT jangka panjang
Konservasi pohon asam, yang dapat hidup lebih dari 200-an tahun, sesungguhnya tidak dilakukan secara sadar oleh masyarakat NTT yang menikmati keuntungan ekonomis dan penghidupan dari asam (tamarind). Data pohon asam tidak diketahui secara pasti, tetapi data anecdotal sedikitnya menunjukkan lebih dari 2 juta pohon asam di NTT. Dibutuhkan penelitian lanjutan, tentunya untuk membuktikan salah atau benar.

Tidak seperti 'ekonomi kemiri' di Kabupaten Alor, ekonomi asam di Timor Barat tidak ditopang oleh kebijakan yang memadai. Asam hanya sekadar bagian dari hasil hutan non kayu (NTFP) yang signifikansi kontribusinya terhadap pembangunan dan ketahanan pangan tidak dihitung secara memadai.

Masalahnya adalah bahwa menurunnya populasi pohon asam di Timor Barat belum dirasakan sebagai masalah serius terhadap ketahanan pangan masyarakat. Salah satu risiko saat ini adalah bahwa harga biji asam bisa mencapai Rp 1.000,00 per kg di Pasar Inpres Soe pada musim tertentu.

Biji asam mulai menjadi favorit sumber pakan ternak akibat melonjaknya harga jagung yang mencapai rata-rata Rp 3.500-4.000 per kg. Ancaman terhadap konservasi asam mulai menjadi kenyataan dalam beberapa tahun ke depan, karena biasanya biji asam dibuang ke hutan agar tumbuh sendiri.

Tekanan pasar lokal yang di satu sisi menguntungkan secara ekonomis tetapi di lain sisi merugikan secara konservasi, secara jangka panjang tidak berkelanjutan. Kenyataan ini menuntut para pengambil kebijakan mengambil peran fasilitasi dalam mengembangkan ekonomi asam secara berkelanjutan, yang disertai dengan penguatan komoditas NTFP lainnya demi penguatan ketahanan pangan berkelanjutan di Timor Barat.

Saran penulis adalah bahwa startegi pengembangan NTFP seperti asam ini perlu ditopang oleh studi distribusi asam (dalam GIS mapping), studi spasial distribusi manfaat asam, ruang perbaikan konservasi NTFP, penyadaran masyarakat, serta konservasi asam dan komoditas NTFP lainnya berbasis masyarakat demi terciptanya ketahanan pangan berkelanjutan di Timor Barat.

Pengelolaan rantai asam
Pemerintah daerah sesungguhnya merupakan penghambat utama dalam pengembangan ekonomi asam di NTT. Bila ditelusuri pengelolaan rantai usaha asam (tamarind chain analysis), pengusaha pengumpul asam di Kupang dan Atambua serta 'middle men' tidak bisa disalahkan seratus persen untuk masalah harga asam yang tidak adil.

Laporan SMERU 2007 menyebutkan bahwa pengusaha diperhadapkan pada posisi yang sulit karena harus melayani urusan sembilan proses administrasi yang melelahkan dari tingkat desa hingga proses mengantar pulaukan: (1) Surat Permohonan Penerbitan SKSHH, (2) Surat Pernyataan dari Pemohon, (3) Daftar Hasil Hutan untuk Hasil Hutan Nonkayu, (4) Daftar Timbangan dari Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, (5) Berita Acara Pemeriksaan dari Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, (6) Pemberitahuan Impor Barang (PIB), (7) Lembar Lanjutan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), (8) Tanda Terima Sumbangan Pihak Ketiga dari Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota (9) Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam Rangka Impor (Bea Masuk, Jasa Pekerja, PPN Impor, PPh (Pasal 22).

Ke sembilan proses di atas bersifat formal. Belum termasuk pemerasan yang dilakukan oknum polisi pada pos-pos penjagaan. Analisis rantai asam sederhananya adalah sebuah tracking (penelusuran) dari faktor input (konservasi dan produksi) di hulu hingga pada tingkat hilir (pengelolaan paska panen hingga pemasaran akhir).

Pemerintah NTT belum berfungsi secara optimal dalam tata kelola (good governance) rantai asam, dan secara egois hanya terjebak dalam nafsu pungutan tanpa memberikan jasa layanan good governance yang kelihatan. Laporan Suharyo et. al. 2007 menyebutkan tiga hal penting yang patut diperhatikan. Pertama, adanya upaya Pemda NTT untuk mengubah bentuk pungutan menjadi sumbangan pihak ketiga atau biaya administrasi dengan tujuan menghindari peraturan Pemerintah Pusat yang membatasi jumlah pungutan. Kedua, bahwa dampak pungutan resmi terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) relatif sangat kecil, akan tetapi bisa memicu timbulnya pungutan tidak resmi (pungli).

Masalah Ketiga (p. ii) bahwa petani produsen umumnya memiliki skala usaha yang kecil dengan posisi tawar yang rendah, harga jual masih ditentukan oleh beberapa pedagang besar antarpulau sehingga terbentuk struktur pasar monopsoni alamiah (yakni keadaan di mana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas).

Jawaban terhadap ketiga masalah di atas hanya bisa terjadi kalau pemegang mandat kekuasaan rakyat yang bernama pemerintah mampu berbenah diri untuk menjalankan mandate tata kelolah pemerintahan di sektor pembangunan NTFPs khususnya dalam tulisan ini adalah asam, menuju ekonomi asam yang mampu menjadi penopang ketahanan pangan di NTT. *

Kandidat Doktor (PhD) Kajian Disaster Governance, University of Bonn, Bonn, Germany

Sunday, October 28, 2007

Perdagangan TKI anak di NTT

Persoalan malpraktek PJTKI yang memalsukan umur dan identitas merupakan hal yang memprihatinkan. Hingga saat ini tidak cukup kontrol yang dilakukan oleh Pemda Nusa Tenggara Timur, organisasi keagamaan, kaum intelektual, dan media massa di NTT untuk membongkar kasus penyimpangan yang terjadi. Berikut ini merupakan sebuah video pendek yang diedit ala kadarnya, sebagai sebuah informasi awal, untuk memahami bagaimana kerja calo TKI di lapangan.

Persoalan malpraktek PJTKI yang memalsukan umur dan identitas merupakan hal yang memprihatinkan. Hingga saat ini tidak cukup kontrol yang dilakukan oleh Pemda Nusa Tenggara Timur, organisasi keagamaan, kaum intelektual, dan media massa di NTT untuk membongkar kasus penyimpangan yang terjadi. Berikut ini merupakan sebuah video pendek yang diedit ala kadarnya, sebagai sebuah informasi awal, untuk memahami bagaimana kerja calo TKI di lapangan.