*Strategi NTT mengatasi rawan pangan
Oleh: Tony Suryokusumo, Pengembang Masyarakat Pedesaan
NTT rawan pangan, apa kata dunia ?
Belum terlalu lama kita di NTT tidak lagi ramai membicarakan mengenai masalah rawan pangan dan gizi buruk, namun saat ini kembali terungkap ke media permasalahan yang sama dari tahun ke tahun tanpa ada upaya sistematis yang mampu untuk mengatasi agar masalah reguler tersebut tidak berulang. Sungguh kenyataan pahit yang harus kita terima dengan sangat menyesal, bahwa rawan pangan dan gizi buruk yang awalnya merupakan sebentuk shock (Kejutan) sudah beralih menjadi cycle (siklus) yang jika dipahami lebih mendalam dapat disimpulkan bahwasanya pendekatan/strategi yang dilakukan pemerintah melalui pendekatan jangka pendek/penyelamatan seperti RASKIN, BLT, JPS dsb belum mampu menyelesaikan permasalahan secara mendasar dan jangka panjang dan sistemik melalui perbaikan terstruktur untuk layanan publik.
Kondisi rawan pangan juga telah menarik minat sebuah stasiun TV Internasional Al Jazeera untuk memotret kondisi nyata yang terjadi di NTT. Tujuannya adalah hasil liputan itu akan menjadi referensi pembanding terkait peristiwa serupa (kelaparan) di Timur Tengah, yang akan disaji dalam bahasa Inggris.
Sungguh sangat ironis, ketika berjuta-juta pasang mata “menatap wajah lain NTT” berupa rawan pangan, disisi lain belum terlihat kepekaan para pejabat publik dalam kesigapannya mengatasi masalah rawan pangan dan gizi buruk secara sistemik dan seolah kondisi ini harus diterima sebagai sesuatu yang mesti terjadi dan harus diterima dengan sabar dan tawakal karena merupakan cobaan.
Manajemen pembangunan nasional yang berwajah sektoral
Sejak Orde Baru wajah manajemen pembangunan nasional sangat sektoral dan hanya berorientasi proyek semata. Kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara Republik Indonesia secara perlahan diperlemah kemampuan swadaya dan rasa kebersamaan melalui budaya gotong royongnya dan berubah menjadi sangat tergantung dengan Pemerintah. Sikap yang semakin apatis dan semakin tergantungnya masyarakat dalam kebersamaan dan tanggung jawab membangun bangsa nampaknya dipicu oleh ketersediaan dana pembangunan yang ada di semua departemen dan dikelola oleh masing-masing tanpa ada koordinasi yang sinergis serta tanpa ada kontrol dari masyarakat yang berujung pada pesta pora KKN dalam pengelolaannya.
Masing-masing departemen memperjuangkan kepentingannya dengan kacamata sektoral, yang mana dapat dilihat dalam proses pembangunan sebuah kota, dimana jika bulan ini ada penggalian jalan untuk telekomunikasi, bulan berikutnya oleh PDAM, dilanjutkan oleh PLN. Terlihat bagaimana susahnya masing-masing dinas untuk berkoordinasi dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi layanan publik dan terlihat betapa telah terjadi pemborosan dana, waktu, tenaga yang luar biasa di pemerintahan karena ketidakterpaduan layanan dalam satu atap. Hanya beberapa daerah di Indonesia setelah diberlakukannya desentralisasi yang mampu berpikir dan bertindak untuk memberikan layanan yang terpadu satu atap yang murah dan efektip.
Betapa susahnya pemerintah baik Tk I maupun Tk II untuk memprioritaskan alokasi dana yang cukup besar dalam memperbaiki dan membangun infrastruktur di NTT yang mampu mendukung peningkatan produksi dan pemasaran komoditi pertanian, meningkatkan efisiensi biaya transportasi dll.
Tawaran solusi keluar dari rawan pangan
1. Pembangunan infrastruktur dasar yang strategis
Prioritas pembangunan yang lebih menfokuskan pada penyediaan infrastruktur dasar akan sangat berpengaruh baik dari sisi pemenuhan kebutuhan akan pangan, transpor yang murah untuk mobilitas warga , layanan informasi yang mudah dan murah, ketersediaan energi yang cukup untuk industri maupun rumah tangga, ketersediaan akan air yang memadai dll.
Sebagai contoh tentang kebutuhan pembangunan “infrastruktur irigasi NTT “ yang mampu memanen dan mengelola air untuk kepentingan multi guna baik pertanian, ternak, manusia dll. Dalam NTT online (http://www.ntt-online.org/2006/12/02/ntt-butuh-60-embung-irigasi-berskala-1-5-juta-kubik) , disampaikan informasi oleh Kepala Sub Dinas Pengairan, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah NTT, Ir. Obet Sabetu, M.Eng, bahwa Nusa Tengggara Timur (NTT) membutuhkan 60 buah irigasi berskala 1-5 juta meter kubik air yang ditampung pada musim hujan, agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik manusia, hewan maupun untuk kepentingan peternakan. “Ada 60 lokasi yang menurut hasil survei kami cocok untuk dibangun embung irigasi dengan daya tampung 1-5 juta meter kubik air,”
Jika kebutuhan 60 embung irigasi itu bisa dibangun seluruhnya, maka sumber airnya bisa dimaanfatkan untuk kebutuhan air baku, peternakan dan pertanian lahan kering seluas 60-70 ribu hektare. Saat ini, baru dibangun 24 embung irigasi diantaranya, embung irigasi Haliwen, Bendung Benenain dan Iri Malaka di Kabupaten Belu, wilayah yang berbatasan dengan negara Timor Timur.
Disamping embung irigasi, NTT juga membutuhkan 2.700 embung kecil, 2.600 sumur air tanah dan 29 buah waduk berskala 10-50 juta meter kubik.
Untuk embung kecil, saat ini baru dibangun 340 buah dari 2.700 buah dan 844 sumur air tanah dari 2.600 buah yang dibutuhkan di seluruh wilayah NTT.
Sedangkan untuk waduk, baru dibangun satu buah waduk di Tilong di Kabupaten Kupang yang dibiayai Jepang, yang mampu menampung air sebanyak 10-50 juta meter kubik. Waduk Tilong ini selain untuk supplesi irigasi Tilong seluas 1.484 hektare, juga untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat Kota Kupang.
Jika program pembangunan embung dan waduk ini bisa terealisir, NTT tidak akan mengalami rawan pangan lagi seperti yang terjadi selama ini.
“Kalau ada air, masyarakat bisa menanam apa saja, bisa beternak, sehingga mereka tidak lagi mengalami kesulitan seperti yang terjadi selama ini,”
Dari uraian diatas terlihat dalam pengalokasian APBD seharusnya lebih diprioritaskan untuk pendanaan sektor yang sangat strategis seperti irigasi, perbaikan dan pembuatan jalan beraspal/semen , pengembangan listrik perdesaan , pelabuhan, bandara dll yang mampu menggenjot sektor riil dan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat . Pembangunan infrastruktur mampu mengurangi berbagai kendala, memberi semangat kepada rakyat untuk lebih produktip karena tersedia prasarana dan sarana yang memadai/ layak sehingga pengembangan ekonomi rakyat menjadi lebih efisien dan tidak terkendala sehingga kedepan mampu bersaing dengan daerah lain. Pemerintah seharusnya berpikir untuk melakukan efisiensi dan memangkas alokasi dana yang dirasa kurang urgent seperti perjalanan dinas keluar daerah, studi banding, insentip untuk para pejabat dan anggota DPRD, mengoptimalkan sarana dinas yang ada dan mengurangi pembelian alat-alat kantor yang tidak perlu. Biaya rutin kantor harus lebih bisa dihemat melalui pemanfaatan “teknologi informasi” seperti pemanfaatan email, sms , teleconference dll yang mampu mengurangi besranya biaya untuk transportasi, akomodasi dll..
Dana SILPA seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendanai infrastruktur yang kedepan mampu membangkitkan dan menggairahkan perekonomian rakyat sehingga mampu meningkatkan PAD yang dapat digunakan untuk pembangunan NTT.
Pengembangan infrastruktur yang telah dilaksanakan seperti pelabuhan peti kemas Bolok dan tersedianya penerbangan regular dari berbagai daerah ke Kupang dan dari Kupang ke Denpasar maupun Surabaya harus menjadi modal dalam pengembangan ekonomi rakyat dan didaya gunakan secara optimal melalui peningkatan produksi hasil pertanian dan kelautan, kerajinan rakyat dll.
2. Reforma Agraria/Land reform
Reforma agraria sebenarnya bukan isu baru, namun menjadi masalah yang terus menerus mengemuka ketika pelaksanaannya yang hanya sebatas retorika belaka. Dalam kampanyenya, Susilo Bambang Yudhoyono juga menjanjikan akan adanya pembaharuan agraria dengan membagikan lahan milik negara kepada para petani yang membutuhkan.
Namun sampai saat ini janji itu belum terealisasi. Demikian pula untuk NTT, perlu ada kajian akan kepemilikan lahan secara adat/komunal yang mampu mengoptimalkan penggunaan lahan untuk memproduksi bahan pangan maupun bahan mentah untuk mendukung industri.
Menurut Henry Saragih (Sekjen FPSI) saat ini rakyat sendiri yang harus bangkit untuk memperjuangkan hak-hak agraria sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Undang-undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960. Karena mustahil menunggu pemerintah atau politisi berinisiatif mewujudkannya. Rakyat harus merapatkan berisan dan mengorganisasikan diri agar kekuatannya menjadi besar.
Dengan organisasi yang kuat, maka suara rakyat akan lebih berpengaruh.
3. Pengelolaan SDA berbasis masyarakat
Sumber daya alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia seharusnya dikelola secara bijaksana, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Manusia meskipun dianugerahi akal, pikiran dan nurani tidak boleh dengan segala keunggulannya dibanding makluk lainnya kemudian memperlakukan SDA dengan seenaknya, mengeksploitasi untuk memenuhi rasa tamak/serakahnya. Manusia sebagai bagian dari alam semesta seharusnya sadar bahwa kerusakan alam dengan sendirinya akan merusak dirinya. Namun sangat disayangkan kemanusiaan kita yang penuh nurani sering dikalahkan oleh napsu ekonomi yang cenderung menguras alam dan memperlakukan secara semena-mena dengan menuhi gaya hidup yang hedonis memuja kenikmatan hidup. Kita dapat melihat kegiatan pembalakan liar yang marak dibanyak daerah dinegeri kita, pembukaan lahan sawit ratusan ribu hektar milik konglomerat dengan cara membakar yang menyebabkan asap yang mengganggu kehidupan dan sampai ke negara tetangga sehingga Indonesia harus meminta maaf.
Di NTT masih sering dijumpai sistem pengelolaan lahan dengan cara tebas bakar dan perladangan berpindah yang dilakukan oleh sebagian petani kita. Padahal metoda ini kurang pas karena dapat mengurangi kesuburan lahan, meningkatkan erosi, menurunkan ketersediaan air karena terganggunya daur hidrologi, meningkatkan polusi udara yang berdampak pada menurunnya produktivitas lahan yang akhirnya lahan tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat alias kurang pangan. Keterkaitan dan saling ketergantungan antara alam dan manusia harus terus diupayakan agar harmonis. Jika mampu mengembangkan dan memanfaatkan teknologi, sebenarnya tidak sulit bagi NTT untuk keluar dari permasalahan rawan pangan, kurangnya ketersediaan air, ketersediaan energi dll.
4. Pemanfaatan Teknologi
Pengembangan jarak untuk biodisel, listrik tenaga surya, microhydro, pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas, pemanfaatan panas bumi dll mampu mencukupi kebutuhan energi secara mandiri di NTT.
Pengembangan sumur bor, embung, waduk, pompa air system vacuum, PAH (penampung air hujan) , pengelolaan daerah HULU sebagai daerah tangkapan hujan melalui pemberantasan pembalakan liar, perbaikan kondisi hutan melalui program nasional GERHAN seharusnya mampu mengatasi permasalahan kecukupan air untuk kehidupan.
Ketersediaan teknologi “bingkai A” yang sangat sederhana seharusnya mampu membantu petani di lahan miring untuk melakukan konservasi tanah dan air melalui penterasan sehingga mampu mengurangi laju erosi, meningkatkan pemanenan air, meningkatkan kesuburan tanah melalui pemanfaatan sisa pangkasan tanaman legume penguat teras sebagai pupuk hijau dll.
Pemanfaatan teknologi buididaya baik tanaman, perikanan dll, teknologi pasca panen dan pengolahan hasil seharusnya mampu meningkatkan produksi yang mampu menjaga kecukupan pangan masyarakat.
5. Penguatan ekonomi rakyat
Indonesia terlalu cepat dalam membuka dirinya untuk penerapan pasar bebas. Kekuatan ekonomi yang pada awalnya bertumpu pada agraris ternyata secara sangat cepat mau diarahkan untuk digantikan dengan sektor industri dan akhirnya ke sektor jasa.
Bungaran Saragih (mantan Menteri Pertanian tahun 2000 – 2004) dalam cuplikan/kutipan tulisan beliau yang menarik berjudul “Memeras Pertanian untuk pembangunan” mengatakan bahwa tahun 1966 WF Owen pernah memublikasikan teori The Double Developmental Squeeze on Agriculture yang kemudian dikenal sebagai teori pemerasan sektor pertanian untuk pembangunan. Teori ini mengatakan, pada tahap awal pembangunan ekonomi suatu negara yang ketersediaan modal masih sangat terbatas, pembentukan modal (capital formation) melalui pemerasan surplus sektor pertanian merupakan cara membiayai pembangunan ekonomi khususnya sektor industri.
Mekanisme pemerasan sektor pertanian dilakukan melalui pemerasan produksi (production squeeze) seperti pengupayaan harga-harga produksi pertanian murah melalui perbaikan produktivitas dan instrumen kebijakan lain. Mekanisme lainnya melalui pemerasan pengeluaran (expenditure squeeze) pertanian seperti instrumen pajak, memaksimalkan net capital outflow pertanian, nilai tukar (terms of trade) pertanian yang makin menurun, dan migrasi sumberdaya manusia dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Dengan mekanisme pemerasan pertanian tersebut, surplus pertanian-pedesaan diisap dan direinvestasikan pada sektor industri dan jasa.
Paradigma pembangunan ekonomi yang memeras sektor pertanian itu diadopsi hampir semua negara termasuk Indonesia. Sejak awal pembangunan ekonomi di Indonesia, praktik pemerasan sektor pertanian-pedesaan berlangsung sampai sekarang.
Beberapa solusi yang ditawarkan oleh Bungaran Saragih berupa ;
Uuntuk memperbesar kapasitas ekonomi pedesaan, perlu perubahan pendekatan pembangunan dari pendekatan produksi pertanian ke pendekatan sistem agribisnis. Dengan pendekatan sistem agribisnis, tidak hanya pertanian primer yang dikembangkan di pedesaan, tetapi juga industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, dan sektor penyedia jasa seperti perkreditan, pelatihan SDM, dan jasa transportasi.
Pengembangan industri hulu pertanian seperti pupuk dan benih dilakukan dan berorientasi pedesaan. Demikian juga industri pengolahan hasil pertanian dikembangkan diperdesaan.
Reinvestasi modal ke sektor pedesaan untuk mempercepat pembangunan sistem agribisnis sangat relevan dengan tujuan otonomi daerah. Ekonomi daerah kabupaten/kota akan berkembang bila terjadi reinvestasi ke pedesaan. Bila ekonomi pedesaan berkembang di seluruh daerah, pada hakikatnya ekonomi nasional secara keseluruhan pasti berkembang.
Pada akhirnya perubahan paradigma pembangunan dengan memperbesar reinvestasi ke pedesaan hanya akan berhasil bila kebijakan pemerintah berubah ke pro-rural. Kebijakan pro-rural sama artinya dengan pro-growth, pro-employment, dan pro-poor.
Namun menurut kami, pendekatan secara makro saja ternyata tidak mencukupi untuk keluar dari permasalahan rawan pangan dan gizi buruk.
Dibutuhkan langkah-langkah pendekatan mikro seperti :
Ø Revitalisasi budaya lokal untuk sikap hemat
Ø Pengelolaan ERT yang harus diterapkan
Ø Penumbuhan jiwa wirausaha dikalangan rakyat melalui pendidikan (formal,informal dan non formal)
Ø Penumbuhan peran BDS (Bussines development services)
Ø Diversifikasi pendapatan on farm, off farm dan non farm
Ø Penumbuhan dan penguatan Lembaga keuangan mikro pedesaan (Koperasi , CU, LKD dll)
Ø Pembukaan lapangan kerja melalui padat karya dll
Ø Penumbuhan agroindustri (Misal pembuatan biofuel jarak, sepatu, minyak kelapa dll)
Ø Pengembangan pariwisata kerakyatan dll.
6. Pengembangan Pertanian Berkelanjutan HULU – HILIR untuk kedaulatan pangan
Berbicara mengenai kecukupan pangan tentu tak terlepas dari bagaimana pangan itu sendiri diproduksi. Dijaman ORBA pendekatan produksi pangan melalui “revolusi Hijau” dan “Monokultur” ternyata hanya mampu mencapai swasembada pangan dalam beberapa tahun meski sempat mendapat penghargaan dari PBB.
Namun untuk selanjutnya dengan pendekatan pangan nasional yang lebih dominan pada beras telah mengantar kita pada ketergantungan yang luar biasa terhadap beras sehingga pemerintah lebih memilih membuka kran beras impor untuk mendapatkan harga pangan yang murah meski merugikan petani padi. Bahkan beras telah menjadi komoditi politik yang ditunjukkan dengan kebijakan pemerintah melalui pendekatan beras murah yang dikenal dengan isitilah “Raskin” dan bukan dikenal dengan istilah “Ngankin alias Pangan miskin”.
Pendekatan sistem pangan monokultur dengan revolusi hijaunya ternyata selain menyebabkan terganggunya ekosistem yang ditandai adanya ledakan hama, juga ditandai ketergantungan pada input luar dari pabrik seperti pupuk dan pestisida pabrik yang berujung pada terjeratnya petani pada para pengijon dan rentenir untuk memenuhi kebutuhan akan input luar berupa saprotan. Program pemerintah menggejot produksi pangan ternyata lebih ditekankan hanya pada bagian HULU (produksi) dan sangat kurang pada bagian HILIR (pasar) sehingga petani selalu diombang-ambingkan oleh fluktuasi harga dalam nilai tukar hasil pertanian. Kenaikan produksi tidak dengan sendirinya menaikkan pendapatan petani. Banyak petani yang frustasi akibat rendahnya harga komoditi pertanian dan kemudian beralih ke komoditi lainnya (contoh kasus penebangan tanaman cengkeh, kopi , panili, maupun Kakao) , namun nasib yang sama tetap menimpanya yakni harga jual yang rendah. Kasus rawan pangan di Sikka beberapa tahun yang lalu ditenggarai salah satu penyebabnya adalah sistem penanaman monokultur Kakao tanpa menyisakan lahan untuk ditanami tanaman pangan sehingga ketika terjadi serangan hama pada tanaman Kakao dan gagal panen maka petani tidak punya cadangan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang selama ini mengandalkan dari pemasukan penjualan Kakao.
Maka sudah selayaknya apabila pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan harus berbasis HULU-HILIR melalui :
Ø Penguatan organisasi petani (OP)
Ø Pengembangan pertanian berkelanjutan berbasis kawasan
Ø Pengembangan tanaman makanan lokal (Gewang, Umbi-umbian , jagung dll)
Ø Konservasi Tanah dan Air
Ø Pengadaan input lokal secara swadaya (pupuk, benih/bibit, pestisida dll)
Ø Diversifikasi pola tanam
Ø Pengembangan TUP (Tanaman Umur Panjang) seperti tanaman perkebunan dan kayu-kayuan.
Ø Pengembangan ternak
Ø Pemanfaatan TTG untuk peningkatan produksi, pasca panen, prosesing/pengolahan hasil.
Ø Pemasaran bersama/kolektip
7. Lumbung pangan kolektip
Keberadaan BULOG ternyata secara tak sengaja mampu menghilangkan kebiasaan masyarakat untuk mempunyai lumbung pangan bersama. Ada yang menarik apabila kita mau belajar dari leluhur kita bagaimana mereka telah menghitung berapa kebutuhan pangan selama setahun dan juga bagaimana mereka mengelola pemanfaatan stok pangan dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan. Juga bagaimana dengan secara cerdas memisahkan hasil panen untuk digunakan sebagai benih yang tidak boleh dikonsumsi. Menarik apabila kebiasaan lama ini dapat dihidupkan kembali untuk wadah mewujudkan solidaritas bersama dalam mengantisipasi rawan pangan.
8. Peningkatan kualitas dan kuantitas layanan publik
Sangat jelas bahwa wajah kemiskinan sebenarnya menunjukkan kegagalan para pelayan publik yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan negara untuk mensejahterakan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dll) sehingga hidup layak.
Maka mejadi tanggung jawab secara penuh bagi pemerintah melalui kerja sama secara sinergis dengan para pemangku kepentingan (Stakeholder) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya melalui berbagai program yang dijalankan seperti antara lain :
Ø Revitalisasi /Penguatan POSYANDU untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengatasi gizi buruk
Ø Pangan murah
Ø Layanan infrastruktur publik dasar
Ø Perumahan rakyat yang murah
Ø Pendidikan gratis untuk wajib belajar 9 tahun dll.
Sudah saatnya ada perubahan yang mendasar dalam paradigma penyelenggaraan pemerintahan kita menuju tata kelola pemerintahan yang bersih, terbuka, adil dan demokratis.
9. Pemimpin yamg merakyat dan melayani
Seperti kita ketahui secanggih apapun sistem yang dimiliki, namun tingkat keberhasilan sangat ditentukan oleh kapasitas SDM sebagai pihak yang menjalankan sistem tersebut. Ibarat sepeti mobil, sebaik apapun sistem pengeremannya, namun apabila sopirnya ngawur, ngantuk atau mabuk maka akan celaka juga. Demikian pula dengan layanan publik, akan sangat bergantung juga pada yang menjalankannya. Jangan berharap terlalu banyak untuk perbaikan kualitas layanan publik apabila sistem pemerintahan kita masih penuh dengan KKN, sistem kepegawaian yang masih menyamakan penghargaan baik pada PNS yang prestasi maupun yang frustasi (malas-malasan, main catur, oportunis dsb), pengangkatan pejabat publik berdasar SARA dan balas jasa dsb, premanisme dalam segala bentuk yang membuat ekonomi berbiaya tinggi dll.. Kita membutuhkan pemimpin yang peka, cakap, kompeten, jujur, disiplin , merakyat dan mau melayani, bukan sekedar pimpinan yang hanya kenal istilah instruksi dan sangat takut kalau dimarahi atasannya.
Kalau mau sungguh-sungguh mengatasi rawan pangan dan gizi buruk, maka kita harus melakukan pendekatan pembangunan yang holistik/integral yang mampu mengurangi angka kemiskinan secara nyata dan terukur dan tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan sektoral yang hanya sepotong-sepotong. Masalahnya apakah kita mau menanggalkan ego sektoral, mau berhenti KKN dan mau melayani negeri ini dengan sepenuh hati ? Kembali kita bertanya pada nurani kita masing-masing dan nilai-nilai kehidupan yang kita anut. Salam pembebasan.