Friday, May 23, 2008

100 Tahun peringatan Harkitnas: Indonesia (termasuk NTT) MAJU (Makin Jujur) ?


Tak terasa bangsa kita telah memasuki 100 tahun dalam memperingati Harkitnas, sebuah momen tumbuhnya kesadaran bersama untuk bertekad membentuk sebuah bangsa dan negara yang merdeka dari segala bentuk penindasan, bermartabat dan mandiri/ berdikari.

Perjalanan yang terasa panjang dan melelahkan dalam membangun semangat kebangsaan untuk menuju terwujudnya Indonesia Bangkit (dari berbagai keterpurukan) menuju masyarakat adil dan makmur berdasar Pancasila.

Momen saat ini juga sangat terasa pas dalam merefleksikan kembali perjalanan 10 tahun reformasi yang memakan tumbal para pejuang reformasi yang tak lain adalah generasi muda yang penuh idealisme dan mempunyai keberanian utnuk bertindak tanpa memperhitungkan untung rugi bagi dirinya.

Tidak seperti halnya para politisi yang selalu melakukan kalkulasi dalam bertindak, maka teman-teman mahasiswa didasari oleh amanat penderitaan rakyat dalam perjuangannya secara bergelora dan berani, bertindak dengan penuh heroik melawan para penguasa Orde Baru yang didukung dengan rejim militer yang tak kalah galak dalam menyalakkan senjatanya.

Tahun 2008, merupakan tahun ke-empat pemerintahan SBY-Kalla yang dipilih langsung rakyat, ternyata kentara sekali mereka lebih memihak kekuasaan daripada rakyat miskin yang mengusungnya, terbukti dengan dibiarkan berlarut-larutnya penderitaan warga yang terkena masalah Lumpur Porong Lapindo yang menyeret Aburizal bakrie, salah satu menteri yang mengkoordinir masalah kesejahteraan sosial namun ironisnya perusahaan miliknya justru menyengsarakan rakyat yang harus disejahterakan, semakin melambungnya harga sembako, rencana kenaikan BBM setelah sebelumnya tahun 2005 naik drastis, ditambah dengan langkanya BBM yang menyebabkan banyak warga kembali antri (sesuatu yang sudah lama dilupakan rakyat). Apalagi bagi rakyat miskin, antrian BLT dan beras gratis menjadi pemandangan yang seolah tak mengusik para pemimpin yang teridur kekenyangan sehingga buta hati, tuli hati dan seolah tanpa rasa kemanusiaan

Jeritan rakyat yang memilukan

Kondisi nyata rakyat miskin yang menjerit nyaring melalui berbagai media seolah tidak terdengar oleh para pembesar yang lebih senang membaca data tentang turunnya angka kemiskinan dan indikator makro ekonomi lainnya daripada turun langsung (turba) ke bawah ke lapisan masyarakat yang sekarang menjerit namun tak bersuara karena telah kehabisan akal dalam menyiasati pahitnya hidup dinegeri yang katanya menjanjikan surga karena melimpahnya SDA.

Begitu banyak upaya yang coba dilakukan dalam membangun jaring pengaman sosial namun kembali lagi mentalitas korup dan jeleknya layanan publik menjadi penyebab mengapa mesin birokrasi seperti kehilangan tenaga dalam mengangkat kaum miskin menuju hidup yang lebih baik. Seperti halnya pesawat terbang , maka sepintar apapun pilotnya , namun kalau tenaga dorong mesin tidak mampu melakukan take off maka pesawat akan terjerambah ke tanah dan memakan banyak korban.

Pemerintahan SBY-Kalla seharusnya belajar banyak mengapa mesin pemerintahannya tidak mampu melakukan take off/ tinggal landas, bukannya tinggal di landasan. Kondisi saat ini banyak sekali rakyat miskin sebagai penumpang pesawat bernama Indonesia yang belum sampai ke bandara dan hanya bisa melihat pesawat “Indonesia” dari kejauhan.

Belajar dari kehancuran negara lain ?

Sudah berulangkali kita mendengar kegiatan studi banding (stuba) ke negara lain yang lebih maju, namun dalam kenyataan hampir tidak ada perubahan yang nyata setelah kembali ke tanah air meski telah dikeluarkan dana yang tidak sedikit jumlahnya.

Alangkah lebih baik kalau strategi stuba diubah yakni dengan mengunjungi negara lain yang terpuruk dan menuju jurang kehancuran karena perilaku korupsi yang mewabah dinegerinya, sehingga diharapkan setelah stuba maka para anggota legislatip eksekutip maupun yudikatip menjadi sadar betapa hal yang sama juga menimpa negeri Indonesia yang dicintainya (?) seperti halnya kapal Titatnic yang tinggal menunggu karam sehingga harus dilakukan tindakan darurat segera mungkin untuk terhindar dari kehancuran.

Maka dalam penangan korupsi akut stadium akhir seperti di negeri kita , tidak lagi bisa menggunakan cara-cara konvensional tetapi harus melalui prosedur yang tidak biasa.

Rakyat tidak boleh hanya tingal diam menunggu perubahan, namun dapat melakukan tindakan kecil namun berarti berupa gerakan seperti tidak mau menerima bantuan keuangan dari saudara kita yang jelas-jelas melakukan korupsi, tidak perlu memberi hormat bagi pejabat yang perilakunya korup, melakukan pembangkanan sosial terhadap pejabat publik yang terindikasi korupsi, memperkuat organisasi rakyat sipil sebagai kelompok penekan dalam memberantas korupsi.

KKN, sebuah peluang atau menunggu kehancuran bersama ?

Terasa KKN sebagai sebuah kegiatan harian yang telah merasuk kedalam setiap sendi kehidupan kita. Kalau mau disayembarakan untuk membuat motto kondisi KKN di Indonesia umumnya, khususnya dibumi Flobamora, maka motto yang mungkin pas dalah ‘Tiada hari tanpa KKN’. Kegiatan KKN telah menjadi candu yang membuat ketagihan bagi para pelakunya, baik dari kalangan pemerintah, bisnisman, LSM maupun lembaga yang ada dimasyarakat, sama seperti halnya narkoba yang memberi kenikmatan sesaat namun sesat karena tak lama kemudian mematikan. Bagi pengguna narkoba, akibatnya akan langsung kelihatan, namun bagi pecandu KKN akibatnya tidak langsung kelihatan meskipun telah berlangsung dari sejak ORLA, ORBA dan sampai ORSU (Orde Susah) saat ini.

Mengapa KKN menimbulkan ketagihan ? Untuk lebih jelasnya harus dicarikan jawabnya pada pelaku KKN itu sendiri. Namun menurut penalaran logis, bagaimana KKN tidak menumbuhkan ketagihan, apabila hanya dengan sedikit bahasa tubuh seperti kerdipan mata atau gerak tangan dan kekuasaan yang terpusat ditangannya akan mampu mendatangkan ratusan ribu sampai ratusan juta rupiah. Apalagi kadang-kadang kita memakai standar ganda, disamping mengutuk KKN namun sekaligus juga menikmatinya dalam bentuk lain.

Bagi mereka yang sudah buta dan tuli hati nuraninya serta menjadikan hidup sebagai tempat memuja dan memuaskan hasrat keinginan/napsu untuk selalu menjadi penikmat, adanya KKN dapat dianggap sebagai peluang yang pantas dan harus diperjuangkan serta diraih dalam rangka memperoleh dana secara mudah tanpa harus kerja keras, yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup berlebihan, menikmati surga dunia berupa hidup borju (judi, mabuk, narkoba, seks bebas, kemewahan dll).

Perilaku KKN menjadi semacam prestasi yang diagungkan karena membutuhkan seni tersendiri untuk bagaimana tidak mempunyai budaya malu alias bermuka badak , bagaimana teknik yang dipakai untuk selalu lolos dari jerat hukum maupun lolos dari penilaian masyarakat sekitarnya. KKN menjadi tampilan atraksi untuk memamerkan keahliannya dalam memanfaatkan semua potensi SDA (Sumber Daya Alam) dan uang rakyat maupun pinjaman luar negeri untuk digunakan bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, sanak saudara, kolega maupun masyarakat pendukungnya.

Pelaku KKN tidak lagi mau berpikir panjang bahwa KKN adalah sebentuk penyakit sosial yang ganas, menular dan akut dan berakibat merugikan bagi masyarakat kecil, seperti halnya kanker ganas maupun AIDS yang secara pelan namun pasti menggerogoti tubuh dan tinggal menunggu saat ajal.

Bagaikan layaknya drakula yang menghisap darah korban, maka selanjutnya korban akan menjadi drakula baru yang siap memburu korban lainnya. Jadi di Indonesia kaum drakula (koruptor) telah beranak pinak dan membangun komunitas yang sangat kuat karena bagi mereka setiap hari membutuhkan darah segar yang terus bertambah jumlahnya.

Perilaku KKN, seperti halnya perilaku ular maupun belut, yakni sangat cerdik, licin dan rapi dalam menutupi kegiatannya. KKN bagaikan parfum yang harumnya menyebar kemana-mana dan dapat tercium maupun terendus, namun tidak nampak wujudnya. Setelah hampir 32 tahun dimasa Orde Baru belajar secara langsung dari praktik keseharian kehidupan kita bagaimana ‘teknik melakukan KKN yang benar dan canggih ?’, dan masih dilanjutkan di ORSU (Orde Susah) saat ini, maka ditengah masyarakat telah banyak manusia yang menjadi ‘serigala berbulu domba’, yang mana tampak dari luar sangat halus dan sopan seperti halusnya bulu domba , seolah-olah berbudi luhur mau menolong, namun akan menjadi liar dan ganas ketika melihat manusia didepannya dapat dijadikan mangsanya seperti halnya perilaku seekor serigala atau ular berbisa. Pelaku KKN cenderung menjadi pemangsa bagi sesamanya (Homo homini lopus) dan tidak merasa bersalah, karena telah kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya, dan yang muncul adalah sifat kebinatangannya.

Mereka, para pelaku KKN kebanyakan memang hidup serba kecukupan dan mewah, namun terpenjara dalam kekerdilannya, karena tidak mampu membangun dan mewujudkan solidaritas sosial bagi sesamanya, terlebih bagi kaum pinggiran, rakyat kecil yang menjerit yang menjadi korban tindakan KKNnya.

KKN bukan hanya menjadi masalah terkait menyalahi administrasi, prosedur hukum maupun sistem akuntansi, tetapi menjadi masalah moralitas dan mentalitas karena secara filosofi KKN adalah sebentuk penyalahgunaan dan pencurian yang sistematis, dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki sebagai pinjaman dari rakyat, dan menyiasati kelemahan system kontrol yang ada dalam system besar ketatanegaraan kita sehingga dapat menguntungkan bagi dirinya secara berlebihan dan tidak adil, karena bukan dari hasil kerja keras dan kejujuran.

Disamping itu KKN merupakan tindakan menyerobot “KASIH Tuhan” yang seharusnya diterima oleh umatNYA yang sangat membutuhkan, namun oleh pelaku KKN disalah gunakan untuk kepentingan diri sendiri.

Inilah wajah dunia kita, mengapa ada satu orang kekenyangan, dan seribu orang kelaparan, kata Franky menggugat dalam sebuah lirik lagunya. Bumi yang diciptakan untuk dipakai dalam kebersamaan, saat ini cenderung mau dikuasai sendiri oleh para pelaku KKN.

Mereka menjadi semacam gurita raksasa bebentuk birokrasi maupun kerajaan bisnis (termasuk perusahaan multinasional) yang dengan kekuasaan yang dimilikinya ingin merengkuh seluruh dunia menjadi miliknya.

Hal ini menjadi tantangan bagi kita kaum beriman, untuk mewujudkan iman melalui perbuatan, sehingga iman yang kita miliki berupa ‘iman yang memerdekakan dan membebaskan’ yang mengabarkan kabar kegembiraan bagi kita semua.

Solidaritas sosial religius perlu diwujudkan bersama-sama untuk menyatakan ‘perang terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme ‘ saat ini juga!

Sudah saatnya ditiap-tiap kabupaten, kotamadya dibentuk lembaga yang memantau praktik KKN (seperti halnya ICW) maupun perwakilan KPK dan membongkarnya untuk diselesaikan secara hukum demi mewujudkan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka menciptakan pemerintahan dan praktek bisnis yang bersih dari KKN. Sudah saatnya apabila tidak mau dikatakan terlambat, para pelaku KKN diajukan ke pengadilan dan supremasi hukum harus ditegakkan.

Rasa keadilan masyarakat akan semakin menguat dan akan menggugat putusan pengadilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan yang mencoba menjadikan hukum tunduk dibawah uang dan kekuasaan. Kita dukung terbentuknya sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang betul-betul independen dan mampu menjalankan fungsinya secara maksimal.

Mari kita galang bersama melalui kerjasama jaringan antar lembaga (agama, intelektual sejati, kalangan pers idealis, masyarakat peduli kejujuran, LSM, politisi rakyat, kelompok bisnis beretika dll) yang masih menghendaki kejujuran tegak dibumi Flobamora, agar praktek KKN kotor yang menyebabkan rakyat NTT terus dalam kemiskinan (meski bantuan bermilyar-milyar telah diberikan ,baik oleh pemerintah pusat maupun bantuan dan utang dari negara sahabat dll) untuk tidak diteruskan, dan digantikan dengan terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang didukung dengan praktek bisnis yang ber-etika dan berkeadilan.

Atau kita akan pasrah menunggu kehancuran bersama-sama, sementara para pelaku KKN akan tertawa dalam hati karena telah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal terburuk yang akan terjadi. Kehancuran kita bersama tidak akan berpengaruh bagi pelaku KKN karena mereka telah siap dari menikmati buah KKN (seperti halnya buah terlarang yang dimakan Adam sebagai manusia pertama).

Selamat memperingati ke 100 tahun “Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas)” bukannya memperingati “Hari Kebangkrutan Nasional” karena perilaku pejabat yang tidak jujur, rakyat yang semakin tidak nasionalis, pejabat yang suka menjual aset negara dan menjadi “ anjing NICA modern” yang lebih suka berpihak pada kepentingan asing yang membuat dirinya kaya raya meski tahu korbannya rakyat yang akan menderita.

Apapun yang akan dilakukan untuk memperingatinya dengan segala seremonialnya, tetapi yang terpenting lawanlah koruptor, jangan hargai pejabat yang korup, jangan pilih pejabat yang terlanjur tidak bersih terutama menjelang Pilgub NTT 1 , dan mulai hidup bersih dari tipu-menipu.

Selamat berjuang menegakkan kejujuran, kebenaran , perdamaian dan keadilan, bagi kita semua yang masih berharap kejujuran dan nilai luhur masih akan merekah dari ufuk timur, seperti halnya matahari yang selalu terbit dari arah timur dan memberi sinar bagi mahuk hidup didunia. Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali, menuju Indonesia MAJU (Makin Jujur).

Salam merdeka .


YBT. Suryo Kusumo ; tony.suryokusumo@gmail.com

Pengembang masyarakat perdesaan