Saturday, December 8, 2007

Bas Wie, Kisah Hidup‘The Kupang Kid’

Bas Wie telah menjadi legenda. Kisah bocah 12 tahun yang terbang dari Kupang ke Darwin dengan duduk di bagian roda pesawat (wheel compartment) milik tentara Belanda di tahun 1946 telah menjadi bagian dari ingatan abadi orang Australia dan mendunia. Ia akan selalu dikenang, dengan aksi beraninya, bergantung di bagian roda pesawat selama 3 jam. Itu lah sebabnya sebutan ‘Kupang Kid’ hanya akan menjadi milik Bas seorang.

Koki kecil di Penfui ini menjadi saksi akhir Perang Dunia Kedua. Kupang, dan daerah Timor secara keseluruhan kala itu menjadi medan pedang Australia dan Jepang. Pulau Timor menjadi buffer zone bagi tentara Australia, yang memilih menghadang Jepang di Timor sebelum tentara matahari terbit sempat bergerak menuju daratan Australia. Perang telah memisahkan ia dari keluarga besarnya.

Kisah koki kecil pemberani

Bas Wie, anak yatim piatu, bekerja sebagai koki di bandara. Setelah Jepang kalah perang. Ia hanya ingin naik pesawat dan pergi. “Saat itu, karena masih kecil, sungguh beta sonde tau kalau ada negeri lain di luar sana,” kata Bas jujur di usianya yang sudah melewati kepala tujuh.

Saat itu Bas menyelinap, dan mencoba mencari pintu pesawat, tetapi semuanya terkunci. Hanya bagian roda lah yang kosong. Ia pun hinggap di situ.

Saat pesawat meninggalkan landasan pacu di Penfui, baru lah garis hidup atau mati menjadi begitu dekat dengan Bas. Tarikan balik roda pesawat, saat pesawat lepas landas membuatnya kembali panik. Ia nyaris remuk dimakan roda pesawat DC-3. Bas pun bergeser mencari posisi aman yang paling mungkin. Ia pun meringkuk di bagian pesawat yang dalamnya sekita 20 centimeter, dan tingginya sekitar 51 centimeter. Atau tepat diantara tengki minyak dan pipa pembuangan. Di tempat itu panas dan dingin menjadi satu. Selama tiga jam ia bertahan di sana.

Langit sudah gelap, saat pesawat DC-3 mendarat di markas RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin. “Saat saya menyalakan senter, dan sorot ke atas, ada tubuh seorang bocah di sana. Ia sudah tidak sadarkan diri lagi, setengah tubuhnya terbakar parah, dan di sisi tubuh yang lain membeku,” tutur Jim Fleming, pensiunan air vice-marshal RAAF. Saat itu Jim memang yang bertugas untuk memeriksa pesawat DC-3 milik angkatan udara Belanda yang bermalam di sana.

“Kedua bola matanya berputar, dan yang tampak hanya dua bola mata putih, saat itu kami berpikir bocah ini sudah mati,” kata Jim mengenang kejadian malam itu. Meskipun ia terluka parah di bagian perut, Bas bisa diselamatkan. Hingga hari ini Jim yang akrab dengan sekian jenis pesawat, masih tak percaya bahwa Bas bisa bertahan hidup. Ia pulih setelah dirawat di Australia Utara selama tiga bulan.

Terancam dideportasi

Setelah dinyatakan sembuh, Bas oleh pemerintah setempat hendak dikirim pulang ke Kupang. Menteri urusan Imigrasi kala itu, Arthur Caldwell, beteriak kencang untuk memulangkan Bas, namun keputusannya dihujani protes luar biasa oleh warga Darwin. Masyarakat Darwin, menggangap anak kecil dengan keberanian semacam itu, tak patut dideportasi. Akhirnya Bas Wie pun ditampung dan menjadi tanggungan Negara. Tetapi setiap tahunnya Bas harus memperbarui ijin tinggal di sana. Kebijakan rasial itu memang belum lah dihapus. Untuk itu Bas setiap tahunnya memang harus menghitung apakah akan tetap tinggal atau dideportasi.

Keputusan final baru ada pada tahun 1958 Bas resmi menjadi warga Negara Australia. Penetapan ini memang melengkapi kebahagiaannya, sebab pada Bulan Desember tahun sebelumnya (1957), Bas telah menyunting nona manis dari Perth. Di usia 24 tahun, Bas Wie ‘anak Kupang’ menikah dengan Margaret.

Pertemuan keduanya, menurut Margaret atau kini dikenal sebagai Mrs.Wie sangat berkesan. Saat bertemu pertama kali Margaret baru berusia 15 tahun, dan baru mulai bekerja sebagai junior draftswoman, sedangkan Bas Wie bekerja sebagai internal mail officer di Departemen Pekerjaan dan Perumahan.

“Saat itu ia datang ke meja saya sambil membawa surat, personal delivery,” kata Margaret mengenang dan ia kemudian melanjutkan, “menurut saya, itu memang cinta dalam pandangan pertama.” Delapan belas bulan kemudian Bas dan Margareth menikah di sebuah gereja kecil tempat Bas kecil bekerja sebagai putra altar (ajuda).

Penggalan kisah hidup Bas Wie mendunia di tahun 1978, saat Bas dan keluarganya diangkat dalam program ‘This Is Your Life’. Kisah hidupnya tak hanya mendunia, tetapi sudah menjadi bahan sejarah museum Australia Utara.

Pulang ke Sabu

Setelah sekian lama tahun merantau, pada tahun 1991 Bas pulang dan bertemu keluarga besarnya di Sabu. Pertemuan yang sangat mengharukan. Bocah 12 tahun ini, sudah setengah abad lebih merantau. Entah apa yang dipikirkan Bas Wie saat kembali ke Sabu saat itu, melihat kekeringan, juga kebersahajaan keluarga besarnya. Suka dan duka adalah satu, sama seperti panas dan dingin yang menjadi satu saat itu meringkuk di roda pesawat.

Bas sendiri sudah tidak bisa berbahasa Sabu lagi, dan jarang kontak dengan keluarga besarnya. Menurut Bas keluarga besarnya memang susah, tapi mereka bahagia. Hingga kini ia masih menyimpan foto keluarganya, menurut Margaret kemampuan mengingat jangka pendek Bas sudah menurun, namun ingatannya untuk peristiwa lampau masih lah kuat.

Minggu ini, minggu kedua Bulan Desember 2007, Opa Bas dan Oma Margaret merayakan 50 tahun pernikahan mereka. Keduanya dikaruniai lima orang anak dan tujuh cucu. Dari Kupang, anak-anak Kupang yang lain hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Pernikahan Opa dan Oma. Kisah hidup Opa Bas adalah kisah yang luar biasa, nyaris seperti dongeng.

(Bram, bahan diolah dari Time/ntnews.com/ABC/)

Tuesday, December 4, 2007

Di Kupang, Serangan Jantung Diminta Pulang

KUPANG, Kabar NTT--Ada-ada saja kejadian di Rumah Sakit Umum(RSU) Prof.Dr.WZ.Johannes Kupang. Meskipun baru saja terkena serangan jantung, pasien disuruh pulang. Kasus ini terjadi Jumat malam lalu(30/11), terhadap seorang Ibu. Karena keterbatasan ruangan pasien diminta pulang, karena tidak ada ruangan Intensive Care Unit (ICU). Keesokan paginya sang Ibu kembali harus dilarikan ke RSU karena mendapatkan serangan jantung.

“Awiiiii, org kena serangan jantung dan langsung suruh pulang tu beta baru pertama kali seumur hidup dengar, seharusnya ada waktu yg cukup tuk observasi dolu,” kata Fel setengah tak percaya bahwa kejadian ini memang benar terjadi terhadap Ibunya.

Nanti Tuhan Tolong

Hingga hari ini sang Ibu masih terbaring di RSU karena kondisinya tidak memungkinkan untuk dievakuasi ke RS yang peralatannya lebih komplit. Komplit atau lengkap di sini artinya harus di-terbangkan ke Bali atau Jawa. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pasien dari keluarga yang mampu, sedangkan yang masuk dalam golongan asli NTT (Nanti Tuhan Tolong), hanya bisa berbaring tak berdaya.

“Kalo kena pi yg sonde mampu kasarnya, apa katong kastenga ko lewat sa"su ko? Sonde heran kalo masih ada anggapan yg sering kita dengar seperti contoh bila ada yg meninggal mendadak, diyakini oleh pihak keluarga yang ditinggalkan bahwa itu meninggal karna ‘orang bikin’... padahal, mungkin saja meninggal karna serangan jantung (Hidden Death),” tutur Fel yang masih menyesalkan kenapa fasilitas kesehatan di Kota Kupang belum juga dibenahi.

Tingginya penderita jantung di Kupang, menurut Fel disebabkan oleh pola makan yang tidak mempertimbangkan komposisi makanan sehat. “Nah, beta pikir, dengan pola makan katong org Kupang yg cenderung sonde bisa telan nasi kalo sonde ada itu daging (sapi maupun fafi), minus sayuran dan buah-buahan, tambah lai dengan hobi minum laru, resiko kena penyakit jantung itu cukup tinggi,” kata Fel dengan yakin.

RSU Dadolek (kamomos)

Fasilitas kesehatan di Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT ini memang amat memprihatinkan. Indikasinya ada beberapa. Rumah sakit ini selain terkenal jorok (kamomos), fasilitas kesehatannya pun sangat minim. Hingga saat ini alat pacu jantung di Rumah Sakit ini rusak. Kenyataan ini sudah berulang kali dibeberkan oleh dr.Frank Touw dan sejumlah dokter lain yang dengan mudah dipindahkan karena bersikap vocal karena ‘kaget’ terhadap suasana di RSU.

Tak hanya alat pacu jantung, CT Scan pun jangan harap bisa ditemukan di sini. “Tolong do ko bapak-bapak di atas lebe memperhatikan sarana maupun prasarana medis yang ada di Kupang do,” harap Fel yang khusus berharap terhadap kasus yang menimpa Ibunya.

Kondisi pelayanan kesehatan di Kupang sebenarnya sudah amat parah. Para dokter tak mampu keluar dari kepungan para birokrat maupun mafia ‘pengadaan barang’. Akibatnya, upaya renovasi terjebak dalam perebutan proyek, dan pengadaan barang obat-obatan maupun alat kesehatan selalu saja lengket dengan ‘mark up’ alias penggelembungan harga. Di NTT , baru Kabupaten Sumba Timur, dengan Bupatinya Mehang Kunda, yang berani memotong jalur pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan.

Tak hanya itu, para dokter praktek di Kupang pun saat ini sudah ‘lengket’ ditempeli para agen penjualan obat. Umumnya para agen marketing perusahaan obat berlomba memasarkan obat-obatan untuk dipakai sang dokter. Sehingga tak jarang, pasien yang mengeluh karena obat yang diberikan sangat keras, alias jauh dari kebutuhan, hanya untuk memenuhi target penjualan.

Belajar dari kondisi ini Pemda NTT yang didukung Pemkab di NTT bekerja sama dengan satu-satunya Universitas Negeri di Provinsi ini untuk mendirikan Fakultas Kedokteran. Besar harapan bahwa para dokter semakin banyak dan pelayanan kesehatan pun semakin bisa menjangkau banyak kalangan dengan semangat pelayanan.

Kenyataannya saat ini, NTT masih sangat bergantung pada dokter PTT yang umumnya segera kembali ke daerah asal setelah selesai PTT. Umumnya para dokter baru ini pun juga berjuang keras untuk segera balik modal untuk ongkos pendidikan dokter yang memang mahal. Dengan kenyataan ini NTT pantas untuk khawatir.

Jika dalam lima tahun ini tidak ada pembaruan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan maka bisa dipastikan NTT telah sangat ketinggalan, bahkan akan tertinggal jauh dari saudaranya di Timor Leste. Saat ini tak kurang dari 500 dokter asal Timor Leste sedang belajar di Kuba. Dengan tambahan 500 dokter wajah pelayanan kesehatan di sana akan berubah jauh. Cepat atau lambat, Timor Leste akan menjadi pembanding baru oleh NTT (Bram)

Sunday, December 2, 2007

Kota Kupang Luncurkan Website

KUPANG, Kabar NTT-Pemerintah Kota Kupang di awal Bulan Desember 2007 ini memberikan sebuah gebrakan baru, menghadirkan Kota Kupang di dunia maya. Dalam komentar di halaman awal Kota Kupang (http://kotakupang.com/) Daniel Adoe, walikota terpilih dalam Pilkada tahun ini menyatakan sebagai pimpinan eksekutif ia merasa mustahil dapat membangun Kota ini tanpa kerjasama berbagai pihak.

"Kami berharap bahwa Website ini akan menjadi sebuah media komunikasi antara kita. Media ini akan memungkinkan pemerintah bertegur sapa dengan rakyatnya, khususnya rakyat Kota Kupang atau setiap elemen yang peduli dengan keberlangsungan pembangunan di Kota Kupang," ujar Dan Adoe.

Sekedar catatan duet Duo Dan: Dan Adoe dan Dan Hurek, Walikota dan Wakil Walikota terpilih dalam Pilkada Kota Kupang yang penuh dengan drama emosional ini, berhasil menjadi pemenang dengan jumlah pemilih: 40.504. Disusul saingan terdekat, Jefri Riwukoreh-John Dae: 32.801, disusul Al Foenay-Andreas Agas: 32.601 suara. Sedangkan Yonas Salean-Alex Ena yang diprediksi menjadi rival utama hanya mendapat: 24.596 suara.

Pilkada dengan sistem langsung, tanpa perwakilan, yang baru pertama kali dijalankan Kota Kupang ini benar-benar menguras emosi, pikiran dan uang. Drama Pilkada ini ramai menjadi headline sejumlah surat kabar lokal. Berapa banyak tali persahabatan patah selama Pilkada? Berapa banyak orang yang stress karena tak berhasil meloloskan jagonya, dan berapa banyak uang yang habis untuk kampanye? Mudah-mudahan lewat web site ini hasil nyata Drama Pilkada Kota Kupang dapat diberitakan.

Arti penting website ini tak hanya menjadi barang baru untuk Warga Kota Kupang, tetapi web site ini juga menjadi cara baru bagi warga Kota Kupang untuk menyampaikan saran, pandangan, dukung dan kritik untuk lebih memajukan Kota Kupang. Kita menunggu apakah web Kota Kupang ini dikelola biasa-biasa saja, seperti web pemda di berbagai kota, kabupaten, dan provinsi di Indonesia atau kah website menjadi cara baru untuk lebih mendekatkan para aktivis di Pemda Kota Kupang untuk lebih terbuka dan lebih merakyat dalam menjalankan roda pemerintahan.

Apa pun itu terobosan Duo Dan perlu dimaksimalkan, agar dukungan masyarakat saat Pilkada tidak sia-sia. Mudah-mudahan pemimpin yang merakyat dan paham kesulitan masyarakat kecil, menengah, dan atas dari berbagai unsur masyarakat Kota Kupang merupakan karakter Duo Dan. Jadi kalau ada yang nyong deng nona rasa kurang pas tentang Kota Kupang na, tolong bilang do, supaya itu web site ada guna ju. (Bram)

KORUPSI: Sebab dan Akibat


Oleh. Paul SinlaEloE*)

Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan oleh kebanyakan pakar diyakini usianya setua dengan peradaban masyarakat. Sejarawan Onghokham (1983) menyebutkan korupsi telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok. Secara lebih konkrit, Eep Saefulloh Fatah (1998), menegaskan bahwa di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun 1200 SM, telah ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi.

Korupsi secara leksikal adalah istilah dari bahasa latin, yakni “Corruptio/Corruptus” yang berari kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 1984). Istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto, 1986).

Istilah korupsi ini kemudian oleh para ahli dirumuskan definisinya sesuai dengan latar

belakang dari dari yang merumuskan definisi tersebut. Walaupun sekarang ditemui banyak definisi korupsi yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Dalam definisi yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. (Waterbury, 1994). Sedangkan untuk pengertian yang lebih dipersempit, Eep Saefulloh Fatah (1998), mendefinisikan korupsi sebagi penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga atau klik, melampaui batas-batas yang dibuat oleh hukum.

Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, Mochtar Mas’oed (1994) berpendapat bahwa tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah.

Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.

Dari pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, Adji (1996) berpendapat bahwa pengertian korupsi seharusnya tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.

Di Indonesia, korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. (KBBI, 1995). Secara yuridis, sebagimana yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah korupsi dipersempit artinya menjadi: “Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Dalam perkembangannya, korupsi telah menjadi wabah penyakit yang menyerang setiap negara di dunia. Korupsi kini sudah menjadi ancaman serius yang membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan sudah seharusnya tindakan korupsi digolongkan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. (Romli Atmasasmita, 2001). Sarah Lery Mboeik (2004), berpendapat bahwa tindakan korupsi telah berakibat pada disharmoni dan disintegrasi bangsa, baik berdasarkan kelompok/golongan atau berdasarkanetnis dan semakin lebarnya jurang perbedaan sosial-ekonomi antara pelbagai lapisan masyarakat. Akibat lain yang ditimbulkan dari suatu tindak korupsi adalah ketidakstabilan pemerintahan, terjadinya revolusi sosial dan menimbulkan ketimpangan sosial budaya (J. S. Nye, 1967).

Menurut M. Mc Mullan (1961), tindak korupsi juga dapat berakibat pada tidak efisiennya pelayanan pemerintah, kepada masyarakat, ketidak adilan dalam kehidupan bernegara, terjadinya pemborosan sumber-sumber kekayaan negara, rakyat tidak mempercayai pemerintah dan terjadinya ketidakstabilan politik. Sedangkan menurt mantan Wapres Amerika Serikat, Al Gore (1999), korupsi merupakan sumber penyebab runtuhnya suatu rezim.

Pada konteks Indonesia, S. Anawary (2005), berpendapat bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana menggerogoti batang tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Gadrida Rosdiana Djukana (2007), tindak korupsi di Indonesia juga telah mengakibatkan tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil, parahnya angka kekerasan terhadap perempuan, melonjaknya angka putus sekolah, meningkatnya pengidap gizi buruk dan merebaknya persoalan kriminalitas.

Dampak atau akibat dari tindak korupsi ini, juga digambarkan secara baik oleh Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003), dalam 3 (tiga) kategori, yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya. Secara politik, tindakan korupsi juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara, Karena: Pertama, prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh para koruptor. Ketiga, posisi pejabat dalam struktur pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal ini disebabkan karena proses penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih dipengaruhi oleh politik uang (Money Politic) dan kedekatan hubugan (Patront Client), ketiga, Proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga proses pembangunan berkelanjutan terhambat.

Sedangkan dampak korupsi dari aspek sosial diantaranya: Pertama, Pada tingkat yang sudah sangat sistematis, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran (Fairness). Hal ini disebabkan karena semua persoalan diyakini bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua, Korupsi mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan hukum untuk mencapai segala keinginannya.

Dari aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat. Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat. Kedua, Harga barang menjadi lebih mahal. Hal ini disebabkan karena perusahaaan harus membayar “UPETI” atau “BIAYA SILUMAN“ sejak masa perijinan sampai produksi. Khusus untuk biaya siluman, biasanya dapat mencapai 20%-30% dari total biaya operasional perusahaan. Tingginya biaya siluman ini otomatis akan menurunkan tingkat keuntungan usaha dari para pemilik modal/pengusaha. Agar para pemilik modal/pengusaha tetap memperoleh banyak keuntungan dalam usahanya, biasanya mereka menekan upah buruh. Ketiga, Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi dan politik. Realitas seperti ini mebabkan sektor usaha yang berkembang hanya di sektor elite, sementara sektor ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang. Keempat, Produk petani tidak mampu bersaing. Tingginya biaya siluman juga mengakibatkan harga-harga faktor produksi pertanian (Pupuk, Pestisida, Alat Mekanik, dll) sangat mahal. Akibatnya harga-harga produk petani juga meningkat, sehingga tidak mampu meraih keuntungan karena kalah bersaing dengan produk impor.

Keseluruhan dampak dari tindakan korupsi yang telah dipaparkan diatas, dalam ilmu kriminologi, dipastikan dapat terjadi karena dua hal, yakni: Pertama, adanya niat (Intention). Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb. Kedua, adanya kesempatan (Moment). Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll. Dengan pemahaman seperti ini, maka dari aspek kriminologi korupsi akan terjadi sesuai dengan rumus sebagai berikut: C=I+M (Ket: C=Corruption/Korupsi, I=Intention/Niat, M=Moment/Kesempatan). Rumus yang demikian pada dasarnya menunjukan bahwa apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika kesempatan untuk melakukan korupsi itu ada/terbuka lebar tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga tak akan terjadi.

Berkaitan dengan itu, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi, M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan, D=Discreation/Kewenangan, A=Accountability/pertanggungjawaban). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.

Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: Pertma, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.

Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca : Para Pemegang Kebijakan).

*) Staff Div. Anti Korupsi PIAR NTT.