Sunday, May 11, 2008

Global Warming dan Climate Change= Hantu Siang Bolong?

Benarkah Global warming dan climate change, sekedar hantu siang bolong atau kah prediksi ilmiah yang akan jadi kenyataan ? Untuk mendapatkan gambarannya, simak tulisan Tony Suryokusumo berikut ini.


Bagi kebanyakan masyarakat, global warming atau yang lebih dikenal dengan pemanasan global dan perubahan iklim mungkin hanya sekedar “breaking news” atau berita selintas yang kemudian dilupakan.


Mudah-mudahan hal ini tidak berlaku bagi para pemimpin NTT (pejabat , pemuka agama, budaya, akademisi, jurnalis, pengusaha, LSM dll) yang diharapkan masih terus punya komitmen untuk ikut berkontribusi terhadap berkurangnya pemanasan global maupun perubahan iklim.


Praksis (take action) dalam keseharian


Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap pengurangan pemanasan global ? Mungkin ini pertanyaan yang sering diajukan kepada para pakar lingkungan, namun sebenarnya pertanyaan yang lebih penting adalah apakah masyarakat luas di NTT telah memahami apa yang dimaksud dengan pemanasan global maupun perubahan iklim dan dampak negatipnya bagi kelangsungan hidup kita di NTT ke depan ?


Anak saya yang masih duduk di SD tidak terlalu paham dengan istilah tersebut karena mungkin tidak terlalu dibahas didalam kelas atau mungkin tidak masuk dalam bahasan mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum, padahal seandainya kita semua mau mencermati akan dampak negatipnya yang sungguh luar biasa bagi kelangsungan peradaban manusia dibumi, maka pasti kita akan semakin peduli dan akan segera bertindak sesuai dengan kemampuan yang ada.


Orang bijak mengatakan “sedia payung sebelum hujan” meskipun masyarakat kita lebih suka sebaliknya yakni mencari tempat berteduh atau payung/jas hujan setelah hujan turun. Kebiasaan sikap re-aktip masyarakat kita tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus digantikan dengan sikap pro-aktip.


Menjadi pertanyaan, siapa yang harus mensosialisasikan terkait pemanasan global dan perubahan iklim ini kepada masyarakat luas di NTT ?


Musuh peradaban telah ada dimuka bumi yakni perilaku kita semua sebagai penghuni bumi yang terus saja membuang emisi berupa gas CO2 ke udara karena gaya hidup kita yang kurang peduli pada kelestarian bumi.


Dalam salah satu topik pembicaraaan Perpektif Wimar di websitenya Wimar Witoelar http://www.perspektif.net/indonesian/article.php?article_id=857), Dr. Armi Susandi ahli perubahan iklim dari Fakultas Kebumian dan Teknologi Mineral ITB mengatakan “Akibat dari pemanasan global bukan hanya dirasakan daerah pesisir , bahkan ada negara yang juga terancam bisa hilang seperti Tuvalu”.

Secara singkat Dr Armi menjelaskan bahwa dunia menjadi panas karena tertutup co2 yang disebabkan antara lain pembakaran bahan bakar fosil. “tahun 2035 kita ke bandara Soekarno Hatta harus naik perahu”, tuturnya. Energi alternatif mungkin bisa menjadi sebuah solusi tapi dengan konsekuensi akan membuat harga pangan melambung tinggi, seperti yang sekarang terjadi

Lebih lanjut beliau mengatakan fenomena ini ditandai beberapa hal seperti curah hujan yang tinggi ketika musim hujan, dan kemarau yang panjang setelahnya. Menurut Armi, jika terjadi perubahan cuaca maka penyakit akan muncul. Biasanya kita mengalami dua kali perubahan cuaca dalam satu tahun, sekarang bisa tiap hari terjadi perubahan cuaca yang berarti penyakit juga akan sering muncul. “Untuk itu peran pemerintah sebagai sumber informasi dan sosialisasi sangat penting”

Solusi yang ditawarkan adalah selain mencari energi alternatif, upaya penghijauan adalah solusi lain yang paling efektif. Karena disamping menyerap air, tumbuhan juga dapat menyerap co2. Indonesia tampaknya menjadi harapan dunia untuk masalah ini, selain memiliki hutan tropis yang besar, kita juga memiliki laut yang luas dimana tumbuhan laut didalamnya memiliki kemampuan menyerap co2 lebih besar dari tumbuhan di darat.

Dari gambaran dan penjelasan Dr. Armi Susandi diatas menjadi lebih jelas bagi kita masyarakat NTT apa saja yang dapat dilakukan untuk ikut mengurangi pemanasan bumi secara global.

Kebiasaan perladangan berpindah dn tebas bakar dalam membuka lahan di bumi Flobamora selain merusak lingkungan sekitar , secara tidak langsung juga turut andil dalam menambah emisi CO2 ke udara. Padahal sebenarnya pola pengelolaan lahan secara berpindah dan tebas bakar dapat digantikan dengan pola pertanian secara menetap tanpa harus membakar lahan dan teknologinyapun sangat sederhana dan mudah .

Apakah para Bupati dan Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan diwilayah Flobamora berani mendeklarasikan komitmen mereka untuk mampu menjadikan perubahan kebiasaan perladangan berpindah dan tebas bakar tersebut sebagai target kinerja dan menggantikannya dengan pola yang lebih lestari yakni pertanian berkelanjutan dengan konservasi lahan untuk lahan miring ? Pasti hal ini harus mendapat dukungan politik dari anggota DPRD setempat yang dituangkan dalam bentuk PERDA.

Para politisi DPRD Tk II dan Pemkab seharusnya tidak lagi berkutat hanya dengan permasalahan yang ada dirumah tangganya sendiri yakni dilingkup kabupaten, tetapi sebaiknya terus memperluas wawasan bahwa sebagai penghuni rumah yang sama yakni BUMI maka sudah selayaknya ikut memikirkan kontribusi apa yang dapat disumbangkan setiap Pemkab di bumi Flobamora ini secara nyata bagi pengurangan panas bumi secara global


Kita harus berpikir global, namun bertindak lokal, dan cara yang termudah pilihannya antara lain adalah;

  1. Menyelamatkan dan melestarikan hutan yang masih bisa diselamatkan,

  2. Melakukan penghutanan kembali hutan yang terlanjur rusak,

  3. Memberantas pembalakan liar,

  4. Mengajak warga masyarakat menghijaukan lingkungannya dengan menanam dan memelihara pohon-pohon yang sudah ada .

  5. Mengajak seluruh perkantoran pemerintah untuk memberi contoh gerakan bersama peduli lingkungan hijau dan sejuk melaui penanaman pohon dikantornya maupun dirumah PNS,

  6. Setiap dinas diserahi pengelolaan satu areal taman, seperti yang diterapkan di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, memperbanyak hutan kota di ibukota kabupaten maupun kecamatan,

  7. Memasukkan muatan lokal (mulok) dalam pendidikan formal yang dimulai dari tingkat SD,

  8. Mengomposkan sampah organik dan diajurkan untuk tidak membakarnya, mengurangi pemakaian kendaraan bermesin (motor, mobil) yang dirasa tidak terlau mendesak,

  9. Mengatur transportasi publik seperti angkot/mikrolet , bus kota dan bus antar kota secara lebih efisien dan efektip.

  10. Mengurangi pemakaian listrik

  11. Merawat mesin dengan baik sehingga pembakaran sempurna dan hemat BBM

  12. Dll


Kita sebenarnya bisa menghitung berapa pemborosan yang diakibatkan oleh banyaknya bus antar kota yang penumpangnya meski sangat sedikit namun harus terus berjalan , misalnya dari Kupang ke Atambua ? Kenapa tidak diatur sedemikian rupa per satuan waktu sehingga bus antar kota bisa dibatasi jumlahnya dan tidak terjadi pemborosan BBM, onderdil, waktu dan tenaga, juga dengan mengurangi jumlah armada bus yang disesuaikan dengan kapasitas penumpang maka akan mengurangi kepadatan lalu lintas dan peluang terjadinya kecelakaan. Berapa banyak gas buangan CO2 yang dapat dikurangi sehingga ikut menyumbang dalam mengurangi buangan emisi ke udara yang berarti ikut mengurangi pemanasan global ? Demikian pula dengan moda angkutan lainnya seperti angkutan ojek, angkota, kapal dll.


Pemuka agama telah menyerukan dan memasukkan agenda peduli lingkungan berupa tanam pohon pada jemaatnya, namun sayangnya seringkali himbauan ini hanya berhenti sebatas mimbar seperti halnya gerakan yang dicanangkan secara masal oleh pemerintah sering hanya menjadi gerakan sesaat karena belum didasari oleh kesadaran diri pribadi akan arti penting tindakannya.


Mendidik anak sejak usia dini dengan pemahaman yang utuh terkait lingkungan dan masuk menjadi muatan pelajaran dalam kurikulum sekolah menjadi sangat strategis untuk membentuk kepribadian warga yang sadar dan peduli lingkungan dimasa mendatang. Anak-anak merupakan harapan kedepan karena sangat sulit merubah watak orang dewasa yang sudah terlajur tidak peduli dengan lingkungan. Memang umur boleh dewasa, tetapi ketika membuang sampah secara sembarangan apakah mencerminkan kedewasaan ? Anak kecilpun kalau dibiasakan bisa buang sampah ditempatnya.


Jadi masalahnya apakah kita sebagai orang dewasa tidak tahu atau tidak mau tahu terkait pemanasan global dan perubahan iklim ?


Sayang sekali jika bumi yang kita diami yang hanya satu dan tak tergantikan ini terus saja dicemari dan dihancurkan oleh kita sebagai manusia yang katanya mahluk yang paling beradab namun dipertanyakan “keberadabannya” karena ketidak pedulian kita terhadap kerusakan lingkungan.


Jadi kalau bisa dibuat gampang, kenapa harus cari alasan pembenaran terus menerus ? Mulailah dari apa yang ada, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga, lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa.


Salam hijau,


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com