Wednesday, August 15, 2007

Jalan di Lembata

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

JALAN LEMBATA--Masyarakat yang tinggal di pedesaan Lembata selalu bermimpi menikmati infrastruktur jalan raya memadai. Namun, mimpi itu mesti dikubur dalam-dalam karena hingga saat ini belum diaspal. Nampak sejumlah warga desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun melewati jalan plontos tanpa aspal. Jalan dari Lewoleba, Kota Kabupaten Lembata hingga Desa Belabaja sangat memprihatinkan karena belum ditangani serius. “Salah siapa? Ini salah siapa? Dosa siapa? Ini dosa siapa?,” tanya penyanyi Ebiet G Ade. Tentu, lebih tepat kalau Pemkab Lembata menjawabnya. Tak perlu meminjam syair Ebiet G Ade: bertanya pada rumput yang bergoyang.

Foto: Ansel Deri



Tuesday, August 14, 2007

Perlu Belajar dari Sejarah

*Rencana Penambangan Emas Laragere

Penulis : Ansel Deri

Belakangan ini ini masyarakat Leragere, Kecamatan Lebatukan, Lembata, terus memrotes rencana PT Merukh Enterprise melakukan kegiatan penambangan tembaga dan emas di daerah itu. Para pastor se-Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, juga ikut menyatakan sikap menolak rencana tersebut. Tapi, rupanya niat Pemkab Lembata menerima PT Meruk Enterprise tak terbendung lagi.

Sekalipun protes keras sudah dilakukan, toh suara rakyat Leragere harus dipendam dalam-dalam karena konon investasiini menjadi juru selamat bagi pundi-pundi Lembata. Mau tahu bukti tekad Pemkab Lembata atas rencana itu? Dengar saja apa kata Wakil Bupati Ande Liliweri. "Kami tahu bahwa ada pro kontra, tetapi tidak menyurutkan tekad kami untuk melanjutkan proses rencana investasi tambang di wilayah Lembata." (Lihat berita Antara, Kamis (24/5). Artinya, seperti kata pepatah: anjing menggonggong, kafilah berlalu. Dan itu adalah sikap resmi terkait reaksi penolakan rencana investasi itu.


Sejarah kelam
Bila kita menengok ke masa lalu, akan dengan muda kita simpulkan bahwa para petani, masyarajak adat bahkan nelayan hidup di bawah garis kemiskinan dan mereka sengaja dimiskinkan. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tanah dan sumber kehidupan mereka dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, industri kehutanan dan perkayuan bahkan bendungan-bendungan besar. Pada akhirnya, mereka mengalami nasib mengenaskan: diusir dari tanah leluhur yang menjadi basis kehidupannya. Kadang mereka ditangkap, disiksa, dan dibantai oleh preman yang dibayar pemilik perusahaan. Semua itu, dilakukan di luar batas-batas kemanusiaan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pernah menunjukkan contoh nyata. Operasi pertambangan emas dan tembaga di wilayah Amungme dan Komoro (Papua) sudah berlangsung lama dengan skala eksploitasi besar (belakangan mungkin menurun). Kegiatan itu, masih dari data tersebut, menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat. Misalnya, terjadinya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di dalamnya, hujan asam hingga hilangnyakesuburan tanah.
Tak hanya itu. Keragaman budaya masyarakat adat Amungme dan Komoro jadi hilang. Juga hilangnya sistem adat hingga terjadinya konflik horizontal yang berbuntut pada pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).

Contoh dua kasus di atas tak jauh berbeda dengan masyarakat adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Proyek lahan gambut 1.400.000 hektar menyebabkan musnahnya ekosistem di wilayah tersebut seperti hutan dan kualitas air serta spesies endemik lainnya. Proyek ini telah menyebabkan masyarakat kehilangan sumber penghidupan. Lebih dari itu, adalah hancurnya hancurnya relasi dan sistem sosial budaya masyarakat adat.
Di sana ditemukan juga penggunaan pola-pola intimidasi dan tindakan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat.

Begitu juga kasus yang dialami masyarakat adat Talang Mamak dan Pelalawan. Pabrik pengelolaan bubur kertas (pulp and paper) melakukan konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu. Hal ini menyebabkan rusaknya hutan dan hilangnya spesies ekologi lainnya, degradasi tanah, dan terjadinya banjir di bagian hilir. Dampak lain adalah adanya limbah dan proses pemiskinan masyarakat karena konversi dan perampasan lahan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan lahannya secara normal.


Perlu belajar
Pemkab Lembata melalui Wakil Bupati Ande Liliweri ternyata memberikan garansi bahwa pihaknya akan berupaya maksimal untuk menekan dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kehadiran investor tambang ini. Ia berkilah, sebuah investasi besar tentu memiliki dampak sosial, tetapi juga memilikidampak positif bagi perkembangan ekonomi di daerah. Janji angin sorga seperti itu bukan hal baru. Masyarakat biasanya dijanjikan yang muluk-muluk. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Hanya Tuhan dan investor pertambangan bersangkutan yang tahu. Belum lagi persoalan bahaya lingkungan yang mungkin timbul dari kehadiran perusahaan tersebut.

Perlu diingat, saat ini lingkungan hidup menjadi begitu sensitif. Kondisinya, makin memrihatinkan. Tentu bukan di Leragere. Karena itu, contoh kasus yang terjadi di Papua, misalnya, harus menjadi bahan refleksi berharga bagi Pemkab Lembata menerima kehadiran investor di bidang pertambangan.
Karena itu, protes masyarakat yang didukung oleh elemen-elemen lain, terutama para pastor dan elemen masyarakat lain harus didengar. Jika masyarakat menolak, maka Pemkab Lembata juga harus berani mengatakan sorry kepada investor bersangkutan. Jangan sampai terjadi krisis perlindungan dan keadilan terhadap masyarakat Leragere atas hak-hak ulayatnya.

Insiden Babel Kelabu, 5 Oktober 2006 di Pangkal Pinang, Propinsi Bangka Belitung (Babel) yang meminta Gubernur Hudarni Rani mundur dari jabatannya, setidaknya menjadi pelajaran lain yang sangat berharga bagi Pemkab Lembata dalam menyikapi aksi penolakan masyarakat. Betapa tidak. Kantor gubernur diserbu ribuan rakyat karena menilai Rani memihak pemodal pertambangan dan bukan rakyatnya. Nah, ia akhirnya terpental dari bursa Calon Gubernur Babel beberapa waktu lalu karena disebut-sebut tidak mendapat kercayaan dan simpati masyarakatnya.

Artikel ini pernah dimuat di Harian Pos Kupang (22 Juni 2007)