Thursday, March 20, 2008

A letter to Malaikat Pencabut Nyawa

Apakah malaikat pencabut nyawah tidak pernah bosan menghunus pedangnya yang
bernama busung lapar dan kelaparan di NTT? Mengapa 50 tahun riwayatmu NTT, para
pemimpinmu bersekongkol dengan malaikat pencabut nyawah?

Heran rasanya sang pencabut nyawa tidak pernah takut dengan para tuan-tuan
pemberi biskuit dan super mie bergizi. Mungkinkah mereka bersahabat? Ya. Mereka,
para pemimpinmu NTT, para tuan-2 pembagi biskuit bergizi dan malaikat pencabut
nyawa?

Mengapa hai engkau pencabut nyawa, tidak mencari nyawa ditempat-2 yang gemuk
tetapi dikampungku yang kurus-kurus? Dan mengapa hai engkau pencabut nyawah
tidak pernah mencabut nyawa mereka yang kenyang oleh kebohongan dan korupsi?
Mengapa hai engkau malaikat pencabut nyawah, hanya berani dengan si miskin.

Dan mengapa sorga hanya diam membisu? Mengapa drama para tuan-2, pemilik
negeriku NTT dan si pencabut nyawah tidak membuatmu sedikitpun berpihak seperti
kata ayat-ayat sucimu? Apakah sorga telah bersekongkol dan tidak lagi berpihak
pada kaum yang ditarget si pencabut nyawah?

Membayangkan apa yang terjadi di sorga tak berwaktu dalam irisan waktu malam
sebelum 26 Desember 2004, apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah kalangan sorga
tidak memberi peringatan dini? Bagaimana perasaan sorga tentang akan hilangnya
250,000 keesokan harinya?

Di dunia yang metafisik, mungkin syai Ebit G. Ade dibawah ini bisa jadi
petunjuk:



Rembulan menangis
di serambi malam ho..
Intan buah hatimu dicabik tangan-tangan serigala
Bintang-bintang muram,
beku dalam luka ho..
Untukmu saudaraku kami semua turut berduka
Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa
Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada
Doa kami bersama-sama untukmu, untukmu
Angin pun menjerit
badai bergemuruh ho..
Semuanya marah
hanya iblis terbahak, bersorak
Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa
Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada
Doa kami bersama-sama untukmu
Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa
Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada
Doa kami bersama-sama untukmu
untukmu, untukmu, untukmu, untukmu


Jonatan Lassa

Suara dari Golgotha

Allah, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?
karena orang-orang kaya bertambah kaya,
dan orang miskin tertimpa busung lapar.

Allah, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?
karena karena para penguasa sibuk mencari kekuasaan dan membagi-bagikannya,
dan para para korban bencana tidak diurus.

Allah, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?
karena wakil rakyat lagi "berdagang sapi" dalam panggung politik,
sementara suara rakyat hanya sayup-sayup terdengar.

Allah, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?
karena para pemimpin agama lupa pada teladan Kristus yang berani,
dan rakyat kehilangan tokoh panutan yang bisa menghibur dan membela mereka
secara sungguh-sungguh

Allah, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?
karena para penguasa, orang kaya, pengusaha duduk satu meja dan berunding:
"Esok kita makan siapa?"
sementara suara "tokoh agama" kurang lagi bermakna bagi mereka semua
atau orang mendengar dari telinga kiri dan secepatnya keluar dari telinga kanan

Allah, Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?
karena orang-orang hanya pandai berteori dan berpendapat
sementara solidaritas kepada orang yang menderita hanya ilusi

Allahku, Allaku ampunilah dosa kami
dan kalau bisa janganlah tinggalkan kami lagi

Heidelberg, 19 Maret 2008
Mesakh Dethan

Friedrich Nietzsche tentang Ecce Homo

Sebuah adaptasi terhadap prolegomena point 3 untuk Jumad Agung
-------------

Siapakah manusia.

Lahir dari kelemahan dan rasa sakit sang ibu.

Rohnya terbungkus dalam daging dan darah.

Terluka. Jatuh. Sakit. Menderita. Mati.

Hidup ini indah.

Yang penting lepas dari pikiran tentang keterbatasan ini.

Kalau bukan demikian,

jiwa dipaksa menari riang gembira dalam iringan elegi

dan bahana getar trompet malaikat maut.

Siapa bisa bernafas dari roh kata-kata ini

akan tahu bahwa ia ibarat angin yang berhembus

dari ketinggian bukit kehidupan.

Entah dia mampu hidup dari kata-kata

sebuah cerita perjuangan,

dia mesti memahami dengan besar hati „ecce homo“.

Jikia tidak, dia akan terkena flu angin dingin dari ketinggian ini.

Hamparan es tidak jauh dari sini.

Kesepian besar akan melanda.

Semesta seperti mimpi dalam tidur malam

di bawah terang langit.

Tenang dan damai.

Tidak harus menjadi seorang moralis atau pengideal

untuk melihat semuanya dengan mata jelih.

Kembali kepada substansi segala kehidupan.

Berapa banyak kebenaran bisa diterima oleh rohmu?

Berapa besar kemampuan tatapan matamu

memandang kebenaran yang ditelanjangi?

Inilah termometer kehidupan.

Kekeliruan adalah hasil kepercayaan terhadap angan-angan.

Kekeliruan bukanlah kebutaan,

melainkan kepengecutan.

Sedangkan setiap langkah pengembaraan

menuju pengetahuan dan pengenalan setiap substansi

adalah keberanian.

Di sana kekerasan bangkit melawan dirinya.

Demikianpun kebersihan naluri bangkit

menerapkan aturan main sendiri.

Ideal tidak boleh dikhianati begitu saja.

Kadang kita mesti mengenakan kaus tangan

untuk menjamah kehidupan ini.

Ia rapuh.

Ecce homo…

20 Maret 2008
Marc SVD