Thursday, October 11, 2007

International Conference on Indonesia’s Traditional Fishing Rights

Press Release

The International Association of Jurists for Maritime Delimitation in Timor Sea and in the Pacific Rim (IAJ-TGAP) based in The Hague, The Netherlands is happy to announce the convocation of a three-day International Conference on Indonesia’s Traditional Fishing Rights in Ashmore Reef & Cartier Islands (Gugusan Pulau Pasir) and Maritime Boundaries among Indonesia, Timor Leste and Australia in Timor Sea.

This is being done as part of the fulfilment of IAJ-TGAP goals:

· To ensure the maritime borderlines of the sovereign nations in the conflict area meets international standards.

· To guide the parties toward a peaceful and sustainable solution over maritime disputes.

· To ensure the environmental sustainability in the conflict area is protected.

Experts on International Law, Law of the Sea, Maritime Boundaries and Human Rights from The Netherlands, Indonesia, Australia, Timor Leste, United Kingdom, USA, Belgium, Netherlands and some other countries, Indigenous fishermen from Roti Island, representatives of NGOs, Civil Society Groups and Governmental agencies have been invited to participate in this important conference.

Keynote address will be presented by Dr. Mia Patty-Noach (Professor of History from Nusa Cendana University, Kupang-NTT, Indonesia) this will be followed by seven round-table meetings for two days. Topics to be discussed at the round table meetings range from maritime boundaries and resources, to rights of indigenous inhabitants and models for regional co-operation in disputed areas.

The conference will be held at Sanur Beach Hotel, Jalan Danau Tamblingan, P.O. BOX 3279 Denpasar 80032 Nusa Dua Bali Indonesia on 25-27 October 2007.



The Conference is supported by
Netherlands Funding Agency IMPULSIS

The Implementation of the Conference

The conference will be held on 25-27 October 2007 in Denpasar – Bali, Indonesia. On the first day, a keynote speech will be presented as a general introduction to the problem. There will be seven round-table discussions on different aspects of the issues at stake among local and international experts, including experts from Australia and Timor Leste.

25 October Introduction

14.00h

Reception of participants (accreditation, materials, etc.)

15.00h

Opening Ceremony: Objectives of the Conference


Speakers:

1. Mr. Piet Tallo, SH (Governor of NTT Province, Indonesia)

2. Mr. Dewa Made Beratha (Governor of Bali Province, Indonesia)

3. Prof. Dr. I Made Bakta,Sp.PD (Rector of UDAYANA University, Bali, Indonesia)

4. Ms. Yetty Haning, MA, LLM (Jurists Commission’s Coordinator)

16.00h

Keynote Speech: “Historical Overview of the Maritime Conflict in the Timor GAP and in Ashmore Reef & Cartier Islands”


Speaker:

Prof. Dr. Mia Patty-Noach, Prof. of History from Nusa Cendana University, Kupang-NTT, Indonesia

26 October First Session: Maritime issues in the Timor Sea

9.00h.

First Round Table.

Maritime Spaces and Resources in South East Asia


Speakers:

1. Attorney Mario E. Maderazo (The Philipine)

2. Prof. Dr. Alex. O. Elferink (NILOS, Netherlands)

3. Prof. Dr. Kusuma Admatja (ex. Indonesia Foreign Minister)

Chairperson/Rapporteur:

11.00h

Coffee-break.

11.30h.

Second Round Table.

Marine Parks, Fisheries and Fishing Rights in the Timor Sea


Speakers:

1. Prof. Dr. Eduard Somers, (Dean of the Law School, Gent University, Belgium)

2. Timor Leste

3. Dr. Faizal Basri (Jakarta – Indonesia)

Chairperson/Rapporteur:

13.00h.

Lunch

14.15h.

Third Round Table.

The delimitation agreements between Indonesia and Australia on Continental Shelf and Exclusive Economic Zone (before and after the independence of East Timor from Indonesia): a legal analysis.


Speakers:

1. Prof. Gayl Westerman, Pace Law School, USA

2. Prof. Dr. Hasjim Djalal (Jakarta – Indonesia)

3. Prof. Dr. Yohanes Usfunan (UNUD-Bali, Indonesia)

4. Mr. Jose Texeira (Ex. Minister of Natural Resources, Timor Leste)

Chairperson/Rapporteur:

15.45h

Coffee-break.

16.15h.

Fourth Round Table.

Disputed maritime spaces: Models for regional cooperation, and prospects for re-evaluation and re-negotiation of maritime border lines of Indonesia, Timor Leste and Australia


Speakers:

1.Prof. Dr. N.J. Schrijver, Leiden University - Netherlands

2.Prof. Dr. Emil Salim (Ex. Indonesia’s Environmental Minister)

3.Toenggoel Siagian, MS,MED (Jakarta – Indonesia)

4. Thomas Freitas (Luta Hamutuk, Timor Leste)

5. Australia

Chairperson/Rapporteur:

18.30h

Closing of the session


27 October Second Session: Sovereignty issues in and around the Timor Sea

9.00h.

First Round Table

Non-Australian Indigenous People and Australian Law in Ashmore Reef & Cartier Islands: Inadequacies of existing MOUs on fisheries of Rotinese fishermen and prospects for protection of their Human Rights


Speakers:

1. Philip Vincent (Barrister, Australia)

3. Dr. Yusuf Henuk (Kupang – NTT, Indonesia)

4. Lerry Mboeik (PIAR, Indonesia)

5. Peter Rohi (Java Post, Indonesia)

6. Hasan Zaili (Fisherman from Roti Island)

Chairperson/Rapporteur:

11.00h

Coffee-break.

11.30h.

Second Round Table

Cooperation and conflict over territory in the island of Timor


Speakers:

1. Wollongong University (Australia)

2. George Junus Aditjondro – Indonesia

3. Deometrio Amaral (Haburas – Timor Leste)

4. Ferdi Tanoni (West Timor Care, Indonesia)

Chairperson/Rapporteur:

13.00h

Lunch

14.15h

Third Round Table

Disputed islands and sovereignty in the Timor Sea: Towards a bilateral agreement between Indonesia and Australia on Ashmore Reef and Cartier island


Speakers:

1. Dr Vivian Louis Forbes (The University of Western Australia, Crawley)

2. Ze Luis (Yayasan Hak, Timor Leste)

3. Indonesia

Chairperson/Rapporteur:

16.00h

Conclusions and Steps Ahead

16.30h

Closing Ceremony


--
Ms. Yetty Haning
Coordinator
International Association of Jurists for Maritime Delimitation for Timor Sea and the Pacific Rim (IAJ-TGAP)
Spaarnestraat 76
2515 VP The Hague
Netherlands
Phone/Fax: +31-70-7799856
Email: y.haning@iaj-tgap.org
Url: www.iaj-tgap.org

TUNTUT TANGGUNGJAWAB PETINGGI PIMPINAN MILITER

Pernyataan Sikap

LAWAN POLITIK FITNAH DAN STIGMATISASI TNI !


Sudah lebih dari 10 tahun Indonesia bebas dari era kediktatoran Orde Baru, namun tampaknya demokrasi yang diharapkan belum berdiri tegak. Demokratisasi masih berjalan lambat tertatih karena dirongrong oleh sejumlah kaum yang masih mempertahankan warisan karakter politik Orde Baru. Sudah 62 tahun usia resmi Tentara Nasional Indonesia, namun tampaknya cita-cita mewujudkan TNI yang profesional, demokratis, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia masih jauh panggang dari api.

Karakter dan perspektif anti-demokrasi yang masih menjangkiti TNI, terutama di NTT, terbukti dengan ditemukannya sebuah dokumen materi Pendidikan Pendahuluan Bela Negara bagi sejumlah PNS yang diselenggaran di Makorem NTT pada tanggal 27 September 2007 yang lalu. Materi pendidikan tersebut secara jelas menuduh sejumlah organisasi seperti PRD, Papernas, PIAR, LMND, PMKRI, GMNI, SPKS, dan SRMK sebagai komunis. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa “…kasus pemunculan PKI di NTT…(berupa) kegiatan yang dilaksanakan: membentuk suatu partai politik dengan merangkul semua aktivis yang beraliran sosialis kerakyatan yang kemungkinan merupakan underbow dari PRD yang diberi nama KP Papernas…membela kepentingan rakyat kecil yang dianggap tertindas dan diperlakukan tidak adil, termasuk masalah Tibo Cs”. Selanjutnya disebutkan: “kelompok yang merupakan mitra Papernas adalah PIAR, LMND, PMKRI, GMNI, JARKOT, SPKS, SRMK dan SEPARATIK”. Selain organisasi, sejumlah individu juga disebutkan di dalam dokumen tersebut, antara lain Dita Indah Sari, Dominggus Oktavianus Tobu Kiik, Pastur Robert Mirsel, SVD, Pius Rengka, Donatus Jo dan George Hormat serta Buce Brikmar. Pada halaman yang lain, disebutkan aktivitas perjuangan rakyat yang dituduh sebagai aktivitas komunis adalah penolakan penambangan Marmer, Penolakan pembangunan Markas Brigif di Soe, penolakan pembangunan Kompi atau Batalyon di Ende, penolakan perampasan tanah ulayat rakyat dan kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat.”

Selain dokumen tersebut, sejumlah informasi yang kami peroleh menunjukkan sejumlah aktivitas perwira TNI di NTT sebagai representasi lembaga TNI di NTT yang secara terbuka di beberapa forum menuduh sejumlah organisasi di atas sebagai komunis. Salah satunya dalam pertemuan dengan DPRD NTT, 4 Agustus 2007.

Jelas, dari dokumen materi pendidikan tersebut dan dari aktivitas Pimpinan TNI NTT, terbukti bahwa tentara bukan saja masih berpandangan seperti dulu, memandang dan mencap/menstigmatisasi setiap organisasi dan individu yang memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) sebagai komunis, sebagai underbow PKI. Lebih dari itu, tentara masih berpolitik dengan gaya lama, gaya politik kambing hitam dan stigmatisasi terhadap organisasi-organisasi pembela demokrasi dan hak asasi manusia. Coba buka kembali halaman surat kabar sebelum tahun 1998. Bukan saja organisasi pembela demokrasi dan HAM, bahkan setiap organisasi social politik di luar lingkaran GOLKAR dan TNI dituduh sebagai komunis, sebagai ekstrim kiri dan kanan. Bahkan pernah seorang Menkopolkam zaman Soeharto, karena begitu gemarnya main cap, main tuduh, menyatakan: “hati-hati bahaya ekstrim tengah” (sungguh bodoh, tidak ada satu kamus politik pun yang memuat istilah ekstrim tengah. Bahkan dari segi logika, yang namanya ekstrim adalah yang terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan).

Mengapa Tentara Masih Gemar Memainkan Politik Kambing Hitam dan Stigmatisasi

Tindakan TNI seperti yang dicontohkan oleh pimpinan TNI NTT tentu tidak terjadi begitu saja. Ada sebab yang mendasarinya, baik yang berakar panjang ke belakang maupun yang berupa kepentingan-kepentingan TNI di kemudian hari.

Kami melihat, landasan dibalik politik kambing hitam, stigmatisasi dan fitnah yang dimainkan TNI di NTT adalah:

1. Politik kambing hitam, stigmatisasi dan fitnah yang dipraktikkan TNI dilatarbelakangi oleh mindset yang memandang rakyat sebagai unsur pasif yang tidak memiliki hak untuk terlibat menentukan kebijakan ekonomi dan politik.

Bagi TNI, Rakyat hanyalah objek dari pembangunan, yang cukup menerima apa yang direncakanan dan diputuskan penguasa, tidak memiliki hak untuk menolak meskipun merugikan dirinya.

Dengan perspektif tersebut, TNI juga memandang kesadaran rakyat sebagai statis, bahwa sejak dulu rakyat selalu pasif manut, menerima segala kebijakan pemerintah walaupun itu merugikan rakyat. Jika rakyat bangkit melawan, pastilah ada oknum atau organisasi yang memprovokasi.

2. Politik kambing hitam, stigmatisasi dan fitnah yang sedang dimainkan oleh TNI (yang direpresentasikan oleh …Pimpinan TNI NTT dan Korem yang dipimpinnya) merupakan politik mengisolasi kekuatan pro-demokrasi dari rakyat.

TNI menyadari peran kaum prodemokrasi yang menyebarluaskan kesadaran rakyat akan hak asasi di bidang sipil-politik dan ekonomi, social dan budaya. Bagi TNI, meluasnya kesadaran rakyat akan Hak Asasi dan Demokrasi merupakan batu sandungan bagi terlaksananya kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik TNI. Di NTT, kesadaran rakyat untuk menolak sejumlah proyek TNI yang merugikan rakyat, seperti pembangunan Markas Brigade Infanteri di Timor Tengah Selatan (TTS) dan pembangunan Kompi/Batalyon di Ende, tentulah harus segera disikapi dan diantisipasi agar tidak terjadi lagi kelak di kemudian hari. Jalan yang ditempuh TNI adalah dengan menakuti-nakuti rakyat bahwa kelompok yang selama ini berjuang bersama rakyat adalah komunis, adalah PKI. Dengan cara itu, TNI berharap persatuan antara rakyat dengan kaum pro-demokrasi akan pecah. Dan segeralah TNI mengambil untung dari kondisi tersebut.

3. Politik kambing hitam, stigmatisasi dan fitnah yang dilakukan TNI merupakan upaya mutasi kontradiksi dan penyelamatan citra.

Penolakan rakyat terhadap sejumlah proyek pembangunan instalasi TNI di NTT menambah panjang coreng di wajah TNI, coreng yang tampak jelas setelah kejatuhan Soeharto, ketika dimana-mana rakyat bangkit melawan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan TNI, ketika kaum tani bergerak menuntut kembali tanah mereka yang dirampas paksa oleh TNI. Tindakan TNI untuk menutup malunya adalah dengan mengkampanyekan bahwa penolakan rakyat terhadap proyek-proyek TNI yang terjadi dimana-mana itu, bukanlah merupakan kesadaran sejati rakyat, melainkan hasil dari hasutan yang dilakukan oleh sejumlah LSM, Organisasi Mahasiswa dan Partai Politik Kerakyatan.

Kontradiksi atau pertentangan antara kepentingan rakyat untuk mempertahankan hak-haknya di satu sisi dengan kepentingan TNI untuk proyek-proyeknya yang merugikan rakyat di sisi lain, oleh TNI coba dimutasikan, coba dipalsukan menjadi pertentangan kontradiksi antara TNI dengan sejumlah Parpol Kerakyatan, LSM dan organisasi mahasiswa yang dituduh berhaluan Komunis. Selain menutup untuk menutup malunya, politik mutasi kontradiksi ini, jika berhasil diterima public, akan menjadi legitimasi bagi TNI untuk menghancurkan kekuatan prodemokrasi.

4. Yang sangat penting untuk menjadi kewaspadaan kita bersama adalah potensi hubungan saling-menguntungkan yang tercipta antara TNI dengan kepentingan investor pertambangan.

Kita pahami bersama bahwa semakin massif investasi pertambangan yang masuk dan akan masuk ke NTT, demikian pula semakin massif penolakan rakyat terhadap investasi dan rencana investasi tersebut. Dengan kondisi ini, TNI adalah institusi yang sangat dibutuhkan para pemodal untuk menjamin kelancaran ekspolitasi kekayaan alam di NTT. Di satu sisi, seperti yang terjadi di seluruh pelosok Nusantara, terutama pada masa kekuasaan Orde Baru, industri pertambangan menjadi sumber uang yang mengisi kantung-kantung para petinggi TNI.

Politik kambing hitam, stigmatisasi dan fitnah yang dilakukan TNI sangat mungkin bermotif upaya manakut-nakuti rakyat, memecah belah rakyat dan kaum prodemokrasi serta menakut-nakuti dan memacah belah kaum prodemokrasi. Dengan demikian, akan muluslah investasi-investasi pertambangan yang merugikan rakyat, yang mengeruk kekayaan alam NTT tanpa meninggalkan sedikitpun keuntungan bagi rakyat dan Pemda NTT. Dan bertambah teballah kantung-kantung para petinggi TNI oleh upah sebagai para “centeng atau tukang pukul” profesional.

Jangan Pernah Takut, Perjuangan Rakyat Harus Terus Digelorakan

Bagi kami, organisasi-organisasi dan individu yang korban politik kambing hitam, stigmatisasi dan fitnah yang dimainkan TNI, apa yang sedang ditunjukan oleh Pimpinan TNI NTT dan jajaran yang dipimpinnya bukanlah hal baru. Meskipun demikian, tindakan tersebut harus dilawan. Karena tidak hanya kami sendirian yang menjadi korban. Kami hanyalah contoh yang sempat disebutkan. Sasaran politik stigmatisasi ini adalah setiap individu mencita-citakan penegakkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Nusa Tenggara Timur, yang dengan berbagai cara dan berbagai lapangan aktivitas membaktikan hidupnya demi mewujudnya cita-cita tersebut.

Karena itu, kepada segenap organisasi dan individu serta kepada seluruh rakyat di NTT yang sedang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasinya; rakyat korban tambang Marmer di Mollo-TTS, rakyat Lembata yang sedang berhadapan dengan pemodal raksasa penambangan emas, rakyat di Belu yang menjadi korban penipuan Babinsa, Rakyat Kuru di Ende, dll, dsb, kami menyerukan: Ayo bersatu, lawan intimidasi, stigmatisasi dan fitnah yang dilakukan TNI-Penguasa-Pemodal. Tingkatkan perjuangan, pertahankan hak asasi kita.

Kepada Arief Rahman selaku Pimpinan TNI NTT kami tuntut untuk mempertanggungjawabkan tindakan stigmatisasi dan fitnah, baik yang dilakukan langsung oleh dirinya, maupun oleh jajaran tentara yang dipimpinnya dengan mengajukan permintaan maaf dihadapan publik melalui media massa cetak dan elektronik di Kota Kupang

Jika permintaan maaf itu tidak segera dilakukan, Kepada Pandam Udayana, Kasad AD dan Panglima TNI kami menuntut agar segera mencopot Arief dari jabatannya selaku Danrem 161 Wirasakti

Langkah-langkah perjuangan politik dan hukum akan kami tempuh untuk melawan intimidasi, fitnah dan stigmatisasi agar tegaklah kebenaran, hak asasi dan demokrasi bagi seluruh rakyat

Kupang, 5 Oktober 2007

ORGANISASI DAN INDIVIDU YANG MENJADI KORBAN POLITIK STIGMATISASI DAN FITNAH

  1. Partai Persatuan Pembebasan Nasional ((Papernas)
  2. Perkumpulan Pengemabangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT)
  3. LIGA MAHASISWA NASIONAL untuk DEMOKRASI (LMND)
  4. SERIKAT RAKYAT MISKIN KOTA (SRMK)
  5. P. Robert Mirsel, SVD
  6. Pius Rengka
  7. Donatus Jo
  8. George Hormat
  9. Buce Brikmar

SMART + SKILL + SIKAP + SPIRIT = SUKSES (PETANI)

Berbagai hal yang telah dilakukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan di kalangan Pemerintah, Akademisi, Pengusaha, penggiat NGO dll, termasuk salah satunya adalah bagaimana mendorong petani mampu mengakses pasar.


Kita telah mengetahui, sejak kecil paradigma petani kita kebanyakan dibentuk dalam pola subsisten dimana kebanyakan menganggap bertani adalah panggilan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, baru kemudian sisanya dijual; atau bisa pula karena keterpaksaan akibat tiada pilihan profesi lainnya. Petani kebanyakan melakukan budidaya berdasar pada ‘kebiasan turun temurun’ yang diwarisi dari orangtuanya baik dalam hal pilihan jenis komoditi yang ditanam, pilihan teknologi dll. Kebanyakan petani menjalankan usaha tani hanya berdasar naluri alamiah , dan kebanyakan masih belum berperilaku sebagai seorang wirausaha/enterpreneur.


Boleh dicoba dalam pertemuan petani, jika ditanya apakah ada yang berprofesi sebagai pengusaha, pasti jawabnya hampir sebagian besar mengatakan disini tidak ada pengusaha. Tidak mudah mengajak petani merubah paradigma dari pola’tanam dulu, baru kemudian jual’ ke arah ‘apa saja yang dibutuhkan pasar, baru tanam sesuai permintaan pasar atau dengan kata lain menjadi petani pengusaha yang berorientasi pasar.



SMART (Cerdas)

Sudah berulangkali disampaikan dalam berbagai seminar motivasi maupun leadership bahwa salah satu syarat untuk sukses, selain bekerja KERAS, juga harus bekerja SMART.


Bekerja SMART berarti harus berani ‘beda’ dengan yang dilakukan sebelumnya, harus berani ‘beda’ dengan yang lainnya, atau dalam bahasa lainnya punya ‘nilai tambah’, ‘nilai lebih dalam persaingan’, unik dll.


Demikian pula apabila kita ingin mengajak petani keluar dari permasalahan ‘ketakberdayaan’ yang membuat terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan, maka pilihan strategi harus ‘beda’ dengan sebelumnya, karena tidak mungkin kita mengharapkan hasil yang sangat berbeda, namun tetap menggunakan strategi yang sama terus menerus. Kita harus berani mengidentifikasi strategi lama apa saja yang sudah ‘out of date’ yang harus segera digantikan dengan strategi’baru dan beda’ yang mampu merubah kehidupan petani.


Mari kita coba identifikasi strategi lama antara lain :

  1. Tanam dulu, baru kemudian jual

Kebiasaan petani menanam dulu tanpa melakukan penjajagan kebutuhan pasar secara cepat (Rapid Market Appraisal/RMA), membuat posisi petani selalu lemah, baik dalam penentuan harga maupun kemampuan memenuhi pasokan sesuai komoditi yang dihasilkan. Seringkali petani mendapatkan harga yang tidak layak karena masalah waktu jual yang tidak tepat karena sedang ‘banjir pasokan/ panen bersamaan komoditi yang sama’, atau karena ternyata kebutuhan pasar hanya sedikit, sedangkan produksi melimpah, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.Ketidaktahuan dan ketidakmampuan petani dalam mengenal karakteristik pasar yang terus berubah-ubah ’ membuat petani menjadi korban dari ‘mafia pasar’ yang seringkali mengelabuhi petani dengan berbagai macam trik.


  1. Yang penting kuantitas, bukan kualitas.

Sebagian petani masih berpikir tentang kuantitas, bukan kualitas, sehingga kurang menjaga kualitas sesuai permintaan pasar. Cara pandang petani yang mendasarkan pada persepsinya, bukannya persepsi konsumen, seringkali merugikan petani karena ketika memproduksi komoditi dalam jumlah banyak tapi tak disukai konsumen atau harganya yang rendah , jelas akan menurunkan tingkat pendapatan petani secara langsung


  1. Memproduksi hanya berupa komoditi primer/ bahan mentah

Petani kita sangat tertinggal dalam memanfaatan teknologi tepat guna (TTG), terutama untuk penanganan pasca panen dan pengolahan lanjut. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya penyebaran TTG hasil dari litbang maupun LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat) Universitas didesa-desa. Padahal kita semua tahu dengan menjual komoditi primer/ bahan mentah maka harga yang diperoleh akan sangat rendah, tidak akan memperoleh nilai tambah dan komoditi akan mudah rusak alias tidak tahan lama.


  1. Memproduksi dalam skala kecil

Sebagian besar petani kita mempunyai luas areal lahan yang sangat terbatas alias sempit, yang berakibat biaya produksi per satuan unit menjadi lebih tinggi dan sulit untuk memproduksi secara efisien. Hal ini berakibat ketika dihadapkan pada kompetitor lain yang mampu memproduksi dengan harga jual lebih rendah, maka petani kita akan kalah bersaing.


  1. Menggunakan lebih banyak input luar (revolusi hijau)

Sejak Orde Baru berkuasa, maka pembangunan pertanian diarahkan menggunakan input luar tinggi berupa bibit hibrida, pupuk dan pestisida pabrik yang kita kenal dengan Revolusi Hijau yang digarapkan mampu menggenjot produksi untuk memenuhi ambisi swasembada pangan/beras. Petani mulai kehilangan kedaulatan atas lahannya dan bahkan penentuan jenis tanaman apa yang ditanam terutama padi telah ditentukan melalui prpgram BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRA INSUS. Ketergantungan petani terhadap pihak luar dalam penyediaan baik modal maupun saprodi menjadi tinggi dan sayangnya nilai tukar harga produk pertanian berupa beras ditentukan oleh pemerintah dengan harga murah karena menganut politik beras murah. Jadi kalau mau jujur petani dikorbankan atas nama pembangunan.



  1. Belum /kurang cerdas dalam pengelolaan keuangan/ finansial

Meskipun pertanian sebagai sebuah usaha , namun sebagian besar peyani sebelum menentukan jenis usaha yang akan dikelolanya tidak mendasarkan pada hasil analisis usaha untuk memperoleh keuntungan yang uptimal. Demikian pula dalam manajemen keuangan, tidak dicatat secara baik tentang pengeluaran/biaya dan pemasukan/pendapatan. Bahkan keuangannya tercampur dengan keuangan rumah tangga sehingga semakin menyulitkan dalam menetapkan profit yang didapat . Akibatnya meskipun secara perhitungan diatas kertas usahanya merugi namun kebanyakan para petani tidak menyadarinya. Petani belum membuat business plan/ rencana usahan pertanianya berupa rencana/ denah / sketsa kebun/lahan dalam pengelolaannya.


  1. Menjual secara individual dengan alasan karena :

    1. Petani meminjam benih dari tengkulak setiap musim tanam, walaupun dengan pengembalian yang cukup besar yaitu misal 1 karung kacang tanah kembali 2 karung. Sebagian besar petani merasa tidak enak dan terpaksa kalau harus menjual ke pengusaha lain, karena sudah diberi pinjaman benih dan biaya panen.

    2. Petani tidak cukup uang untuk biaya panen, sehingga lagi-lagi masih harus meminjam pada tengkulak.

    3. Petani tidak bisa menahan produknya karena harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga terutama untuk kebutuhan makan sehari-hari.

    4. Petani menjual secara sendiri-sendiri, dimana harga berbeda antara petani yang satu dengan yang lainnya dan terkadang petani langsung menjual sebelum sampai waktu panen (sistem ijon) sehingga harga dipermainkan oleh pengusaha.

    5. Kekhawatiran selalu ada di benak petani, kalau terlambat jual barang rusak dan tidak ada yang beli sehingga begitu panen langsung dijual dilahan (pengusaha/tengkulak membawa truk ke lahan)


  1. Tidak berperilaku sebagai inverstor - bantuan pemerintah yang sia sia

Sebagian petani masih asing dengan istilah investasi/tanam modal. Padahal nilai-nilai luhur yang ditanamkan sejak dulu merupakan perwujugan investasi seperti membawa anakan berupa cabutan dari hutan untuk ditanam didekat rumah atau lahan seperti tanaman asam dll. Demikian pula dalam pengelolaan benih secara swadaya dimana petani memisahkan hasil untuk dimakan dan untuk ditanam kembali sebagai benih. Namun dengan banyaknya bantuan baik benih maupun bibit, maka kebiasaan lama tersebut berangsur angsur punah, bahkan banyak petani yang menggantungkan bantuan benih dari pemerintah/LSM dll. Masih jarang ada petani yang sangat menyesal ketika bibit TUP (Tanaman Umur Panjang) yang diberi pihak lain tidak tumbuh alias mati karena berbagai sebab. Mereka akan meminta lagi dan bisa berulang-ulang, padahal kalau dilihat dari sisi investasi berapa banyak kerugian baik berupa tenaga waktu dan uang (meski bibitnya gratis). Demikian pula ketika Pemerintah mencanangkan “Gerakan Penaman Sejuta Pohon” yang terjadi adalah “menaman saja” bukannya menumbuhkan yang didalamnya termasuk kegiatan memelihara dan memastikan bahwa tanaman yang ditanam hidup dan bermanfaat.


  1. Tingginya biaya pengeluaran rumah tangga petani untuk memenuhi adat-istiadat/sosial.


Seberapa besarpon tambahan pendapatan yang diperoleh petani, tetapi kalau masih “besar pasak daripada tiang” tetap saja kehidupan rumah tangga petani akan tetap terpuruk karena masih terjebak dalam “berpikir defisit ” bukannya “ berpikir asset/ kekayaan”. Maka sangat wajar kalau begitu banyak bantuan baik berupa hibah maupun kredit dari berbagai pihak untuk petani terus menguap begitu saja karena banyak yang salah dalam peruntukannya, termasuk mendanai kebutuhan konsumtip seperti budaya pesta atas nama adat dll. Nilai-nilai Adat/.budaya yang luhur harus terus dipertahankan tanpa harus mengorbankan ekonomi petani.


Jadi untuk membantu petani menuju kemandirian, kita perlu mengajak petani merubah strategi diatas dengan strategi baru yakni :


  1. Memproduksi berdasar permintaan pasar

  1. Menjaga kualitas dan sesuai dengan persepsi pasar

  1. Melakukan perbaikan pasca panen dan pengolahan lanjut, dengan memanfaatkan TTG yang ada di berbagai institusi litbang., perguruan tinggi dll.

  1. Memproduksi dalam skala besar melalui kebersamaan dalam perencanaan produksi.

  1. Memperbanyak penggunaan input lokal

  1. Meningkatkan kecerdasan keuangan/finansial

  1. Menjual secara bersama (Collective marketing)

  1. Bersikap sebagai seorang investor dibidang pertanian (dalam arti luas)

  1. Melakukan penghematan melalui kesepakatan budaya bersama untuk menekan biaya kegiatan adat-istiadat/ sosial


Berpikir dan bertindak SMART selain merubah strategi lama, juga perlu melihat kendala yang ada diluar diri para petani yang mempengaruhi hidupnya seperti:

  1. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pembangunan pertanian ( impor beras, tiadanya asuransi untuk petani karena bencana alam, tersendatnya pelaksanaan regorma agraria/ land reform, minimnya alokasi dana APBD untuk perbaikan infrastuktur pedesaan seperti pengerasan (aspal atau semen) jalan desa menuju kota, sarana transportasi; irigasi/ embung, dam; tersedianya listrik pedesaan , telekomunikasi, pelabuhan dll.

  1. Globalisasi dengan berbagai perangkat aturan yang mengatur perdagangan dunia yang lebih banyak menguntungkan petani negara maju dll.



SKILL


Sampai saat ini sebagian besar program pengembangan pertanian masih berkutat di seputaran hulu (produksi) yang terbukti dengan banyaknya layanan fasilitasi terkait hal-hal teknis produksi seperti konservasi lahan, cara/teknis budidaya, pemupukan dll.


Belum banyak program pengembangan pertanian yang mengkaitkan hulu-hilir (pasar).

Dalam peradaban yang berubah begitu cepat, mau tak mau memaksa petani untuk harus secara cepat pula dalam merespon perubahan yang terjadi. Kecepatan dalam mengakses informasi menjadi hal yang sangat strategis dalam menyikapi perubahan yang cepat.


Petani selain dituntut mempunyai skill/ketrampilan dalam hal teknis budidaya, juga perlu memiliki beragam ketrampilan yang mendukung dalam mengakses pasar seperti :

  1. Kemampuan mengakses informasi dengan memanfaatkan teknologi informasi (layanan SMS, website, email dsb)

  1. Melakukan penjajagan pasar secara cepat,

  1. Melakukan analisis usaha untuk memilih usaha yang paling menguntungkan

  1. Membuat perencanaan produksi secara bersama dalam suatu hamparan untuk

mencapai skala permintaan pasar.

  1. Melakukan kontrol kualitas komoditi/produk secara tersistem

  1. Melakukan negosiasi dengan para buyer/pembeli

  1. Mengakses teknologi yang membantu petani dalam mengelola komoditi baik saat pasca panen maupun pengolahan/prossesing lanjut.

  1. Mampu mengorganisir diri dalam produksi maupun dalam memasarkan secara bersama melalui wadah asosiasi petani


SPIRIT


Spirit atau jiwa wirausaha/entrepreurship sebagian petani kita masih perlu ditingkatkan, karena memang pada awalnya sebagian besar belum dikenalkan dengan konsep wirausaha. Petani belum dibiasakan ‘bergaul ‘ dengan pola pikir dan cara bertindak para pembisnis yang sukses seperti pengusaha Bob Sadino, yang mampu mengkaitkan hulu-hilir dalam memasarkan hasil komoditinya dengan mendirikan Kemp chick, atau para pekebun swasta pemasok swalayan dan ekspor dll . Sebagian petani kita masih melihat usaha tani sekedar meneruskan usaha orang tuanya atau hanya sekedar menyambung hidup selagi tidak ada pilihan lain untuk memperoleh pendapatan.


Spirit ‘hidup hemat dengan jalan menabung atau berinvestasi ’ untuk meningkatkan aset/kekayaan keluarga petani yang dikelola , baik dalam bentuk Kopdit, UBSP dll, yang kemudian dimanfaatkan untuk diinvestasikan lagi misal dalam bentuk membeli lahan, benih, bibit ataupun dalam bentuk membeli ternak


Spirit solidaritas hidup dalam kebersamaan dalam berbagai bentuk seperti dalam wadah Asosiasi Petani yang mampu merubah ataupun mengurangi ketergantungan para petani pada pihak luar, baik berupa kebijakan yang tidak memihak petani seperti akses yang sulit terhadap pinjaman modal usaha, ketersediaan informasi harga, informasi teknologi dll, sehingga lebih mudah bagi para petani untuk menuju kemandirian.


Kita tahu kekuatan dari sebuah solidaritas seperti yang ditunjukkan solidaritas buruh di Polandia yang akhirnya mampu menjungkirbalikkan penguasa yang menindas, kita juga tahu bahwasannya solidaritas mampu merubah wajah dunia sehingga mampu menghapuskan tindakan yang tidak adil seperti perbudakan, diskriminasi warna kulit dll.


Kita harus bisa membuktikan bahwa solidaritas para petani kalau sungguh-sungguh lahir dari lubuk hati para petani akan menjadi kekuatan yang luar bisa dalam merubah berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan petani termasuk didalamnya harga yang tidak layak


Pertanyaannya, dimulai dari mana ?


Dari yang ada

Dari diri sendiri

"Dari sekarang," kata A’a gym.


Salam sukses selalu!



Tony Suryo Kusumo

Pengembang masyarakat pedesaan


Email : tony.suryokusumo@gmail.com