Sunday, June 15, 2008

Indonesia RAYA (Beras Kaya) atau Indonesia RASKIN (Beras Miskin) ?

Sebelumnya mohon maaf jika yang dimaksud dengan Indonesia Raya dalam tulisan ini bukan seperti yang dimaknai dalam lagu kebangsaan kita, melainkan plesetan dari akronim RAYA yang berarti Beras Kaya.


Sebagai salah satu program jaring pengaman sosial secara nasional maka dilucurkanlah istilah RASKIN yang artinya beras untuk kalangan miskin yang harganya terjangkau karena disubsidi. Meski kita tahu disatu sisi pemerintah selalu menggalakkan diversifikasi pangan lokal untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional , namun disisi lain selalu saja memperkenalkan beras ke seantero musantara melalui program RASKIN bukan NGANKIN alias Pangan Miskin.


Ditambah lagi dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau diplesetkan oleh berbagai kalangan menjadi Bantu Langsung Tewas (swadaya masyarakatnya) yang katanya berbeda dengan BLT kali lalu, saat ini dikenal dengan istilah BLT PLUS meski hanya dalam jangka waktu 6 bulan saja dan tidak begitu jelas PLUSnya dimana.


Mengherankan ketika pemerintah mengajari rakyatnya untuk menjadi peminta-minta yang membuat bangsa ini semakin malas dan semakin kehilangan harga diri dimata bangsa lain melalui TV swasta dan asing yang menayangkan peristiwa bagaimana warga miskin antri BLT dan saling berebut seolah tidak lagi peduli dengan lainnya dan kelihatan menjadi sangat egois


Disamping itu, landasan moral yang dipakai untuk mengajak warga miskin menerima uang tanpa kerja juga sulit dipertanggungjawabkan karena mengajari kita terbiasa dengan TDB (Tangan Di Bawah) yang seharusnya adalah TDA (Tangan Di Atas).

Wajar jika banyak pihak menolak termasuk beberpa pejabat daerah karena efektivitas BLT sangat diragukan dan sangat tidak mendidik mental untuk BERDIKARI yang sering diucapkan Bung Karno dalam setiap pidatonya.


BLT versus SEBAR UANG ?


Belum selesai masalah terkait BLT, kita dikejutkan dengan aksi sebar uang dari motivator TDW alias Tung Desen Waringin.


Terlepas dari niat mulia untuk menolong warga miskin, namun bagi saya pribadi tindakan tersebut lebih kentara sensasinya dibanding unsur edukasinya. Kita dapat melihat di tayangan betapa warga berlarian berebut uang recehan seribu, lima ribu dan sepuluh ribu rupiah yang ditebar dari udara dengan pesawat yang artinya berapa juta yang dibutuhkan untuk sewa pesawat. Dan yang lebih memilukan, dengan bangganya TDW disiaran TV menginformasikan bahwa kegiatan tersebut telha diliput sehari sebelumnya oleh media asing. Tidak adakah cara yang lebih beradab dalam menolong orang miskin tanpa harus memamerkan kemiskinan negeri ini sekaligus menjadi lebih terkenal ?


Cara TDW dalam tebar uang sebenarnya juga dilakukan oleh pihak lain melalui kebiasaan dalam kegiatan “ekonomi berbiaya tinggi” seperti misalnya kegiatan suap yang terjadi di Bea Cukai maupun disemua lini kehidupan keseharian kita.

Hanya bedanya TDW dengan tulus mencoba berbagi, sedang pihak lainnya karena ada kepentingan tertentu seperti money politic yang mencoba membeli suara, suap di Bea Cukai supaya diperlancar dan dapat potongan biaya dll.


BLT sebenarnya juga sebentuk tebar uang atas nama negara yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi gejolak warga miskin akibat kenaikan BBM, bahka ada yang menyatakan sebagai suap politik.


Yang jelas baik BLT maupun tebar uang dan suap semuanya tidak bersifat mendidik masyarakat untuk berjuang denga etos kerja yang tinggi untuk meraih kemandirian dan sungguh lebih mulia para laskar mandiri yang meskipun menjadi menjadi pemulung dan dianggap sampah masyarakat namun selain memperoleh uang dari hasil keringat sendiri, mereka tidak merugikan pihak lain serta mampu mengurangi timbunan sampah sehingga meningkatkan kualitas lingkungan.



Belajar dari Prinsip Pelikan


Dalam sebuah kutipan tulisan seorang motivator Andrew Ho berjudul Prinsip Pelikan, dikatakan


“Thus, races arose from an original coding which God pulled out as needed for adaptation to the environment.”
Walter Lang

Kutipan dari Walter Lang menyatakan bahwa peradaban umat manusia di dunia ini mengalami perkembangan karena senantiasa beradaptasi terhadap lingkungan. Kalimatnya itu menegaskan bahwa pencapaian perkembangan kehidupan kita saat ini pun tidak lepas dari proses yang menuntut kita untuk mengadaptasikan diri. Fenomena yang pernah terjadi pada burung-burung pelikan di pantai Monterey, California berikut ini telah menginspirasi saya untuk menjelaskan beberapa hal penting untuk meningkatkan daya adaptasi kita. Oleh sebab itu saya menyebutnya prinsip Pelikan.


Pantai Pelikan di California Amerika Serikat memang terkenal karena ciri khas burung pelikan yang hidup bebas di sekitar pantai tersebut. Burung-burung pelikan liar itu selalu mendapatkan makanan ikan segar berlimpah dari para nelayan ikan tuna. Mereka berkembang biak dan hidup damai di pantai tersebut

Tetapi sejak pemerintah memberlakukan undang-undang yang melarang para nelayan menangkap ikan tuna di tempat itu, banyak sekali burung pelikan mati kelaparan. Para ilmuwan berusaha mengatasi persoalan itu dengan berbagai cara, tetapi tidak segera membuahkan hasil. Mereka khawatir burung-burung tersebut akan punah.


Kemudian mereka berinisiatif mendatangkan burung pelikan pesaing dari Florida. Para ilmuwan berharap akan terjadi pembauran dan perkawinan antara burung pelikan Monterey dan Florida, yang menghasilkan bibit pelikan-pelikan yang tangguh dan pandai mencari ikan sendiri. Tetapi dalam waktu singkat dan belum sempat terjadi perkawinan, burung pelikan Monterey sudah mampu berburu ikan sendiri. Kemajuan itu benar-benar menakjubkan.


Burung pelikan yang sudah terbiasa mendapatkan makanan dengan mudah dari para nelayan, tanpa perlu berusaha keras mencari ikan sendiri, cenderung tidak memiliki kekuatan untuk bertahan ketika situasi sudah mengarah pada krisis makanan. Mereka menghadapi kesulitan besar tatkala terjadi sedikit saja perubahan keadaan. Kesulitan yang mereka hadapi dikarenakan mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan beradaptasi.


Dari tulisan Andrew Ho diatas, dapat dibayangkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah sekarang dengan RASKIN, BLT dan sebangsanya seperti halnya para nelayan yang memberi makan berupa ikan pada burung Pelikan disekitarnya yang berbuah ketergantungan sehingga ketika para nelayan diharuskan pergi, maka burung Pelikan menjadi tak berdaya dan kemudian mati karena tidak tahu lagi cara berburu ikan untuk dimakan.


Yang dipersoalkan disini bukan masalah pemerintah dengan baik hati mau membantu rakyatnya melalui RASKIN dan BLT (meskipun kita tahn tugas utama pemerintah adalah mensejahterakan rakyatnya) , melainkan strategi yang dipilih dengan RASKIN dan BLT tidaklah pas dan bahkan ditenggarai menimbulkan ketergantungan dan menciptakan kemalasan.



Yang penting bukan seberapa subur lahannya, tetapi seberapa hebat petaninya


Dari potensi yang dimiliki baik berupa SDA maupun SDM, sungguh tidak bisa diterima akal sehat apabila Indonesia bisa terperangkap dalam krisis berkepanjangan sampai saat ini. Mengingat begitu besar kekayaan baik intelektual maupun sumber daya alam yang kita miliki, lalu apa yang salah dengan kondisi saat ini ?


Lahan yang terbentang luas dengan dua kali musim baik musim kemarau maupun hujan dengan sinar matahari yang tak lelah menyinari bumi katulistiwa, mengapa kita masih harus impor beras dan menjadikannya beras miskin (RASKIN)? Seberapa kuat pemerintah akan mampu memberi subsidi dan apakah subsidi merupakan opsi yang tepat dalam pemberdayaan masyarakat menuju mandiri ?


Jadi menjadi PR kita semua, mencari apa akar masalah terkait dengan busung lapar, banjir, kekeringan dibanyak persawahan , tanah longsor, kebakaran hutan, penggundulan hutan secara sadar , minimnya infrastruktur pertanian sehingga kita kekurangan pangan (bukan hanya beras?) Kita bisa hitung berapa banyak luasan sawah yang gagal panen karena banjir maupun kekeringan ?


Fokus perhatian pemerintah yang terlalu memanjakan lahan basah (persawahan) dan mengabaikan potensi lahan kering terutama di KTI (Kawasan Timur Indonesia) menjadi salah satu sebab kenapa kita harus impor beras.

Belum lagi kampanye konsumsi beras yang seolah-olah lebih bergengsi dan bergizi dibanding dengan makanan lokal yang ada di berbagai daerah turut memperparah ketergantungan pangan nasional pada beras. Bahkan istilah RASKIN menunjukkan kebenaran keberpihakan pemerintah hanya pada jenis pangan nasional berupa beras. Padahal kita tahu diseantero nusantara begitu banyak dan beragam makanan pokoknya seperti Madura dan NTT dengan jagungnya, Maluku dengan sagunya, dan Papua dengan umbi-umbian dll.


Jadi jika kita ingin mempunyai kedaulatan pangan yang kuat , mau tidak mau pemerintah harus melakukan revitalisasi pertanian (dalam arti luas) antara lain dengan memperbaiki dan menyediakan infrastruktur yang mendukung pertanian, membangun jalan-jalan aspal antar desa yang merupakan pusat produksi pangan, melakukan reforma agraria dengan membagi lahan milik pemerintah kepada petani gurem dan penyakap, membiasakan para pejabat dan keluarganya mengkonsumsi pangan beragam termasuk pangan lokal dalam keseharian mereka (bukan hanya pada saat kampanye penganekaragaman konsumsi pangan lokal), menghilangkan paket beras RASKIN dan BLT, menyiapkan petani terampil, cerdas dan mandiri melalui pendampingan dinas terkait, dan yang tak kalah penting politik beras murah harus ditinggalkan dan diganti dengan menghargai jerih payah petani dengan harga layak sehingga profesi petani sejajar dengan profesi lainnya.


Yang tak kalah pemting bagaimana agar semua kegiatan atas nama pembangunan nasional selalu didasarkan pada etika lingkungan seperti yang terus disuarakan oleh pakar ekologi kita Bapak Otto Soemarwoto yang telah berpulang. Tugas generasi muda khususnya para intelektual muda untuk terus menyuarakan arti penting melestarikan lingkungan sehingga generasi penerus mewarisi lingkungan yang berkualitas dalam mendukung kehidupannya.


Dalam kaitan dengan pembangunan pertanian yang menjadi perhatian utama adalah menjaga agar daerah hulu tetap mampu menjadi daerah resapan air dalam artian fungsi hidrologis hutan harus terus dipelihara dengan meniadakan pembalakan hutan secara liar, membatasi privatisasi air sehingga air tetap tersedia untuk kegiatan pertanian sebagai penopang pangan nasional dan menjaga kedaulatan bangsa khususnya dalam hal kedaulatan pangan. Jadi tidak ada yang tidak mungkin termasuk menggantikan RASKIn dengan kaya beras atau lebih tepatnya kaya pangan yang berlimpah.


Mari kita bangun pertanian Indonesia yang tangguh seperti halnya syair lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengajak kita semua untuk “ Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”



YBT Suryo Kusumo


t.suryokusumo@gmail.com



Friday, May 23, 2008

100 Tahun peringatan Harkitnas: Indonesia (termasuk NTT) MAJU (Makin Jujur) ?


Tak terasa bangsa kita telah memasuki 100 tahun dalam memperingati Harkitnas, sebuah momen tumbuhnya kesadaran bersama untuk bertekad membentuk sebuah bangsa dan negara yang merdeka dari segala bentuk penindasan, bermartabat dan mandiri/ berdikari.

Perjalanan yang terasa panjang dan melelahkan dalam membangun semangat kebangsaan untuk menuju terwujudnya Indonesia Bangkit (dari berbagai keterpurukan) menuju masyarakat adil dan makmur berdasar Pancasila.

Momen saat ini juga sangat terasa pas dalam merefleksikan kembali perjalanan 10 tahun reformasi yang memakan tumbal para pejuang reformasi yang tak lain adalah generasi muda yang penuh idealisme dan mempunyai keberanian utnuk bertindak tanpa memperhitungkan untung rugi bagi dirinya.

Tidak seperti halnya para politisi yang selalu melakukan kalkulasi dalam bertindak, maka teman-teman mahasiswa didasari oleh amanat penderitaan rakyat dalam perjuangannya secara bergelora dan berani, bertindak dengan penuh heroik melawan para penguasa Orde Baru yang didukung dengan rejim militer yang tak kalah galak dalam menyalakkan senjatanya.

Tahun 2008, merupakan tahun ke-empat pemerintahan SBY-Kalla yang dipilih langsung rakyat, ternyata kentara sekali mereka lebih memihak kekuasaan daripada rakyat miskin yang mengusungnya, terbukti dengan dibiarkan berlarut-larutnya penderitaan warga yang terkena masalah Lumpur Porong Lapindo yang menyeret Aburizal bakrie, salah satu menteri yang mengkoordinir masalah kesejahteraan sosial namun ironisnya perusahaan miliknya justru menyengsarakan rakyat yang harus disejahterakan, semakin melambungnya harga sembako, rencana kenaikan BBM setelah sebelumnya tahun 2005 naik drastis, ditambah dengan langkanya BBM yang menyebabkan banyak warga kembali antri (sesuatu yang sudah lama dilupakan rakyat). Apalagi bagi rakyat miskin, antrian BLT dan beras gratis menjadi pemandangan yang seolah tak mengusik para pemimpin yang teridur kekenyangan sehingga buta hati, tuli hati dan seolah tanpa rasa kemanusiaan

Jeritan rakyat yang memilukan

Kondisi nyata rakyat miskin yang menjerit nyaring melalui berbagai media seolah tidak terdengar oleh para pembesar yang lebih senang membaca data tentang turunnya angka kemiskinan dan indikator makro ekonomi lainnya daripada turun langsung (turba) ke bawah ke lapisan masyarakat yang sekarang menjerit namun tak bersuara karena telah kehabisan akal dalam menyiasati pahitnya hidup dinegeri yang katanya menjanjikan surga karena melimpahnya SDA.

Begitu banyak upaya yang coba dilakukan dalam membangun jaring pengaman sosial namun kembali lagi mentalitas korup dan jeleknya layanan publik menjadi penyebab mengapa mesin birokrasi seperti kehilangan tenaga dalam mengangkat kaum miskin menuju hidup yang lebih baik. Seperti halnya pesawat terbang , maka sepintar apapun pilotnya , namun kalau tenaga dorong mesin tidak mampu melakukan take off maka pesawat akan terjerambah ke tanah dan memakan banyak korban.

Pemerintahan SBY-Kalla seharusnya belajar banyak mengapa mesin pemerintahannya tidak mampu melakukan take off/ tinggal landas, bukannya tinggal di landasan. Kondisi saat ini banyak sekali rakyat miskin sebagai penumpang pesawat bernama Indonesia yang belum sampai ke bandara dan hanya bisa melihat pesawat “Indonesia” dari kejauhan.

Belajar dari kehancuran negara lain ?

Sudah berulangkali kita mendengar kegiatan studi banding (stuba) ke negara lain yang lebih maju, namun dalam kenyataan hampir tidak ada perubahan yang nyata setelah kembali ke tanah air meski telah dikeluarkan dana yang tidak sedikit jumlahnya.

Alangkah lebih baik kalau strategi stuba diubah yakni dengan mengunjungi negara lain yang terpuruk dan menuju jurang kehancuran karena perilaku korupsi yang mewabah dinegerinya, sehingga diharapkan setelah stuba maka para anggota legislatip eksekutip maupun yudikatip menjadi sadar betapa hal yang sama juga menimpa negeri Indonesia yang dicintainya (?) seperti halnya kapal Titatnic yang tinggal menunggu karam sehingga harus dilakukan tindakan darurat segera mungkin untuk terhindar dari kehancuran.

Maka dalam penangan korupsi akut stadium akhir seperti di negeri kita , tidak lagi bisa menggunakan cara-cara konvensional tetapi harus melalui prosedur yang tidak biasa.

Rakyat tidak boleh hanya tingal diam menunggu perubahan, namun dapat melakukan tindakan kecil namun berarti berupa gerakan seperti tidak mau menerima bantuan keuangan dari saudara kita yang jelas-jelas melakukan korupsi, tidak perlu memberi hormat bagi pejabat yang perilakunya korup, melakukan pembangkanan sosial terhadap pejabat publik yang terindikasi korupsi, memperkuat organisasi rakyat sipil sebagai kelompok penekan dalam memberantas korupsi.

KKN, sebuah peluang atau menunggu kehancuran bersama ?

Terasa KKN sebagai sebuah kegiatan harian yang telah merasuk kedalam setiap sendi kehidupan kita. Kalau mau disayembarakan untuk membuat motto kondisi KKN di Indonesia umumnya, khususnya dibumi Flobamora, maka motto yang mungkin pas dalah ‘Tiada hari tanpa KKN’. Kegiatan KKN telah menjadi candu yang membuat ketagihan bagi para pelakunya, baik dari kalangan pemerintah, bisnisman, LSM maupun lembaga yang ada dimasyarakat, sama seperti halnya narkoba yang memberi kenikmatan sesaat namun sesat karena tak lama kemudian mematikan. Bagi pengguna narkoba, akibatnya akan langsung kelihatan, namun bagi pecandu KKN akibatnya tidak langsung kelihatan meskipun telah berlangsung dari sejak ORLA, ORBA dan sampai ORSU (Orde Susah) saat ini.

Mengapa KKN menimbulkan ketagihan ? Untuk lebih jelasnya harus dicarikan jawabnya pada pelaku KKN itu sendiri. Namun menurut penalaran logis, bagaimana KKN tidak menumbuhkan ketagihan, apabila hanya dengan sedikit bahasa tubuh seperti kerdipan mata atau gerak tangan dan kekuasaan yang terpusat ditangannya akan mampu mendatangkan ratusan ribu sampai ratusan juta rupiah. Apalagi kadang-kadang kita memakai standar ganda, disamping mengutuk KKN namun sekaligus juga menikmatinya dalam bentuk lain.

Bagi mereka yang sudah buta dan tuli hati nuraninya serta menjadikan hidup sebagai tempat memuja dan memuaskan hasrat keinginan/napsu untuk selalu menjadi penikmat, adanya KKN dapat dianggap sebagai peluang yang pantas dan harus diperjuangkan serta diraih dalam rangka memperoleh dana secara mudah tanpa harus kerja keras, yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup berlebihan, menikmati surga dunia berupa hidup borju (judi, mabuk, narkoba, seks bebas, kemewahan dll).

Perilaku KKN menjadi semacam prestasi yang diagungkan karena membutuhkan seni tersendiri untuk bagaimana tidak mempunyai budaya malu alias bermuka badak , bagaimana teknik yang dipakai untuk selalu lolos dari jerat hukum maupun lolos dari penilaian masyarakat sekitarnya. KKN menjadi tampilan atraksi untuk memamerkan keahliannya dalam memanfaatkan semua potensi SDA (Sumber Daya Alam) dan uang rakyat maupun pinjaman luar negeri untuk digunakan bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, sanak saudara, kolega maupun masyarakat pendukungnya.

Pelaku KKN tidak lagi mau berpikir panjang bahwa KKN adalah sebentuk penyakit sosial yang ganas, menular dan akut dan berakibat merugikan bagi masyarakat kecil, seperti halnya kanker ganas maupun AIDS yang secara pelan namun pasti menggerogoti tubuh dan tinggal menunggu saat ajal.

Bagaikan layaknya drakula yang menghisap darah korban, maka selanjutnya korban akan menjadi drakula baru yang siap memburu korban lainnya. Jadi di Indonesia kaum drakula (koruptor) telah beranak pinak dan membangun komunitas yang sangat kuat karena bagi mereka setiap hari membutuhkan darah segar yang terus bertambah jumlahnya.

Perilaku KKN, seperti halnya perilaku ular maupun belut, yakni sangat cerdik, licin dan rapi dalam menutupi kegiatannya. KKN bagaikan parfum yang harumnya menyebar kemana-mana dan dapat tercium maupun terendus, namun tidak nampak wujudnya. Setelah hampir 32 tahun dimasa Orde Baru belajar secara langsung dari praktik keseharian kehidupan kita bagaimana ‘teknik melakukan KKN yang benar dan canggih ?’, dan masih dilanjutkan di ORSU (Orde Susah) saat ini, maka ditengah masyarakat telah banyak manusia yang menjadi ‘serigala berbulu domba’, yang mana tampak dari luar sangat halus dan sopan seperti halusnya bulu domba , seolah-olah berbudi luhur mau menolong, namun akan menjadi liar dan ganas ketika melihat manusia didepannya dapat dijadikan mangsanya seperti halnya perilaku seekor serigala atau ular berbisa. Pelaku KKN cenderung menjadi pemangsa bagi sesamanya (Homo homini lopus) dan tidak merasa bersalah, karena telah kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya, dan yang muncul adalah sifat kebinatangannya.

Mereka, para pelaku KKN kebanyakan memang hidup serba kecukupan dan mewah, namun terpenjara dalam kekerdilannya, karena tidak mampu membangun dan mewujudkan solidaritas sosial bagi sesamanya, terlebih bagi kaum pinggiran, rakyat kecil yang menjerit yang menjadi korban tindakan KKNnya.

KKN bukan hanya menjadi masalah terkait menyalahi administrasi, prosedur hukum maupun sistem akuntansi, tetapi menjadi masalah moralitas dan mentalitas karena secara filosofi KKN adalah sebentuk penyalahgunaan dan pencurian yang sistematis, dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki sebagai pinjaman dari rakyat, dan menyiasati kelemahan system kontrol yang ada dalam system besar ketatanegaraan kita sehingga dapat menguntungkan bagi dirinya secara berlebihan dan tidak adil, karena bukan dari hasil kerja keras dan kejujuran.

Disamping itu KKN merupakan tindakan menyerobot “KASIH Tuhan” yang seharusnya diterima oleh umatNYA yang sangat membutuhkan, namun oleh pelaku KKN disalah gunakan untuk kepentingan diri sendiri.

Inilah wajah dunia kita, mengapa ada satu orang kekenyangan, dan seribu orang kelaparan, kata Franky menggugat dalam sebuah lirik lagunya. Bumi yang diciptakan untuk dipakai dalam kebersamaan, saat ini cenderung mau dikuasai sendiri oleh para pelaku KKN.

Mereka menjadi semacam gurita raksasa bebentuk birokrasi maupun kerajaan bisnis (termasuk perusahaan multinasional) yang dengan kekuasaan yang dimilikinya ingin merengkuh seluruh dunia menjadi miliknya.

Hal ini menjadi tantangan bagi kita kaum beriman, untuk mewujudkan iman melalui perbuatan, sehingga iman yang kita miliki berupa ‘iman yang memerdekakan dan membebaskan’ yang mengabarkan kabar kegembiraan bagi kita semua.

Solidaritas sosial religius perlu diwujudkan bersama-sama untuk menyatakan ‘perang terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme ‘ saat ini juga!

Sudah saatnya ditiap-tiap kabupaten, kotamadya dibentuk lembaga yang memantau praktik KKN (seperti halnya ICW) maupun perwakilan KPK dan membongkarnya untuk diselesaikan secara hukum demi mewujudkan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka menciptakan pemerintahan dan praktek bisnis yang bersih dari KKN. Sudah saatnya apabila tidak mau dikatakan terlambat, para pelaku KKN diajukan ke pengadilan dan supremasi hukum harus ditegakkan.

Rasa keadilan masyarakat akan semakin menguat dan akan menggugat putusan pengadilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan yang mencoba menjadikan hukum tunduk dibawah uang dan kekuasaan. Kita dukung terbentuknya sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang betul-betul independen dan mampu menjalankan fungsinya secara maksimal.

Mari kita galang bersama melalui kerjasama jaringan antar lembaga (agama, intelektual sejati, kalangan pers idealis, masyarakat peduli kejujuran, LSM, politisi rakyat, kelompok bisnis beretika dll) yang masih menghendaki kejujuran tegak dibumi Flobamora, agar praktek KKN kotor yang menyebabkan rakyat NTT terus dalam kemiskinan (meski bantuan bermilyar-milyar telah diberikan ,baik oleh pemerintah pusat maupun bantuan dan utang dari negara sahabat dll) untuk tidak diteruskan, dan digantikan dengan terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang didukung dengan praktek bisnis yang ber-etika dan berkeadilan.

Atau kita akan pasrah menunggu kehancuran bersama-sama, sementara para pelaku KKN akan tertawa dalam hati karena telah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal terburuk yang akan terjadi. Kehancuran kita bersama tidak akan berpengaruh bagi pelaku KKN karena mereka telah siap dari menikmati buah KKN (seperti halnya buah terlarang yang dimakan Adam sebagai manusia pertama).

Selamat memperingati ke 100 tahun “Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas)” bukannya memperingati “Hari Kebangkrutan Nasional” karena perilaku pejabat yang tidak jujur, rakyat yang semakin tidak nasionalis, pejabat yang suka menjual aset negara dan menjadi “ anjing NICA modern” yang lebih suka berpihak pada kepentingan asing yang membuat dirinya kaya raya meski tahu korbannya rakyat yang akan menderita.

Apapun yang akan dilakukan untuk memperingatinya dengan segala seremonialnya, tetapi yang terpenting lawanlah koruptor, jangan hargai pejabat yang korup, jangan pilih pejabat yang terlanjur tidak bersih terutama menjelang Pilgub NTT 1 , dan mulai hidup bersih dari tipu-menipu.

Selamat berjuang menegakkan kejujuran, kebenaran , perdamaian dan keadilan, bagi kita semua yang masih berharap kejujuran dan nilai luhur masih akan merekah dari ufuk timur, seperti halnya matahari yang selalu terbit dari arah timur dan memberi sinar bagi mahuk hidup didunia. Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali, menuju Indonesia MAJU (Makin Jujur).

Salam merdeka .


YBT. Suryo Kusumo ; tony.suryokusumo@gmail.com

Pengembang masyarakat perdesaan

Sunday, May 11, 2008

Global Warming dan Climate Change= Hantu Siang Bolong?

Benarkah Global warming dan climate change, sekedar hantu siang bolong atau kah prediksi ilmiah yang akan jadi kenyataan ? Untuk mendapatkan gambarannya, simak tulisan Tony Suryokusumo berikut ini.


Bagi kebanyakan masyarakat, global warming atau yang lebih dikenal dengan pemanasan global dan perubahan iklim mungkin hanya sekedar “breaking news” atau berita selintas yang kemudian dilupakan.


Mudah-mudahan hal ini tidak berlaku bagi para pemimpin NTT (pejabat , pemuka agama, budaya, akademisi, jurnalis, pengusaha, LSM dll) yang diharapkan masih terus punya komitmen untuk ikut berkontribusi terhadap berkurangnya pemanasan global maupun perubahan iklim.


Praksis (take action) dalam keseharian


Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap pengurangan pemanasan global ? Mungkin ini pertanyaan yang sering diajukan kepada para pakar lingkungan, namun sebenarnya pertanyaan yang lebih penting adalah apakah masyarakat luas di NTT telah memahami apa yang dimaksud dengan pemanasan global maupun perubahan iklim dan dampak negatipnya bagi kelangsungan hidup kita di NTT ke depan ?


Anak saya yang masih duduk di SD tidak terlalu paham dengan istilah tersebut karena mungkin tidak terlalu dibahas didalam kelas atau mungkin tidak masuk dalam bahasan mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum, padahal seandainya kita semua mau mencermati akan dampak negatipnya yang sungguh luar biasa bagi kelangsungan peradaban manusia dibumi, maka pasti kita akan semakin peduli dan akan segera bertindak sesuai dengan kemampuan yang ada.


Orang bijak mengatakan “sedia payung sebelum hujan” meskipun masyarakat kita lebih suka sebaliknya yakni mencari tempat berteduh atau payung/jas hujan setelah hujan turun. Kebiasaan sikap re-aktip masyarakat kita tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus digantikan dengan sikap pro-aktip.


Menjadi pertanyaan, siapa yang harus mensosialisasikan terkait pemanasan global dan perubahan iklim ini kepada masyarakat luas di NTT ?


Musuh peradaban telah ada dimuka bumi yakni perilaku kita semua sebagai penghuni bumi yang terus saja membuang emisi berupa gas CO2 ke udara karena gaya hidup kita yang kurang peduli pada kelestarian bumi.


Dalam salah satu topik pembicaraaan Perpektif Wimar di websitenya Wimar Witoelar http://www.perspektif.net/indonesian/article.php?article_id=857), Dr. Armi Susandi ahli perubahan iklim dari Fakultas Kebumian dan Teknologi Mineral ITB mengatakan “Akibat dari pemanasan global bukan hanya dirasakan daerah pesisir , bahkan ada negara yang juga terancam bisa hilang seperti Tuvalu”.

Secara singkat Dr Armi menjelaskan bahwa dunia menjadi panas karena tertutup co2 yang disebabkan antara lain pembakaran bahan bakar fosil. “tahun 2035 kita ke bandara Soekarno Hatta harus naik perahu”, tuturnya. Energi alternatif mungkin bisa menjadi sebuah solusi tapi dengan konsekuensi akan membuat harga pangan melambung tinggi, seperti yang sekarang terjadi

Lebih lanjut beliau mengatakan fenomena ini ditandai beberapa hal seperti curah hujan yang tinggi ketika musim hujan, dan kemarau yang panjang setelahnya. Menurut Armi, jika terjadi perubahan cuaca maka penyakit akan muncul. Biasanya kita mengalami dua kali perubahan cuaca dalam satu tahun, sekarang bisa tiap hari terjadi perubahan cuaca yang berarti penyakit juga akan sering muncul. “Untuk itu peran pemerintah sebagai sumber informasi dan sosialisasi sangat penting”

Solusi yang ditawarkan adalah selain mencari energi alternatif, upaya penghijauan adalah solusi lain yang paling efektif. Karena disamping menyerap air, tumbuhan juga dapat menyerap co2. Indonesia tampaknya menjadi harapan dunia untuk masalah ini, selain memiliki hutan tropis yang besar, kita juga memiliki laut yang luas dimana tumbuhan laut didalamnya memiliki kemampuan menyerap co2 lebih besar dari tumbuhan di darat.

Dari gambaran dan penjelasan Dr. Armi Susandi diatas menjadi lebih jelas bagi kita masyarakat NTT apa saja yang dapat dilakukan untuk ikut mengurangi pemanasan bumi secara global.

Kebiasaan perladangan berpindah dn tebas bakar dalam membuka lahan di bumi Flobamora selain merusak lingkungan sekitar , secara tidak langsung juga turut andil dalam menambah emisi CO2 ke udara. Padahal sebenarnya pola pengelolaan lahan secara berpindah dan tebas bakar dapat digantikan dengan pola pertanian secara menetap tanpa harus membakar lahan dan teknologinyapun sangat sederhana dan mudah .

Apakah para Bupati dan Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan diwilayah Flobamora berani mendeklarasikan komitmen mereka untuk mampu menjadikan perubahan kebiasaan perladangan berpindah dan tebas bakar tersebut sebagai target kinerja dan menggantikannya dengan pola yang lebih lestari yakni pertanian berkelanjutan dengan konservasi lahan untuk lahan miring ? Pasti hal ini harus mendapat dukungan politik dari anggota DPRD setempat yang dituangkan dalam bentuk PERDA.

Para politisi DPRD Tk II dan Pemkab seharusnya tidak lagi berkutat hanya dengan permasalahan yang ada dirumah tangganya sendiri yakni dilingkup kabupaten, tetapi sebaiknya terus memperluas wawasan bahwa sebagai penghuni rumah yang sama yakni BUMI maka sudah selayaknya ikut memikirkan kontribusi apa yang dapat disumbangkan setiap Pemkab di bumi Flobamora ini secara nyata bagi pengurangan panas bumi secara global


Kita harus berpikir global, namun bertindak lokal, dan cara yang termudah pilihannya antara lain adalah;

  1. Menyelamatkan dan melestarikan hutan yang masih bisa diselamatkan,

  2. Melakukan penghutanan kembali hutan yang terlanjur rusak,

  3. Memberantas pembalakan liar,

  4. Mengajak warga masyarakat menghijaukan lingkungannya dengan menanam dan memelihara pohon-pohon yang sudah ada .

  5. Mengajak seluruh perkantoran pemerintah untuk memberi contoh gerakan bersama peduli lingkungan hijau dan sejuk melaui penanaman pohon dikantornya maupun dirumah PNS,

  6. Setiap dinas diserahi pengelolaan satu areal taman, seperti yang diterapkan di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, memperbanyak hutan kota di ibukota kabupaten maupun kecamatan,

  7. Memasukkan muatan lokal (mulok) dalam pendidikan formal yang dimulai dari tingkat SD,

  8. Mengomposkan sampah organik dan diajurkan untuk tidak membakarnya, mengurangi pemakaian kendaraan bermesin (motor, mobil) yang dirasa tidak terlau mendesak,

  9. Mengatur transportasi publik seperti angkot/mikrolet , bus kota dan bus antar kota secara lebih efisien dan efektip.

  10. Mengurangi pemakaian listrik

  11. Merawat mesin dengan baik sehingga pembakaran sempurna dan hemat BBM

  12. Dll


Kita sebenarnya bisa menghitung berapa pemborosan yang diakibatkan oleh banyaknya bus antar kota yang penumpangnya meski sangat sedikit namun harus terus berjalan , misalnya dari Kupang ke Atambua ? Kenapa tidak diatur sedemikian rupa per satuan waktu sehingga bus antar kota bisa dibatasi jumlahnya dan tidak terjadi pemborosan BBM, onderdil, waktu dan tenaga, juga dengan mengurangi jumlah armada bus yang disesuaikan dengan kapasitas penumpang maka akan mengurangi kepadatan lalu lintas dan peluang terjadinya kecelakaan. Berapa banyak gas buangan CO2 yang dapat dikurangi sehingga ikut menyumbang dalam mengurangi buangan emisi ke udara yang berarti ikut mengurangi pemanasan global ? Demikian pula dengan moda angkutan lainnya seperti angkutan ojek, angkota, kapal dll.


Pemuka agama telah menyerukan dan memasukkan agenda peduli lingkungan berupa tanam pohon pada jemaatnya, namun sayangnya seringkali himbauan ini hanya berhenti sebatas mimbar seperti halnya gerakan yang dicanangkan secara masal oleh pemerintah sering hanya menjadi gerakan sesaat karena belum didasari oleh kesadaran diri pribadi akan arti penting tindakannya.


Mendidik anak sejak usia dini dengan pemahaman yang utuh terkait lingkungan dan masuk menjadi muatan pelajaran dalam kurikulum sekolah menjadi sangat strategis untuk membentuk kepribadian warga yang sadar dan peduli lingkungan dimasa mendatang. Anak-anak merupakan harapan kedepan karena sangat sulit merubah watak orang dewasa yang sudah terlajur tidak peduli dengan lingkungan. Memang umur boleh dewasa, tetapi ketika membuang sampah secara sembarangan apakah mencerminkan kedewasaan ? Anak kecilpun kalau dibiasakan bisa buang sampah ditempatnya.


Jadi masalahnya apakah kita sebagai orang dewasa tidak tahu atau tidak mau tahu terkait pemanasan global dan perubahan iklim ?


Sayang sekali jika bumi yang kita diami yang hanya satu dan tak tergantikan ini terus saja dicemari dan dihancurkan oleh kita sebagai manusia yang katanya mahluk yang paling beradab namun dipertanyakan “keberadabannya” karena ketidak pedulian kita terhadap kerusakan lingkungan.


Jadi kalau bisa dibuat gampang, kenapa harus cari alasan pembenaran terus menerus ? Mulailah dari apa yang ada, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga, lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa.


Salam hijau,


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com





Monday, May 5, 2008

Sama ke Saboak

Mau deng Peu bar bangun pagi, tadi malam nonton bola kaki di kawan pung rumah.

“Peu bangun su, kopi su siap ni…! B pung Mama ada goreng pisang, masih panas.”

Peu masi masanggorok, dia ada mimpi enak ni. Katumu kawan lama dong, bauji lari abis sakola, deng su mau deka finis, Mau kosi Peu kas bangun.

“Bangun su, son lama botong su dapa batarea dar mamtua. Mama ada suruh turun pi beli ikan di Oesapa...bangun su, ko lu yang pegang tas ikan...”

Peu yang su hampir sonto garis finis bangun denga pata-pata bedan...”Wi tidur pung enak lai...”

Mau su jengkel. “Lu enak, ma lu kosi beta...turun dar tampa tidur!”

“Sori kawan, te itumangkali pas be mimpi batumbu deng ana-ana bawa dong! Be ada bela lu, itu satu mau datang batamba makanya be kosi dia di kuk...ma son sangaja tandang lu.”

“Peu lu ni kuat alasan...mot itu kopi deng pisang ko botong kaluar su.”

Omong sat kali sa, Peu langsung kabas pisang goreng deng kopi sampe rata.

Sampe di Oesapa, orang-orang dong ada dudu deng ember. Ini hari ikan kosong kawan.

“Aduh pamang….ikan tar ada ko…” Mau tanya juraga bagan ni.

“Itu sudah anak, ikan ada susah...mana orang bilang minya mau nae lai, biasa jam bagini ana-ana dong su pulang, ini pasti ikan kosong betul..”

Bukan hanya pamang yang susah, ama deng ina yang duduk tunggu ada susa ju...ini papalele dong su kapala saki ni.

“Ini kalo ikan sadiki na biar sa, be son ambel...te ini langganan dong nanti maki ancor beta,” omong satu ana muda.

“Ho bagitu su...ais mo karmana lae, mau badara...?” hantam kawan.

“Ana, sapa yang gubernur NTT ni?” pamang tanya di Mau.

“Son tau...samua muka jelek abis, ma tarsampat ko mau maju?” Mau jawab yakin.

“Lu pikir kalo orang muka ganteng dong lebe bae ko?” Peu tanya bale.

“Mangkali bagitu, ko lu lia sa Dede sapa tu manang di Jawa Barat, be rasa ibu-ibu dong pasti tusuk dia sa...kok yang laen muka tua tu...”

“Bisa jadi, jadi kalau botong pung pamang tunggu sa, lia sapa yang paling ganteng baru dia yang manang...te botong artis kurang”

Pamang su bingung, son mangarti, mana yang ganteng...ko selama ini son ada yang tau artis NTT, ma dia parnah dengar Trio Sonbilo dari SoE suara bagus ju menurut pamang.

“Karmana kalo Trio Sonbilo?” Pamang tanya.

“Barani sa dong yang maju jadi gubernur, bosong jang pikir itu tua-tua dong dapa tampa...orang lebe bae pilih dong sa!”Mau jawab.

“Trio Sonbilo pung lagu ju dulu ada yang larang tu....”Peu sambung.

“Jang kalo-kalo do, te sakarang ni, sapa sa yang mau maju harus sese doi banyak, jadi son gampang, saparo ni kalo son jadi maju opname samua di UGD rame-rame...ko doi su abis banyak ma sonde jadi ju...”

“Kalo Pamang suka sapa yang jadi gubernur?”

“Botong orang kici anak, sapa yang jadi gubernur bae sa, ko dong nae kotong tangka ikang, dong sonde naik kotong tetap tangka ikang, son ada beda…”

“Ho e....jadi dong bikin apa sa di atas?”Mau tanya bale.

“Babagi doi to, bosong lia sa, dulu biasa-biasa sa....ma kal su jadi pajabat, muka dong su mangkilat abis...wangi abis...” Peu jawab.

“Ko lu ini ada pi cium dong ko?”

“Makanya jadi orang tu Mau, bergaul...kalo pas Natal pi selamat di rumah jabatan, biar duduk kok makan kue, deng pi lia dong model karmana di sana...”

“Jadi dong son susah ko?” tanya Mau.

“Ko mau susah apa lai? Mau pi beli roko sa ajudan yang lari....mau pi beli jagong bakar ana bua yang lari, mau beli pulsa ada yang transfer...samua su ada...”

“Enak ju jadi bos e....Peu!”

“Kalo sonde enak na sapa yang mau nae, ada ju yang nae lupa turun...”

“Karmana o ada orang yang nae pohon tuak lupa turun pi bawah?”

“Jadi laru to?”

“Hahaha....mangkali ju, saparo su jadi saboak....Pamang botong jalan su, te ikan son ada ni...” MaU pamit ko jalan pi tampa motor. Sadiki lai dia pung Bapa mau pake motor jadi harus capat-capat (Bram) .

Quo Vadis Kota KUPANG sebagai Kota KASIH ?

(Beberapa catatan untuk Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat)

Dalam perkembangan untuk mewujudkan sebuah “kemajuan”, Kota-Kupang seperti halnya ibu kota propinsi di seluruh Indonesia terus berbenah diri untuk layak disebut sebagai kota metropolitan atau kota yang modern alias maju.

Berbagai cara dan upaya ditempuh untuk memperlihatkan wajah gemerlap dan molek sebuah kota yag modern seperti halnya pembangunan beberapa monumen seperti patung Sonbai, Tirosa dibundaran PU, patung KB di Oebobo, patung perdamaian yang dilambangkan dengan burung merpati di Penfui dsb Tak pelak lagi ketika Kota Kupang terus bertumbuh menuju kota modern , dan sisi gelap sebuah realita tentang jorok dan kumuhnya kota coba ditutup tutupi dengan berbagai cara agar yang terlihat cuma sisi yang menawan dan gemerlap.

Mari kita tengok pengembangan mall seperti Flobamora yang menawarkan sejuta keindahan dan kemudahan dalam berbelanja, bank-bank papan atas yang memberi kemudahan layanan 24 jam, apotek yang buka selama 24 jam, dan berbagai kemudahan lainnya.

Tata ruang kota yang terabaikan

Sebagai kota yang sedang tumbuh, sudah seharusnya dan selayaknya apabila Pemkot Kupang berupaya untuk mensosialisasikan tata ruang kota melalui pemasangan peta rencana tata kota ditempat strategis seperti mall Flobamora, Kupang lama dll yang mudah diakses oleh warga kota sehingga dapat terhindar dari salah tata letak dan fungsinya dan ada kontrol dari warganya apabila ada penyimpangan peruntukan wilayah. Memang telah ada peta tersebut namun sayangnya ada yang dipasang di lokasi pariwisata Lasiana di dekat bak sampah dan banyak sampah berserakan disekitar peta tersebut sehingga membuat warga enggan membacanya.

Sudah sewajarnya jika sejak dini Pemkot Kupang sebagai fasilitator mensosialisasikan terus menerus area mana yang direncanakan untuk perkantoran, area untuk bisnis, area terbuka untuk publik, area terbuka hijau dll. Yang dirasakan selama ini begitu cepat perkembangan kota namun kelihatannya masih belum ditata dengan mempertimbangkan keberlanjutan kota ke depan. Contoh nyata, dimana-mana tumbuh dan dibangun ruko yang kadang justru berada di lokasi yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Terlihat ketika hujan besar di musim hujan, maka beberapa ruas jalan kota yang telah beraspal hotmix yang mahal terendam banjir dan sebagian sampah dari saluran pembuangan meluber ke jalan menambah jorok wajah kota.

Yang cukup urgen, kalau tidak boleh dikatakan terlambat adalah perlu dibangunnya hutan kota sebagai ajang rekreasi warga yang murah meriah bagi warga kota namun juga dapat meningkatkan tali silaturahmi dan kedekatan antar warga tanpa mengabaikan sisi keindahan kota.

Penggusuran yang tak manusiawi

Pembelajaran yang bisa dipetik dari perkembangan kota besar lainnya di Indonesia terutama di Jakarta dan Surabaya adalah bagaimana Satpol PP telah digunakan untuk menjadi alat kekerasan dalam menegakkan Perda tanpa solusi dan menimbulkan sakit hati dan kemiskinan baru bagi warga kecil yang tergusur.

Kita dapat menyaksikan ditayangan TV bagaimana kekerasan dipertontonkan layaknya negara yang tidak mengenal perikemanusiaan. Ibu-ibu pedagang kaki lima menjerit, menangis dan histeris sambil memeluk bayi digendongannya ketika berhadapan dengan penggusuran paksa oleh pasukan Satpol PP yang bertindak bagaikan robot yang tak berperasaan seolah tak ada solusi selain “kalah-menang” .

Tayangan tentang kios kaki lima yang diobrak abrik, pedagang yang berhamburan berlarian menyelamatkan diri seolah-olah bagaikan tikus yang dikejar kucing, rumah-rumah kumuh yang dirobohkan dan dibakar tanpa mau tahu para penghuninya mau tinggal dimana ? Para pedagang kaki lima yang telah memiliki jiwa bisnis namun tidak punya cukup modal untuk membeli tempat berjualan yang strategis di kota justru diperlakukan selayaknya para kriminal, padahal seharusnya Pemda bangga karena mereka tidak perlu mengemis menjadi pegawai negeri atau mengharapkan bantuan RASKIN ataupun BLT.

Pembelajaran yang perlu dilakukan adalah belajar dari kota Yogyakarta khususnya di sepajang Malioboro dimana pedagang kaki lima tetap diperbolehkan menggelar barang dagangannya tanpa merusak pemandangan kota , tetap mampu menjaga kebersihan dan tidak mengganggu toko-toko lainnya. Mereka mendirikan paguyuban dan koperasi PKL (Pedagang Kaki Lima) yang dijadikan ajang bagi anggotanya untuk menjaga kebersihan, melindungi diri dari ancaman pemerasan oleh preman dan saling menolong satu dengan lainnya.

Gagasan almarhum Romo Mangun sangat menarik untuk dipelajari mengenai penataan pedagang kaki lima terutama makanan di kampus biru UGM Bulaksumur dimana mereka dibantu dibuatkan tempat berjualan yang rapi, artistik dan dijaga kebersihannya oleh para pedagang itu sendiri sehingga tidak mengurangi keindahan kampus, namun mahasiswa dapat memperoleh makanan dengan mudah dan murah sesuai kemampuan kocek mereka.

Artinya perlu dipikirkan sejak awal oleh Pemkot Kupang pengalokasian yang cukup untuk ruang./tempat jualan dilokasi yang strategis bagi para pedagang kecil /kaki lima namun mereka perlu diedukasi secara terus menerus untuk dapat berkontribusi menjaga keindahan dan kebersihan kota.

Sebagai contoh tempat penjualan jagung bakar dan kelapa muda disepanjang jalan di kota Kupang dapat ditata dengan menyediakan tenda yang dihias secara artistik seturut budaya Flobamora dan diatur tempat parkirnya supaya tidak menggangu lalu lintas. Juga para pedagang diajak untuk menata sekitarnya dengan tanaman bunga dan selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya.

Kebijakan Pemkot Kupang kedepan sebaiknya lebih memberi ruang dan perkembangan pada pusat perbelanjaan tradisional namun modern dalam pengelolaannya. Kita dapat mencontoh Pemkab Bantul yang salah satu kebijakan yang diambil tidak memperbolehkan berdirinya mall/hypermarket melainkan Pemkab Bantul menfasilitasi dengan membangun pasar tradisional berstandar mall/ supermarket.

Memang tidak mudah, namun kalau mau sebenarnya Pasar Kasih Naikoten , Pasar Oebobo, Pasar Oeba bisa disulap menjadi pasar modern yang tidak becek, nyaman dan asri.

Demikian pula pasar ikan di Pasir Panjang dapat ditingkatkan layanannya dengan misalnya Pemkot menyediakan pasar dengan pendingin untuk ikan dan ditata secara asri sehingga dapat menambah lokasi masyarakat untuk mendapatkan makanan murah meriah namun bergizi, seperti halnya Pantai Losari di Makasar yang menjadi tempat rendevouz bagi warga kota.

Polusi yang kian “nendang”

Kota Kupang terasa menyesakkan apabila anda keluar rumah sekitar jam 6.30 pagi dimana polusi dari gas buangan motor dan mobil terasa sangat meyesakkan dada. Apalagi kalau anda berada dibelakang motor bermesin 2 tak dengan knalpot keatas yang menyemprotkan asapnya pas ke hidung kita, juga dibelakang mobil-mobil keluaran lama yang kadang tidak sempurna pembakarannya.

Belum lagi kebiasaan warga yang membakar sampah rumah tangga akan menambah emisi yang dibuang keudara yang berkontribusi pada meningkatnya pemanasan global.

Kita saat ini dapat melihat bagaimana sampah dibuang sembarang, misalnya dibeberapa tempat diseputaran kawasan Walikota Baru , karena belum ada pengelolaan sampah ditingkat RT/RW dibeberapa tempat, tidak ada tempat pembuangan sampah resmi yang tersedia dan tak ada mobil dari Dinas Kebersihan yang secara rutin mengangkut sampah warga.

Masih belum adanya pengelolaan sampah yang terdesentralisasi dan selama ini masih terpusat pembuangannya di Bolok telah menambah persoalan kedepan karena sampah yang dihasilkan warga dari tahun ke tahun akan semakin menumpuk, sehingga kalau kita mau belajar dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang yang penuh masalah, maka sudah sewajarnya Pemkot Kupang bekerja sama dengan para Akademisi mencari solusi bijak cara pengelolaan sampah (bukan pembuangan sampah) yang ramah lingkungan.

Edukasi terhadap warga sebagai produsen sampah perlu dilakukan dimana sampah sejak dari rumah tangga sudah mulai dipilah-pilah menjadi sampah yang dapat dikomposkan, sampah yang dapat didaur ulang dan sampah beracun.berbahaya. Melalui RT./RW Pemkot bisa menggalakkan pembuatan kompos dari sampah organik dengan bantuan alat dekomposer yang murah dan pemakaian reagent berupa bakteri pembusuk.

Selain itu, untuk mengurangi polusi, Pemkot bisa menyediakan sarana jalan khusus sepeda maupun moda angkutan tak bermesin lainnya seperti halnya yang ada jalan di Malioboro Yogyakarta sehingga banyak warga kota beralih bersepeda ria karena selain mengurangi polusi juga meningkatkan kesehatan.

Pengelolaan kawasan terbuka hijau sebagai paru-paru kota perlu ditingkatkan sehingga tercipta hutan kota yang dapat mengurangi polusi. Warga perlu dilibatkan dalam menghijaukan halaman rumah mereka dengan menanam pohon dan buang sehinga menjadi lebih asri mengingat terbatasnya ruang terbuka hijau. Kantor-kantor pemerintah harus memberi contoh tentang bagaimana mengelola kantor yang ramah lingkungan.

Penghijauan dengan tanaman asli Nusa Tenggara Timur seperti Cendana, Gewang, Lontar dll perlu terus digalakkan. Mencontoh lokasi didekat bandara Ngurah Rai, tanaman kaktus besarpun juga dapat menambah hijaunya kota Kupang selain tahan terhadap kekeringan.

Solidaritas yang memudar

Tidak cukup tersedianya ruang publik sebagai tempat rekreasi, selain juga belum adanya panggung hiburan rakyat atau taman budaya serta gaya hidup orang kota yang cenderung individualis telah menyebabkan longgarnya kekerabatan antar tetangga, kecuali yang didasari oleh kesamaan suku, asal atau keyakinan. Hal ini jika terus dibiarkan akan mempersubur semangat eksklusif SARA dan kurang mendukung inklusivitas warga yang tumbuh dalam keberagaman. Perlu dipikirkan kegiatan yang dapat mempererat dan mempersatukan warga yang beragam sehingga tidak terjebak dalam kesempitan cara pandang serta mampu meningkatkan dialog antar suku, antar iman dan antar kaya-miskin.

Pola pemukiman yang cenderung berbasis suku perlu dikurangi dan diusahakan keanekaragaman dari SARA sehingga memudahkan warga dalam melakukan komunikasi lintas SARA dan mengurangi kemungkinan konflik berdasar SARA karena telah terbangun pemahaman yang baik dimana meski berbeda tetapi tetap satu kesatuan (Bhineka Tungal Ika) dan justru adanya keberagaman akan mampu memperkaya cara pandang warga kota Kupang dalam hidup keseharian serta tidak lagi terjebak dalam cara berpikir stereotip.

Kaum lemah yang terpinggirkan

Peradaban kota modern sering menyingkirkan para pendatang yang lemah baik dalam hal ketrampilan, modal dan jaringan kerja. Akibatnya mereka terpaksa memilih menjadi pekerja informal seperti berjualan ditepi jalan, menjajakan jasa sebagai pengangkut barang dagangan dipasar-pasar dan tak sedikit yang akhirnya berprofesi sebagai pemulung dan tinggal didaerah kumuh. Mereka sebenarnya sebagai pemulung sangat membantu dalam proses daur ulang, namun yang perlu dipikirkan adalah bagaimana tersedianya perumahan bagi warga kota yang lemah dan miskin sehingga sebagai bagian warga kota mereka tidak semakin dipinggirkan. Anaka-anak jalanan perlu dikelola secara manusiawi sehingga mereka dapat tetap memperoleh pendidikan dan ada rumah singgah bagi mereka.

Apakah tidak sebaiknya Pemkot mulai memperbanyak membangun rumah susun sederhana yang dapat disewa atau dicicil oleh mereka sehingga dapat mendiami tempat tinggal yang layak dan tak perlu terlunta-lunta.

Pemkot sebaiknya juga sudah melengkapi sarana umum untuk para penderita cacat sehingga merekapun dapat menikmati fasilitas publik dengan sebaik-baiknya.

Perlu tersedia Rumah Sakit Jiwa bagi para penderita gangguan jiwa sehingga selain memperoleh layanan medis yang layak untuk proses penyembuhan, juga tidak merepotkan bagi keluarganya.

Biaya hidup yang tinggi

Tingginya biaya hidup di kota dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi yang akan menjadi berbahaya jika mencapai tahap distress atau depresi jiwa. Pemkot perlu sejak dini memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti biaya pendidikan yang murah apalagi gratis minimal sampai SLTP, asuransi kesehatan bagi seluruh warga kota, transportasi yang murah, air bersih yang mudah didapat dan murah serta berbagai kemudahan lainnya.

Pengurusan KTP gratis misalnya, gerakan penanaman sayuran dipot/polibag secara vertikultur (keatas) dll dapat dikenalkan Pemkot Kupang pada warganya.

Pelatihan ketrampuilan hidup dengan biaya murah atau gratis sangat dirasakan membantu bagi warga kota yang kebetulan belum memiliki ketrampilan sehingga mereka dapat memperoleh pendapatan dari ketrampilannya dan tidak perlu melakukan tindkana kriminal.

Pengembangan kota satelit

Kota Kupang perlu didukung dengan pengembangan kota satelit diseputaran Kupang sehingga bebannya dapat terbagi dan kepadatan penduduk dapat terkurangi.

Mungkin perlu dipikirkan pemindahan layanan bisnis di kota satelit sehingga tidak semua warga pelosok perlu datang ke Kupang. Kupang dapat menjadi kota induk bagi kota satelit lainnya dan perlu dikaji secara hati-hati tingkat kepadatan hunian yang dapat ditampung oleh Kota Kupang terkait keterbatasan dalam tersedianya ruang, pasokan air bersih, listrik, kemungkinan banjir dan kekeringan.

Bravo Kuta Kupang menuju kota KASIH yang benar-benar mencerminkan sifat KASIH itu sendiri yang rendah hati, tidak sombong, sabar hati …….dan bebas dari perilaku korupsi sehingga layanan publiknya benar-benar prima .

KUPANG diharapkan benar-benar menjadi cerminan kota yang bernafaskan iman kristiani yang solider dan mengasihi terhadap sesama, toleran terhadap perbedaan, inklusip dan menghargai keberagaman .

Pemkot Kupang diharapkan mampu melayani kebutuhan warga kotanya terutama pada mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan sehingga tidak perlu lagi ada Lazarus-lazarus modern yang mengharapkan jatuhnya remahan roti dari meja si kaya yang menjadi penghuni Kota Kupang..

YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com

Saturday, May 3, 2008

Puisi Christianto Dicky Senda

Rindu Ibu

Sampaikan salamku buat ibu.
''Aku tunggu cintanya tiga jam lagi
saat kelopak pagi hampir pecah, dan ibu siap memetik
pucuk-pucuk cahaya merambat yang merah.
Lantas mengisinya ke dalam perut Ayah dan anak-anak.
Sampai bertenaga.''

Tolong Sampaikan,
''aku sudah menulis titimangsa
agar aku pahami hati ibu
Ibu,aku tak sabar menanti mawar yang ranum disudut bibirmu
Meski kadang kubenci omelanmu!''

Yogyakarta, 21 April 2008

Buat Aleta Ba'un

Ibu,
Aku membaca berita tentangmu minggu lalu.Dan itu
membuatku miris berlapis salut yang
dasyatnya menggetarkan sisi emosiku!
'' makam nenek moyang kita akan dibongkar.
Disedot sampai memar. Hanya karena pusaranya
menyembulkan susu berlimpah. Kau menyebutnya
payudara yang hidup.''

Terbesit tanya : kau tahu arti hidup dan serakah,Ibu ?

Ibu
kau tentu tak lupa ribuan tahun sudah gugusan itu dibangun,
disusun dari rupa-rupa payudara.
Alhasil pinggang-pinggang seantero hutan berisi.
Sekaligus mengundang nafsu.
Aku tahu karya itu diawali saat purnama
yang gundah menggerakan tangan-tangan kasar
memetik pucuk-pucuk embun dan memasukkanua
dalam tudung sampai putih, kental dan kekal!
Dan untuk itu tak ada campur tangan kakek moyangmu.
Aku menyebutnya bapak pertiwi. Ini lucu.
Benar-benar membuatku tertawa atas kelakianku
yang kadang ceroboh dan sok hebat!
Yah, ada jeda sedetik untukku tertawa
( kegembiraanku sudah lama dicuri. Kala
adalah sedih yang melingkar, memikirkanmu)

Terbesit tanya : Adakah yang serakah itu punya hati,Ibu ?

Ibu yang malang,
kau tahu waktu dulu ribuan malam adalah
air mata yang mengairi seantero hutan sampai
gundukan itu penuh. Aku tertawa lagi.Karena
masih banyak manusia yang rakus merasa terancam
karena hatimu dan cintamu pada bau tubuh nenek moyang kita.
'' aku selalu membaca slogan
tipuan : ...demi kesejahteraan kita,rakyat banyak!''

Tersentil tanya : Kita??? Lu aja kaliii gue engak! Ya,Bu?

Ibu, berita ini membuatku terkurung sedih.
Kita masih dijajah yah,bu?
Disaat pemimpin berteriak, Merdeka!!!
Beruntung kita masih punya hati.
Lucu ya,Bu. Kau malah lebih peka soal
kesejahteraan, kemerdekaan, keadilan sosial,
global warming, daripada yang mengaku diri sarjana,
kaum intelektual,agamawan atau politikus.

Terbesit tanya lagi : Adakah pemimpin yang
masih punya hati, Bu?

Ibu,
aku heran tentang kabar kau dikejar-kejar preman!
Siapa mereka, Bu? Orang benar ?
Kasihan kalo mereka benar tak punya hati lagi.
Aku malu dengan diriku
yang masih menutup mata. Ini tak adil.
Aku melihat hatimu terjerat di mulut Neokolonialisme,
penjajah baru!
Tak kalah kejam dengan Londo*
Ada tanya : siapakah penjajah itu?

Ibu
aku mengkhawatirkanmu
tak bisa memetik embun untuk menyusui anak dan suamimu

Kau punya hati
Jaga itu!

Yogyakarta, 21 April 2008

Menuju "Lost Nation"

Fidel Hardjo

Dalam buku Timaeus, Plato berkisah tentang the lost continent, Atlantis. Alkisah, ketika Atlantis mempersiapkan serangan besar terhadap Athena, tiba-tiba banjir, angin kencang, petir dan gempa yang kejam membaringkan benua itu, dalam tidur abadi jauh di dasar Samudera Atlantik.

Selama berabad-abad Atlantis “tertidur” di dasar samudera, kemudian munculah perdebatan meruncing. Ada yang katakan, keberadaan Atlantis sebatas mitos belaka. Sebagian yang lain, yakin benua makmur nan sejahtera itu memang benar-benar ada.

Tahun 1882, penulis Ignatius Donnelly menerbitkan buku Atlantis--Myths of the Antediluvian World, yang memicu gerakan pencarian "benua yang hilang" itu. Donnelly membagi keyakinannya bahwa pada masa lalu di Samudera Atlantik, berseberangan dengan mulut Laut Mediterania, pernah ada sebuah pulau besar. Dia percaya itulah Atlantis dan benar-benar pernah ada.

Bencana Datang Pergi


Terlepas benar tidaknya keberadaan Atlantis, satu hal patut diyakini, apa pun rupa bencana alam mampu memusnahkan peradaban sebuah bangsa (lost nation) tanpa kecuali.

Indonesia pun bisa saja serupa dengan nasib hilangnya benua Atlantik. Lebih-lebih jika aneka bencana alam seperti tsunami, overheat, banjir, menipisnya suplai air minum, longsor, malaria, kemarau panjang, gizi buruk, busung lapar, flu burung yang menggerogoti negeri ini beberapa dekade terakhir tidak “terdiagnosa” dengan pikiran bening.

Mengapa aneka bencana alam datang silih berganti di negeri pemilik hutan terbesar ketiga di dunia ini? Tak susah dijawab. Hutan saja ditebang secara sadar. Ilegal loging marak terjadi bahkan melibatkan penegak hukum. Ah, apa bisa maling teriak maling?

Ini yang menyebabkan Indonesia telah kehilangan hutan perawannya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Sehingga, kita tak perlu tercengang jika Indonesia menyandang predikat break record kerusakan hutan tertinggi di dunia (Badan Planologi Dephut, 2003).

Artinya, sangat masuk akal, mengapa bencana banjir dan longsor datang terus. Korban pun berjatuhan. Bayangkan, sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003 di Indonesia, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana, dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. Sebanyak 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan eksploitasi hutan (data Bakornas Penanggulangan Bencana 2003).

Pendekatan “Pincang”

Apa yang salah dengan bangsa yang bernama Indonesia (kaya) Raya ini? Inilah dampak negatif, model managemen ekologis yang tidak terawat alias asal-asalan. Yang menurut Jonathan Hughes, dalam artikelnya Ecology and Historical Materialism (2000) mengemukakan, sikap indiferent ekologis merupakan entry point “the death of nature”. Ia mengemukakan dua macam pendekaan pincang ekologis dewasa ini.

Pertama, pendekatan ecocentric (economic centered). Pendekatan ini teriming-iming oleh kepentingan ekonomi tanpa mengupayakan keberlanjutan ekologis secara integratif. Saya pikir kerusakan hutan di Indonesia selama ini juga disebabkan oleh pendekatan ini.

Masalah kemiskinan dan pengangguran membuat kita panik. Akhirnya, kita tergoda “melelangkan” hutan kepada industri ekstraktif. Dengan harapan, negara mendapatkan extra income dan kesejahteraan rakyat membaik. Nyatanya, kesejahteraan itu sulit digenggam. Rakyat semakin sengsara dan alam juga kian rusak. Pada gilirannya, alam siap “merusak” manusia. Kasus Freeport dan Lumpur Lapindo, adalah contoh riil bagaimana kesejahteraan tak lebih sebuah mitos.

Kegelisahan kita kian menguat. Terutama, ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 2 thn. 2008, yang memberi hak legal pembalakan hutan kepada 13 Perusahan Tambang. Inilah therapy kejutan atas kemiskinan. Hutan pun “di-onsale” dengan discount 80%, cuma Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta perhektar hutan. Padahal, tarif sewa Pajak Negara Bukan Pajak dari 13 perusahaan tambang itu hanya mengantong Rp 2,78 triliun per tahun. Sementara total potensi kerugian diperkirakan sebesar Rp 70 triliun per tahun (menurut Greenomics Indonesia).

Kebijakan ini merembes mulus ke daerah-daerah. Inilah yang diincari-incari oleh perusahan tambang daerah, yang selama ini nasibnya terkatung-katung akibat resistensi penduduk lokal. Kita tunggu saja apa yang bakal terjadi.

Alasan laten pemerintah, selalu “dikemas” untuk “mengkayakan” rakyat. Tapi, apa yang diperoleh rakyat setiap tahun adalah kaya banjir, longsor dan bertebaran gizi buruk, kemarau panjang, air minum susah dan beras mahal. Ketika bencana tiba, penderitaan rakyat sering dianulir oleh dana bantuan. Sementara, hati rakyat yang terluka akibat kehilangan orang yang mereka sayangi tak terganti oleh materi apa pun.

Mengapa pemerintah masih nekat jika ongkos kebijakan ini terlampau mahal? Bencana alam yang pernah mendera bangsa kita semestinya menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi kita. Belajarlah dari kesalahan masa lampau dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Inilah optimisme kita jika bangsa ini ingin ke luar dari lilitan bencana.

Kedua, pendekatan anthropocentric (human centered). Manusia diyakini menjadi pilar eksklusif penentu ecology sustainable. Pendekatan ini sama bengisnya dengan ecocentric. Sebab, manusia diposisikan sebagai “tuan” atas alam. Maka, kita terjebak pada pilihan “kenyangkan dan selamatkan manusia lebih dulu daripada konservasi alam”.

Padahal, kita tahu sekian bencana yang ada, diakibatkan oleh pengrusakan alam itu sendiri. Semestinya, kalau kita ingin menyelamatkan manusia maka “diagnosa” dulu alam yang rusak. Jika konsep ini tidak berubah maka jangan harap kita keluar dari lingkaran bencana. Karena, persoalan dasar tidak tersentuh.

Lihat saja, dana APBN 2008 untuk korban bencana sebesar Rp 281,3 triliun. Sementara, alokasi anggaran untuk “pencegahan” risiko bencana masih digabung dengan dana untuk pengendalian wabah penyakit menular hanya sebesar Rp. 9,4 triliun.

Disparitas anggaran dana inilah yang membuktikan pemerintah kita memosisikan kerusakan alam hanya perkara minor. Padahal, dari sana segala bencana mengalir. Jika demikian, adakah pendekatan yang lebih etis?

Etika Ekologis


Ketiga, menurut Jonathan Huges, “runyamnya” nasib ekologis global sekarang ini, idealnya memiliki etika ekologis yang disebutnya pendekatan holistik cosmocentric (cosmos centered). Manusia bukan lagi centrum tapi kosmos. Manusia dan alam adalah entitas kosmos yang punya hak asasi yang sama. Menciderai alam sama saja melukai tatanan kosmos itu sendiri. Ketika kosmos terluka, ia menggangu seluruh tatanan di dalamnya.

Saya pikir kondisi alam Indonesia yang “sakit-sakitan” sekarang butuh penyembuhan ekologis seperti ini. Memperbaiki relasi yang beku yang menempatkan alam sebagai obyek dengan membangun etika ekologis integratif.

Etika ekologis adalah nilai intrinsik interaktif complementer komponen biosphere, perlu dibangun harmonis(i), menghargai pluralistik komponen cosmos biotik dan abiotik, mutlak terjaga(ii), tanpa mengecil peran homo faber, manusia mesti menciptakan relasi ramah dan bertanggung jawab terhadap alam dengan segala kandunganya (iii), relasi take and give niscaya dikembangkan.

Inilah “tali kekang”, yang menurut hemat saya perlu diletakan di pojok hati kita masing-masing. Dengan kesadaran penuh ini, kita dapat menahan laju pengrusakan alam dan meminimalisir bencana alam. Dengan merevolusi perlakuan salah terhadap alam, kita akan bangkit dari bencana alam yang tak bertepi. Dan, selanjutnya kita lebih memfokuskan energi pada perbaikan dan pertumbuhan ekonomi dan pendidikan yang masih carut-marut.

Akhirnya, kita boleh saja memilih: bertahan dengan pendekatan ecocentric dan anthropocentric atau berani menembusi “stabilitas lochi” itu?. Tapi sekali lagi, taruhannya mahal: antara hidup atau mati. Jika mindset kita tidak berubah terhadap alam maka bencana lost generation dalam skala besar bukan sekadar mitos, bahkan bakal bergeser menuju bencana lost nation.



Penulis, Alumnus STFK Ledalero, kini Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila