Monday, May 5, 2008

Quo Vadis Kota KUPANG sebagai Kota KASIH ?

(Beberapa catatan untuk Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat)

Dalam perkembangan untuk mewujudkan sebuah “kemajuan”, Kota-Kupang seperti halnya ibu kota propinsi di seluruh Indonesia terus berbenah diri untuk layak disebut sebagai kota metropolitan atau kota yang modern alias maju.

Berbagai cara dan upaya ditempuh untuk memperlihatkan wajah gemerlap dan molek sebuah kota yag modern seperti halnya pembangunan beberapa monumen seperti patung Sonbai, Tirosa dibundaran PU, patung KB di Oebobo, patung perdamaian yang dilambangkan dengan burung merpati di Penfui dsb Tak pelak lagi ketika Kota Kupang terus bertumbuh menuju kota modern , dan sisi gelap sebuah realita tentang jorok dan kumuhnya kota coba ditutup tutupi dengan berbagai cara agar yang terlihat cuma sisi yang menawan dan gemerlap.

Mari kita tengok pengembangan mall seperti Flobamora yang menawarkan sejuta keindahan dan kemudahan dalam berbelanja, bank-bank papan atas yang memberi kemudahan layanan 24 jam, apotek yang buka selama 24 jam, dan berbagai kemudahan lainnya.

Tata ruang kota yang terabaikan

Sebagai kota yang sedang tumbuh, sudah seharusnya dan selayaknya apabila Pemkot Kupang berupaya untuk mensosialisasikan tata ruang kota melalui pemasangan peta rencana tata kota ditempat strategis seperti mall Flobamora, Kupang lama dll yang mudah diakses oleh warga kota sehingga dapat terhindar dari salah tata letak dan fungsinya dan ada kontrol dari warganya apabila ada penyimpangan peruntukan wilayah. Memang telah ada peta tersebut namun sayangnya ada yang dipasang di lokasi pariwisata Lasiana di dekat bak sampah dan banyak sampah berserakan disekitar peta tersebut sehingga membuat warga enggan membacanya.

Sudah sewajarnya jika sejak dini Pemkot Kupang sebagai fasilitator mensosialisasikan terus menerus area mana yang direncanakan untuk perkantoran, area untuk bisnis, area terbuka untuk publik, area terbuka hijau dll. Yang dirasakan selama ini begitu cepat perkembangan kota namun kelihatannya masih belum ditata dengan mempertimbangkan keberlanjutan kota ke depan. Contoh nyata, dimana-mana tumbuh dan dibangun ruko yang kadang justru berada di lokasi yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Terlihat ketika hujan besar di musim hujan, maka beberapa ruas jalan kota yang telah beraspal hotmix yang mahal terendam banjir dan sebagian sampah dari saluran pembuangan meluber ke jalan menambah jorok wajah kota.

Yang cukup urgen, kalau tidak boleh dikatakan terlambat adalah perlu dibangunnya hutan kota sebagai ajang rekreasi warga yang murah meriah bagi warga kota namun juga dapat meningkatkan tali silaturahmi dan kedekatan antar warga tanpa mengabaikan sisi keindahan kota.

Penggusuran yang tak manusiawi

Pembelajaran yang bisa dipetik dari perkembangan kota besar lainnya di Indonesia terutama di Jakarta dan Surabaya adalah bagaimana Satpol PP telah digunakan untuk menjadi alat kekerasan dalam menegakkan Perda tanpa solusi dan menimbulkan sakit hati dan kemiskinan baru bagi warga kecil yang tergusur.

Kita dapat menyaksikan ditayangan TV bagaimana kekerasan dipertontonkan layaknya negara yang tidak mengenal perikemanusiaan. Ibu-ibu pedagang kaki lima menjerit, menangis dan histeris sambil memeluk bayi digendongannya ketika berhadapan dengan penggusuran paksa oleh pasukan Satpol PP yang bertindak bagaikan robot yang tak berperasaan seolah tak ada solusi selain “kalah-menang” .

Tayangan tentang kios kaki lima yang diobrak abrik, pedagang yang berhamburan berlarian menyelamatkan diri seolah-olah bagaikan tikus yang dikejar kucing, rumah-rumah kumuh yang dirobohkan dan dibakar tanpa mau tahu para penghuninya mau tinggal dimana ? Para pedagang kaki lima yang telah memiliki jiwa bisnis namun tidak punya cukup modal untuk membeli tempat berjualan yang strategis di kota justru diperlakukan selayaknya para kriminal, padahal seharusnya Pemda bangga karena mereka tidak perlu mengemis menjadi pegawai negeri atau mengharapkan bantuan RASKIN ataupun BLT.

Pembelajaran yang perlu dilakukan adalah belajar dari kota Yogyakarta khususnya di sepajang Malioboro dimana pedagang kaki lima tetap diperbolehkan menggelar barang dagangannya tanpa merusak pemandangan kota , tetap mampu menjaga kebersihan dan tidak mengganggu toko-toko lainnya. Mereka mendirikan paguyuban dan koperasi PKL (Pedagang Kaki Lima) yang dijadikan ajang bagi anggotanya untuk menjaga kebersihan, melindungi diri dari ancaman pemerasan oleh preman dan saling menolong satu dengan lainnya.

Gagasan almarhum Romo Mangun sangat menarik untuk dipelajari mengenai penataan pedagang kaki lima terutama makanan di kampus biru UGM Bulaksumur dimana mereka dibantu dibuatkan tempat berjualan yang rapi, artistik dan dijaga kebersihannya oleh para pedagang itu sendiri sehingga tidak mengurangi keindahan kampus, namun mahasiswa dapat memperoleh makanan dengan mudah dan murah sesuai kemampuan kocek mereka.

Artinya perlu dipikirkan sejak awal oleh Pemkot Kupang pengalokasian yang cukup untuk ruang./tempat jualan dilokasi yang strategis bagi para pedagang kecil /kaki lima namun mereka perlu diedukasi secara terus menerus untuk dapat berkontribusi menjaga keindahan dan kebersihan kota.

Sebagai contoh tempat penjualan jagung bakar dan kelapa muda disepanjang jalan di kota Kupang dapat ditata dengan menyediakan tenda yang dihias secara artistik seturut budaya Flobamora dan diatur tempat parkirnya supaya tidak menggangu lalu lintas. Juga para pedagang diajak untuk menata sekitarnya dengan tanaman bunga dan selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya.

Kebijakan Pemkot Kupang kedepan sebaiknya lebih memberi ruang dan perkembangan pada pusat perbelanjaan tradisional namun modern dalam pengelolaannya. Kita dapat mencontoh Pemkab Bantul yang salah satu kebijakan yang diambil tidak memperbolehkan berdirinya mall/hypermarket melainkan Pemkab Bantul menfasilitasi dengan membangun pasar tradisional berstandar mall/ supermarket.

Memang tidak mudah, namun kalau mau sebenarnya Pasar Kasih Naikoten , Pasar Oebobo, Pasar Oeba bisa disulap menjadi pasar modern yang tidak becek, nyaman dan asri.

Demikian pula pasar ikan di Pasir Panjang dapat ditingkatkan layanannya dengan misalnya Pemkot menyediakan pasar dengan pendingin untuk ikan dan ditata secara asri sehingga dapat menambah lokasi masyarakat untuk mendapatkan makanan murah meriah namun bergizi, seperti halnya Pantai Losari di Makasar yang menjadi tempat rendevouz bagi warga kota.

Polusi yang kian “nendang”

Kota Kupang terasa menyesakkan apabila anda keluar rumah sekitar jam 6.30 pagi dimana polusi dari gas buangan motor dan mobil terasa sangat meyesakkan dada. Apalagi kalau anda berada dibelakang motor bermesin 2 tak dengan knalpot keatas yang menyemprotkan asapnya pas ke hidung kita, juga dibelakang mobil-mobil keluaran lama yang kadang tidak sempurna pembakarannya.

Belum lagi kebiasaan warga yang membakar sampah rumah tangga akan menambah emisi yang dibuang keudara yang berkontribusi pada meningkatnya pemanasan global.

Kita saat ini dapat melihat bagaimana sampah dibuang sembarang, misalnya dibeberapa tempat diseputaran kawasan Walikota Baru , karena belum ada pengelolaan sampah ditingkat RT/RW dibeberapa tempat, tidak ada tempat pembuangan sampah resmi yang tersedia dan tak ada mobil dari Dinas Kebersihan yang secara rutin mengangkut sampah warga.

Masih belum adanya pengelolaan sampah yang terdesentralisasi dan selama ini masih terpusat pembuangannya di Bolok telah menambah persoalan kedepan karena sampah yang dihasilkan warga dari tahun ke tahun akan semakin menumpuk, sehingga kalau kita mau belajar dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang yang penuh masalah, maka sudah sewajarnya Pemkot Kupang bekerja sama dengan para Akademisi mencari solusi bijak cara pengelolaan sampah (bukan pembuangan sampah) yang ramah lingkungan.

Edukasi terhadap warga sebagai produsen sampah perlu dilakukan dimana sampah sejak dari rumah tangga sudah mulai dipilah-pilah menjadi sampah yang dapat dikomposkan, sampah yang dapat didaur ulang dan sampah beracun.berbahaya. Melalui RT./RW Pemkot bisa menggalakkan pembuatan kompos dari sampah organik dengan bantuan alat dekomposer yang murah dan pemakaian reagent berupa bakteri pembusuk.

Selain itu, untuk mengurangi polusi, Pemkot bisa menyediakan sarana jalan khusus sepeda maupun moda angkutan tak bermesin lainnya seperti halnya yang ada jalan di Malioboro Yogyakarta sehingga banyak warga kota beralih bersepeda ria karena selain mengurangi polusi juga meningkatkan kesehatan.

Pengelolaan kawasan terbuka hijau sebagai paru-paru kota perlu ditingkatkan sehingga tercipta hutan kota yang dapat mengurangi polusi. Warga perlu dilibatkan dalam menghijaukan halaman rumah mereka dengan menanam pohon dan buang sehinga menjadi lebih asri mengingat terbatasnya ruang terbuka hijau. Kantor-kantor pemerintah harus memberi contoh tentang bagaimana mengelola kantor yang ramah lingkungan.

Penghijauan dengan tanaman asli Nusa Tenggara Timur seperti Cendana, Gewang, Lontar dll perlu terus digalakkan. Mencontoh lokasi didekat bandara Ngurah Rai, tanaman kaktus besarpun juga dapat menambah hijaunya kota Kupang selain tahan terhadap kekeringan.

Solidaritas yang memudar

Tidak cukup tersedianya ruang publik sebagai tempat rekreasi, selain juga belum adanya panggung hiburan rakyat atau taman budaya serta gaya hidup orang kota yang cenderung individualis telah menyebabkan longgarnya kekerabatan antar tetangga, kecuali yang didasari oleh kesamaan suku, asal atau keyakinan. Hal ini jika terus dibiarkan akan mempersubur semangat eksklusif SARA dan kurang mendukung inklusivitas warga yang tumbuh dalam keberagaman. Perlu dipikirkan kegiatan yang dapat mempererat dan mempersatukan warga yang beragam sehingga tidak terjebak dalam kesempitan cara pandang serta mampu meningkatkan dialog antar suku, antar iman dan antar kaya-miskin.

Pola pemukiman yang cenderung berbasis suku perlu dikurangi dan diusahakan keanekaragaman dari SARA sehingga memudahkan warga dalam melakukan komunikasi lintas SARA dan mengurangi kemungkinan konflik berdasar SARA karena telah terbangun pemahaman yang baik dimana meski berbeda tetapi tetap satu kesatuan (Bhineka Tungal Ika) dan justru adanya keberagaman akan mampu memperkaya cara pandang warga kota Kupang dalam hidup keseharian serta tidak lagi terjebak dalam cara berpikir stereotip.

Kaum lemah yang terpinggirkan

Peradaban kota modern sering menyingkirkan para pendatang yang lemah baik dalam hal ketrampilan, modal dan jaringan kerja. Akibatnya mereka terpaksa memilih menjadi pekerja informal seperti berjualan ditepi jalan, menjajakan jasa sebagai pengangkut barang dagangan dipasar-pasar dan tak sedikit yang akhirnya berprofesi sebagai pemulung dan tinggal didaerah kumuh. Mereka sebenarnya sebagai pemulung sangat membantu dalam proses daur ulang, namun yang perlu dipikirkan adalah bagaimana tersedianya perumahan bagi warga kota yang lemah dan miskin sehingga sebagai bagian warga kota mereka tidak semakin dipinggirkan. Anaka-anak jalanan perlu dikelola secara manusiawi sehingga mereka dapat tetap memperoleh pendidikan dan ada rumah singgah bagi mereka.

Apakah tidak sebaiknya Pemkot mulai memperbanyak membangun rumah susun sederhana yang dapat disewa atau dicicil oleh mereka sehingga dapat mendiami tempat tinggal yang layak dan tak perlu terlunta-lunta.

Pemkot sebaiknya juga sudah melengkapi sarana umum untuk para penderita cacat sehingga merekapun dapat menikmati fasilitas publik dengan sebaik-baiknya.

Perlu tersedia Rumah Sakit Jiwa bagi para penderita gangguan jiwa sehingga selain memperoleh layanan medis yang layak untuk proses penyembuhan, juga tidak merepotkan bagi keluarganya.

Biaya hidup yang tinggi

Tingginya biaya hidup di kota dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi yang akan menjadi berbahaya jika mencapai tahap distress atau depresi jiwa. Pemkot perlu sejak dini memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti biaya pendidikan yang murah apalagi gratis minimal sampai SLTP, asuransi kesehatan bagi seluruh warga kota, transportasi yang murah, air bersih yang mudah didapat dan murah serta berbagai kemudahan lainnya.

Pengurusan KTP gratis misalnya, gerakan penanaman sayuran dipot/polibag secara vertikultur (keatas) dll dapat dikenalkan Pemkot Kupang pada warganya.

Pelatihan ketrampuilan hidup dengan biaya murah atau gratis sangat dirasakan membantu bagi warga kota yang kebetulan belum memiliki ketrampilan sehingga mereka dapat memperoleh pendapatan dari ketrampilannya dan tidak perlu melakukan tindkana kriminal.

Pengembangan kota satelit

Kota Kupang perlu didukung dengan pengembangan kota satelit diseputaran Kupang sehingga bebannya dapat terbagi dan kepadatan penduduk dapat terkurangi.

Mungkin perlu dipikirkan pemindahan layanan bisnis di kota satelit sehingga tidak semua warga pelosok perlu datang ke Kupang. Kupang dapat menjadi kota induk bagi kota satelit lainnya dan perlu dikaji secara hati-hati tingkat kepadatan hunian yang dapat ditampung oleh Kota Kupang terkait keterbatasan dalam tersedianya ruang, pasokan air bersih, listrik, kemungkinan banjir dan kekeringan.

Bravo Kuta Kupang menuju kota KASIH yang benar-benar mencerminkan sifat KASIH itu sendiri yang rendah hati, tidak sombong, sabar hati …….dan bebas dari perilaku korupsi sehingga layanan publiknya benar-benar prima .

KUPANG diharapkan benar-benar menjadi cerminan kota yang bernafaskan iman kristiani yang solider dan mengasihi terhadap sesama, toleran terhadap perbedaan, inklusip dan menghargai keberagaman .

Pemkot Kupang diharapkan mampu melayani kebutuhan warga kotanya terutama pada mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan sehingga tidak perlu lagi ada Lazarus-lazarus modern yang mengharapkan jatuhnya remahan roti dari meja si kaya yang menjadi penghuni Kota Kupang..

YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com

1 comment:

jemiro said...

jika saya mendengarkan kata 'tata kota' rasanya teringat dengan jepang, walau mungkin kita katakan kota sumpek, tapi disana sangat teratur, berbeda dengan kebanyakan kota besar di Indonesia, semoga kedepan bisa lebih baik