Tuesday, April 22, 2008

Kesan - Kesan PTT di Sumba Barat

Kesan - Kesan PTT di Sumba Barat

oleh : nini natalia, dr

Menjadi seorang dokter puskesmas selama 1 tahun di kabupaten sumba barat, itulah kontrak kerja saya dengan Depkes. Dari Dinkes Kabupaten Sumba Barat, saya kemudian ditempatkan di Puskesmas Wallandimu, Kecamatan Kodi Bangedo. Menjadi puskesmas di Kecamatan Kodi Bangedo, Puskesmas Wallandimu memiliki cakupan sebanyak 13 desa, dengan 7 puskesmas pembantu dan beberapa Polindes. Ini merupakan csayapan terluas dibanding puskesmas lainnya se-sumba barat.Sebagai informasi, kecamatan kodi bangedo merupakan kecamatan terujung dari kabupaten sumba barat. Selanjutnya setelah pemekaran kabupaten pada 22 September 2007, Kecamatan Kodi Bangedo menjadi bagian dari kabupaten Sumba Barat Daya.

Kendala lapangan

Kendala yang dihadapi di lapangan terutama air bersih, listrik “setengah hari” (pkl 18.00-06.00), bahasa, jalan yang rusak. Dengan waktu tempuh kurang lebih setengah jam dari kecamatan tetangganya Bondo Kodi, jalan di walla ndimu sangat berbeda. Jalur berkelok-kelok menanjak dengan gunung sebagai batas kiri dan jurang atau kali di sebelah kanannya disertai berbagai derajat kemiringan, dijamin bikin anda selalu terjaga. Kemiringan yang dimaksudkan penulis adalah bagaimana anda berusaha mempertahankan posisi yang stabil namun tak terpenuhi. Anda berusaha menghindari salah satu lubang, namun anda malah terjebak pada lubang lainnya.

Masalah ketersediaan air bisa teratasi dengan membeli air tangki. Listrik setengah hari tidaklah menjadi kendala, dengan mengisi kesibukan di siang hari, sambil menanti listriknya hidup. Di antaranya dengan bersih-bersih, masak, mencuci, dan membaca. Bacaan nya bisa diperoleh dengan mudah di kota sewaktu turun gunung ke kota pada hari sabtu. Masalah bahasa bisa diakali dengan bantuan staf Puskesmas dan terkadang antarsesama pasien sendiri.

Untuk jalan yang rusak, sekarang telah dibuat jalan pengerasan sebagai alternatif, agak sedikit memutar tapi lumayan mulus. Wilayah Kodi terkenal dengan hasil buminya. Salah satunya beras kodi, dari padi gogo yang sangat wangi saat dimasak. Konon, bila padi ini ditanam di luar kodi, sudah tidak wangi lagi. Biasanya dipanen pada bulan april.

Jambu mente menjadi komoditi paling komersil bagi masyarakat kodi. Berbunga pada bulan September-Oktober. Dengan harga per kilo berkisar antaara 4 ribu – 7 ribu rupiah, memberi banyak keuntungan bagi pemiliknya. Bagi kesehatan, bertambah pula pasien yang diare karena makan jambu mente berlebihan. Banyak juga pasien anak yang kulit sekitar mulut meradang, karena terkena getah jambu.

Intermezzo soal Sumba

Masyarakat Sumba tak terpisahkan dengan kuda. Sudah menjadi agenda tahunan untuk dilsayakan pacuan kuda. Pihak pkm dilibatkan pula sebagai P3K. Ada pelelangan sebelum pacuan dimulai. Saat kuda yang menang memasuki finish, pada punggung kuda akan disampirkan tenun ikat baik oleh pemiliknya maupun keluarga pemiliknya. Ini sebagai simbol penghargaan untuk kuda karena dianggap mampu menganggkat derajat pemilik kuda dan keluarganya.

Pasola hanya ada di Sumba Barat. Sebagai suatu atraksi berkuda sambil melempar tombak tumpul menjadi hiburan bagi masyarakat setempat dan turis asing. Biasanya diadakan bulan februari-maret. Aslinya atraksi ketangkasan ini untuk menyambut datangnya nyale, sejenis cacing laut, yang dianggap sebagai simbol dewi kesuburan. Saat nyale ini ada, masyarakat bergembira ria, menyiapkan hidangan dari hasil bumi, berdoa untuk kesuburan tanah dan rejeki sepanjang tahun.Legendanya, pasola berasal dari Wainyapu, Kodi. Namun saat ini juga ada di Wanokaka dan Lamboya. Pasola di Lamboya bisa dilangsungkan tanpa nyale. Karena dulu, kebetulan ada orang Lamboya yang kebetulan main ke kodi dan melihat nyale, kemudian meminta air yang yang ada bersama nyale, tapi tidak meminta nyale. Sedangkan pasola di Wanokaka ada karena ada cowok Kodi yang maen ke Wanokaka dan jatuh cinta pada cewek wanokaka. Cewek ini adalah istri orang yang karena mengira suaminya sudah mati di rantauan, kemudian menerima tawaran menikah dari cowok kodi ini. Pada saatnya, suami nya ternyata masih hidup, namun merelakan kebahagiaan istrinya.

Malaria

Dalam pekerjaan sehari-hari di poli, malaria menempati urutan teratas. Tiada hari tanpa pasien malaria di pkm. Usaha yang sudah ada dari pemerintah dengan membentuk posmaldes di desa2, dengan kader yang terlatih untuk pengambilan sample darah malaria, untuk selanjutnya dibawa ke puskesmas untuk dilsayakan pemeriksaan dengan mikroskop oleh staf laborat pkm. Untuk ibu hamil, ada bantuan kelambu, dan pemeriksaan darah malaria dengan RDT (rapid diagnostic test), sejenis dipstick. Wajar saja, sumba khususnya, NTT umumnya dikategorikan sebagai daaerah endemis malaria.

Mengenai kasus gizi buruk, ada bantuan pemerintah berupa pemberian MP-ASI berupa bubur beras merah dan biskuit. Pembagiannya dilsayakan saat pasien (sasaran) ditemui di Puskesmas maupun saat posyandu.

Wajah buram bangsa kita karena mengabaikan “ 2 D (Dosa dan Desa)”

Siapa yang berpikiran kritis akan mengatakan bahwa kondisi bangsa kita saat ini benar-benar amburadul dalam artian semakin tidak tertib dan tidak teratur baik dikalangan penguasa negara (eksekutip, legislatip, yudikatip) yang dikenal sebagai area ‘publik’ maupun dikalangan “privat”.


Coba kita simak bagaimana bobroknya mental seorang penegak hukum yakni seorang jaksa yang sudah diseleksi dari ribuan jaksa lainnya dan diserahi tanggung jawab memimpin pengungkapan kasus BLBI justru sangat ironis tertangkap tangan menerima 6 milyar rupiah oleh KPK.


Seorang oknum polisi yang seharusnya melindungi warga justru melakukan penembakan kapada yang lain bahkan ada juga yang menembak atasannya sebelum menembak dirinya sendiri.


Bagaimana seorang ibu tega membunuh anak kandungnya hanya karena himpitan ekonomi. Bahkan di Makasar seorang ibu dan anaknya tewas mengenaskan karena tidak makan selama berhari-hari alias mati sia-sia karena kelaparan.

Balita mati kelaparan juga menjadi berita diberbagai belahan Indonesia.


Belum lagi dana yang seharusnya untuk korban bencana yang jelas-jelas sedang tertimpa musibahpun masih saja disalahgunakan.


Rakyat miskin yang hanya butuh minyak tanah 2-5 liter harus berjuang antri berjam-jam karena ingin mendapat harga yang dianggap masih bisa dijangkau.

Antrean rakyat miskin berebut pembagian sembako yang kadang hanya berharga tak seberapa menjadi pemandangan biasa dan lumrah terjadi.


Pesawat yang sudah berusia tua namun tetap saja terbang dengan segala resiko jatuh yang sangat tinggi demi tiket murah terus saja melintasi dirgantara Indonesia.


Yang lebih lucu lagi drama yang dilakonkan oleh DPR yang katanya terhormat namun terus saja bertengkar ( apakah bertengkar menunjukkan rasa hormat?) dengan Presiden padahal keduanya mengemban amanat rakyat yakni mensejahterakan rakyat, minimal bagaimana bertindak supaya sembako terjangkau rakyat miskin. Bahkan belakangan ini seorang anggota DPR terhormat dicokok oleh KPK karena diduga terlibat suap terkait perubahan status hutan lindung yang ingin diubah menjadi hutan produksi telah mencorengkan wajah DPR yang memang diendus penuh mafia oleh group musik Slank


Dan masih banyak peristiwa sehari-hari lainnya yang dapat dicatat terkait wajah muram Indonesia.





Quo vadis pembangunan Indonesia?


Menyedihkan namun nyata, negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi berkelimpahan sumber daya alam ternyata mempertontonkan kisah panjang penderitaan anak manusia di alam kemerdekaan. Rentang waktu 63 (enam puluh tiga) tahun ternyata belum mampu menghapus wajah derita rakyat meski telah dikelola sendiri oleh anak negeri.


Betapa para “bapak bangsa” akan menangis di pembaringan terakhir melihat ulah para penguasa (baik eksekutip, legislatip, maupun yudikatip) penerus bangsa yang melupakan tujuan luhur dan arti penting sebuah kemerdekaan. Betapa kemerdekaan yang para pendiri bangsa telah perjuangkan dengan taruhan nyawa sebagai ‘jembatan emas menuju sejahtera’ telah digadaikan demi kenikmatan sesaat dan sesat.


Aset bangsa yang strategis telah dijual murah dan dikuasai asing, dan bangsa ini hanya mampu menjadi kuli di negeri sendiri, bahkan yang lebih parah lagi kita harus membayar apa yang sebelumnya menjadi milik kita alias menjadi ‘bangsa kere’.


Mengabaikan “ dosa”


Bagaikan mobil yang terkena korosi dan menjadi karatan, ternyata KKN di negeri ini terus saja berlangsung seperti halnya rayap yang pelan namun pasti akan menghabiskan kayu dan membuat bangunan roboh. Kita telah melupakan ajaran leluhur dan keimanan kita akan arti penting sebuah sikap kejujuran.


Peribahasa “Siapa yang tidak jujur bakal hancur” sudah tidak berlaku lagi dan saat ini betapa banyak warga negeri ini bangga dengan kekayaan hasil korupsi meski disadari perbuatan ini melawan ajaran imannya.


Ketidakjujuran dianggap hal lumrah dan tidak lagi identik dengan dosa, bahkan banyak yang telah mengabaikan atau tidak lagi peduli dengan dosa alias tidak lagi takut dengan ‘dosa’meskipun terus berdoa (sangat ironis memang). Bergelimang dalam harta yang mudah didapat meski dijalan sesat, telah membutakan banyak orang yang memuja kenikmatan semu, yang terjebak dalam gaya hidup borju , hedonis dan konsumeris. Begitu banyak peristiwa yang menggugah dan menuntut solidaritas sosial kita, namun tetap saja hati ini beku dengan segala permasalahan sosial di negeri ini.


Dosa (terutama KKN dan sebangsanya ) telah mengantarkan bangsa ini kedalam jurang kenistaan karena ekonomi menjadi berbiaya tinggi, dana untuk perang melawan kemiskinan telah disunat dan diselewengkan, orang berlomba-lomba mengamankan diri dengan menimbun kekayaan meski dengan berdosa,


Banyak pihak merasa perbuatan KKN hanya masalah hukum bukan masalah moral dan tidak menganggap bahwa perbuatan KKN sebenarnya perbuatan melawan TUHAN karena doa orang miskin yang telah dikabulkan Tuhan melalui program bantuan telah dirampok ditengah jalan oleh para koruptor. Saluran berkat telah dibuat bocor sehingga kalaupun sampai ke warga miskin tinggal hanya tulangnya saja.


Mengabaikan “desa”


Selain mengabaikan dosa, yang sering dilakukan bangsa kita adalah mengabaikan desa.

Desa telah dijadikan sapi perahan dan tong sampah pembangunan pada era Orde Baru,

dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.


Kegagalan akan keberlajutan sebuah pembangunan melalui pendekatan top down dan proyek yang dilakukan selama Orde Baru, seharusnya menjadi cermin bagi diri kita, tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun diri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan.


Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musbangdes (musyawarah pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan.


Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi ‘sapi perahan’ bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas/mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui dana yang disediakan untuk mereka (dana IDT, PNPM dll).


Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung.


Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat.


Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll memang selayaknya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program.



Memperkuat otonomi desa menuju desa mandiri


Dijaman ORBA, desa mengalami marjinalisasi yang dibuktikan dengan pengendalian desa melalui Kepala Desa yang secara ex officio menjadi Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat, dan Ketua II oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang tidak lain adalah istri Kepala Desa dan keberadaan wewenangnya dibawah Camat. Hal ini tertuang dari pengertian desa menurut UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). Dari rumusan ini terlihat pemahaman desa merupakan representasi pemerintah pusat, artinya kewenangan memutuskan ada ditangan pemerintah pusat dan apa yang dianggap baik oleh pusat akan dirasa baik pula untuk desa. Asumsi ini sangat kental dengan nuansa sentralistik dan mengkebiri peran desa sebagai wilayah yang otonom dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.


Di era reformasi, keinginan melaksanakan desentralisasi menjadi sangat kuat sebagai keputusan politik serta mengubah pendekatan top down dengan bottom up. Dalam UU No. 22 th 1999, pasal 1(o) disebutkan bahwa pengertian desa atau apa yang disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asa usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pada (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.


Pencabutan UUPD No. 5/1979 dan digantikan dengan UU No. 22 tahun 1999 merupakan wujud keseriusan pemerintah transisi untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberikan ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering) , partisipatip dan mengedepankan kesejahteraan rakyat.


Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa saja yang dapat disiapkan , teknologi apa yang akan dipilih dalam memajukan peradaban kehidupan desa dll.


Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para pejabat/birokrat, tetapi sebaliknya para pejabat diharapkan menjadi fasilitator, konsultan, mediator, motivator, dan bukannya menjadi koruptor, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri yang mengklaim dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat sehingga tidak berhenti sebagai retorika belaka, melainkan diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya.


Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui pejabat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan pejabat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra sejajar yang harus dilayani yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin.


Para Pejabat, Pemuka agama, Pemuka Masyarakat, Para Pakar, Pemuka Adat, LSM, Pengusaha dll serta semua pihak yang berkehendak baik untuk masyarakat perlu membantu dengan segala daya upaya agar warga desa menjadi semakin berdaya, kritis, cerdas dan semakin mampu menolong diri dan sesama di desanya.


Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan kita dengan warga desa untuk membatu menfasilitasi pembuatan master plan desa, mengatur tata ruang desa, tata guna/ peruntukan lahan, pembuatan renstra desa, peningkatan ketrampilan teknis dan kemampuan berbisnis bagi warga desa, penyiapan sarana yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti jalan beraspal/bersemen, alat traspor, sarana telepon, listrik, dermaga dll) sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga pada akhirnya juga memberi sumbangan yang berarti bagi PAD (Pendapatan Asli Desa) tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga keberlanjutan daya dukungnya bagi anak cucu.


Dengan meningkatnya pendapatan asli desa, maka dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD kabupaten melalui peningkatan produktivitas yang tinggi dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka OTDA tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki daerah dengan bekerja secara profesional yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas.


Pengalokasian dan pemanfaatan dana APBD tingkat kabupaten juga harus menampakkan tampilan kinerja yang efisien dengan tidak menghabiskan anggaran hanya untuk menutup biaya rutin seperti gaji pegawai, pembelian fasilitas kantor, SPJ pejabat dsb, tetapi juga menuntut pegawai negeri untuk lebih profesional dalam melayani kepentingan publik yang telah menyediakan dana untuk pembayaran gajinya.


Mari kita bergandengan tangan dalam kebersamaan mengembangkan otonomi desa menuju desa mandiri dalam rangka memperkuat OTDA. Kita dukung transparansi penggunaan dana ADD, pembuatan rencana strategis (renstra) desa, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Desa) , pengembangan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dll.


Tidak perlu lagi kita meremehkan keberadaan desa apalagi sampai melupakannya, tidak perlu malu mengaku sebagai orang desa, karena sebenarnya kehidupan kota sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari desa, baik dalam penyediaan bahan pangan maupun kebutuhan lainnya.


Mari kita jangan sampai mengabaikan 2 D (Dosa dan Desa) demi terwujudnya mimpi masyarakat madani yang cerdas, damai sejahtera, berkeadilan, berbudaya dan beradab.


YBT Suryo Kusumo, tony.suryokusumo@gmail.com