Thursday, November 15, 2007

Setelah Pesta 'Pil-kada' Berakhir, dan Kekhawatiran

Oleh: Dody Kudjilede

Pilkada Kota Kupang baru saja berlalu dari hadapan kita, pesta demokrasi pertama di Kota Kupang, Ibukota Provinsi NTT, itu sampai hari ini masih terus diceritakan dari mulut ke mulut, entah itu dari mulut seorang pemulung, tukang ojek, sopir angkot, loper koran hingga naik ke tingkat para birokrat di Kota Kupang. Jika menyimak cerita mereka satu persatu, akan ada begitu banyak kisah dengan berbagai macam versi yang kadang menimbulkan gelak tawa, keprihatinan, hingga kepedihan. Di mulai dari cerita tentang proses menuju pilkada, tentang meriahnya arak-arakan menuju tempat kampanye, tentang orang-orang yang berdesakan hanya agar bisa melihat dari dekat artis ibukota yang didatangkan untuk meramaikan sebuah kampanye, hingga cerita tentang warga masyarakat yang diintimidasi oleh lurahnya untuk tidak boleh ikut dalam kampanye kandidat tertentu, bahkan dipaksa untuk hanya boleh memilih pasangan yang disebutkan oleh Pak Lurah. Juga tentang seorang teman saya yang bingung untuk menentukan figur mana yang harus dia pilih dan akhirnya memutuskan untuk tidak memilih siapa-siapa alias golput.

Apapun cerita yang keluar dari mulut mereka, semuanya itu adalah proses sejarah yang panjang, tentang sebuah masyarakat yang sementara bergerak menuju ke sebuah dunia demokrasi yang diimpikan, dirindukan dan dikhayalkan semua orang. Ibarat kitab suci, antara cerita yang satu dengan yang lain sesungguhnya adalah satu, yang membedakan adalah cara bertutur dan cara pandang dari orang-orang yang terlibat dalam proses itu. Apakah sesudah semua proses itu ada individu atau kelompok yang harus menepuk jidat karena telah salah bernubuat, itu kembali kepada kebijaksanaan hati masing-masing.

Saya ada disini, Saya mendengar, saya merasakan semua proses itu dari awal hingga akhir. Saya melihat bagaimana kebanggaan para pendukung terhadap figur favorit yang nyaris menjurus pada fanatisme yang hiruk pikuk dan terkadang berlebihan. Dan ketika pesta itu berakhir dengan keputusan final, pada media massa lokal saya membaca tentang kandidat yang dengan lapang dada menerima kekalahan sebagai hal yang wajar dalam sebuah pertarungan, tapi ada yang menolak kekalahan dan saling menggugat agar jika bisa kemenangan itu diserahkan padanya.

Melihat, mendengar dan merasakan semua itu menimbulkan rasa was-was pada saya. Ketakutan akan hal yang sama terjadi lagi pada pesta pilkada NTT. Jika baru Kota Kupang yang berpesta sudah seperti ini, apa jadinya jika Nusa Tenggara Timur ini yang berpesta? Seperti apakah hiruk pikuknya nanti? Sedalam apakah nanti para kandidat akan merogoh kocek untuk menarik simpati dan dukungan massa dengan mendatangkan artis ibukota yang bayarannya bisa untuk membangun jalan puluhan kilometer? Issue apalagikah yang akan disebar untuk menjatuhkan pesaingnya? Akankah semua berjalan sesuai alur yang ada? Akankah semua yang telah direncanakan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan semua orang? Seperti apakah orang yang akan memimpin daerah ini? Seefektif apakah nanti mereka akan bekerja? Seberapa pedulikah mereka dengan suara rakyat? Apakah nanti kebijakan yang diambil oleh mereka membangun atau malah mengorbankan rakyat?

Memang tak ada kericuhan yang mewarnai semua proses tersebut, namun semua pertanyaan itu tentunya bukan hanya ada dipikiran saya, rasa was-was ini juga bukan hanya milik saya. Dari sekian banyak masyarakat yang mengais untung di Bumi Flobamora ini dan menamakan diri mereka ‘orang kecil’ pasti akan memiliki pertanyaan seperti itu, bahkan mungkin akan ada lebih banyak pertanyaan yang muncul. Dan jawaban dari setiap pertanyaan itu tidak akan bisa terjawab kecuali setelah semua proses itu berjalan.

Sebagai orang kecil, saya dan juga yang lain memang hanya bisa bertanya dan berharap (dibalik rasa takut kami), entah apakah nanti pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah mendapatkan jawaban seperti yang kami inginkan, entah apakah nanti harapan-harapan kami harus kandas karena digusur kesombongan penguasa. Apapun yang terjadi nanti, sekali lagi, kami hanya bisa berharap.

Kami hanya bisa berharap agar sesudah mereka berkuasa jangan ada lagi pertanyaan baru menggundah di hati kami. Kami hanya bisa berharap agar kelak sang pemimpin bisa mencintai rakyatnya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang benar-benar bijaksana dan mewakili suara rakyat. Tidak usahlah membeli mobil dinas baru, bukankah sekarang mobil dinas sudah terlalu banyak. Tidak usahlah ongkos rumah sakit dinaikkan lagi, bukankah sekarang sudah terlalu mahal. Tidak usahlah melakukan perjalanan dinas yang tidak perlu, ke luar daerah, ke luar negeri. Ongkosnya bisa untuk hal-hal yang lebih berguna kan?