Saturday, April 12, 2008

Celah-Celah korupsi (Pentingnya memantau anggaran publik)

Oleh Isidorus Lilijawa


Pada tanggal 25 � 28 Pebuari 2008 lalu, kurang lebih 20 orang jurnalis media massa lokal dan nasional yang ada di NTT juga para reporter radio terlibat dalam workshop penulisan �Meliput Anggaran Publik� yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau dan Yayasan Tifa Jakarta bertempat di Hotel Dwi Putra Ende. Selain penyajian materi jurnalistik, workshop ini menjadi berbeda karena para peserta lebih banyak berdiskusi soal anggaran publik di NTT; bagaimana cara membaca anggaran yang bermula dari perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan serta
bagaimana para jurnalis membuat reportase investigatif.

Mengapa penting bagi kita untuk memantau anggaran publik? Hemat saya memahami anggaran publik adalah salah satu kebutuhan mendasar masyarakat saat ini. Pertama, anggaran pemerintah merupakan instrumen kebijakan paling penting. Kedua, anggaran mencerminkan komitmen dan pilihan-pilihan yang dibuat pemerintah. Ketiga, anggaran merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan pembangunan.

Pada prinsipnya ada 3 hak dasar manusia dalam proses anggaran. Pertama, hak politik yakni hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses anggaran dimulai dari proses perencanaan, pengesahan, implementasi dan audit. Kedua, hak informatif, adalah hak warga masyarakat untuk mengakses dan mengetahui dokumen publik (data dan informasi) tentang penyelenggaraan pemerintahan, termasuk di dalamnya data dan informasi tentang anggaran. Ketiga, hak alokatif, yakni hak warga masyarakat (sektoral atau teritorial) untuk mendapatkan alokasi dana dari anggaran. Dari alokasi proses anggaran, kita dapat menentukan apakah pemerintah menghormati, melindungi dan memenuhi ketiga hak dasar manusia tersebut.

Anggaran sensitif HAM
Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini mencoba mengakomodir sebagian dari kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan budaya dan kovenan internasional hak sipil dan politik. Dan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak di atas dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Undang-Undang nomor 12 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik.

Negara memiliki kewajiban atas hak asasi manusia yakni: pertama, kewajiban atas proses. Artinya, negara harus melakukan upaya-upaya tertentu untuk menjamin keterpenuhan warganya atas hak asasi manusia tersebut.

Kedua, kewajiban atas hasil. Negara wajib mencapai kondisi tertentu di mana keterpenuhan hak asasi warganya telah terpenuhi.

Ketiga, kewajiban generik. Negara memiliki kewajiban untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya.

Berkaitan dengan itu, kebijakan anggaran adalah instrumen penting yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan kewajiban negara (state obligations) di atas. Kebijakan anggaran adalah ranah strategis yang menentukan seberapa jauh pemenuhan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi warga negara bisa dicapai. Ada 2 aspek pemenuhan hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah, yaitu progressive realization dan full use of maximum available resources. Progressive realization berarti kewajiban pemerintah untuk terus-menerus meningkatkan pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya rakyatnya. Sedangkan full use of maximum available resources memiliki makna kewajiban bagi pemerintah untuk menggunakan semaksimal mungkin sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya untuk pemenuhan hak asasi rakyatnya.

Perwujudan aspek progressive realization dalam kebijakan anggaran pemerintah adalah berupa kewajiban pemerintah untuk terus-menerus meningkatkan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan sosial. Peningkatan alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial ini merupakan kenaikan nilai riil bukan hanya kenaikan untuk menyesuaikan inflasi. Pendek kata, dana yang dialokasikan untuk anggaran kesejahteraan sosial tahun ini mampu untuk membeli lebih banyak barang dan jasa kebutuhan rakyat dibandingkan tahun lalu.

Realisasi aspek full use of maximum available resources dalam kebijakan anggaran adalah kewajiban bagi pemerintah untuk semaksimal mungkin menggunakan sumber-sumber pendapatan anggaran pemerintah bagi pembelanjaan yang terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia seperti pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan dan lain-lain. Berarti bila pemerintah mengalokasikan anggaran belanja untuk proyek fiktif dalam porsi besar sementara anggaran kesehatan untuk ibu dan anak sangat kecil, maka pemerintah telah melanggar aspek pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya ini.

Tak dapat dimungkiri bahwa alokasi dana APBD untuk pemenuhan hak asasi manusia selalu sedikit. Rinto Andriono dari IDEA memaparkan beberapa data yang menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial masih sangat rendah. Alokasi anggaran untuk pendidikan tahun 2003-2004 di beberapa kabupaten di Indonesia nampak sebagai berikut: Bantul (6,7%), Bulukumba (2,7%), Sleman (4,2%), Makassar (5,4%), Kebumen (5,8%). Padahal Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mensyaratkan alokasi anggaran 20% dari APBD untuk anggaran pendidikan.

Alokasi anggaran untuk kesehatan di beberapa kabupaten di Indonesia tampak sebagai berikut: Bantul (6,3%), Kupang (4,7%), Kulon Progo (10,8%), Lampung Timur (8,87%). Padahal retribusi pelayanan kesehatan yang dibayar masyarakat marjinal ketika berobat di Puskesmas dan RSUD merupakan penyumbang dana APBD nomor wahid. Tak heran bila Rinto Andriono berkelakar bahwa kita sebenarnya hidup dari keringat orang-orang sakit.

Dalam salah satu sesi diskusi saat workshop Meliput Anggaran Publik itu, peserta diberi contoh anggaran di NTT dan mencari kemungkinan penyelewengan anggaran tersebut. Saya dan beberapa teman mendiskusikan anggaran Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Ende tahun 2007. Dari anggaran dalam setahun itu, kami menemukan bahwa 70% anggaran dimanfaatkan untuk kepentingan aparatur seperti biaya perjalanan, operasional kantor, ATK, makan, dan lain-lain. Hanya 30% yang pro rakyat seperti pembuatan akte kelahiran, foto KTP.
Dari 30% ini pun tidak semuanya untuk rakyat, toh di beberapa daerah untuk foto KTP rakyat masih harus bayar, begitupun akte kelahiran. Padahal sudah ada anggaran untuk itu. Ini berarti, anggaran setahun itu sangat tidak pro rakyat.

Lantas, di manakah komitmen untuk mengutamakan kebutuhan dan kepentingan rakyat? Toh, alokasi anggaran lebih banyak dihabiskan untuk aparat pemerintah ketimbang untuk rakyat.

Celah korupsi
Ideal anggaran yang sensitif HAM sebagaimana dipaparkan di atas ternyata susah untuk ditemukan dalam keseharian praktik pemerintahan kita seperti pada beberapa contoh yang juga telah dikemukakan sebelumnya. Korupsi dana APBD terjadi secara meluas dan sistemik. Korupsi terjadi dalam mendapatkan dana dan sekaligus dalam membelanjakan dana APBD. Korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah, DPRD dan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap dana APBD seperti pihak swasta yang ingin memenangkan tender proyek. Korupsi itu disebabkah oleh salah satunya masyarakat tidak dapat berpartisipasi dan tidak memiliki akses terhadap dokumen APBD.

Seperti karung beras yang bolong, anggaran daerah bocor sepanjang jalan: mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, mulai dari pengumpulan hingga pemakaian. Pos pendapatan disunat, pos belanja digelembungkan. Tim AJI Jakarta dalam buku Melawan Korupsi (2007: 61) mengemukakan celah-celah korupsi dalam penyusunan hingga pelaksanaan APBD sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Januari-Februari: menjaring aspirasi publik. Selama bulan-bulan ini kepala desa sibuk menggelar �Musyawarah Perencanaan Pembangunan� di tingkat desa. Dalam pertemuan ini kepala desa atau lurah minta warganya mengusulkan proyek yang mereka inginkan. Hasil musyawarah itu dibawa ke kecamatan. Di sini usulan dari desa disaring ulang: apakah kebutuhan itu mendesak? Apakah bermanfaat untuk kepentingan banyak orang? Pada tahap ini, prioritas pembangunan kecamatan ditegaskan kembali. Sayang, meskipun aturannya terkesan bottom up, pada kenyataannya hasil musyawarah jarang mencerminkan aspirasi warga desa. Yang sering terjadi, rumusan di desa merupakan daftar keinginan para elite, seperti kepala desa dan BPD

Maret: pupusnya usulan publik. Sekitar bulan ini rancangan pembangunan kecamatan dijadwalkan telah rampung dan diserahkan pada dinas terkait di kabupaten. Di sinilah suara arus bawah tersesat dalam belantara birokrasi dan kepentingan elite politik. Soalnya sederhana saja. Sebagai daerah otonom, setiap kabupaten telah memiliki semacam �GBHN� berupa rencana pembangunan jangka panjang. Acuan yang disusun Bappeda itu disusun berdasarkan jargon 'pembangunan berkesinambungan'. Repotnya, acuan yang disahkan DPRD ini tak dibuat melalui uji publik. Maksudnya, warga tak diberi kesempatan memberikan masukan atau partisipasi apapun dalam cetak biru pembangunan itu.

Selain itu, ada rencana pembangunan jangka menengah yang merupakan agenda bupati atua walikota terpilih. Agenda ini erat kaitannya dengan janji politik yang dijual saat kampanye
pemilihan kepala daerah. Dokumen inilah yang menjadi pedoman bagi para kepala dinas ketika menyusun rencana kerja masing-masing. Repotnya, dokumen ini seringkali melenceng dari acuan yang disusun Bappeda. Di sinilah letak potensi penyimpangan perumusan APBD: bupati dan walikota repot menyelaraskan kebutuhan desa, target kerja dinas terkait, acuan Bappeda, dan janji politiknya sendiri. Pada umumnya, dalam kasus-kasus seperti ini, kepala daerah cenderung mengejar kepentingan popularitas (realisasikan janji politiknya) ketimbang mengakomodir usulan warga dan tunduk pada kerangka rencana pembangunan jangan panjang.

Juni-Juli: aliran dana dari pusat. Pada pertengahan tahun mulailah digelar rapat koordinasi persiapan anggaran yang melibatkan Bappeda, berbagai dinas di daerah, dinas pendapatan, bagian keuangan serta sekretaris daerah. Pada bulan ini ketika Bappeda membahas rencana anggaran satuan kerja, kepala daerah akan menerbitkan Kebijakan Umum Anggaran. Isinya: proyeksi anggaran tahun berikutnya. Salah satu sumber keuangan yang penting adalah dana alokasi khusus dan dana alokasi umum yang besarnya ditentukan pusat. Untuk menjala dana alokasi ini, bupati harus sering kali mondar mandir ke Jakarta untuk urusan lobi. Pada dasarnya, dana pemerintah pusat yang dikucurkan ke daerah terdiri dari empat jenis: dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil dan dana dekonsetrasi. Tiga yang pertama masuk APBD, sedangkan yang terakhir langsung dikirimkan dari departemen kepada dinas terkait di daerah.

September-Oktober: persiapan anggaran. Pada bulan ini akan keluar dokumen hasil sinkronisasi antara Rancangan Anggaran Satuan Kerja dan Kebijakan Umum Anggaran. Berdasarkan ini bupati menyusun nota pengantar keuangan RAPBD. Nota ini disampaikan kepada DPRD. Di sinilah lobi-lobi ketat dan negosiasi kembali terjadi, misalnya untuk mengubah besaran anggaran untuk proyek tertentu. Seluruh proses pembahasan anggaran di Bappeda berlangsung dalam rapat tertutup. Di sinilah sering terjadi proses �dagang sapi� antara kepala dinas dengan Bappeda untuk menggolkan proyek yang mereka inginkan. Seringkali kepala dinas bahkan sudah punya 'kontrak' dengan kontraktor/rekanan swasta sebelum anggaran disetujui.

November-Desember: rapat-rapat pengesahan. Setelah bupati atau walikota memasukkan Nota Pengantar Keuangan RAPBD pada bulan November ke DPRD, maka proses pengesahan anggaran pun dimulai. Rapat-rapat marathon antara komisi-komisi di DPRD dan kepala-kepala dinas mulai digelar. Rancangan anggaran kembali dibongkar, dicoret dan �disesuaikan�. Di tahap ini, potensi korupsi yang paling umum terjadi adalah suap dari kalangan eksekutif yang tak ingin rencana proyeknya diotak-atik anggota DPRD. Bentuk suap bermacam-macam. Selain uang tunai, suap bisa berupa usulan kenaikan tunjangan dan fasilitas untuk anggota DPRD. Potensi korupsi yang lain adalah dalam penggunaan dana perimbangan, DAK
dan DAU.

Tahun berikutnya: pelaksanaan anggaran. Dalam tahap ini ada sejumlah trik untuk membobol anggaran. Pertama, tender fiktif. Tender digelar dengan berita acara palsu, seolah-olah pemenang tender telah melalui proses yang seharusnya.

Kedua
, tender yang diikuti dengan subkontrak. Ada modus lain, pemenang tender men-subkontrakkan pekerjaannya. Ini bisa menjadi persoalan serius jika perusahaan pelaksana ternyata tak punya kualifikasi untuk mengerjakan proyek.

Ketiga, memainkan spesifikasi barang. Ini cara lama yang muncul dengan berbagai variasi. Resepnya sama: dinas sebagai pemilik proyek memberi 'arahan' pada barang produksi perusahaan tertentu, misalnya mobil dengan spek dari perusahaan tertentu.

Keempat, memainkan 'harga jasa' atau konsultasi. Korupsi anggaran lebih sulit dideteksi jika yang dimainkan adalah proyek pengadaan jasa misalnya pelatihan, konsultasi atau seminar. Jasa konsultan mudah mendikte dinas pemerintah dalam penentuan harga.

Kelima
, duplikasi anggaran. Ini trik lama tapi masih sering dipakai karena sulit ketahuan. Pos perjalanan dinas anggota DPRD, misalnya dialokasikan sekaligus pada beberapa dinas, selain tentu saja muncul dalam pos operasional DPRD. DPRD sering �menitipkan� anggarannya
pada dinas-dinas.

Keenam, memakai tangan perusahaan siluman. Modus lain, pengadaan jasa oleh perusahaan tak berkualitas. Misalnya, dengan cara menggelar pelatihan dengan menyewa lembag training tak bermutu dan karena itu mau dibayar murah. Sering terjadi, duapertiga biaya kursus masuk kembali ke kantong para pejabat.

Ada begitu banyak celah korupsi mulai dari penyusunan hingga pelaksanaan APBD. Apakah kita tetap menjadi rakyat yang tidak mau tahu dengan semuanya itu? Ataukah kita tergerak untuk turut memantau dan terlibat dalam proses perencanaan, penyusunan hingga pelaksanaan anggaran publik itu? Semuanya kembali kepada kita. Sudah saatnya rakyat bangun dari tidur panjang ketakpedulian pada anggaran. Dan yang lebih penting dari itu adalah agar kita juga tidak tepeleset pada celah-celah korupsi yang sama. Mari kita pantau APBD kita dan jadilah
rakyat yang melek anggaran publik.

*Jebolan STFK LEdalero. Saat ini Koordinator Program
ACILS-LPA NTT.

Thursday, April 10, 2008

Neotradisional Pertanian: Sebuah Pilihan (3)

Oleh: Alexander Yopi Susanto*


Dr. Ir. Mesak Tombe, melalui rekayasa Biotriba berhasil menaikkan produktivitas hasil panen. Pada Jagung, tanpa kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 2,28 ton per ha. Dengan kompos namun tanpa Biotriba, produksinya 5,04 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 5,58 ton per ha. Pada Bawang Merah, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 14,83 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 21,14 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya 23,97 ton per ha. Pada Petsai, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 3,42 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 8,79 ton per ha. Sedangkan dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 12,29 ton per ha.

Peluang dan Tantangan

Bertani organik perlu kesabaran serius. Tiga tahun pertama adalah masa transisi. Produksi akan turun. Kandungan hara pupuk organik jauh di bawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Perlu biaya cukup untuk usaha konversi.

Produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan produk nonorganik di pasar konvensional. Rata-rata harganya sekitar 100–300 persen lebih mahal dibanding produk pertanian non-organik. Hal ini amatlah wajar. Produsen pertanian organik di dunia masih belum banyak. Tidak hanya untuk sayuran dan buah-buahan, pasar organik rempah di luar negeri pun terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Harganya bisa mencapai Rp 25.000 s.d Rp 28.000 per kg.

Kendalanya adalah mahalnya biaya sertifikasi. Mayoritas petani Indonesia bermodal kecil dan berlahan sempit. Namun, hal ini tidaklah menjadi masalah bila petani dalam satu wilayah atau daerah dapat berkoordinasi untuk melakukan sertifikasi berbentuk kelompok usaha bersama. Tentunya melibatkan peran pemerintah dan sektor swasta, baik sebagai penyedia sumber permodalan maupun pembuka akses pasar.

Untuk NTT, pertanian organik sangat cocok untuk lahan kering. Hal ini kurang lebih cocok dengan kondisi dan potensi lahan NTT. Perbandingan potensi lahan basah 127.271 ha lebih sedikit dari potensi lahan kering 1.528.306 ha, dan padang seluas 1.939.801 ha. Bahkan pada masa-masa kering, pertanian organik mampu menghasilkan panen sama banyaknya pada masa basah.

Stigma kemiskinan dengan segala parameternya seperti rawan pangan, kurang gizi dapat diatasi dengan budi daya pertanian organik. Petani dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen, petani dan peternak. Arah pemikiran pertama dan utama harus ditujukan pada suplai makanan yang sehat dan bergizi untuk populasi masyarakat NTT. Sambil tidak melupakan industrialisasi pertanian.

Kalau pilihannya demikian, pertanyaannya adalah, seberapa besar dukungan untuk penelitian dan pengembanan pertanian organik? Dapatkah petani-petani secara kontinu dan intens diberi kesempatan mengikuti pelatihan, penyuluhan, pendampingan berkaitan dengan pertanian organik?(*)

..........................................................................................................................

Alexander Yopi Susanto adalah alumnus STFK Ledalero, anggota FAN, pernah bekerja pada beberapa perusahaan dan organisasi berbasis IT, Advokasi Pertanahan, MIGAS, Advokasi Anak, berdomisili di Jakarta

Neotradisional Pertanian: Sebuah Pilihan (2)

Oleh: Alexander Yopi Susanto*

Pertanian organik itu dapat terwujud kalau ada keterkaitan yang erat antara keanekaragaman hayati, pertanian ekologi, serta pengetahuan tradisional petani-petani di seluruh dunia. Tak pelak, pertanian organik dapat berkontribusi pada ketahanan pangan jika dikaitkan dengan budaya (wisdom local), hak atas tanah lokal, dan komunitas adat. Industrialisasi di bidang pertanian tidak boleh sampai meninggalkan bahkan memarginalkan komunitas adat. Karena itu, paradigma pertanian organik mesti juga menyentuh advokasi kebijakan untuk menggerakkan masyarakat adat dan petani kecil lokal. Termasuk di dalamnya, memikirkan keseimbangan antara ekspor impor pangan dan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Multikultur

Lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Filosofinya multikultur.

Tanaman ditanam pada bedeng-bedeng dengan ukuran bervariasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Di sekeliling bedeng di tanam strip rumput untuk mengurangi erosi. Dan di atas bedeng tersebut ditanami jenis tanaman tumpang sari. Seperti misalnya, lobak, bawang daun dengan kacang tanah dalam satu bedengan. Demi menjaga unsur hara, para petani perlu konsisten mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar atau kompos). Juga dengan memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang). Sistem pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedeng. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.


Teknologi Pertanian Organik

Masalah yang sering ditemui adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Teknologi penyiasatan masalah ini bertumpu pada peran mikroba tanah. Pertama, mikroba tanah itu berperan dalam mengikat dan mengubah unsur nitrogen (N) menjadi tersedia bagi tanaman. Kemudian mikroba-mikroba itu menjadi pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Mikroba juga berperan dalam mengendalikan organisme patogen. Ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya menjadikan tanah kehilangan mekanisme bela dirinya. Jika kondisi timpang ini dapat diseimbangkan populasinya, hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.

Contoh sederhana, kotoran kambing yang dicampur dengan urine binatang tersebut tidak kalah dibanding urea. Kotoran kambing tersebut dihaluskan kemudian dicampur dengan urinenya. Setelah dua hari, kotoran kambing dan urine tersebut siap disiramkan ke tanaman. Atau untuk ulat pemakan daun, misalnya dapat diatasi dengan ramuan nabati dari lagundi (vitex trifolia) seberat 5 ons, bawang putih 2 ons, lengkuas 3 ons, brotoali (tinospora tuberculata) 4 ons, pinang (areca catechu) 1 buah, dan urine kambing 1 liter.

Di sini menjadi jelaslah sikap FAO dengan memberi tempat penting pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Bahwa pengetahuan para petani di seluruh dunia itu tidak kalah dari para peneliti berbasis perguruan tinggi. Sekalipun dengan catatan, perlunya penelitian yang intens dan lebih lanjut!

Hasil Penelitian

David Pimentel, guru besar pertanian dari Cornell University, Amerika Serikat menyimpulkan, “Pertanian organik menawarkan kelebihan nyata untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai.” Panen jagung dan kedelai untuk pertanian organik sama banyaknya dengan pertanian konvensional. Namun pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan lebih.

Untuk dua tanaman pangan ini, pertanian organik tidak hanya menggunakan energi fosil 30 persen lebih sedikit tetapi juga mengkonservasi lebih banyak air di tanah, mengakibatkan lebih sedikit erosi tanah, memelihara kualitas tanah, dan mengkonservasi sumber daya biologi, dibandingkan dengan pertanian konvensional. Kenyataan lain menunjukkan, sistem pertanian organik menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global di dalam tanah. Menguntungkan untuk sisi ekologis.

* Alexander Yopi Susanto adalah alumnus STFK Ledalero, anggota FAN, pernah bekerja pada beberapa perusahaan dan organisasi berbasis IT, Advokasi Pertanahan, MIGAS, Advokasi Anak, berdomisili di Jakarta

Neotradisional Pertanian: Sebuah Pilihan (1)

Oleh: Alexander Yopi Susanto*

Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menjadikan hasil panen petani berlipat ganda. Namun ongkos yang harus dibayar pun mahal. Bahkan bersifat jangka panjang, seperti yang dirasakan sekarang. Bahan kimia sintetik seperti pupuk justru malah merusak struktur kimia dan biologi tanah. Beberapa agen peptisida hayati, seperti predator pemakan hama terancam punah. Malah terjadi imunitas pada beberapa hama.

Neo-Tradisional

Vandana Shiva, dalam konferensi internasional yang diselengarakan FAO, memprediksikan bahwa dalam lima tahun ke depan dunia akan mengalami ketidakamanan pangan oleh karena penyimpangan pasar pertanian kimia. Subsidi untuk pertanian kimia telah mengorbankan sumber alami. Lebih jauh Juma Further mengatakan bahwa motor penggerak pertanian konvensional sekarang terletak pada subsidi dan support dana. Further mengkritik sikap negara-negara Barat menyediakan uang untuk subsidi pupuk, tetapi tidak untuk pertanian organik.

Kesadaran untuk kembali ke pertanian organik sebenarnya muncul bersamaan dengan kesadaran ekologis dan kesehatan. Pencemaran pupuk kimia, peptisida dengan dosis yang berlebihan berdampak terhadap turunnya kualitas lingkungan dan kesehatan manusia. Keluhan atas berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran justru bersumber dari pola makan. Dengan mudahnya logam-logam berat dalam peptisida kimia masuk ke dalam aliran darah konsumen. Bahkan sayuran yang menyehatkan itu, kini harus diwaspadai sebagai biang penyakit.

Nadia El-Hage Scialabba menggambarkan pertanian organik sebagai sistem pangan neo-tradisional yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan praktik pertanian tradisional. Pertanian ini memberi kontribusi penting pada keberlanjutan ketahanan pangan. Mencakup, pemenuhan nutrisi rumah tangga, berkontribusi pada situasi darurat peralihan pangan, dan pola makan sehat. Pertanian ini juga melayani kebutuhan nasional melalui pengembangan pedesaan dan menyediakan pelayanan lingkungan global. Termasuk di dalamnya mengurangi perubahan iklim (climate change).

IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) sendiri menekankan pertanian organik sebagai cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Dengan begitu, biodiversif siklus biologi dan aktivitas biologi tanah pelahan-lahan dapat dipulihkan. Dalam hal ini, penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik, mulai dari produksi sampai pascapanen.

Nafas baru pertanian organik justru berkaitan erat dengan dunia penelitian. Petani tidak bisa lagi bergantung pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Cara-cara tradisional tersebut harus bersinggungan dengan uji coba berbasis ilmu pengetahuan. Mengandaikan pengenalan yang intens pada watak varietas unggul, tingkat kesuburan tanah, watak hama, dan dosis peptisida hayati yang benar. Alam sudah menyediakan segala hal. Termasuk solusi alami jenis pupuk dan obat tanaman. Tinggal bagaimana cara menemukannya.

* Alexander Yopi Susanto adalah alumnus STFK Ledalero, anggota FAN, pernah bekerja pada beberapa perusahaan dan organisasi berbasis IT, Advokasi Pertanahan, MIGAS, Advokasi Anak, berdomisili di Jakarta


Monday, April 7, 2008

NTT Bangkit” menuju “NTT baru” melalui pengembangan desa mandiri

Deraan krisis global terkait harga pangan dan BBM yang terjadi akhir-akhir ini seolah olah telah semakin meyakinkan kita akan penderitaan panjang warga miskin, khususnya di NTT.

Ketergantungan Pemda NTT dalam waktu yang relatif panjang terhadap pemerintah pusat baik dari segi pembiayaan dan penyediaan dana untuk APBD Tk Propinsi maupun Tk Kabupaten, ketergantungan dalam berbagai hal seperti BBM dab sembako--beras khususnya--semakin memosisikan NTT yang terlihat lemah dan kurang mandiri.


Menjadi pertanyaan reflektif untuk kita yang mencintai NTT, mau sampai kapan keadaan ini dibiarkan berlangsung ? Tidak adakah pendekar rakyat dari NTT seperti halnya Mahatma Gandhi yang berani memprakarsai gerakan swadesi memakai kain sari buatan sendiri ?

Atau seperti halnya Mohamad Yunus dengan Gremeen Bank yang mau mempelopori pinjaman tanpa agunan bagi para ibu pengusaha dari kalangan miskin dan bahkan untuk mantan narapidana ?


Kapan akan bangkit menyala semangat para pejabat dari kalangan putra daerah NTT sendiri yang malu melihat keadaan ini dan mempunyai “dream/impian” untuk menjadikan “another NTT” yang bebas dari korupsi dengan layanan publiknya berkelas dunia, yang menjadikan NTT sebagai DTW (Daerah Tujuan Wisata) kelas dunia setelah Bali dan Lombok ?


NTT yang menjadi terkenal karena bau aroma asli cendana ada dimana-mana, yang menjadi sentra produsen daging sapi dengan karkas yang tinggi kualitasnya, menjadi sentra pembuatan produk yang berbahan dasar kulit karena banyaknya produksi kulit sapi yang merupakan limbah dari pemotongan sapi untuk ekspor daging skala dunia ?


NTT yang terkenal karena mengekspor rumah kayu eksotik (knock down) karena melimpahnya produksi hutan kayu untuk bahan dasar pembuatan rumah,


NTT yang terkenal karena melimpahnya para akademia yang cerdas, bermoral dan berpikir global,


NTT yang terkenal karena religiositas yang ditunjukkan dengan keramahan warganya, rasa solidaritas yang tinggi, warga yang toleran, rendahnya angka kriminalitas dll.


NTT butuh pemimpin yang visioner,berani, dan jujur


Keterpurukan NTT tidak dapat dilepaskan dari kualitas para pemimpinnya baik di pemerintahan, lembaga keagamaan, lembaga keilmuan, lembaga non pemerintah, dan juga lembaga budaya dll.


Banyak pemimpin yang kehilangan huruf terakhirnya berupa N sehingga hanya menjadi PEMIMPI (tanpa N) yang hanya mampu bermimpi dan dengan pandainya menina- bobokkan warga miskin dengan janji perubahan yang sebenarnya tak pernah terjadi.


Kasihan rakyat kecil yang miskin yang hanya dipakai sebagai obyek dalam PEMILU maupun PILKADA, dimana mereka hanya dijadikan alat legitimasi kepemimpinan para pejabat atas nama kedaulatan rakyat. Suara rakyat adalah suara TUHAN sudah hilang dari kamus mereka ketika para pimpinan ini menjabat . Mereka akan berusaha dengan segala cara dan tipu muslihat untuk memperkaya diri dan sanak keluarganya dengan tanpa rasa malu dan rasa bersalah.

KKN masih dianggap sebagai cara termudah dan termurah untuk mewujudkan impiannya kaya raya tanpa susah payah meski memakan korban rakyat yang telah menjadikan dirinya sebagai pejabat. Kita dapat melihat dengan mata telanjang betapa para koruptor baik kelas kakap maupun teri di NTT masih terus berkeliaran dengan segala jurus ampuhnya untuk terus mengelabuhi rakyat seolah olah rakyat NTT tidak bisa melihat segala kebobrokan moralnya.


Sudah saatnya untuk bertobat dan berbalik kembali memihak rakyat jika para pemimpin NTT ingin melihat perubahan rakyatnya menuju sejahtera, dan apakah ceritera tentang Lazarus yang memakan remah-remah roti yang terjatuh dari meja si kaya masih belum cukup untuk menyadarkan arti penting “berbagi” dengan sesama terutama yang miskin dan menderita ? Apakah kematian para balita karena busung lapar masih juga belum mampu menyentuh nurani para pejabat yang dimahkotai pangkat dan gelar untuk memperbaiki dan bahkan kalau perlu secara radikal merubah pendekatan pembangunan di NTT ? Apalah artinya para pejabat memiliki seluruh kekayaan dan kekuasaan dunia namun kehilangan kasih kepada sesama ? Apakah ajaran “dengan memberi akan mendapat” dirasa tidak relevan lagi saat ini ? Atau dibutuhkan tanda-tanda jaman seperti apalagi yang mampu menyadarkan para pejabat dan pemimpin NTT untuk mulai segera berubah dan berbenah sebelum krisis sosial benar-benar melanda kita ?


Saatnya para pemilih untuk secara cerdas dan bertanggung jawab memilih pemimpin yang mampu menjadi teladan dan sekaligus pendorong untuk perubahan di NTT.


Dibutuhkan pemimpin NTT yang visioner, mampu memnadang jauh kedepan dan tidak terhalang dengan segala kendala dan hambatan yang ada sekarang ini, pemimpin yang mempunyai mata, telinga, lidah , tangan , mulut dan kepala yang terberkati.


NTT membutuhkan pemimpin bak seekor elang yang berani terbang sendirian dan memiliki sepasang mata pemimpin yang tajam yang mampu mengendus dan kemudian memangsa ‘kawanan serigala berbulu domba yang senang ber KKN ria’ sehingga dana untuk kaum miskin tidak lagi disunat, digelapkan ataupun dirampok oleh mereka dan dana tersebut akhirnya benar-benar mampu membuat rakyat miskin berdaya karena diberdayakan bukan karena disuapi dengan berbagai subsidi. Pemimpin yang mampu menghasilkan kebijakan/ policy yang benar-benar memihak rakyat kecil untuk mewujudkan sila kelima Pancasila yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


NTT membutuhkan telinga pemimpin yang mau dan mampu mendengarkan (bukan hanya sekedar pura-pura mendengar) rintihan dan jeritan kaum papa warga NTT yang ingin keluar dari kubangan kemiskinan.


NTT membutuhkan lidah pemimpin yang menurut Andrias Harefa ( seorang penulis , motivator dan pendiri/inisiator www.pembelajar.com ) mampu mengendalikan lidah-nya. Pemimpin yang melek mata hati dan mata budinya. Pemimpin yang tidak asal bicara, namun tak selalu diam membatu.

NTT membutuhkan tipe pemimpin seperti Soekarno yang dengan kemampuan kata-katanya mampu membakar dan menggelorakan semangat untuk merdeka . Bung Karno sebagai penyambung lidah rakyat mencoba memotivasi agar rakyat Indonesia berjuang keluar dari belenggu penjajahan. Kapan akan tampil seorang muda NTT mampu menyuarakan suara warga miskin di NTT yang telah jenuh dengan janji-janji pemimpin NTT terdahulu dan menyuarakan perasaan dan pesoalan mereka untuk memeperoleh solusi menuju sejahtera dan keluar dari belenggu kemiskinan yang telah dalam waktu lama menderanya ? Kapan NTT menjadi akronim dari Nikmat Tiada Tara bagi seluruh warganya tanpa memandang SARA ?


NTT membutuhkan ‘tangan pemimpin’ yang mampu merengkuh seluruh warga miskin NTT kedalam dekapan kasih NYA melalui kegiatan dan program nyata yang terukur dan terencana (SMART) yang mampu mengubah kehidupan mereka yang miskin papa menjadi kehidupan yang penuh cinta dan berkelimpahan. Bukankah telah dijanjikan barang siapa yang hidup dijalan TUHAN akan hidup berkelimpahan. Artinya dibutuhkan pemimpin yang mampu menjadi ‘kepanjangan tangan TUHAN’, yang hidupnya penuh dengan kesalehan, mempunyai religiositas yang tinggi yang dapat terlihat dari hidup kesehariannya dan perilaku keluarganya.


NTT tidak membutuhkan ‘tangan pemimpin yang kotor dan penuh daki KKN’.

Yang dibutuhkan berupa pemimpin yang mampu meneladani Bunda Teresa atau Romo Mangun maupun teladan lainnya yang langsung terjun mengangkat para miskin papa dari lembah derita tanpa banyak pidato dan acara seremonial.

NTT membutuhkan tangan pemimpin yang kekar namun sekaligus lembut karena banyaknya kasus korupsi yang semakin memiskinkan NTT namun pelakunya selalu bebas berkeliaran dan menghirup darah kaum miskin seperti halnya perilaku para drakula.


NTT membutuhkan ‘kepala pemimpin’ yang cerdas dan melandaskan pada cara berpikir yang logis/nalar, yang mau belajar, mau berubah dan mempunyai wawasan bisnis yang kuat sehingga menjadikan NTT mampu link dengan para pembisnis dari luar NTT.


Dan semua itu harus dimulai dari membangun kemampuan desa-desa NTT menuju desa mandiri baik mandiri energi, pangan, ekonomi maupun kesehatan dan lainnya.


Pemimpin NTT harus berani menanamkan investasi pada infrastruktur dasar yang mendukung keterkaitan desa-desa dengan pusat-pusat bisnis, seperti misal mau membangun cold storage di berbagai daerah untuk menampung hasil sayuran, buah-buahan maupun ikan sehingga tidak cepat busuk.


Para pemimpin NTT harus mampu menggairahkan kegiatan ekonomi rakyat melalui penumbuhan jiwa wirausaha dikalangan rakyat sehingga dapat menangkap dan memanfaatkan peluang kredit tanpa agunan berupa Kredit Untuk Rakyat (KUR) yang telah digulirkan pemerintah untuk membantu para petani dan pelaku UKM.


Para pemimpin budaya NTT harus meniru apa yang telah dilakukan salah satu keluarga di Bajawa dalam rangka mengurangi beban biaya adat namun adat tetap lestari tanpa harus membebani


Para pemimpin yang mampu mendorong warga untuk menerapkan pola hidup hemat, berinvestasi dan mendorong rakyat NTT untuk berprofesi sebagai wirausaha serta mengembangkan pusat-pusat bisnis akan sangat membantu dalam mewujudkan NTT bangkit menuju mandiri.


Menyitir sebuah iklan, kalau bisa hemat, ngapain boros ? Jadi sudah selayaknya kita warga NTT melakukan gerakan penghematan dalam segala hal, terutama dimulai dari para pemimpinnya, termasuk didalamnya menghentikan segala bentuk praktek KKN, dan sebangsanya.


Selamat menyongsong NTT baru.


YBT Suryo Kusumo, tony.suryokusumo@gmail.com