Saturday, April 12, 2008

Celah-Celah korupsi (Pentingnya memantau anggaran publik)

Oleh Isidorus Lilijawa


Pada tanggal 25 � 28 Pebuari 2008 lalu, kurang lebih 20 orang jurnalis media massa lokal dan nasional yang ada di NTT juga para reporter radio terlibat dalam workshop penulisan �Meliput Anggaran Publik� yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau dan Yayasan Tifa Jakarta bertempat di Hotel Dwi Putra Ende. Selain penyajian materi jurnalistik, workshop ini menjadi berbeda karena para peserta lebih banyak berdiskusi soal anggaran publik di NTT; bagaimana cara membaca anggaran yang bermula dari perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan serta
bagaimana para jurnalis membuat reportase investigatif.

Mengapa penting bagi kita untuk memantau anggaran publik? Hemat saya memahami anggaran publik adalah salah satu kebutuhan mendasar masyarakat saat ini. Pertama, anggaran pemerintah merupakan instrumen kebijakan paling penting. Kedua, anggaran mencerminkan komitmen dan pilihan-pilihan yang dibuat pemerintah. Ketiga, anggaran merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan pembangunan.

Pada prinsipnya ada 3 hak dasar manusia dalam proses anggaran. Pertama, hak politik yakni hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses anggaran dimulai dari proses perencanaan, pengesahan, implementasi dan audit. Kedua, hak informatif, adalah hak warga masyarakat untuk mengakses dan mengetahui dokumen publik (data dan informasi) tentang penyelenggaraan pemerintahan, termasuk di dalamnya data dan informasi tentang anggaran. Ketiga, hak alokatif, yakni hak warga masyarakat (sektoral atau teritorial) untuk mendapatkan alokasi dana dari anggaran. Dari alokasi proses anggaran, kita dapat menentukan apakah pemerintah menghormati, melindungi dan memenuhi ketiga hak dasar manusia tersebut.

Anggaran sensitif HAM
Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini mencoba mengakomodir sebagian dari kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan budaya dan kovenan internasional hak sipil dan politik. Dan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak di atas dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Undang-Undang nomor 12 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik.

Negara memiliki kewajiban atas hak asasi manusia yakni: pertama, kewajiban atas proses. Artinya, negara harus melakukan upaya-upaya tertentu untuk menjamin keterpenuhan warganya atas hak asasi manusia tersebut.

Kedua, kewajiban atas hasil. Negara wajib mencapai kondisi tertentu di mana keterpenuhan hak asasi warganya telah terpenuhi.

Ketiga, kewajiban generik. Negara memiliki kewajiban untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya.

Berkaitan dengan itu, kebijakan anggaran adalah instrumen penting yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan kewajiban negara (state obligations) di atas. Kebijakan anggaran adalah ranah strategis yang menentukan seberapa jauh pemenuhan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi warga negara bisa dicapai. Ada 2 aspek pemenuhan hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah, yaitu progressive realization dan full use of maximum available resources. Progressive realization berarti kewajiban pemerintah untuk terus-menerus meningkatkan pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya rakyatnya. Sedangkan full use of maximum available resources memiliki makna kewajiban bagi pemerintah untuk menggunakan semaksimal mungkin sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya untuk pemenuhan hak asasi rakyatnya.

Perwujudan aspek progressive realization dalam kebijakan anggaran pemerintah adalah berupa kewajiban pemerintah untuk terus-menerus meningkatkan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan sosial. Peningkatan alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial ini merupakan kenaikan nilai riil bukan hanya kenaikan untuk menyesuaikan inflasi. Pendek kata, dana yang dialokasikan untuk anggaran kesejahteraan sosial tahun ini mampu untuk membeli lebih banyak barang dan jasa kebutuhan rakyat dibandingkan tahun lalu.

Realisasi aspek full use of maximum available resources dalam kebijakan anggaran adalah kewajiban bagi pemerintah untuk semaksimal mungkin menggunakan sumber-sumber pendapatan anggaran pemerintah bagi pembelanjaan yang terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia seperti pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan dan lain-lain. Berarti bila pemerintah mengalokasikan anggaran belanja untuk proyek fiktif dalam porsi besar sementara anggaran kesehatan untuk ibu dan anak sangat kecil, maka pemerintah telah melanggar aspek pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya ini.

Tak dapat dimungkiri bahwa alokasi dana APBD untuk pemenuhan hak asasi manusia selalu sedikit. Rinto Andriono dari IDEA memaparkan beberapa data yang menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial masih sangat rendah. Alokasi anggaran untuk pendidikan tahun 2003-2004 di beberapa kabupaten di Indonesia nampak sebagai berikut: Bantul (6,7%), Bulukumba (2,7%), Sleman (4,2%), Makassar (5,4%), Kebumen (5,8%). Padahal Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mensyaratkan alokasi anggaran 20% dari APBD untuk anggaran pendidikan.

Alokasi anggaran untuk kesehatan di beberapa kabupaten di Indonesia tampak sebagai berikut: Bantul (6,3%), Kupang (4,7%), Kulon Progo (10,8%), Lampung Timur (8,87%). Padahal retribusi pelayanan kesehatan yang dibayar masyarakat marjinal ketika berobat di Puskesmas dan RSUD merupakan penyumbang dana APBD nomor wahid. Tak heran bila Rinto Andriono berkelakar bahwa kita sebenarnya hidup dari keringat orang-orang sakit.

Dalam salah satu sesi diskusi saat workshop Meliput Anggaran Publik itu, peserta diberi contoh anggaran di NTT dan mencari kemungkinan penyelewengan anggaran tersebut. Saya dan beberapa teman mendiskusikan anggaran Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Ende tahun 2007. Dari anggaran dalam setahun itu, kami menemukan bahwa 70% anggaran dimanfaatkan untuk kepentingan aparatur seperti biaya perjalanan, operasional kantor, ATK, makan, dan lain-lain. Hanya 30% yang pro rakyat seperti pembuatan akte kelahiran, foto KTP.
Dari 30% ini pun tidak semuanya untuk rakyat, toh di beberapa daerah untuk foto KTP rakyat masih harus bayar, begitupun akte kelahiran. Padahal sudah ada anggaran untuk itu. Ini berarti, anggaran setahun itu sangat tidak pro rakyat.

Lantas, di manakah komitmen untuk mengutamakan kebutuhan dan kepentingan rakyat? Toh, alokasi anggaran lebih banyak dihabiskan untuk aparat pemerintah ketimbang untuk rakyat.

Celah korupsi
Ideal anggaran yang sensitif HAM sebagaimana dipaparkan di atas ternyata susah untuk ditemukan dalam keseharian praktik pemerintahan kita seperti pada beberapa contoh yang juga telah dikemukakan sebelumnya. Korupsi dana APBD terjadi secara meluas dan sistemik. Korupsi terjadi dalam mendapatkan dana dan sekaligus dalam membelanjakan dana APBD. Korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah, DPRD dan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap dana APBD seperti pihak swasta yang ingin memenangkan tender proyek. Korupsi itu disebabkah oleh salah satunya masyarakat tidak dapat berpartisipasi dan tidak memiliki akses terhadap dokumen APBD.

Seperti karung beras yang bolong, anggaran daerah bocor sepanjang jalan: mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, mulai dari pengumpulan hingga pemakaian. Pos pendapatan disunat, pos belanja digelembungkan. Tim AJI Jakarta dalam buku Melawan Korupsi (2007: 61) mengemukakan celah-celah korupsi dalam penyusunan hingga pelaksanaan APBD sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Januari-Februari: menjaring aspirasi publik. Selama bulan-bulan ini kepala desa sibuk menggelar �Musyawarah Perencanaan Pembangunan� di tingkat desa. Dalam pertemuan ini kepala desa atau lurah minta warganya mengusulkan proyek yang mereka inginkan. Hasil musyawarah itu dibawa ke kecamatan. Di sini usulan dari desa disaring ulang: apakah kebutuhan itu mendesak? Apakah bermanfaat untuk kepentingan banyak orang? Pada tahap ini, prioritas pembangunan kecamatan ditegaskan kembali. Sayang, meskipun aturannya terkesan bottom up, pada kenyataannya hasil musyawarah jarang mencerminkan aspirasi warga desa. Yang sering terjadi, rumusan di desa merupakan daftar keinginan para elite, seperti kepala desa dan BPD

Maret: pupusnya usulan publik. Sekitar bulan ini rancangan pembangunan kecamatan dijadwalkan telah rampung dan diserahkan pada dinas terkait di kabupaten. Di sinilah suara arus bawah tersesat dalam belantara birokrasi dan kepentingan elite politik. Soalnya sederhana saja. Sebagai daerah otonom, setiap kabupaten telah memiliki semacam �GBHN� berupa rencana pembangunan jangka panjang. Acuan yang disusun Bappeda itu disusun berdasarkan jargon 'pembangunan berkesinambungan'. Repotnya, acuan yang disahkan DPRD ini tak dibuat melalui uji publik. Maksudnya, warga tak diberi kesempatan memberikan masukan atau partisipasi apapun dalam cetak biru pembangunan itu.

Selain itu, ada rencana pembangunan jangka menengah yang merupakan agenda bupati atua walikota terpilih. Agenda ini erat kaitannya dengan janji politik yang dijual saat kampanye
pemilihan kepala daerah. Dokumen inilah yang menjadi pedoman bagi para kepala dinas ketika menyusun rencana kerja masing-masing. Repotnya, dokumen ini seringkali melenceng dari acuan yang disusun Bappeda. Di sinilah letak potensi penyimpangan perumusan APBD: bupati dan walikota repot menyelaraskan kebutuhan desa, target kerja dinas terkait, acuan Bappeda, dan janji politiknya sendiri. Pada umumnya, dalam kasus-kasus seperti ini, kepala daerah cenderung mengejar kepentingan popularitas (realisasikan janji politiknya) ketimbang mengakomodir usulan warga dan tunduk pada kerangka rencana pembangunan jangan panjang.

Juni-Juli: aliran dana dari pusat. Pada pertengahan tahun mulailah digelar rapat koordinasi persiapan anggaran yang melibatkan Bappeda, berbagai dinas di daerah, dinas pendapatan, bagian keuangan serta sekretaris daerah. Pada bulan ini ketika Bappeda membahas rencana anggaran satuan kerja, kepala daerah akan menerbitkan Kebijakan Umum Anggaran. Isinya: proyeksi anggaran tahun berikutnya. Salah satu sumber keuangan yang penting adalah dana alokasi khusus dan dana alokasi umum yang besarnya ditentukan pusat. Untuk menjala dana alokasi ini, bupati harus sering kali mondar mandir ke Jakarta untuk urusan lobi. Pada dasarnya, dana pemerintah pusat yang dikucurkan ke daerah terdiri dari empat jenis: dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil dan dana dekonsetrasi. Tiga yang pertama masuk APBD, sedangkan yang terakhir langsung dikirimkan dari departemen kepada dinas terkait di daerah.

September-Oktober: persiapan anggaran. Pada bulan ini akan keluar dokumen hasil sinkronisasi antara Rancangan Anggaran Satuan Kerja dan Kebijakan Umum Anggaran. Berdasarkan ini bupati menyusun nota pengantar keuangan RAPBD. Nota ini disampaikan kepada DPRD. Di sinilah lobi-lobi ketat dan negosiasi kembali terjadi, misalnya untuk mengubah besaran anggaran untuk proyek tertentu. Seluruh proses pembahasan anggaran di Bappeda berlangsung dalam rapat tertutup. Di sinilah sering terjadi proses �dagang sapi� antara kepala dinas dengan Bappeda untuk menggolkan proyek yang mereka inginkan. Seringkali kepala dinas bahkan sudah punya 'kontrak' dengan kontraktor/rekanan swasta sebelum anggaran disetujui.

November-Desember: rapat-rapat pengesahan. Setelah bupati atau walikota memasukkan Nota Pengantar Keuangan RAPBD pada bulan November ke DPRD, maka proses pengesahan anggaran pun dimulai. Rapat-rapat marathon antara komisi-komisi di DPRD dan kepala-kepala dinas mulai digelar. Rancangan anggaran kembali dibongkar, dicoret dan �disesuaikan�. Di tahap ini, potensi korupsi yang paling umum terjadi adalah suap dari kalangan eksekutif yang tak ingin rencana proyeknya diotak-atik anggota DPRD. Bentuk suap bermacam-macam. Selain uang tunai, suap bisa berupa usulan kenaikan tunjangan dan fasilitas untuk anggota DPRD. Potensi korupsi yang lain adalah dalam penggunaan dana perimbangan, DAK
dan DAU.

Tahun berikutnya: pelaksanaan anggaran. Dalam tahap ini ada sejumlah trik untuk membobol anggaran. Pertama, tender fiktif. Tender digelar dengan berita acara palsu, seolah-olah pemenang tender telah melalui proses yang seharusnya.

Kedua
, tender yang diikuti dengan subkontrak. Ada modus lain, pemenang tender men-subkontrakkan pekerjaannya. Ini bisa menjadi persoalan serius jika perusahaan pelaksana ternyata tak punya kualifikasi untuk mengerjakan proyek.

Ketiga, memainkan spesifikasi barang. Ini cara lama yang muncul dengan berbagai variasi. Resepnya sama: dinas sebagai pemilik proyek memberi 'arahan' pada barang produksi perusahaan tertentu, misalnya mobil dengan spek dari perusahaan tertentu.

Keempat, memainkan 'harga jasa' atau konsultasi. Korupsi anggaran lebih sulit dideteksi jika yang dimainkan adalah proyek pengadaan jasa misalnya pelatihan, konsultasi atau seminar. Jasa konsultan mudah mendikte dinas pemerintah dalam penentuan harga.

Kelima
, duplikasi anggaran. Ini trik lama tapi masih sering dipakai karena sulit ketahuan. Pos perjalanan dinas anggota DPRD, misalnya dialokasikan sekaligus pada beberapa dinas, selain tentu saja muncul dalam pos operasional DPRD. DPRD sering �menitipkan� anggarannya
pada dinas-dinas.

Keenam, memakai tangan perusahaan siluman. Modus lain, pengadaan jasa oleh perusahaan tak berkualitas. Misalnya, dengan cara menggelar pelatihan dengan menyewa lembag training tak bermutu dan karena itu mau dibayar murah. Sering terjadi, duapertiga biaya kursus masuk kembali ke kantong para pejabat.

Ada begitu banyak celah korupsi mulai dari penyusunan hingga pelaksanaan APBD. Apakah kita tetap menjadi rakyat yang tidak mau tahu dengan semuanya itu? Ataukah kita tergerak untuk turut memantau dan terlibat dalam proses perencanaan, penyusunan hingga pelaksanaan anggaran publik itu? Semuanya kembali kepada kita. Sudah saatnya rakyat bangun dari tidur panjang ketakpedulian pada anggaran. Dan yang lebih penting dari itu adalah agar kita juga tidak tepeleset pada celah-celah korupsi yang sama. Mari kita pantau APBD kita dan jadilah
rakyat yang melek anggaran publik.

*Jebolan STFK LEdalero. Saat ini Koordinator Program
ACILS-LPA NTT.

No comments: