Thursday, April 10, 2008

Neotradisional Pertanian: Sebuah Pilihan (2)

Oleh: Alexander Yopi Susanto*

Pertanian organik itu dapat terwujud kalau ada keterkaitan yang erat antara keanekaragaman hayati, pertanian ekologi, serta pengetahuan tradisional petani-petani di seluruh dunia. Tak pelak, pertanian organik dapat berkontribusi pada ketahanan pangan jika dikaitkan dengan budaya (wisdom local), hak atas tanah lokal, dan komunitas adat. Industrialisasi di bidang pertanian tidak boleh sampai meninggalkan bahkan memarginalkan komunitas adat. Karena itu, paradigma pertanian organik mesti juga menyentuh advokasi kebijakan untuk menggerakkan masyarakat adat dan petani kecil lokal. Termasuk di dalamnya, memikirkan keseimbangan antara ekspor impor pangan dan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Multikultur

Lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Filosofinya multikultur.

Tanaman ditanam pada bedeng-bedeng dengan ukuran bervariasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Di sekeliling bedeng di tanam strip rumput untuk mengurangi erosi. Dan di atas bedeng tersebut ditanami jenis tanaman tumpang sari. Seperti misalnya, lobak, bawang daun dengan kacang tanah dalam satu bedengan. Demi menjaga unsur hara, para petani perlu konsisten mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar atau kompos). Juga dengan memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang). Sistem pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedeng. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.


Teknologi Pertanian Organik

Masalah yang sering ditemui adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Teknologi penyiasatan masalah ini bertumpu pada peran mikroba tanah. Pertama, mikroba tanah itu berperan dalam mengikat dan mengubah unsur nitrogen (N) menjadi tersedia bagi tanaman. Kemudian mikroba-mikroba itu menjadi pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Mikroba juga berperan dalam mengendalikan organisme patogen. Ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya menjadikan tanah kehilangan mekanisme bela dirinya. Jika kondisi timpang ini dapat diseimbangkan populasinya, hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.

Contoh sederhana, kotoran kambing yang dicampur dengan urine binatang tersebut tidak kalah dibanding urea. Kotoran kambing tersebut dihaluskan kemudian dicampur dengan urinenya. Setelah dua hari, kotoran kambing dan urine tersebut siap disiramkan ke tanaman. Atau untuk ulat pemakan daun, misalnya dapat diatasi dengan ramuan nabati dari lagundi (vitex trifolia) seberat 5 ons, bawang putih 2 ons, lengkuas 3 ons, brotoali (tinospora tuberculata) 4 ons, pinang (areca catechu) 1 buah, dan urine kambing 1 liter.

Di sini menjadi jelaslah sikap FAO dengan memberi tempat penting pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Bahwa pengetahuan para petani di seluruh dunia itu tidak kalah dari para peneliti berbasis perguruan tinggi. Sekalipun dengan catatan, perlunya penelitian yang intens dan lebih lanjut!

Hasil Penelitian

David Pimentel, guru besar pertanian dari Cornell University, Amerika Serikat menyimpulkan, “Pertanian organik menawarkan kelebihan nyata untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai.” Panen jagung dan kedelai untuk pertanian organik sama banyaknya dengan pertanian konvensional. Namun pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan lebih.

Untuk dua tanaman pangan ini, pertanian organik tidak hanya menggunakan energi fosil 30 persen lebih sedikit tetapi juga mengkonservasi lebih banyak air di tanah, mengakibatkan lebih sedikit erosi tanah, memelihara kualitas tanah, dan mengkonservasi sumber daya biologi, dibandingkan dengan pertanian konvensional. Kenyataan lain menunjukkan, sistem pertanian organik menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global di dalam tanah. Menguntungkan untuk sisi ekologis.

* Alexander Yopi Susanto adalah alumnus STFK Ledalero, anggota FAN, pernah bekerja pada beberapa perusahaan dan organisasi berbasis IT, Advokasi Pertanahan, MIGAS, Advokasi Anak, berdomisili di Jakarta

No comments: