Friday, March 28, 2008

Bantuan kemanusiaan yang kuratif dan aditif, akankah terus dipertahankan ?

Tanda-tanda jaman mulai terlihat ketika kemarau panjang masih belum hadir, namun bencana kelaparan dan kematian balita akibat kurang gizi sudah lebih dulu menerjang seperti halnya air bah di musim hujan. Berita demi berita menyangkut penderitaan rakyat di republik ini serasa tak pernah berhenti bagaikan lorong panjang yang tak berujung.

Tangisan para ibu miskin yang kehabisan airmata dan berganti menjadi darah, tatapan mata kuyu, sayu dan kosong anak-anak balita penerus negeri ini terus terpampang diberbagai media sebagai potret nyata kemiskinan Indonesia yang terus bergulir dan bertambah meski terus disangkal oleh para pelayan publik alias abdi negara dan abdi masyarakat (termasuk para pengusaha yang ramai-ramai berganti baju jadi penguasa/pejabat baik di legislatip maupun eksekutip) dengan dukungan berbagai data statistik dari para cerdik pandai yang gemar dengan permainan data.

Bahkan penetapan KLB (Kejadian Luar Biasa) suatu ledakan penyakit juga ditentukan oleh berapa banyak pasien yang terserang dan sudah berapa pasien yang meninggal? Seolah nyawa 1 (satu) orang sebagai manusia masih belum cukup untuk melakukan tindakan medis yang sangat dibutuhkan. Akankah nyawa manusia hanya dicacah berdasar statistik dan melupakan unsur kemanusiaannya ? Bukankah harkat & martabat manusia sebagai ciptaan tertinggi Tuhan YME harus terus ditingkatkan dan dihargai ?

Bantuan kemanusiaan darurat yang reguler ?

Sungguh menyayat hati namun sekaligus menggelikan ketika bantuan kemanusiaan yang bersifat darurat, sementara dan sifatnya segera/urgent berubah menjadi bantuan yang sifatnya reguler terus menerus dan yang lebih celaka lagi bantuan tersebut menjadi bersifat aditif (ketagihan) bagi yang menerimanya maupun pengelolanya seperti halnya para pecandu rokok, alkohol, narkoba, seks bebas dan sejenisnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua pihak yang peduli pada bencana kelaparan, namun dukungan bantuan berupa pangan (terutama beras) baik dari lembaga PBB, lembaga donor internasional maupun dari NGO Internasional dan juga RASKIN dari pemerintah terasa menina-bobokkan dan menjadikan masyarakat penerima bantuan kurang tangguh dalam berjuang mengatasi masalah pangan dalam dirinya dan mengikis semangat untuk bangkit mandiri berdikari dalam pemenuhan pangannya. Bukankah semut dapat mati dalam timbunan gula dan tikus mati dalam lumbung padi ? Jadi perlu dikaji secara jernih dan cerdas apakah penanggulangan pangan dengan memberi bantuan pangan dalam jangka panjang merupakan solusi terbaik, atau ada solusi yang lebih berlanjut dalam jangka panjang seperti yang dilakukan Grameen Bank di Bangladesh dengan memperkuat permodalan untuk pelaku ekonomi rakyat.

Patut dipertanyakan secara kritis mengapa bantuan yang bersifat darurat, segera dan dalam jangka pendek kemudian berubah menjadi reguler ? Ada apa dengan semua ini ? Apakah benar sinyalemen bahwa saat ini bencana telah diproyekkan dan menjadi sumber pundi-pundi keuangan bagi para pengelola yang korup dan tak berperi-kemanusiaan seperti halnya judul sebuah novel yang terkenal yakni “Sengsara membawa nikmat “ dimana rakyat sengsara, namun pengelola bencana merasa nikmat ? Padahal kita tahu Indonesia yang mendasarkan pada Panca Sila telah secara tegas dalam sila-silanya untuk mendasarkan sikap kita pada “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.

Ketika terjadi penyunatan, pemotongan, penggelapan dana bantuan kemanusiaan, apakah para pengelola masih berani menyatakan sebagai seorang Pancasilais sejati ? Apakah seseorang yang melakukan tindakan nista tersebut masih boleh disebut beradab ketika tindakan korupsinya membuat peradaban manusia semakin menunjukkan wajah kebinatangannya?

Lalu dimana tanggung jawab pemerintah (pusat maupun daerah) sebagai penyelenggara negara dalam layanan publik yang didengang- dengungkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ? Kemanakah hasil kerja para dinas-dinas kemakmuran rakyat yang telah disediakan dana dalam jumlah yang cukup besar, sarana berupa kamtor, mobil dinas, staf yang terus bertambah jumlahnya maupun terus ditingkatkan jenjang pendidikannya melalui biaya dinas ? Tanggung jawab seperti apa yang dapat rakyat tagih kepada para dinas-dinas kemakmuran dalam upaya mensejahterakan rakyat yang telah membayar pajak ?

Slogan “Rakyat bijak membayar pajak dan awasi penggunaannya” masih belum cukup dan harus dilanjutkan dengan “Pemerintah bijak sejahterakan rakyat”.

Wajah busung lapar, bencana alam beruntun (banjir, longsor, bencana asap dll) , rusaknya jalan desa/kota karena longsor , mahalnya sembako dll menunjukkan ada yang salah dalam mengelola layanan publik untuk mencukupi kebutuhan dasar rakyat. Atau dengan kata lain telah terjadi kegagalan dalam mencapai kinerja/ performance seperti harapan rakyat Maka wajar apabila layanan publik yang buruk perlu digugat oleh rakyat yang telah memberikan mandat kepada para pejabat dan pelayan publik untuk mewujudkan rakyat yang sejahtera . Tidak bisa lagi kita hanya pasrah dan menyalahkan semua penyebab bencana kepada alam yang kurang mendukung seperti curah hujan yang tinggi ataupun rendah , badai, musim kemarau panjang dll. Bukankah sudah tersedia teknologi yang cukup untuk mengatasi atau minimal mengurangi kemungkinan terjadinya bencana tersebut ? Kata mitigasi seharusnya sudah akrab dengan para pelayan publik. Kebiasaan bertindak re-aktip harus diubah kearah pro-aktip dengan mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan dini melalui berbagai kegiatan yang direncanakan dengan matang.

Kita bisa belajar dari kota-kota besar di Belanda yang meski berada dibawah permukaan laut namun tidak kebanjiran ?

Atau kita bisa belajar dari Thailand dimana teknologi pangan dan pertanian telah mampu menjadikan pertanian sebagai sebuah industri yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani ?

Atau kita bisa belajar dari Israel yang mengubah padang gurun menjadi areal perkebunan sayur nan hijau ?

Mencegah lebih baik dan lebih murah daripada mengobati ?

Inilah sisi buram dari republik yang didera krisis karena kebiasaan masyarakat yang menginginkan jalan pintas dan mau serba instant/cepat tanpa mau mempedulikan proses. Kehidupan telah mengajarkan bahwa untuk berhasil dan maju harus melalui tahapan proses. Anak manusia lahir setelah berproses selama 9 (sembilan) bulan dalam perut si ibu. Jadi sangat wajar apabila kita saat ini menghadapi krisis yang berkepanjangan karena sebagian besar tidak mau berproses secara wajar.

Korupsi yang merupakan kejahatan kemanusiaan dan pengingkaran terhadap keimanan pada TUHAN merupakan wujud dari tidak maunya para koruptor yang masih bebas berkeliaran dinegeri ini untuk berproses dalam memperoleh uang/kekayaan dan memilih jalan short cut yang akhirnya memotong dana –dana untuk penanggulangan kemiskinan sehingga angka kemiskinan terus bertengger di puncak dan tidak mau turun.

Kebiasaan memberi bantuan pangan langsung dalam jangka panjang maupun BLT secara reguler dan bukan bersifat darurat dan sementara, menunjukkan cara berpikir kuratif yang aditif karena tidak mau susah dengan proses pemberdayaan masyarakat yang selain butuh dana, juga butuh hati , waktu, tenaga dan komitmen tinggi untuk kebangkitan masyarakat menuju berdaya.

Sebagai misal penanggulangan kelaparan tidak bisa hanya didekati secara sektoral dan harus secara holistik/integral. Sebenarnya pemerintah pusat melalui program PNPM telah mengarah kesana, namun yang menjadi pertanyaan apakah para pelaksana di lapangan sudah paham arahnya, atau mereka tidak mau tahu karena lebih mudah melaksanakan program melalui pendekatan sektoral yang berpeluang bisa setor uang ke saku ?

Betapa mahal biaya perawatan untuk anak yang terlanjur terkena Marasmus atau Faskyakor dibanding kalau seandainya semua pihak mau bersinergi melalui pendekatan integral dalam mencukupi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat.
Pendekatan kuratif selain mahal juga sering tidak bisa mengembalikan potensi anak pada keadaan semula sebelum terkena marasmus.

Berapa banyak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat ketika banjir bandang menerjang, baik kerugian berupa nyawa, harta, psikis, tenaga, pikiran yang semuanya berujung pada penghilangan atau pengurangan asset.kekayaan masyarakat.

Seandainya dinas-dinas terkait seperti perkebunan, kehutanan, pertanian, kesehatan , koperasi, perdagangan dan perindustrian , kimpraswil dll mau duduk bersama dan merancang program pengelolaan SDA dari hulu sampai hilir (pasar) secara integral dan meninggalkan ego sektoralnya maka kita tidak perlu lagi kita hilir mudik kesana kemari untuk mencari para penderita busung lapar, TBC, kurang gizi , gangguan jiwa dll.

Mari kita tengok, seandainya para PL dari dinas kehutanan, pertanian, perkebunan secara sungguh-sungguh bersama-sama mau mendapingi petani untuk mengelola lahannya secara menetap dan tidak melakukan tebas bakar dengan menerapkan pola Wana tani (tidak hanya jagung dan padi ladang) , seandainya semua lahan dilakukan konservasi tanah dan air, seandainya petani mau menanam TUP (Tanaman Umur Panjang) seperti kayu-kayuan diatas bukit maka banjir dan kekeringan akan menjauh dari kita.

Seandainya masyarakat tani diorganisir oleh dinas perdagangan dan perindustrian dalam pemasaran hasil pertaniannya dan tidak terjebak dalam ijon/rentenir sehingga mendapat harga yang layak yang berakibat pada meningkatnya pendapatan yang dapat untuk membeli susu dan telur untuk anaknya maka busung lapar dan kematian balita akibat kurang gizi tidak perlu terjadi lagi

Seandainya dinas koperasi mengajarkan cara berpikir bisnis/usaha dan pola hidup hemat sehingga tidak ada lagi pesta yang berlebihan, seandainya dinas kesehatan menyampaikan akan bahayanya ‘sopi’ atau minuman alkohol lainnya bagi kesehatan tubuh kita dan lebih baik untuk membeli “sapi” , seandainya ………….. maka kejadian kelaparan, sakit liver, hutang melalui rentenir , kejadian banjir, kekeringan, dan bencana lainnya tidak perlu terjadi.

Seandainya banyak Pemkab lebih mau bersabar untuk tidak terlalu cepat melakukan pengadaan kendaraan/mobil dinas dalm jumlah yang berlebihan dan mengalokasikan pendanaan SPJ yang diambil dari APBD untuk perjalanan dinas keluar daerah/negeri yang sering tidak jelas hasilnya dan mau lebih fokus serta berani menanamkan investasi APBDnya kepada infrastruktur yang mendukung pada kecukupan pangan dan pemasaran hasil pertanian seperti embung/dam/waduk , jalan desa beraspal dll maka rintihan para korban bencana akan terkurangi dan diharapkan tidak ada lagi , digantikan dengan sorak sorai anak-anak yang terlihat sehat, montok karena kecukupan gizinya, penggembala sapi yang dengan riang ria menuntun sapi-sapinya pulang ke kandang karena tidak ada lagi ternak yang dibiarkan lepas dan liar, senyum para ibu yang sedang menumbuk padi ladang dengan iringan musik dangdut atau sedang menanak “ jagung bose” aaaaaaaaaaaaah alangkah indahnya

Terkaget dan tidak disadari terjaga dari lamunan panjang, wah capek deh memikirkan bencana dinegeri ini. Lebih enak sambil rebahan di ranjang mendengarkan lagu anak gaul EGP (Emangnya Gue Pikirin) atau mendendangkan hit terbaru Ratu yang telah diubah syairnya :
Ketika rakyat lapar, kuingat pemerintah
Ketika beberapa balita mati, kuingat koruptor yang sedang berpesta pora
Ketika banjir terjadi, kuingat ilegal logging
Ketika kekeringan terjadi, kuingat tebas bakar
Ketika sembako mahal, kuingat wakil rakyat yang hanya pandai memperkaya diri
Ketika hati nurani para pejabat mati, kuingat diri sendiri yang tidak berbuat apapun untuk sesama dan negeri ini.

Tuhan ampunilah, sebab aku tak tahu apa yang harus kuperbuat

YBT Suryo Kusumo; tony.suryokusumo@gmail.com

Tuesday, March 25, 2008

Menangkal “INVESTOR” seolah-olah berwajah “kerakyatan” di NTT

Oleh: YBT Suryo Kusumo

Menarik sekali ketika kita mencoba mengamati opini para cerdik pandai dan juga berita yang gencar akhir–akhir ini mengenai rencana masuknya para investor dari luar ke NTT dengan dana mencapai trilyunan rupiah sebagai solusi dalam mengatasi kemiskinan di NTT.

Digambarkan dengan sangat mengesankan seolah-olah dengan masuknya para investor maka ‘mesin ekonomi’ NTT akan berputar lebih kencang yang akan berakibat pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan pengurangan angka kemiskinan secara nyata/ signifikan dan disertai peningkatan kesejahteraan masyarakat .
Masyarakat NTT akan menerima dampak positip dari adanya penanaman modal oleh investor baik berupa tersedianya lapangan kerja, pertambahan penerimaan pajak untuk peningkatan PAD, perputaran uang di NTT dll.

Para investor dengan cerdik dan lihai akan terus berupaya meyakinkan para pejabat dan masyarakat NTT bahwa merekalah dewa penolong yang telah lama dinanti-nantikan oleh masyarakat dan saat ini telah tiba dihadapan masyarakat seperti layaknya Sinterklas yang selalu ditunggu anak-anak untuk mendapat bingkisan NATAL.

Semua kalkulasi dan keuntungan yang bakal diperoleh masyarakat NTT akan dipaparkan lewat presentasi bisnis sehingga semakin memabukkan dan membawa para pejabat melayang layang bagaikan sudah serasa berada di nirwana. Terbayang masyarakat NTT akan ‘gemah ripah loh jinawi alias makmur tiada tara’ karena bumi dan kekayaan alam NTT akan diolah dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat NTT yang sudah bosan dengan kesulitan hidup yang berkepanjangan dan selalu dikonotasikan dengan serba ketinggalan.

Dalam NTT online diberitakan sejumlah investor Jepang yang tergabung dalam kelompok kerja (working group) New Develoment Organization (NEOD) dan Japanese External Trade Organizatioan (JTERO), menggandeng Jatropha Timor Group (JTG) untuk mengembangkan tanaman jarak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai hahan bakar nabati.

Di lain edisi
, NTT online memberitakan investor yang tergabung dalam Merhavv Group Israel telah menyiapkan 700 juta dolar AS atau sekitar enam triliun rupiah untuk pengembangan tanaman jarak pagar (jatropa curcas) di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut dia, jatropa yang hendak dikembangkan di Kabupaten Kupang untuk tahap awal mencakup 50 ribu hektare dengan dukungan dana 350 juta dolar AS atau sekitar tiga triliun rupiah. Direncanakan, pengembangan jatropa di Kabupaten Kupang mencakup 100 ribu hektare sehingga dana yang disiapkan sebanyak 700 juta dolar AS atau sekitar enam triliun rupiah.

Sementara di edisi lain NTT online Wagub Lebu Raya menyarankan para petani di Sumba Timur untuk mengembangkan tanaman jarak pagar (jatropha) sebagai sumber energi alternatif masa depan pengganti solar.
“Kita memiliki sebuah cita-cita untuk menjadikan semua desa di NTT sebagai penghasil energi alternatif (desa mandiri energi) karena daerah kepulauan ini sangat cocok bagi pengembangan tanaman jarak,” katanya.

“Kesulitan yang dihadapi saat ini adalah pembibitan sehingga pengembangannya masih terbatas,” katanya dan menambahkan bahwa PT Rajawali Nusantara Indonesia dalam waktu dekat akan mengembangkan tanaman jarak pada lahan seluas 100 hektare di Sumba Timur.
“Perusahaan ini tidak hanya mengembangkan tanaman jarak tetapi juga membangun pabrik untuk mengolahnya menjadi sumber energi alternatif,” kata Yuspan Pasande.
Mengapa investor mau datang ?

Siapapun investornya, manfaatnya harus dirasakan oleh masyarakat NTT ! demikian kira kira yang harus ditekankan pada arti penting masuknya investor dari luar, sama seperti bunyi iklan ‘Apapun makanannya, minumnya tetap …..”.

Yang menarik bagi kita dan harus dicari tahu informasinya adalah mengapa para invesor mau datang dan menanamkan modalnya di NTT ?

Dalam pikiran seorang pembisnis maupun investor, maka perhitungan ‘harus mendapat untung’ menjadi fokus dan prioritas dalam memutuskan apakah akan menanam modal disuatu tempat.atau tidak. Sangat naif jika seorang investor datang ke suatu daerah hanya bertujuan untuk membantu masyarakat tanpa memperoleh keuntungan apa-apa.

Jadi yang harus menjadi perhatian dan dikritisi oleh masyarakat adalah:

*Apakah keuntungan yang akan diperoleh masyarakat sudah sebanding dengan apa yang akan diperoleh investor , yang berarti ada pembagian yang adil ?
*Apakah pengurasan sumber daya alam yang akan dilakukan investor tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang yang jelas akan merugikan masyarakat dalam jangka panjang ?
*Apakah teknologi yang digunakan mampu dikuasai oleh kalangan muda terpelajar di NTT sehingga mampu menyerap tenaga terdidik lokal ?
*Apakah investor memberikan nilai tambah, misalnya usahanya tidak hanya mengambil bahan mentah namun mengolahnya menjadi bahan setengah jadi.
*Apakah saham kepemilikan juga diberikan kepada masyarakat berupa ‘saham kosong’ sehingga masyarakat disekitar kegiatan investasi merasa memiliki dan ada keterkaitan secara psikis maupun ekonomi dengan keberlanjutan usahanya.
*Apakah CSR (Coorporate Social Responsibility) yang dilakukan investor benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat atau hanya sekedar polesan/lipstik yang hanya untuk menenangkan dan menyenangkan warga secara instant ?


Rakyat sebagai investor harus memiliki saham

Rakyat atau masyarakat NTT sudah selayaknya memperoleh lebih banyak manfaat dan keuntungan dari keberadaan SDA yang akan dikelola investor. Sudah bukan jamnnya lagi terjadi penindasan dalam segala bentuknya untuk terus mengelabuhi masyarakat akan arti penting kehadiran investor di NTT.

Cukup satu kali saja kehadiran VOC dan jangan ada lagi ‘VOC-VOC baru’ yang menjajah secara ekonomi dan menjadikan NTT ‘ladang pembantaian’ atas nama peningkatan PAD Propinsi maupun Kabupaten dan alasan logis lainnya seperti terbukanya lapangan kerja, meningkatnya perputaran uang dll.

Kita harus terus mengkritisi apakah para investor yang datang memang berniat mulia membangun NTT dengan tetap mengambil “keuntungang yang wajar” atau mereka yang datang merupakan sejenis mahluk ‘serigala berbulu domba’ yang siap menerkam dan menguras habis kekayaan yang dimiliki NTT, baik berupa SDA atau tenaga kerja yang murah ?

Sudah saatnya masyarakat disekitar lokasi usaha, dipastikan menjadi bagian dari kepemilikan saham usaha investor yang ada didaerahnya, dengan cara investor memberi saham kosong dalam prosentase yang memadai (misal 20 %) yang nantinya SHU dari saham tersebut dapat menjadi sumber pendanaan pembangunan desa/ daerah dalam jangka panjang maupun untuk menambah permodalan koperasi yang dimiliki masyarakat. Koperasi ini dapat bekerja sama secara sinergis dalam mencukupi kebutuhan usaha investor sehingga tejadi solusi yang menang- menang (win-win solution). Diharapkan dengan adanya penyertaan saham dari masyarakat maka dukungan dan jaminan kelestarian usaha akan lebih mudah terwujud tanpa harus terjadi tindakan anarkis dari masyarakat yang merugikan semua pihak karena manfaat dan kontribusi positip dari keberadaan usaha tersebut.

Pengembangan koperasi rakyat

Keberadaan usaha investor dalam suatu daearh sudah selayaknya harus memacu penumbuhan jiwa wirausaha masyarakat setempat melalui berbagai peluang yang diciptakan, pelatihan yang diberikan mengenai bisnis dai investor sebagai bagian dari penerapan CSR, dan sebaiknya investor juga diharapkan mampu mendukung pengembangan koperasi rakyat yang dapat dijadikan mitra kerjanya dalam jangka panjang.

Jika investor mampu menfasilitasi pengembangan koperasi, maka manfaat yang dirasakan masyarakat akan semakin berlipat karena nilai tambah yang diberikan baik dari aspek peningkatan kecerdasan finansial/keuangan, peningkatan jiwa wirausaha dan membantu meningkatkan kemampuan manajerial masyarakat khususnya bagi pengelola koperasi. Sudah saatnya masyarakat bangkit kemandirian ekonominya melalui koperasi sehingga kemitraan yang terbangun antara investor dan koperasi mampu meningkatkan dan mempercepat perkembangan perekonomian didaerah tersebut, selain memberi lapangan kerja. Yang terpenting dari keberadaan investor adalah penularan virus wirausaha, memperkenalkan manajemen modern yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas, kedisiplinan, dan etos kerja yang tinggi dalam rangka mencapai produktiviats yang tinggi. Selain itu, koperasi dapat menjadi badan usaha bisnis masyarakat untuk meningkatkan posisi tawar dalam menjual hasil komoditi pertaniannya.

Belajar dari kegagalan proyek–proyek yang ada di NTT dalam menanggulangi kemiskinan

Dalam NTT online
Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya menegaskan, selama ini tidak ada koordinasi yang jelas antara instansi-instansi yang menangani masalah kemiskinan.
Akibatnya, setiap kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan di daerah tidak membawa perubahan signifikan dalam membantu rakyat keluar dari kemiskinan, kata Lebu Raya yang Wakil Gubernur NTT itu, di Kupang, terkait penanganan masalah kemiskinan di NTT.

Kebersamaan adalah hal penting dalam mencapai suatu tujuan bersama yakni terciptanya manusia NTT yang memiliki daya saing tinggi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terciptanya rasa keadilan bagi rakyat. Lebu Raya menambahkan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Miskin (PNPMM) yang dicanangkan Menko Kesra Aburizal Bakrie pada Agustus lalu merujuk pada satu ide dasar bahwa dalam membangun, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sejak dini menjadi hal yang penting.

Masyarakat harus diberi ruang untuk mengambil bagian sejak awal perencanaan suatu kegiatan sampai pada pelaksanaan dan pengawasan. “Ini yang disebut kebersamaan untuk mencapai satu tujuan bersama yakni mengurangi angka kemiskinan,” katanya.
Jumlah rumah tangga miskin (RTM) di NTT sesuai dengan hasil survei dan telah melalui proses verifikasi pada tahun 2005 sebanyak 623.137 atau sekitar 65,42 persen (garis tebal dan miring oleh penulis) . Presentasi RTM tertinggi terdapat di Kabupaten Kupang yang mencapai 86,67 persen, Rote Ndao 86,66 persen dan Sumba Barat 83,55 persen.Sementara prosentase RTM terendah terdapat di Flores Timur 26,90 persen, Sikka 36,34 persen dan Ngada 37,72 persen.
Kompas memberitakan program pengentasan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur meski melibatkan lembaga-lembaga donor internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah lokal belum efektif. Ini dibuktikan masih tingginya jumlah penduduk miskin. Penyebabnya, tidak ada koordinasi antarlembaga dan penanganan masih bersifat parsial.
Masalah itu terungkap dalam rapat koordinasi pemerintah kabupaten/kota dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan utusan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi pemerintah dan nonpemerintah luar negeri, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM), Selasa (18/5) di Kupang.

Jumlah penduduk miskin di NTT sekitar 1,21 juta jiwa atau 30,74 persen dari total jumlah penduduk. Dr Fred Benu dari Universitas Nusa Cendana menjelaskan, permasalahan dasar pembangunan di NTT adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Penyebabnya, antara lain, tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya tingkat pendidikan dasar dan derajat kesehatan, rendahnya kinerja perekonomian rakyat dengan infrastruktur yang terbatas.

Meski program pengentasan kemiskinan sudah berjalan sejak periode pembangunan jangka panjang pertama (era Orde Baru), menurut Fred Benu, masalahnya tidak pernah tuntas. Hal ini diduga kuat karena programnya bersifat parsial, tidak mencakup aspek dan dimensi kemiskinan.

Dilain edisi NTT on line diberitakan Wakil Presiden (Wapres) RI, Jusuf Kalla menantang rakyat Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, agar selama tiga tahun ke depan menanam 50 juta anakan jambu mete. Jika tantangan ini berhasil dipenuhi, maka di tahun ketiga pemerintah pusat membantu membangun industri pengolahan mete di NTT.

Wapres Kalla menegaskan bahwa orang NTT adalah pekerja keras. Karena itu, kata dia, sebaiknya jangan menjadi kuli di Malaysia tetapi harus menjadi tuan tanah di daerah sendiri dengan menanam jambu mete, sukun dan jarak.

“Saya justeru menantang Pak Gubernur NTT, apakah bisa dalam tiga tahun itu dapat ditanam 50 juta anakan jambu mete. Pemerintah pusat siap untuk membantu. Saya juga minta Gubernur NTT agar mulai tahun depan sudah harus ada pengembangan tanaman jarak,” tandas Wapres Kalla pada acara Pencanangan Peningkatan Produktivitas Pertanian di Desa Tesabela, Kupang Barat, Jumat (18/11).

Namun dalam NTT online sekitar 135 ribu batang anakan mente bantuan Wakil Presiden (Wapres), Muhammad Yusuf Kalla, untuk petani di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diserahkan 18 November 2005 lalu, gagal tumbuh, antara lain akibat curah hujan tidak merata. “Penyebabnya beragam termasuk curah hujan yang tidak merata di lokasi tertentu,” kata Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Petrus Langoday, di Kupang, Kamis.
Meski pun demikian, katanya, proses penanaman mente bantuan pemerintah pusat guna mengatasi kondisi rawan pangan di NTT dapat dianggap sukses karena satu juta lebih anakan mente tumbu subur di sejumlah lokasi.

Saat itu, Wapres menyerahkan anakan jambu mente sebanyak 1.450.000 pohon senilai Rp 948.981.000 yang dihimpun Departemen Kehutanan. Wapres juga menyerahkan bantuan yang bersumber dari Departemen Kelautan dan Perikanan berupa gilnet sebanyak 45 unit, bibit rumput laut dan purse seine senilai Rp5 miliar.

Dari berita yang tersaji di atas yang menjadi pertanyaan sudah sejauh mana NTT berubah dengan mengenalkan dan mengajak investor yang tertarik dalam pengembangan jarak/Jatropha, penambangan, pengelolaan rumput laut, penanaman jambu mete, Aldira dll ?

Berita lain di Pos Kupang menyebutkan banyaknya kegagalan dalam pengembangan tanaman jarak dan yang terakhir adalah Aldira atau ubi kayu di Manggarai Barat yang telah menelan biaya milyaran rupiah dan berakhir sia-sia.


Saatnya kerja sama sinergis para-pihak (stake holders)?

Apa yang salah dengan semua bantuan baik dari pemerintah pusat, lembaga donor, akademisi, LSM (lokal dan internasional) dll dan modal yang ditanam dari kedatangan para investor ke NTT ?

Semuanya berkehendak baik agar NTT terlepas dari jebakan kemiskinan dan keluar sebagai pemenang menuju sejahtera.

Mari kita analisis secara sederhana, jika dilihat dari sudut dana/ uang dan bantuan berupa PMS (Project Material Support) ternyata NTT sebenarnya tidak lagi kurang kalau tidak boleh dikatakan berlebihan.

Lalu semuanya menguap kemana ?

Apakah karena kebijakan yang kurang pro rakyat, pengalokasian dalam APBD yang kurang untuk pembangunan infrastruktur dan lebih mengedepankan biaya untuk mobil dinas dan perjalanan dinas atau KKN yang begitu merajalela dan menggurita dan dibiarkan tanpa tersentuh tangan hukum sehingga tidak sampai ketangan rakyat miskin? Atau karena kemiskinan ini memang ditakdirkan oleh Yang maha Murah dan Maha Baik ?

Perlu ada kajian khusus yang melibatkan para-pihak (stake holder) dan masyarakat miskin dipimpin langsung oleh Wagub Drs Frans Lebu Raya sebagai Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk secara kritis dan bersama-sama mengkaji mengapa NTT belum keluar dari permasalahan klasik tentang kemiskinan, busung lapar, kekeringan, banjir dll serta mencari solusi terbaik bagi kemajuan NTT.

Sudah saatnya masayarakat NTT dipimpin oleh para leader/pemimpin berupa pejabat yang cerdas, baik hati, merakyat, mempunyai kemampuan manajemen pembangunan dan wawasan bisnis, mampu mengubah wajah masyarakatnya dengan tindakan nyata yang dapat terukur kemajuannya seperti turunnya angka pengangguran, menurunnya keluarga miskin, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, terpenuhinya kebutuhan dasar seperti bebas dari kelaparan, gizi buruk , bertambahnya jumlah desa mandiri (pangan, energi, kesehatan dll).

Sudah tidak lagi dibutuhkan pemimpin yang hanya berlagak sok dekat rakyat, mengobral janji-janji kosong, membagi kalender foto keluarganya sebagai bentuk kampanye terselubung, apalagi yang menggunakan uang untuk mendapat dukungan politik (money politic), menggunakan SARA untuk memperoleh dukungan dll.
Masyarakat NTT harus hijrah menjadi masyarakat yang rasional, cerdas dan pandai dalam memilih pemimpin yang benar-benar melayani seperti prinsip hidup mayoritas masyarakat NTT yakni KASIH yang tidak sombong/arogan, tidak memegahkan diri, tidak menyimpan dendam/kesalahan orang , panjang sabar dan sifat-sifat baik lainnya.Semoga


Penulis:
YBT Suryo Kusumo
dapat dikontak di: Tony.suryokusumo@gmail.com

Berita Duka: Poppy Pelapelapon

Telah meninggal dunia Ibu/Oma/Zus/Tanta Poppy Pelapelapon di Rumah Sakit (RS) St Carolus Jakarta, jam 10:35 pagi, tanggal 25 Maret 2008 WIB.

Pemakaman dilakukan hari Rabu, 26 Maret 2008, di Pemakaman Jati Petamburan.

Berita duka, dan obituari singkat dapat dibaca di: http://28oktober.net/2008/03/25/selamat-jalan-poppy/

Poppy salah seorang teman dekat di kelas 1X SMA Giovanni, dan Poppy adalah salah satu bintang dan atlit yang serba bisa di kelas kami. Walaupun orang tuanya dari Ambon tetapi Poppy menganggap Kupang sebagai kampung halamannya. Oleh sebab itu setelah berpisah sekitar 40 tahun, begitu tahu kalau saya mengasuh milis Bolelebo untuk mereka yang berasal dari Kupang dan sekitarnya, bulan September 2006 Poppy bergabung ke milis kami, dan selalu menjadi seorang aktivis dengan berbagai kabar jenaka dengan bahasa Kupangnya yang kental yang mendapat sambutan hangat terutama dari keluarga besar Bolelebo yang sebagian besar berada di rantau, dari Australia sampai Amerika, dari Batam, Singapore, Malaysia sampai ke Eropah. Semua akan mengenang istilah-istilah khusus ciptaan tante Poppy, panggilan akrabnya di milis Bolelebo, seperti sokal ajaib untuk monitor komputer. Hanya orang Kupang yang mengerti apa artinya kata sokal. Dan lewat sokal ajaib ini pula, kabar duka Poppy akan tersebar untuk teman-teman baik yang di tanah Bolelebo, di Jawa, sampai semua di berbagai penjuru dunia.

Redaksi Kabar NTT turut berbelansungkawa untuk kerabat dan handai taulan yang ditinggalkan. Selanjutnya jika ada diantara para pembaca yang ingin memuat berita duka, silahkan mengirimkan email dan foto, agar dapat diketahui oleh segenap orang NTT yang merantau.


Redaksi Kabar NTT