Thursday, December 13, 2007

Yudhono-Rudd Harus Tuntaskan Persoalan Laut Timor

KabarNTT, Kupang – Masalah batas perairan antara Indonesia dan Australia yang mencakup Gugusan Pulau Pasir, Celah Timor dan aktivitas nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor, harus menjadi salah satu agenda utama pertemuan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Australia Kevin Rudd. Ketua Kelompok Kerja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni, mengatakan ini di Kupang, Senin (10/12).

Rencananya, Yudhoyono dan Rudd akan bertemu di sela Pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, yang mulai berlangsung Rabu (12/12).

“Indonesia dan Australia harus mengakui ada masalah serius yang perlu segera diselesaikan pasca lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Tanoni dalam siaran persnya yang dirima KabarNTT, Senin (10/12).

Yang dimaksud Tanoni adalah batas perairan Indonesia-Australia: dari landasan kontinen hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Zona Perikanan, di Laut Timor. Menurutnya, penetapan batas melalui perjanjian 14 Maret 1997 itu tak memperhatikan fakta-fakta geologi, geomorfologi, serta prinsip Hukum Internasional. “Akhirnya yang diuntungkan cuma Australia,” ujarnya.

Secara khusus Kelompok Kerja ini menyayangkan penguasaan Gugusan Pulau Pasir oleh Australia. Padahal, perjanjian Indonesia-Australia tentang ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu di Timor itu, hingga saat ini belum diratifikasi.

“(Karena belum diratifikasi) Seharusnya perjanjian itu belum berlaku,” ujar Tanoni. Celakanya, menurut dia, Australia dengan dukungan Departemen Luar Negeri RI malah menjadikan itu sebagai alat pembenar untuk memberangus aktivitas nelayan tradisional di Laut Timor.

Memorandum of Understanding antara kedua pemerintah pada 1974, yang sepakat membebaskan nelayan tradisional mencari nafkah pada lima titik di perairan Gugusan Pulau Pasir dan sekitarnya pun, menurut Tanoni, tak banyak gunanya. Soalnya titik-titik yang disepakati itu berada dalam zona 12 mil perairan Australia. Akibatnya, patroli laut Australia leluasa menangkap nelayan Indonesia dengan alasan melanggar batas perairan.

Sudah banyak nelayan Indonesia yang ditangkap. Sepanjang 2007, hingga 28 November lalu, Konsulat RI Darwin mencatat ada 129 nelayan yang menghuni pusat penahanan (detention center) Darwin, Northern Territory. “Jumlah ini akan meningkat menjadi 201 dengan datangnya 72 awak yang beberapa hari ini ditangkap," kata Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar, akhir November lalu. Ketika itu patroli Australia baru saja menangkap lagi delapan kapal nelayan Indonesia.

Tragisnya, kata Tanoni, situasi yang tak menguntungkan itu kini mendorong nelayan Timor untuk melintasi perbatasan guna mencari suaka ekonomi di Australia. Bulan lalu saja, menurut temuan Kelompok Kerja, ada tiga nelayan yang nekad menjual rumah dan berlayar menuju Australia. “Kalau dibiarkan, persoalan perbatasan ini akan menjadi kerikil dalam hubungan Indonesia-Australia ke depan,” ujar Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat. (Redaksi)

Korupsi dan Kinerja Aparat Hukum di NTT


(Refleksi Perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia Tahun 2007)

Oleh. Paul SinlaEloE

Penulis adalah Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah merativikasi Konvensi Anti Korupsi di Merida, Meksiko pada tanggal 9 Desember 2003. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan menjadi Hari Anti Korupsi Sedunia dan oleh karenanya pada tanggal 9 Desember setiap tahunnya semua negara di dunia merayakannya. Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang mengikatkan diri dan tunduk pada konvensi anti korupsi ini, pada tanggal 9 Desember 2007 juga secara nasional merayakan hari anti korupsi. Di sepanjang jalan utama di setiap kota di Indonesia, banyak bertebaran spanduk-spanduk seruan moral dari Instansi penegak hukum untuk tidak melakukan korupsi. Sungguh sebuah ajakan yang sangat mulia. Bukan saja karena korupsi itu memang perbuatan dosa, melainkan juga bahwa korupsi saat ini, perlahan namun pasti, telah berkembang menjadi semacam budaya baru di kalangan masyarakat.

Namun sekarang, berharap banyak terhadap seremonial yang dilakukan oleh pengambil kebijakan semacam ini merupakan sesuatu yang tidak penting. Telinga, dan bahkan hati sebagian pejabat dan ‘orang-orang berkuasa’ lain di negeri ini sudah semakin bebal dengan semacam seremonial anti-korupsi. Jika punya kekuatan dan kekuasaan, hukum di pengadilan akan sangat mudah dilolosi, hanya dengan sedikit mengeluarkan duit hasil korupsi untuk menyogok. Oleh karena itu, agak lucu sebenarnya jika mendengar peringatan Hari Anti Korupsi di Negeri Sarang Korupsi dilaksanakan secara meriah, dan malah menghambur-hamburkan lagi banyak uang rakyat, yang dalam pelaksanaannya di lapangan, dana peringatan tersebut masih berpeluang untuk ditilep oleh panitia pelaksana. Perayaan hari anti korupsi di Indonesia, ibarat sebuah aktivitas yang kontraproduktif.

Peringatan Hari anti Korupsi juga dilaksanakan oleh Instansi/aparat Penegak Hukum di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ironisnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa perayaan hari anti korupsi sedunia di NTT ini dilakukan ditengah menjamurnya praktik korupsi. Di NTT, korupsi sudah merambah kemana-mana mulai dari tingkat Provinsi sampai pada level desa bahkan sudah sangat menggerogoti lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga muncul kesan, praktik korupsi di NTT telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat di provinsi yang masuk dalam kategori miskin ini.

Bertolak dari fakta yang demikian, maka dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia tahun 2007, patut kiranya seluruh warga NTT melakukan refleksi terhadap kinerja aparat hukum dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi. Untuk itu, catatan akhir tahun 2007 dari Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), dapat dijadikan sebagai salah satu bahan refleksi bersama.

PIAR NTT merupakan salah satu organisasi non pemerintah (NGO) yang bersifat independent dan non profit yang konsern terhadap persoalan korupsi, dalam aktivitasnya pada tahun 2007, melakukan pemantauan dan advokasi terhadap 80 kasus dugaan korupsi yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota dan 1 Provinsi, yaitu: Prov. NTT, Kota Kupang, Kab. Kupang, Kab. TTS, Kab. TTU, Kab. Belu, Kab. Alor, Kab. Rote Ndao, Kab. Sumba Timur, Kab. Sikka, Kab. Ende, Kab. Flotim, Kab. Ngada, Kab. Manggarai. 80 kasus dugaan korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT ini terdiri dari 8 kasus baru (Kasus yang terjadi di Tahun 2006 & 2007) sedangkan kasus lama (kasus yang terjadi Tahun 1999 s/d 2005) berjumlah 72 kasus. Dari 80 kasus dugaan korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 215.464.750.567,00 (Dua Ratus Lima Belas Milyar Empat Ratus Enam Puluh Empat Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Lima Ratus Enam Puluh Tujuh Rupiah).

Hasil Pantauan PIAR NTT juga menunjukan bahwa dari 80 kasus dugaan korupsi terdapat 363 pelaku bermasalah dan Mark Up merupakan modus operandi korupsi terbanyak. Perincian berdasarkan jabatan dari 363 pelaku bermasalah ini adalah sebagai berikut: DPRD sebanyak 204 orang, Bupati/Walikota sebanyak 7 orang, Wakil Bupati sebanyak 3 orang, Pejabat PEMDA sebanyak 54 orang, Pelaku swasta sebanyak 34 orang, panitia tender sebanyak 6 Orang, PIMPRO/BENPRO sebanyak 14 orang, pejabat bank 3 orang, pejabat PDAM 5 orang, anggota KPU 5 orang dan lain lain (Termasuk Gubernur NTT) sebanyak 28 orang. Ke 363 pelaku bermasalah ini ditangani oleh pihak kepolisian sebanyak 131, kejaksaan sebanyak 196 sedangkan yang di tangani oleh PN/PT sejumlah 36 orang.

80 kasus dugaan korupsi yang di pantau oleh PIAR NTT ini oleh aparat penegak hukum di Split menjadi 183 berkas perkara, dengan rincian penanganan sebagai berikut: Pertama, KEPOLISIAN. Hasil pantauan PIAR NTT menunjukan bahwa pihak kepolisian menangani 36 berkas perkara dengan 131 pelaku bermasalah. Dari 131 pelaku bermasalah ini, pihak kepolisian telah menentapkan 117 orang pelaku bermasalah dengan status tersangka dan 14 orang pelaku bermasalah laiannya belum ditetapkan status hukumnya. (NB: Karena pelaku bermasalah yang diperikasa sebagai saksi pada kasus dugaan korupsi di NTT, dalam amatan PIAR berpeluang besar menjadi tersangka, maka dalam kajian ini yang berstatus saksi oleh PIAR dianggap belum memiliki status hukum). Dalam penuntasan kasus dugaan korupsi di NTT, pihak Kepolisian juga telah meng-SP3-kan 1 kasus dugaan korupsi, yakni: “Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional DPRD Kota Kupang TA 2003-2004”.

Kedua, KEJAKSAAN. Hasil pantauan PIAR NTT menunjukan bahwa ada 111 berkas perkara yang ditangani oleh aparat kejaksaan dengan jumlah pelaku bermasalah sebanyak 196 orang. Status hukum dari para 196 pelaku bermasalah ini adalah tersangka berjumlah 151 orang, terdakwa sebanyak 19 orang dan terdapat 26 orang pelaku bermasalah yang belum ditetapkan status hukumnya. Dalam penuntasan kasus dugaan korupsi di NTT, masih sering terjadi ”bolak-balik” berkas perkara dari para tersangka antara kepolisian dan kejaksaan. Bahkan berkas perkara dari Bupati Kupang, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal ikan di Kab. Kupang, berkas perkaranya bolak-balik selama 9 kali, sejak tahun 2003.

Ketiga, PN/PT. Hasil pantauan PIAR NTT menunjukan bahwa ada 36 palaku bermasalah36 berkas perkara yang masuk dalam proses persidangan di PN/PT dengan jumlah pelaku bermasalah sebanyak 36 orang. Dalam persidangan terhadap ke 36 pelaku bermasalah ini, Hakim PN/PT telah memutuskan 18 orang atau (50 % berkas perkara) divonis bebas, 8 orang (22 % berkas perkara) di putus bersalah dan untuk yang belum divonis sebanyak 10 orang (28 % berkas perkara).

Sejalan dengan gambaran kinerja aparat hukum dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi di NTT, maka yang menjadi pertanyaan refleksi untuk direnungkan bersama adalah pantaskah institusi/aparat penegak hukum di NTT memasang spanduk anti korupsi untuk merayakan hari anti korupsi sedunia pada tahun 2007....???? Only Heaven knows.

Monday, December 10, 2007

Another NTT is possible, Urgensitas konvergensi Academia NTT



(Menyambut Hari Ulang Tahun ke-49 NTT)

Oleh : Jonatan Lassa

Inisiator Forum Academia for NTT Development, kandidat Doktor Kajian Disaster Governance, Center for Development Research (ZEF), University of Bonn, Jerman.

TULISAN ini perlu dibaca dengan sikap optimis. Optimisme yang berlandaskan pada visi bahwa "Another NTT is possible". Bahwasannya NTT yang kini dikelola saat ini tidak didasarkan pada pengetahuan yang memadai lagi, warisan abad ke-20. Di abad 21, diperlukan generasi-generasi baru dan muda yang mampu melihat bagaimana dan ke mana abad 21 ini bergerak. Generasi baru yang mampu menutupi banyak sekali gap dalam pembangunan bangsa, termasuk kesenjangan digital dan pengetahuan.

Menyambut Ulang Tahun Nusa Tenggara Timur (NTT) ke-49, pertanyaan "Apakah NTT itu" perlu diajukan lagi. Jawaban yang lebih visioner dan segar dibutuhkan ketimbang jawaban-jawaban remeh-temeh, pesimis, dan bahkan konyol seperti "Nanti Tuhan Tolong", "Nasib Tak Tentu."

NTT bukan sekadar kelanjutan dari Sunda Kecil. NTT tepatnya adalah "Indonesia Tenggara Timur"
(East of Southeastern Indonesia). Kata 'timur' dalam singkatan ini sebagai pembeda dari Indonesia Tenggara Barat, yakni NTB. Visi tentang ke-Indonesia-an itu harus diperjelas, sehingga kita lebih jelas lagi bahwa Indonesia Tenggara Timur adalah Indonesia yang sama yang sudah berusia lebih dari 60-an tahun.

Dan di penghujung dari usia tersebut, kemampuan daya beli (purchasing power parity - PPP) di NTT, asumsi penulis (berdasarkan berbagai referensi) masih berada di bawah US$ 300 ketimbang PPP 2006 tingkat nasional saat ini yang mencapai level US$ 3900 (CIA Factbook-2007). Kenapa asumsi yang dipakai? Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kecuali kenyataan bahwa pada masa kepimimpinan Eston Funay di Bappeda I NTT, dalam artikelnya bersama Prof. Vincent Gaspersz di Jurnal Ekonomi Rakyat (Th. II - No. 8 - November 2003), mereka bahkan menggunakan angka kisaran kira-kira atas pendapatan perkapita NTT.
Tanpa bermaksud mengolok-olok, tetapi itulah tipikal ironi bernama pemimpin dan pengelolaan organisasi/lembaga formal di "Indonesia Tenggara Timur" dalam 60-an tahun merdeka yang menyusun rencana pembangunan di atas angka-angka yang dikira-kira. Sebagai rakyat di tanah rantau, penulis sulit memberikan feedback secara memadai karena data-data dasar sebagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas publik sebuah pemerintahan tidak tersedia secara digital (baca: online). Sebuah indikasi kesenjangan digital lagi.

NTT baru dalam visi "Indonesia Tenggara Timur" atau ITT yang coba penulis gagas adalah sebuah semangat (antusias/spirit/
Geist) ke-Indonesia-an yang hidup: "Fidele a la mort" (Perancis: setia sampai mati). Tapi slogan baru bisa bermakna bila terjadi pengejawantahan dalam realitas keseharian negara bangsa (bernegara, berbangsa dan bernegara-bangsa). Baik rakyat maupun negara hidup dalam semangat saling menopang 24 jam sehari 7 hari seminggu. Tanpa henti.

Visi tentang ke-NTT-an juga perlu digugat ketimbang visi normatif "Terwujudnya masyarakat Nusa Tenggara Timur yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."

Visi normatif tersebut terbukti tidak meresapi ke dalam keseharian pembangunan. Sebagai misal, berdirinya Mal Flobamora di Kota Kupang, beserta ruko-ruko yang tumbuh ibarat jamur di musim hujan hanya memberikan indikasi kuat bahwa tingkat konsumtif NTT menjulang tak terimbangi dengan produksi. Tanpa sumbangan APBN yang disuplai dari Jakarta, NTT ibarat negeri yang tinggal menunggu hari-hari terakhir hidupnya.

Misi "Tiga Batu Tungku" menjadi sangat abstrak. Alhasil, tingkat pertumbuhan NTT di tahun 2005 hanya mencapai 3,1% (BPS Online) atau jauh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yakni 5,6% pada tahun yang sama. Tahun 2005, jumlah calon angkatan kerja muda (usia 16-18) hanya 42.1% yang terdaftar di sekolah, sedangkan nasional adalah 53.9% (BPS Online 2007). Betapa besarnya disparitas pertumbuhan tersebut.

Bila menambah daftar masalah seperti kemiskinan, gizi buruk, serta berbagai indikasi angka kesejahteraan sosial seperti kesehatan dan perumahan, angka performa perdagangan NTT, potret akan semakin negatif. Tidak perlu terkejut ataupun kecut. Penulis akan sangat terkejut bila ada yang mampu menambahkan daftar data dan informasi baik negatif ataupun positif khususnya yang belum diketahui. Akan lebih terkejut lagi bila ada yang mengaku gampang mewujudkan NTT yang lebih baik.

Conventional wisdom mengatakan bahwa kritik yang baik wajib memberikan solusi. Dan solusi yang ditawarkan di sini lebih merupakan upaya menutupi satu celah dari sekian banyak celah.

Konvergensi Academia NTT
Dalam teori tentang pengelolaan pengetahuan
(knowledge), disimpulkan bahwa penciptaan pengetahuan yang baru (bagi pembangunan NTT atau di mana saja) akan selalu diperhadapkan ketidaktahuan baru (new unknowns). Dan ketika kita lebih tahu, alangkah baiknya kita semakin tahu apa yang tidak kita tahu sebagai rangsangan untuk mendapatkan jawaban yang lebih memadai (Evers, Gerke & Menkhoff 2006).

Implikasinya, baik pemimpin, intelektual dan insan academia yang peduli pada pembangunan ITT tidak cukup memimpin ITT dengan membeli ataupun menggunakan pengetahuan instant impor mirip mie instant impor sebagai resep menanggulangi kemiskinan dan kemelaratan. Tidak cukup dengan memiliki daftar pengetahuan yang diketahui, tetapi juga daftar ketidaktahuan dalam ruang yang berubah dan waktu yang bergerak maju.

Data yang bersifat anekdotal menunjukkan bahwa NTT tidak kurang ilmu pengetahuan untuk membangun dirinya sendiri. Kita tahu berapa banyak dosen bergelar doktor, master dan sarjana yang tersebar di berbagai universitas seperti Undana, Unwira dan sebagainya, termasuk aparat bergelar master dan doktor yang semakin menjamur. Tetapi kita tidak tahu apa yang mereka tidak tahu dan seberapa tahu mereka terhadap ketidaktahuan mereka?

Persoalannya bukan sekadar bahwa ada kutub divergensi yang semakin melebar akibat ketiadaan medium dan forum untuk membuat konvergensi atau kerja sama dan visi yang lebih padu, tetapi kombinasi dari 'semua hal' yang dikerjakan secara kompartmental alias terpisah-pisah di kamar masing-masing. Alhasil, NTT yang dibangun tidak berhasil menunjukkan bangunan yang utuh selain indikasi permukaan yang memberikan signal bahwa konsumerisme menerpa masyarakat, pemerintah maupun intelektual dan akademisi kita. Tanpa bermaksud terjebak pada "kutukan perbandingan", tetapi di usia yang relatif matang, "Indonesia Tenggara Timur" tidak menghasilkan satu universitas pun dalam daftar 50 besar Universitas di Indonesia. Boleh diperdebatkan soal angka tersebut. Penulis bahkan tidak mengetahui jawaban yang tepat atas fenomena tersebut selain bahwa itu menambah daftar ketidaktahuan penulis.

Walaupun demikian, sudah saatnya kita melangkah maju. Diperlukan strategi membangun "Indonesia Tenggara Timur" dari sisi pengetahuan
(knowledge-based development). Diperlukan berbagai titik penghubung pengetahuan (knowledge hubs), pusat unggulan (center of excellence) yang bersifat misioner dalam penyebaran pengetahuan tanpa mengisolasi pengetahuan yang telah diproduksi bertahun-tahun di universitas-universitas di NTT.
Lembaga pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai kabupaten di NTT perlu didukung oleh anggaran daerah untuk menjadi "knowledge clusters" alias simpul-simpul distribusi ilmu pengetahuan tempat orang berkerumun untuk mendapatkan pengetahuan.

Andaikan saja ada "knowledge clusters" yang terhubungkan tiap waktu dengan berbagai titik penghubung pengetahuan di berbagai universitas di NTT dibarengi dengan pemanfaatan social capital NTT, yakni anak-anak NTT yang sedang tersebar di berbagai negara baik Australia, Amerika, Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, hingga mereka yang berada di dalam negeri termasuk NTT, maka pengalaman sharing pengetahuan bisa terjadi dalam waktu yang lebih cepat, efektif dan efisien.

Penulis lewat Forum Academia NTT menawarkan kontribusinya tanpa pamrih kepada universitas dan pendidikan tinggi di NTT tapi juga kepada berbagai pihak termasuk pemerintah daerah yang terhubung dengan jaringan internet. Forum Academia NTT dimaksudkan sebagai sebuah lembaga yang relatif 'cair' untuk melakukan inisiatif-inisiatif baru demi kemajuan pendidikan seperti: (1) Pemberian award atau "Nobel" tingkat NTT tahunan, (2) publikasi info beasiswa (mailing list, websites, webblog). (3) diskusi-diskusi tematik pembanguan NTT.
Forum Academia NTT juga berkehendak melakukan jaringan 'NTT Young Scientist" di mana para dosen, guru, mahasiswa dan pelajar di berbagai pulau di NTT dapat saling bertukar informasi, paper, artikel, publikasi elektronik, serta publikasi-publikasi ilmiah yang bersifat 'open source'-- maupun tidak, dengan para academia NTT di luar negeri yang memiliki akses 'sejuta journal'.

Lalu di mana letak opitimisme "Another NTT is possible"? Opitimismenya adalah bahwa ketika filsafat "sapu lidi" - bersatu kita teguh bercerai kita runtuh - merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan kalangan academia dan intelektual di NTT. Bila social capital ini diabaikan, maka NTT sebagai Indonesia Tenggara Timur akan tetap tertinggal di abad 21. *

(Tulisan ini diambil dari Opini Pos Kupang, Senin 10 Desember 2007. Halaman 14)

Natal, Momentum Wujudkan Indonesia Baru?

Oleh: YBT Suryo Kusumo

Pengembang masyarakat perdesaan

tony.suryokusumo@gmail.com

SETIAP penghujung tahun, kita selalu diajak untuk merenungkan sebuah kosakata yang telah akrab dalam kehidupan keseharian, namun sulit sekali terwujud secara berkelanjutan, yakni kata DAMAI’.

Natal selalu mengajak kita kembali ke fitrah, mempertanyakan arti sebuah perjalanan kehidupan dari mulai kelahiran kita sampai periode saat ini dalam sebuah kosmos yang kita kenal sebagai bumi yang satu tempat kita berpijak dan berkiprah.

Damai di bumi, damai di hati, damai dalam kemajemukan (suku, bangsa, agama, adat-istiadat, bahasa, budaya, ideologi dan perpolitikan). Bahkan para pendiri negara ini sejak dini telah meletakkan sebuah pondasi filosofi yang kokoh yang menekankan pentingnya perdamaian sehingga tercapai kompromi dalam perumusan PANCASILA .

Dalam Pembukaan UUD 45 , bapak bangsa mempersiapkan berdirinya sebuah negara yang damai melalui ungkapan yang menyatakan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, keadilan sosial.’

Namun, akhir-akhir ini kita sebagai sebuah bangsa merasakan betapa semakin jauhnya dari harapan bapak bangsa. Perayaan keagamaan yang harusnya disyukuri dengan penuh sukacita dan kemenangan, berubah jadi kekhawatiran dan ketakutan oleh teror dan ancaman kekerasan.

Kemajemukan yang seharusnya makin memperkaya satu dengan yang lain, seperti indahnya pelangi dengan beragam warna, ternyata tak mampu membendung emosi dan sentimen keagamaan, kedaerahan yang sempit. Perbedaan tak dianggap sebagai berkah, tapi sebagai ancaman.Kita semakin terjebak dalam kesempitan cara pandang, sehingga kian meninggalkan akal sehat dan nurani.

Ketika melakukan pembenaran untuk membinasakan mereka yang berbeda, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita pada Tuhan, Sang Pencipta? Kalau kita membunuh untuk membela saudara seiman, apakah surga akan penuh dengan orang yang tangannya bergelimang darah? Apakah kekerasan adalah solusi terbaik? Tidak kah justru menimbulkan dendam berkelanjutan?

Mengapa ampunan dan kata maaf tak mampu kalahkan rasa benci dan dendam?

Bukankah kita lebih baik mengasihi musuh yang menganiaya kita, sehingga dengan kasih maka diharapkan musuh akan bertobat untuk tidak memakai jalan kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi.

Lalu kepada siapa kita akan membagi KASIH jika tidak kepada sesama kita, meskipun berbeda SARA?

Mari, dalam mensyukuri nikmat dan anugerah yang kita terima dalam hidup ini, kita telah mampu lebih mengedepankan suara hati nurani yang bersih, bening, dan jujur. Biarlah Sang Maha Kuasa menyentuh hati kita lewat nurani kita, sehingga kita tidak mengotori kehidupan yang sedang kita jalani dengan berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun non fisik.

Kita mencoba kembali untuk merajut benang-benang persaudaraan yang terkoyak oleh berbagai sebab dengan tali silaturahmi dan persaudaraan sejati. Coba tengok kembali perjalanan hidup kita selama setahun terakhir, sehingga kita mampu kembali ke fitrah dan di awal tahun baru 2008 kita mampu menjadi manusia baru yang sungguh-sungguh berubah, mengarah ke kebaikan budi dan nurani.

KKN dan sejenisnya juga merupakan bentuk lain dari teror bom di Bali dan sebentuk kekerasan lain yang sangat halus karena menyerobot/merampas hak orang lain yang bukan milik kita. Juga memutus rantai rahmat yang diberikan Tuhan YME kepada sesama kita melalui kekuasaan yang kita miliki?

Bukankah kekuasaan yang ada ditangan kita adalah amanah dari Sang Maha Murah? Mengapa kita menjadi serakah dan buta hati untuk mengambil hak orang lain maupun memeras orang lain yang tak berdaya karena kebetulan kita diberi sedikit kekuasaan yang bukan milik kita karena sebenarnya merupakan mandat dari rakyat yang setiap sata dapat dicabut? Bukankah memperdagangkan/membisniskan kekuasaan yang kita miliki, berarti mengkhianati pengabdian kita yang tulus kepada sesama kita?

Marilah kita bangun raga kita ini dengan jiwa yang bersih dan jauh dari kepura-puraan serta melepas topeng yang tidak perlu kita kenakan. Janganlah kita menjadi bangsa pendosa yang terkutuk karena tidak mampu memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita untuk bertobat sejati. Atau kita menjadi bangsa munafik yang seolah-olah sangat religius tetapi sebenarnya sangat jauh dari sumber kehidupan itu semdiri yakni Sang Pencipta?

Bagaimana kita harus menerangkan kepada komunitas dari bangsa lain yang melihat kesemarakan kehidupan beragama di Indonesia yang tinggi yang ditandai dengan siaran acara televisi berupa mimbar agama dari semua agama, sinetron yang berbau religi , namun disisi lain KKN jalan terus bahkan masuk ke kalangan DPR yang nota bene wakil rakyat dan juga yudikatif ?Atau kita termasuk golongan bangsa TOMAT (Tobat namun kemudian kumat) untuk selalu menipu Tuhan dengan retorika dan segala puja puji yang penuh kepura-puraan ? Bagaimana kita mengaku sangat toleran satu dengan yang lain, sementara beberapa tempat ibadah mengalami pembakaran, dirusak, bahkan dilakukan pengeboman?

Bagaimana sila kedua Pancasila menegaskan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sementara orang-orang pinggiran terus digusur tanpa alternatif jalan keluar yang lebih baik? Merampas hak hidup berupa pekerjaan di sektor non formal melalui penggusuran paksa hanya karena melanggar aturan PERDA namun tanpa solusi adalah sebentuk pembunuhan keji secara perlahan dan menghilangkan harapan hidup seseorang beserta keluarga yang ditanggungnya.

Bagaimana kita mengaku beradab, sementara di beberapa tempat, orang dapat saling membinasakan seperti layaknya anjing hanya karena adanya perbedaan SARA? Jangan kita terjebak dalam romantisme sempit sentimen keagamaan maupun kesukuan yang membuat kita kerdil dan buta hati, dimana kita seolah-olah Sembahyang Terus, namun Mencuri/Maksiat tetap Jalan (STMJ)

Natal lahirkan kesadaran baru”

Natal, dalam artian kelahiran seharusnya mampu juga melahirkan sikap dan kesadaran baru yang berbeda dari sikap lama. Apabila sebelumnya kita gemar ber KKN ria maka semangat NATAL seharusnya mampu mengubah menjadikan diri kita lebih mencintai kejujuran dan solider dengan rakyat kecil yang menderita.

Kalau sebelumnya kita lebih mementingkan diri kita dan keluarga saja, NATAL kali ini seharusanya mampu memperluas perhatian kita untuk kepentingan yang lebih luas yakni kepentingan umu/publik.

Sebagai pegawai negeri yang tak lain pelayan publik, misalnya, bagaimana layanan publik menjadi lebih baik dan manusiawi. Tantangan bagi dinas-dinas pemerintah setelah Natal, yakni di awal 2008 tidak kalah dalam kualitas pelayanannya dibanding BUMN seperti Bank BUMN, Telkomsel, dan lembaga lain yang sejenis maupun dengan sektor privat seperti kantor Telkomsel, Indosat, dll.

Kita dapat merasakan bagaimana sektor privat melayani warga sebagai pelanggan dengan penuh kesungguhan, sikap yang sangat ramah, ruangan yang bersih dan ber AC antrian yang tertib dan tempat duduk yang nyaman, Alangkah indahnya jika hal yang sama juga dapat dinikmati ketika kita masuk kantor dinas-dinas pemerintah dimana rakyat diperlakukan seperti halnya pelanggan (customer).

NATAL seharusnya mampu menggugah kesadaran kita akan arti pentingnya sikap kesederhanaan” seperti yang diteladankan Yesus sendiri. Kita kurangi kebisaaan hidup penuh foya-foya dan boros digantikan dengan sikap hidup hemat dan berinvestasi”

Kita hentikan kebiasaan ketergantungan pada alkohol dan narkoba, mabuk-mabukan, pesta berlebihan. Termasuk juga kebiasaan merokok yang seolah tak merugikan, namun sebenarnya juga berbahaya karena dapat mengakibatkan sakit jantung, impotensi, kelainan pada janin dan membahayakan orang lain.

NATAL sebaiknya mampu meningkatkan kesadaran arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Natal yang kebetulan selalu jatuh pada musim hujan dapat jadi momentum untuk melahirkan kebiasaan baru untuk menanam dan memelihara tanaman yang mampu menghijaukan dan menyejukkan lingkungan kita, terutama lahan tidur, lahan kritis, dan lahan di sekitar kita yang belum termanfaatkan. Kebiasaan menumbuhkan tanaman juga mampu membersihkan polusi udara, mengurangi rasa stres, menjadikan alam sebagai sahabat, memberi tempat bagi kehidupan yang layak bagi burung dan satwa lainnya.

NATAL dapat dijadikan sebagai awal untuk lebih meningkatkan sikap hidup bersih (termasuk jiwa kita), membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjadikan ruang publik seperti pasar tradisional , rumah sakit umum, sekolah dll menjadi lebih bersih, tertib, teratur dan enak dipandang.

Mari kita bulatkan tekad untuk kedepan, melalui Natal tahun ini kita mampu lahir kembali sebagai bangsa yang besar dalam mewujudkan nilai luhur religiositas, meninggalkan kebiasaan dosa berupa KKN, politik uang, perjudian, mabuk, kekerasan dalam segala bentuknya , mampu meningkatkan pelayanan publik dengan standar yang lebih baik, mewujudkan kasih dalam perbuatan nyata sehari-hari diseputar tempat kerja, lingkungan keluarga kita, tetangga dll.

Kita jangan terjebak dalam pesta pora yang mengenyangkan perut semata, memuja kemewahan dalam konsumsi pakaian, pohon natal dan gemerlapnya lampu dan hiasan Natal maupun terperangkap dalam Sinterklas Kapitalis’, namun mampu menggali arti kesahajaan, pengorbanan untuk mampu mengantar kelahiran anak manusia’ oleh seorang gadis desa yang lugu bernama Maria, perwujudan rasa tanggung jawab dan kebapakan dari Yosep, dan yang paling penting adalah bagaimana Allah Bapa menyambung kembali tawaran keselamatan melalui kelahiran PutraNya Yesus ke dunia. Mari kita wujudkan Natal yang penuh kasih dan damai, tidak dengan ucapan maupun jabat tangan semata, melainkan dalam aksi nyata dan praksis kehidupan keseharian kita.

Membagi kasih tanpa merasa berbuat lebih, mendorong terciptanya kedamaian tanpa kekerasan, menyongsong tahun baru 2008 dengan semangat pelayanan dan pengabdian yang tulus demi peningkatan harkat dan martabat sesama.

Kita wujudkan Indonesia Baru dengan habitus baru yang berwajah humanis manusiawi dalam tatanan negara yang modern dan demokratis, menjunjung harkat dan martabat manusia melalui penghargaan terhadap HAM. Semoga.(*)