(Menyambut Hari Ulang Tahun ke-49 NTT)
Oleh : Jonatan Lassa
Inisiator Forum Academia for NTT Development, kandidat Doktor Kajian Disaster Governance, Center for Development Research (ZEF), University of Bonn, Jerman.
Menyambut Ulang Tahun Nusa Tenggara Timur (NTT) ke-49, pertanyaan "Apakah NTT itu" perlu diajukan lagi. Jawaban yang lebih visioner dan segar dibutuhkan ketimbang jawaban-jawaban remeh-temeh, pesimis, dan bahkan konyol seperti "Nanti Tuhan Tolong", "Nasib Tak Tentu."
NTT bukan sekadar kelanjutan dari Sunda Kecil. NTT tepatnya adalah "Indonesia Tenggara Timur" (East of Southeastern Indonesia). Kata 'timur' dalam singkatan ini sebagai pembeda dari Indonesia Tenggara Barat, yakni NTB. Visi tentang ke-Indonesia-an itu harus diperjelas, sehingga kita lebih jelas lagi bahwa Indonesia Tenggara Timur adalah Indonesia yang sama yang sudah berusia lebih dari 60-an tahun.
Dan di penghujung dari usia tersebut, kemampuan daya beli (purchasing power parity - PPP) di NTT, asumsi penulis (berdasarkan berbagai referensi) masih berada di bawah US$ 300 ketimbang PPP 2006 tingkat nasional saat ini yang mencapai level US$ 3900 (CIA Factbook-2007). Kenapa asumsi yang dipakai? Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kecuali kenyataan bahwa pada masa kepimimpinan Eston Funay di Bappeda I NTT, dalam artikelnya bersama Prof. Vincent Gaspersz di Jurnal Ekonomi Rakyat (Th. II - No. 8 - November 2003), mereka bahkan menggunakan angka kisaran kira-kira atas pendapatan perkapita NTT.
Tanpa bermaksud mengolok-olok, tetapi itulah tipikal ironi bernama pemimpin dan pengelolaan organisasi/lembaga formal di "Indonesia Tenggara Timur" dalam 60-an tahun merdeka yang menyusun rencana pembangunan di atas angka-angka yang dikira-kira. Sebagai rakyat di tanah rantau, penulis sulit memberikan feedback secara memadai karena data-data dasar sebagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas publik sebuah pemerintahan tidak tersedia secara digital (baca: online). Sebuah indikasi kesenjangan digital lagi.
NTT baru dalam visi "Indonesia Tenggara Timur" atau ITT yang coba penulis gagas adalah sebuah semangat (antusias/spirit/Geist) ke-Indonesia-an yang hidup: "Fidele a la mort" (Perancis: setia sampai mati). Tapi slogan baru bisa bermakna bila terjadi pengejawantahan dalam realitas keseharian negara bangsa (bernegara, berbangsa dan bernegara-bangsa). Baik rakyat maupun negara hidup dalam semangat saling menopang 24 jam sehari 7 hari seminggu. Tanpa henti.
Visi tentang ke-NTT-an juga perlu digugat ketimbang visi normatif "Terwujudnya masyarakat Nusa Tenggara Timur yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."
Visi normatif tersebut terbukti tidak meresapi ke dalam keseharian pembangunan. Sebagai misal, berdirinya Mal Flobamora di Kota Kupang, beserta ruko-ruko yang tumbuh ibarat jamur di musim hujan hanya memberikan indikasi kuat bahwa tingkat konsumtif NTT menjulang tak terimbangi dengan produksi. Tanpa sumbangan APBN yang disuplai dari Jakarta, NTT ibarat negeri yang tinggal menunggu hari-hari terakhir hidupnya.
Misi "Tiga Batu Tungku" menjadi sangat abstrak. Alhasil, tingkat pertumbuhan NTT di tahun 2005 hanya mencapai 3,1% (BPS Online) atau jauh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yakni 5,6% pada tahun yang sama. Tahun 2005, jumlah calon angkatan kerja muda (usia 16-18) hanya 42.1% yang terdaftar di sekolah, sedangkan nasional adalah 53.9% (BPS Online 2007). Betapa besarnya disparitas pertumbuhan tersebut.
Bila menambah daftar masalah seperti kemiskinan, gizi buruk, serta berbagai indikasi angka kesejahteraan sosial seperti kesehatan dan perumahan, angka performa perdagangan NTT, potret akan semakin negatif. Tidak perlu terkejut ataupun kecut. Penulis akan sangat terkejut bila ada yang mampu menambahkan daftar data dan informasi baik negatif ataupun positif khususnya yang belum diketahui. Akan lebih terkejut lagi bila ada yang mengaku gampang mewujudkan NTT yang lebih baik.
Conventional wisdom mengatakan bahwa kritik yang baik wajib memberikan solusi. Dan solusi yang ditawarkan di sini lebih merupakan upaya menutupi satu celah dari sekian banyak celah.
Konvergensi Academia NTT
Dalam teori tentang pengelolaan pengetahuan (knowledge), disimpulkan bahwa penciptaan pengetahuan yang baru (bagi pembangunan NTT atau di mana saja) akan selalu diperhadapkan ketidaktahuan baru (new unknowns). Dan ketika kita lebih tahu, alangkah baiknya kita semakin tahu apa yang tidak kita tahu sebagai rangsangan untuk mendapatkan jawaban yang lebih memadai (Evers, Gerke & Menkhoff 2006).
Implikasinya, baik pemimpin, intelektual dan insan academia yang peduli pada pembangunan ITT tidak cukup memimpin ITT dengan membeli ataupun menggunakan pengetahuan instant impor mirip mie instant impor sebagai resep menanggulangi kemiskinan dan kemelaratan. Tidak cukup dengan memiliki daftar pengetahuan yang diketahui, tetapi juga daftar ketidaktahuan dalam ruang yang berubah dan waktu yang bergerak maju.
Data yang bersifat anekdotal menunjukkan bahwa NTT tidak kurang ilmu pengetahuan untuk membangun dirinya sendiri. Kita tahu berapa banyak dosen bergelar doktor, master dan sarjana yang tersebar di berbagai universitas seperti Undana, Unwira dan sebagainya, termasuk aparat bergelar master dan doktor yang semakin menjamur. Tetapi kita tidak tahu apa yang mereka tidak tahu dan seberapa tahu mereka terhadap ketidaktahuan mereka?
Persoalannya bukan sekadar bahwa ada kutub divergensi yang semakin melebar akibat ketiadaan medium dan forum untuk membuat konvergensi atau kerja sama dan visi yang lebih padu, tetapi kombinasi dari 'semua hal' yang dikerjakan secara kompartmental alias terpisah-pisah di kamar masing-masing. Alhasil, NTT yang dibangun tidak berhasil menunjukkan bangunan yang utuh selain indikasi permukaan yang memberikan signal bahwa konsumerisme menerpa masyarakat, pemerintah maupun intelektual dan akademisi kita. Tanpa bermaksud terjebak pada "kutukan perbandingan", tetapi di usia yang relatif matang, "Indonesia Tenggara Timur" tidak menghasilkan satu universitas pun dalam daftar 50 besar Universitas di Indonesia. Boleh diperdebatkan soal angka tersebut. Penulis bahkan tidak mengetahui jawaban yang tepat atas fenomena tersebut selain bahwa itu menambah daftar ketidaktahuan penulis.
Walaupun demikian, sudah saatnya kita melangkah maju. Diperlukan strategi membangun "Indonesia Tenggara Timur" dari sisi pengetahuan (knowledge-based development). Diperlukan berbagai titik penghubung pengetahuan (knowledge hubs), pusat unggulan (center of excellence) yang bersifat misioner dalam penyebaran pengetahuan tanpa mengisolasi pengetahuan yang telah diproduksi bertahun-tahun di universitas-universitas di NTT.
Lembaga pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai kabupaten di NTT perlu didukung oleh anggaran daerah untuk menjadi "knowledge clusters" alias simpul-simpul distribusi ilmu pengetahuan tempat orang berkerumun untuk mendapatkan pengetahuan.
Andaikan saja ada "knowledge clusters" yang terhubungkan tiap waktu dengan berbagai titik penghubung pengetahuan di berbagai universitas di NTT dibarengi dengan pemanfaatan social capital NTT, yakni anak-anak NTT yang sedang tersebar di berbagai negara baik Australia, Amerika, Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, hingga mereka yang berada di dalam negeri termasuk NTT, maka pengalaman sharing pengetahuan bisa terjadi dalam waktu yang lebih cepat, efektif dan efisien.
Penulis lewat Forum Academia NTT menawarkan kontribusinya tanpa pamrih kepada universitas dan pendidikan tinggi di NTT tapi juga kepada berbagai pihak termasuk pemerintah daerah yang terhubung dengan jaringan internet. Forum Academia NTT dimaksudkan sebagai sebuah lembaga yang relatif 'cair' untuk melakukan inisiatif-inisiatif baru demi kemajuan pendidikan seperti: (1) Pemberian award atau "Nobel" tingkat NTT tahunan, (2) publikasi info beasiswa (mailing list, websites, webblog). (3) diskusi-diskusi tematik pembanguan NTT.
Forum Academia NTT juga berkehendak melakukan jaringan 'NTT Young Scientist" di mana para dosen, guru, mahasiswa dan pelajar di berbagai pulau di NTT dapat saling bertukar informasi, paper, artikel, publikasi elektronik, serta publikasi-publikasi ilmiah yang bersifat 'open source'-- maupun tidak, dengan para academia NTT di luar negeri yang memiliki akses 'sejuta journal'.
Lalu di mana letak opitimisme "Another NTT is possible"? Opitimismenya adalah bahwa ketika filsafat "sapu lidi" - bersatu kita teguh bercerai kita runtuh - merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan kalangan academia dan intelektual di NTT. Bila social capital ini diabaikan, maka NTT sebagai Indonesia Tenggara Timur akan tetap tertinggal di abad 21. *
(Tulisan ini diambil dari Opini Pos Kupang, Senin 10 Desember 2007. Halaman 14)
No comments:
Post a Comment