Wednesday, October 24, 2007

“Membumikan” tekad NTT untuk keluar dari “ lingkaran kemiskinan.”

Akar permasalahan

Menarik tulisan teman kita, Ermi Ndoen yang berjudul “Google : Kekayaan”Kemiskinan” di NTT “ di blog “Kabar NTT” yang memaparkan secara jelas dan apik betapa besar dan banyaknya “kekayaan intelektual “ dari berbagai bidang profesi dan latar belakang berbeda yang dengan penuh antusias ingin membantu NTT keluar dari kemiskinan.

Berbagai penelitian , rekomendasi, usulan, ide, hasil workshop/seminar, tulisan di- media dll terkait kemiskinan, telah disampaikan kepada pemerintah daerah NTT dan publik melalui berbagai media yang ada, namun pertanyaannya “Kenapa Kemiskinan begitu akrab dan tak mau menjauh dari bumi Flobamora tercinta ?

Kalau dikatakan kita belum tahu akar masalahnya adalah mustahil atau patut dipertanyakan , karena begitu banyak cerdik pandai/ para cendekiawan , para birokrat profesional maupun para praktisi yang dimiliki NTT dan juga lengkapnya data dan informasi yang terkumpul dan tersedia terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan yang tak boleh dilupakan betapa besar dana yang telah “digelontorkan” ke NTT untuk penangulangan kemiskinan.

Sesungguhnya kalau mau jujur kita bukannya tidak tahu akar masalah kemiskinan di NTT tetapi sebenarnya yang terjadi adalah “kita tidak mau tahu ” sehingga pendekatan melawan kemiskinan tidak dilakukan secara utuh/ komprehensif, multi sektor, sinergis dan bekerja sama sehingga seorang teman secara berseloroh dan penuh sarkastis mengatakan bahwa “kemiskinandi NTT memang dipelihara” karena ada yang diuntungkan dengan kondisi tersebut..

Kata koordinasi dalam rangka kerja sama sinergis yang sering diucapkan dan didengung-dengungkan dalam keseharian kita hanya menjadi hiasan bibir belaka ketika dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek terkait dengan “pendapatan/ pemasukan ’ masing-masing pihak.

Dalam praksis, ternyata tidak mudah untuk melakukan kerja sama para -pihak (stakeholder) yang sinergis ketika yang mendasari kerja sama bukannya sebuah idealisme “bagaimana masyarakat miskin difasilitasi untuk membantu dirinya keluar dari kemiskinan” sehingga angka kemiskinan menurun tajam , tetapi lebih pada “berapa dana/ uang yang bisa saya dapat dari proyek”. Idealisme yang mendasari dan memotivasi tekad untuk “berbuat nyata bagi sesama yang miskin” menjadi barang langka dan mewah dalam kehidupan kita yang gemar memuja “kemewahan semu” dan mengalahkan nilai-nilai moralitas yang mendasari perbuatan keseharian kita.


Mengidentifikasi potensi dan fokus pada solusi

Pendekatan metode Appreciate Inquiry (AI) mendasarkan penyelesaian masalah pada potensi lokal yang ada / dipunyai saat ini dan dimotivasi oleh adanya “dream/impian” yang hendak diwujudkan, Kita sebaiknya mulai meninggalkan kebiasaan analisis mendasarkan pada “pohon masalah” yang membuat kita menjadi semakin fokus pada masalah dan bukannya solusi, tetapi sebaiknya mulai mendasarkan pada “pohon potensi lokal ” untuk membantu mewujudkan kehidupan lebih baik yang kita impikan kedepan . Dengan telah teridentifikasi potensi lokal, kita dapat memulai merancang strategi berbasis potensi lokal untuk mewujudkan “impian masa depan” melalui berbagai langkah pentahapan yang terencana, terukur dan realistik (SMART). Kita tidak lagi terjebak dengan alasan klasik dan klise seperti SDM yang rendah, SDA yang rendah, Curah hujan yang terbatas/sedikit , Lahan yang tidak subur dll, tetapi mari dengan apa yang ada kita mulai dari potensi lokal (SDA dan diri sendiri ) dan tidak perlu menunggu lagi alias sekarang juga.

Terkait dengan pendekatan AI , kami mencoba mengambil cuplikan beberapa alinea dalam tulisan menarik yang berjudul SWOT vs SOAR, oleh AB Susanto dari Managing Partner The Jakarta Consulting Group (yang termuat dalam Harian Bisnis Indonesia pada Kamis, 31 Mei 2007 ), dijelaskan bahwa pendekatan AI lebih menitikberatkan pada pengidentifikasian dan pembangunan kekuatan dan peluang ketimbang pada masalah, kelemahan, dan ancaman.. Dijelaskan penekanan pendekatan SOAR (Strengths, Opportunities, Aspirations, Results) terhadap rencana strategis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan model tradisional.

Analisis SOAR memungkinkan anggota organisasi menciptakan masa depan yang mereka inginkan sendiri dalam keseluruhan proses dengan cara melakukan penyelidikan, imajinasi, inovasi, dan inspirasi. Fokus internal SOAR adalah kekuatan organisasi.
Keuntungan lainnya berkaitan dengan partisipasi. Pada banyak organisasi, perencanaan strategis hanya melibatkan orang-orang pada tingkatan tertinggi serta sekelompok stakeholder. Namun dalam kerangka kerja SOAR, sebanyak mungkin stakeholder dilibatkan, yang didasarkan pada integritas para anggotanya.

Analisis SOAR bagi perencanaan strategis dimulai dengan penyelidikan (inquiry) yang menggunakan pertanyaan positif guna mempelajari nilai-nilai inti, visi, kekuatan, dan peluang potensial. Dalam fase ini, pandangan-pandangan dari setiap anggota organisasi dihargai. Penyelidikan juga dilakukan guna memahami secara utuh nilai-nilai yang dimiliki oleh para anggota organisasi serta hal-hal terbaik yang pernah terjadi di masa lalu. Kemudian anggota organisasi dibawa masuk ke dalam fase imajinasi, memanfaatkan waktu untuk “bermimpi” dan merancang masa depan yang diharapkan. Dalam fase ini, nilai-nilai diperkuat, visi dan misi diciptakan. Sasaran jangka panjang dan alternatif strategis dan rekomendasi diumumkan. Fase ketiga adalah inovasi, yaitu dimulainya perancangan sasaran jangka pendek, rencana taktikal dan fungsional, program, sistem, dan struktur yang terintegrasi untuk mencapai tujuan masa depan yang diharapkan. Guna tercapainya hasil terbaik yang terukur, karyawan harus diberikan inspirasi melalui sistem.pengakuan dan penghargaan.

Salah satu contoh sukses dari pemanfaatan analisis SOAR ini adalah kisah Roadway Express, sebuah perusahaan transportasi yang berpusat di Akron, Ohio (AS), yang pada suatu saat menyelenggarakan sebuah meeting tentang perencanaan strategis di salah satu fasilitas ereka di Winston-Salem. Hampir 300 orang yang terdiri dari pekerja dan pengemudi berkumpul bersama-sama dengan manajemen dan pelanggan serta para stakeholder lain dari wilayah Winston-Salem guna mendiskusikan strategi menjadikan perusahaan sebagai pemimpin dalam industri transportasi (beberapa cuplikan dari tulisan AB Soesanto).

Sebagai gambaran lainnya, apabila kita mau disiplin nasional meningkat, maka kita tidak perlu harus menyalahkan pihak lain atau kita disiplin karena takut pada atasan, melainkan mulai dari diri kita sendiri untuk bertindak disiplin, lalu kita ajari anak kita dengan pemahaman dan keteladanan disiplin kemudian ajak teman maupun pihak lain untuk melakukan hal yang sama. Andai ini semua dilakukan secara terus menerus persisten dan konsisten maka akan tercipta sikap dan kebiasaan di masyarakat yang mulai menghargai kedisiplinan.

Demikian pula dalam pemberantasan korupsi, kita mulai dari diri sendiri untuk berkata dan bertindak jujur (satu kata satu perbuatan) , keluarga kita juga dinafkahi dari sumber pendapatan yang jujur, anak kita melihat keteladanan tentang kejujuran dari hidup keseharian orang tua dan keluarganya , kita menjadi malu apabila mau memberi persembahan kepada “ Tuhan Yang Maha Jujur dan Mengetahui “ yang bersumber dari hasil ketidak-jujuran .

Mungkin banyak pihak lain yang tidak dapat menerima metode/ cara ini dan mengatakan perlunya “penegakan hukum” untuk peningkatan disiplin nasional dan pemberantasan korupsi. Benar, memang diperlukan hal itu, namun kalau kita semua menunggu dan tidak memulai dari diri sendiri , kapan perubahan akan terjadi ?

Demikian pula dalam melawan kemiskinan, maka yang perlu disadari adalah apakah kaum miskin telah menyadari bahwa dirinya memiliki potensi yang dapat digunakan untuk “ harus keluar” dan bukannya “menunggu dikeluarkan” dari kubangan kemiskinan ?

Masih sangat sering kita mendengar apabila dalam masyarakat ditanyakan mengapa tidak mau melakukan “ini itu” dan jawabnya sebagian besar mengatakan “kami tidak punya modal berupa dana/uang”. Kadang secara pribadi merasa heran karena walaupun lokasi masyarakat yang ditanya berjauhan dan berlainan pulau namun jawabannya sama meski tidak ada yang mengajarinya.

Seolah-olah kalau disediakan “dana/uang” semua permasalahan kemiskinan akan beres. Apakah benar demikian ? Mari kita secara jernih menganalisa apakah “uang menjadi segala-galanya” dalam mengatasi kemiskinan ?

Padahal kalau kita mau belajar dari bagaimana kemerdekaan Indonesia terwujud bukan karena kita punya “dana/uang banyak untuk melawan penjajah” karena kita pasti tidak punya dana yang cukup apabila semua geriliyawan republik minta disediakan logistik yang memadai, minta uang rokok dan minta gaji untuk menafkahi keluarga yang ditinggalkan saat berjuang. Yang kita punyai adalah “ impian merdeka untuk bebas dari kesulitan hidup akibat penjajahan”. Kita punya impian untuk “merdeka dalam berbicara, merdeka dalam hal ekonomi (salah satunya keluar dari kemiskinan) , politik, budaya , menghargai HAM dll”. Justu impian untuk keluar dari belenggu penjajah yang menjadikan semangat juang para pejuang yang sangat tinggi dengan memanfaatkan apa yang dipunyai (logistik senjata yang hanya berupa bambu runcing, senjata rampasan dari penjajah, senjata rakitan sendiri , logistik makanan yang hanya berupa umbi-umbian dll). Artinya dari perhitungan nalar yang sehat pasti tidak akan berhasil untuk merdeka , namun dengan semangat juang yang tinggi dan pantang menyerah serta fokus pada mewujudkan impian untuk “merdeka” maka akhirnya kita menjadi bangsa yang merdeka (dari penjajahan) namun sayangnya belum merdeka dari kemiskinan.

Analogi yang sama dapat diterapkan untuk “perang melawan kemiskinan dan pemiskinan ” dimana apabila semua pihak mau bersama-sama berjuang atas dasar impian yang sama yakni “Mensejahterakan Rakyat Indonesia , khususnya bumi Flobamora” sesuai amanat Pembukaan UUD, maka kita semua akan merasa malu apabila kemiskinan masih terus bercokol dan tidak mengalami pengurangan di bumi Flobamora yang menandakan apa yang selama ini dilakukan atas nama pembangunan tidak mengubah banyak wajah NTT alias kontirbusi kita selama ini patut dipertanyakan. Apa yang sebenarnya yang “masih belum pas “ dan perlu dibenahi dalam perang melawan kemiskinan dan pemiskinan ?.


Berpikir positif & “Asset based thinking”

Semua/ para-pihak dalam perang memerangi kemiskinan harus menyatukan energi positip berupa pikiran yang konstruktif, pengumpulan/penyatuan atau konsolidasi dana, relawan profesional yang mau berbagi dalam ide maupun masukan, dll.

Tidak perlu lagi ada intrik, gosip berbau SARA yang justru meningkatkan pikiran negatip yang menjauhkan dari sinergitas, tidak ada lagi yang mau menjadi korupstor karena kita sadar bahwa salah satu akar penyebab kemiskinan di NTT adalah korupsi berjamaah. Pemuka agama mulai secara selektip menerima dana dari pihak lain dan berani menolaknya apabila terindikasi hasil korupsi atau melalui cara-cara yang melawan nilai kemanusiaan itu sendiri. Semangat Gandhi dengan swadesi- nya harus mulai diterapkan di masyarakat kita dengan mengurangi gaya hidup yang konsumtip, melakukan investasi yang mampu menyerap lapangan kerja dan menghilangkan KKN.




Take action, miracle happen

Untuk terwujudnya impian “mengubah kemiskinan menjadi keberlimpahan” di NTT pasti tidak bisa hanya dengan “berpikir dan berkata saja ” (NATTO = No Action , Think and Talk Only ).
Banyak diantara kita yang “berpikir terus, namun belum sempat bertindak” dan sebagian lagi “Bertindak terus tanpa didasari pemikiran yang kuat “. Kita membutuhkan “Team kerja perang melawan kemiskinan” yang mampu memadukan “Berpikir dan Bertindak” sehingga berubah/ terwujud menjadi “Keajaiban” NTT yang keberlimpahan alias Nikmat Tiada Tara .

Dalam melakukan aksi “melawan kemiskinan” , maka sudah seharusnya masing-masing dari para-pihak (stake holder) melakukan kerja sama yang sinergis dengan “ duduk bersama dlam posisi yang setara” untuk merumuskan program perang melawan kemiskinan yang didalamnya memuat peran, wewenang dan target yang akan dicapai oleh para-pihak.

Disini peran “Pemerintah” sebagai “penyelenggara negara” menjadi amat penting dalam memimpin perang melawan kemiskinan karena didalamnya melekat “kekuasaan yang berasal dari mandat untuk kepentingan kesejahteraan rakyat” yang mampu membuat regulasi/policy yang memihak kepentingan rakyat banyak, selain kemampuan memperoleh dana yang dihimpun baik melalui pajak , profit BUMN/BUMD , hibah dan bantuan/hutang dari luar negeri dll.

Namun tidak berarti kita mengabaikan peran strategis dari para pemuka agama, tokoh budaya, para jurnalis, para pendidik, para akademisi/ pemikir, para pembisnis/ pengusaha maupun aktivis Ornop/NGO baik lokal maupun internasional dll sebagai “pihak luar” yang mencoba mengurai benang kusut kemiskinan.

Kembali ke perang melawan kemiskinan, dibutuhkan sinergisme dan kebersamaan dalam menghitung amunisi/logistik , strategi yang digunakan, jumlah “prajurit”, teknologi yang digunakan dan tak kalah penting adalah “semangat juang yang tinggi untuk harus keluar dari belenggu kemiskinan”. Seperti halnya perang dalam militer, genderang “perang melawan kemiskinan” untuk menuju kemenangan harus mempunyai ; strategi yang baik, prajurit yang handal, pasokan logistik (termasuk teknologi) yang mencukupi dan yang terpenting “para jenderal perang alias para leader/ pemimpin NTT yang benar-benar cerdas, jujur, merakyat dan menjadikan jabatan sebagai amanat rakyat yang ingin keluar dari penderitaan akibat kemiskinan dan yang juga harus dipertanggungjawabkan kepada TUHAN YME, bukan membutuhkan pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai “jalan pintas “memperkaya diri sendiri dan keluarganya.

Dalam rangka membantu implementasi perang mengatasi kemiskinan, Pemda NTT bersama Pemkab, Pemkot dan Para-pihak harus terlebih dahulu membangun “Kerangka Program Perang Melawan Kemiskinan “ yang didalamnya termuat paling tidak adalah Goal, Strategy Objective, Outputs dan Activities dengan indikator yang jelas serta pentahapan program yang jelas, sistematis dan terukur dan jangan lupa untuk mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat NTT sehingga semua paham dan dapat menjadi sebuah gerakan bersama.

Untuk strategy, sudah banyak sekali rekomendasi dan bentuk masukan lainnya yang disodorkan pada pemerintah, tinggal dilakukan list/daftar dan dikaji secara komprehensif mana yang paling sesuai dengan melibatkan para-pihak .

Semua potensi lokal dan non lokal harus dipetakan dan difokuskan untuk menunjang meraih kemenangan melawan kemiskinan. Semua pihak harus berpikir dan bertindak hemat/efisien dan efektip dengan dasar pemikiran “kalau bisa dihemat, untuk apa boros” sehingga tidak akan terjadi lagi penggelembungan/mark up dana proyek/program. Maka semua daya upaya yang sifatnya dapat diswadayakan oleh masyarakat , bahan lokal yang tersedia harus dimobilisasi dan yang lebih penting dana yang tersedia tidak lagi bisa dan boleh dikorupsi. Siapapun yang mengkorupnya berarti dia berpihak pada “ zona kemiskinan” dan menjadi “penjajah baru’ bagi warga miskin di NTT. Perang melawan kemiskinan bukan lagi hanya berupa “tulisan di-media-masa , peringatan, seminar, diskusi, penelitian, maupun program sektoral” tetapi benar-benar menjadi “gerakan bersama warga NTT”, dalam arti siapa saja yang tidak mendukung perang ini atau bahkan yang sebaliknya akan malu hati dan diharapkan oknum atau apapun namanya tidak bisa lagi “menetaskan dan menjual kemiskinan di NTT ”

Ybt Suryo Kusumo

Pengembang masayarakat perdesaan
Tony.suryokusumo@gmail.com

Tulisan diatas murni merupakan pikiran penulis
dan tidak terkait dengan tempat berkerja atau pihak lainnya

Tuesday, October 23, 2007

Google: Kekayaan “Kemiskinan” di NTT

Oleh: Ermi Ndoen.

Bagi para pengguna internet, Google pasti bukan nama yang asing. Nama ”mesin” pencari data di internet yang diprakarsai oleh Larry Page dan Segey Brin ini merupakan mesin pencari data yang mungkin paling terkenal di dunia saat ini.

Dengan bantuan Google, saya terinspirasi untuk melihat kekayaan ”kemiskinan di NTT”. Inspirasi ini muncul setelah saya membaca sebuah email dari teman-teman Forum Academia NTT yang menyatakan, banyak tulisan tentang NTT, selalu saja dimulai dengan kata "Kemiskinan". Benarkah kita miskin? Atau hanya pura-pura jadi "miskin"?

Saya berhipotesis, NTT tidak miskin. NTT adalah daerah yang kaya. Dan tenyata hipotesis ini benar. Mau bukti?

Coba anda mengakses Goggle dan masukkan kata kunci ”kemiskinan di NTT”. Jika hasil Anda sama dengan saya, dan saat Anda membaca tulisan ini belum ada penambahan tulisan baru, maka hanya dalam waktu 0.11 detik (tergantung kecepatan internet dan komputer yang dipakai) Anda akan berhasil menemukan setidaknya 43.600 ..... diulang ”Empat puluh tiga ribu enam ratus” tulisan yang tentang kemiskinan di NTT. Karena itu, dalam tataran ini saya menganggap, ”NTT TIDAK MISKIN” --- karena dari kemiskinan ini muncul kekayaan intelektual yang sangat menakjubkan.

Lihat saja nama-nama dimunculkan google dari kata kunci ”Kemiskinan di NTT”. Begitu banyak nama intelektual NTT dan luar NTT yang menyoroti kemiskinan di NTT. Saya kemudian mencoba menyusun nama-nama para intelektual ini apa adanya berdasarkan urutan ”results” yang dimunculkan Google. Nama pertama yang muncul dari hasil pencarian saya adalah Dr. Fred Benu dari Universitas Nusa Cendana yang mengugat bahwa program pemberantasan kemiskinan masih bersifat partial dan belum menyentuh akar permasalahan sesungguhnya. Dr. Fred merujuk pada: ”tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya tingkat pendidikan dasar dan derajat kesehatan, rendahnya kinerja perekonomian rakyat dengan infrastruktur” (Kompas, 19 Mei 2005).

Nama berikut yang muncul adalah Kornelis Kewa Ama, seorang wartawan Koran Kompas yang membuat laporan tentang bagaimana kusutnya benang kemiskinan di NTT (Kompas, 23/2006). Dalam tulisan yang sama ini ada nama besar lain seperti Prof Dr Alo Liliweri (Undana), Vincent Repu (Unwira), dan Jamin Habib (Bappeda NTT). Opini yang mengemuka dalam laporan ini adalah kemiskinan di NTT berakar pada sifat orang NTT yang tidak suka pekerjaan kasar, terutama kalau tinggal di NTT. Tapi kalau keluar dari NTT, banyak yang sukses sebagai pekerja kasar. Ini mungkin suatu alasan mengapa banyak TKI yang berasal dari NTT. Walaupun terbukti bahwa tidak semua TKI bernasib baik. Sebut saja Nirmala Bonat sebagai contoh. Alasan lain tentang akar kemiskinan NTT adalah kesukaan bergotong royong NTT yang sangat menonjol. Sayangnya sifat gotong royong ini dalam konteks saling membantu untuk berpesta. Juga kurangnya jiwa enterprise masyarakat NTT dan PNS oreinted yang sangat kuat, pola sukuisme dan kehidupan terkotak-kotak akibat perbedaan budaya, agama, adat dan pulau-pulau.

Diskusi tentang kemiskinan tidak hanya hadir dalam konteks seminar atau laporan koran tetapi sudah banyak dibukukan. Sebut saja judul buku pertama yang disodorkan google, ”Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur”. Buku yang diterbitkan pada tahun 1994 oleh Penerbit Buku Obor ini memuat hasil penelitian Tim IPB tentang keprihatinan pembangunan di NTT. Buku ini memunculkan nama Sayogya sebagai penulisnya.

Kekayaan ”Kemiskinan” NTT tidak hanya memunculkan nama perorangan atau kelompok peneliti. Kemiskinan NTT juga menarik perhatian negara lain. Sebut saja nama Bill Farmer, Duta Besar Australia, adalah nama selanjutnya yang disodorkan Google. Bill Farmer hadir sebagai perwakilan keprihatinan negara lain, dalam hal ini Australia terhadap kemiskian di NTT. Australia kemudian meluncurkan program bantuan pengentasan kemiskinan di NTT dan NTB senilai AU$ 30 juta pada tanggal 9 Maret 2006 lalu. Program ini diberi nama, Australia Nusa Tenggara Assistance for Regional Autonomy (ANTARA). Progam ini akan berlangsung sampai 2010.

Dari berita NTT Online (29/11/2005), ada reportase Arin Swandari tentang ”Anak NTT, lahir lalu miskin”. Arin melaporkan, salah satu penyebab kemiskinan di NTT adalah banyaknya jumlah anak dalam keluarga. Banyak anak ternyata tidak banyak rejeki. Juga fenomena bahwa banyaknya anak yang lahir dalam keluarga karena akibat dari kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan memicu stress dan depresi. Akibatnya seks adalah cara yang ditempuh untuk mengatasi stress. Suatu argumen yang menarik dari Romo Maxi Unbria.

Pos Kupang (18/9/2007) juga memuat opini tentang Gizi buruk di NTT oleh Gabriel Adur yang juga merujuk Laporan Indonesia Corruption Watch ( ICW), dimana, dibalik kemiskinannya, NTT adalah propinsi terkorup ke-6 di Indonesia. Nama-nama berikutnya yang disodorkan google sebagai kekayaan intelektual ”Kemiskinan” NTT adalah Siliwoloe Djoeroemana, E.Th. Salean, W. Nope, yang memaparkan data, setelah 35 tahun program integrasi pembangunan daerah pedesaan di NTT, ternyata 58% rumah tangga di NTT masih tetap miskin.

Tidak ketinggalan blog ”KABAR NTT” menghadirkan nama YBT Suryo Kusumo, yang berharap suatu saat sebutan NTT sebagai ‘Nanti Tuhan Tolong, ‘Nasib Tak Tentu’ bisa berubah menjadi Nasib Tergantung Tekad, dan akhirnya dapat berlabuh pada akronim Nikmat Tiada Tara’.

Kemiskinan di NTT juga menghadirkan nama Emmanuel Bria, Staf Konsultan Social Development, Maunsell Aecom, Jakarta yang juga menyorot soal kemiskanan di NTT hasil laporan lembaga Ecosoc Right lewat opini Kupang ” Kemiskinan di NTT dan hermeneutika kecurigaan” (PK, 31/01/07). Tidak ketinggalan Nama mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe (PK, 19/08/06) yang menyoroti tugas Dewan Riset Daerah untuk pengentasan kemiskinan.

Nama dari Unkris Arta Wacana Kupang yang disodorkan Google adalah Frits O Fanggidae. Frits menyoroti kekurangpekaan pemerintah terhadap kondisi perekonomian masyarakat, “masalah kemiskinan di NTT tidak akan berarkhir karena belum ada kebijakan pemerintah yang berpihak pada rakyat”, kata Frits (Gizi.net, 15/9/07)

Selain Ecosoc right dan Tim IPB, lembaga lain yang menyoroti kemiskinan di NTT adalah SMERU Institute. Salah satu hasil penelitian SMERU institute tentang “Keuangan Mikro untuk Masyarakat Miskin” (2004) ini adalah lembaga perbankan di NTT masih belum memiliki skema pelayanan keuangan untuk masyarakat miskin sehingga akses kelompok ini terhadap bantuan perbankan menjadi terbatas, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Google tidak hanya memberikan nama ANTARA-nya Ausaid. Nama lain yang muncul adalah “Swisscontact”. “Dari Swiss untuk Flores” adalah laporan yang ditulis oleh Andreas Harsono, wartawan Pantau tentang bagaimana Swisscontact hendak memerangi kemiskinan penduduk di Pulau Flores dengan jambu mete. Dalam laporan ini muncul nama-nama besar lain seperti Daniel Dhakidae, kepala riset Kelompok Kompas Gramedia, dan Frans Padak Demon dari Voice of America.

Perburuan saya tentang kekayaan “Kemiskinan di NTT” juga menghadirkan nama lain Florencio Mario Vieira, Prof. Dr. Vincent Gaspersz, Esthon Foenay, M.Si, Charles Mesang, dan tidak ketinggalan Sarah Lery Mboeik. Nama-nama di atas tidak sendirian. Masih banyak nama-nama lain yang akan muncul. Perburuan saya terhenti di halaman 6 dari sekian ribu halaman yang saya yakin tidak akan sanggup saya jelajahi semua.

Perburuan kekayaan “Kemiskinan di NTT” membuktikan bahwa NTT mempunyai cukup sumber daya untuk mengentaskan kemiskinan dari tanah NTT. Banyak ide sudah diberikan oleh para intelektual kita. Banyak hasil riset telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga pemerhati kemiskinan di NTT. Juga banyak dana telah digelontorkan oleh negara-negara lain untuk membantu kita. Karena itu tidak ada alasan lagi untuk tetap miskin. Mari kita buktikan bahwa kita juga bisa keluar dari jurang kemiskinan ini. Karena sebenarnya kita memang kaya .... setidaknya menurut Google. Salam .