Friday, October 5, 2007

www.royaltimor.com

D Tick

L.S.;

On www.royaltimor.com you can see a new website about the dynasties of West-Timor.

Maybe interesting for you and to put as a link on your site.

We want to update it every week.

Thank you for your help and attention.

Succes with your website.

Yours sincerelly:

D.P. Tick(gelar raja Muda Kuno)

(Anggota Kerabat Istana Kupang/Sonaf KotaE Bakunase)

secretary Pusat Dokumentasi Kerajaan2 di Indonesia "Pusaka"

Vlaardingen/the Netherlands.

Membangun impian sebuah desa ideal imajiner

Oleh: YBT Suryo Kusumo

Pengembang Masyarakat Perdesaan

tony.suryokusumo@gmail.com

Ketika gaung reformasi membawa angin segar terhadap wacana otonomi daerah dan dimplementasikan sejak awal tahun 2000, maka sebenarnya yang terutama harus dilakukan bersama adalah penyamaan persepsi tentang tujuan dan kegunaan dari adanya kebijakan otonomi daerah. Ketika kita mempertanyakan mulai darimana otonomi dilaksanakan, maka yang paling utama penerapan otonomi desa. Desa yang selama ini dijadikan sapi perahan dan ‘budak’ terbawah dalam sebuah sistem pemerintahan ORBA yang otoriter harus diubah pemahamannya menjadi sebuah wilayah otonom yang mampu mengelola dan mengambil keputusan sendiri dalam melaksanakan pengembangan desanya, meskipun masih terkait dengan kecamatan sebagai wilayah regional yang paling dekat. Desa harus dipandang sebagai satuan terkecil dari NKRI yang mana akan memberi sumbangan dan warna dalam pembangunan keseluruhan bangsa Indonesia.


Penyediaan prasarana dan sarana dasar

Dalam program pengembangan masyarakat pedesaan , untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak maka dibutuhkan prasarana dan sarana dasar yang utama harus ada dalam sebuah desa antara lain :

  1. Sarana perumahan yang sehat, indah, harmonis
  2. Sarana kesehatan (ketersediaan air bersih, saluran pembuangan, MCK, polindes, posyandu dll)
  3. Sarana pendidikan (formal, non formal, informal)
  4. Sarana ibadah
  5. Sarana ekonomi (pasar desa, koperasi serba usaha , lembaga Keuagan desa dll)
  6. Sarana transportasi (jalan beraspal/ bersemen, alat angkut darat, dermaga & kapal laut)
  7. Sarana komunikasi
  8. Sarana olah raga
  9. Sarana hiburan ( meningkatkan peran budaya lokal)
  10. Sarana produksi
  11. Sarana penerangan dan ketersediaan listrik
  12. Lembaga perwakilan tingkat desa (BPD)
  13. Sarana pengembangan kapasitas intelektual (pusat informasi desa, kepustakaan desa dll)
  14. Litbang desa

P3 DT, PPK, Proyek Air bersih Ausaid, PNT, Siskes dari GTZ dll selama ini telah membantu dalam menyiapkan sarana dasar yang memadai untuk kehidupan di pedesaan. Namun hal ini belum terasa dapat memenuhi kebutuhan karena terbatasnya dana yang tersedia, tiadanya perencanaan strategis (Renstra) Desa yang didalamnya antara lain memuat rencana tata ruang tingkat desa, sehingga menyulitkan pihak luar untuk bekerja sama secara sinergis dalam membantu pengembangan sebuah desa.


Rencana strategis desa dan rencana umum tata ruang tingkat desa

Dalam pengembangan sebuah desa, perlu dipikirkan untuk sejak awal melakukan renstra desa dan merencanakan tata ruang tingkat desa yang mengatur peruntukan lahan yang diarahkan untuk pemukiman, sarana umum dan sosial, kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan hutan, kawasan industri kecil dll yang dilakukan secara partisipatip dengan melibatkan seluruh warga desa serta “konsultan pengembangan desa” yang hanya berperan emmberi masukan tanpa memutuskan. Dalam perencanaan ini jika ada monopoli kepemilikan tanah oleh tuan tanah maupun adat, maka perlu dipikirkan adanya usaha reforma agraria/ land reform yang menjamin rasa keadilan dan mendukung perdamaian.

Penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil

Dalam rangka menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka (inklusip), berbudaya, jujur; untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran secara terus menerus melalui penyadaran kritis dan latihan menganalisis tentang realitas kehidupan dalam berbagai bidang baik sosial, politik, ekonomi dlll pada aras makro (nasional) maupun mikro (tingkat kabupaten). Pendidikan kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kita ingin menjadikan warga desa cerdas dan kritis, karena pengalaman selama ini masyarakat desa hanya dijadikan obyek dalam suatu penyelenggaraan pemilu dan kemudian dilupakan.

Untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil di desa , perlu dilakukan :

Penyadaran kritis rakyat

Penguatan ORA (Organisasi Rakyat)

Pengaliran dan penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna rakyat

Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara (khususnya aparat desa)

Peningkatan kemampuan ekonomi melalui kegiatan usaha produktip dan pengelolaan SDA yang lestari dan berkelnjutan.

Pemerintahan desa yang bersih & transparan

Kegagalan akan keberlajutan sebuah pembangunan pedesaan melalui pendekatan top down dan proyek, seharusnya menjadi cermin bagi kita, bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun dirinya sendiri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musrenbangdes (musyawarah rencana pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/ mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan. Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi ‘sapi perahan’ bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas /mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui penyelewengan atau tidak dikembalikannya dana kredit yang disediakan untuk mereka (dana IDT dll).

Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung. Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat.

Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll seharusnya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Saat ini sebagian besar desa hanya menjadi semacam ‘tempat sampah pembangunan’, dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.

Mengembangkan otonomi desa

Dijaman ORBA, desa mengalami marjinalisasi yang dibuktikan dengan pengendalian desa melalui Kepala Desa yang secara ex officio menjadi Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat, dan Ketua II oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang tidak lain adalah istri Kepala Desa dan keberadaan wewenangnya dibawah Camat. Hal ini tertuang dari pengertian desa menurut UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). Dari rumusan ini terlihat pemahaman desa merupakan representasi pemerintah pusat, artinya kewenangan memutuskan ada ditangan pemerintah pusat dan apa yang dianggap baik oleh pusat akan dirasa baik pula untuk desa. Asumsi ini sangat kental dengan nuansa sentralistik dan mengkebiri peran desa sebagai wilayah yang otonom dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Di era reformasi, keinginan melaksanakan desentralisasi menjadi sangat kuat sebagai keputusan politik serta mengubah pendekatan top down dengan bottom up. Dalam UU No. 22 th 1999, pasal 1(o) disebutkan bahwa pengertian desa atau apa yang disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asa usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pada (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pencabutan UUPD No. 5/1979 dan digantikan dengan UU No. 22 tahun 1999 merupakan wujud keseriusan pemerintah transisi untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberikan ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering) , partisipatip dan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa saja yang dapat disiapkan , teknologi apa yang akan dipilih dll. Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para pejabat /birokrat, tetapi sebaliknya para pejabat diharapkan menjadi fasilitator, konsultan, mediator, motivator, dan bukannya justru menjadi koruptor, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri yang mengklaim dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat sehingga tidak berhenti sebagai retorika belaka, melainkan diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui pejabat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan pejabat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra sejajar yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin. Para pejabat, Pemuka agama, Pemuka Masyarakat, Pemuka Adat, LSM, Pengusaha dll serta semua pihak yang berkehendak baik untuk masyarakat perlu membantu dengan segala daya upaya agar warga desa menjadi semakin berdaya, kritis, cerdas dan semakin mampu menolong diri sendiri dan sesama di desanya. Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan kita dengan warga desa untuk membantu menfasilitasi pembuatan renstra desa, master-plan desa (mengatur tata ruang desa, tata guna/ peruntukan lahan), peningkatan ketrampilan teknis dan kemampuan berbisnis bagi warga desa, penyiapan sarana yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti jalan beraspal/bersemen, alat traspor, sarana telepon, listrik, dermaga dll) sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga pada akhirnya juga memberi sumbangan yang berarti bagi PAD (Pendapatan Asli Desa) tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga keberlanjutan daya dukungnya bagi anak cucu. Dengan meningkatnya pendapatan asli desa, maka dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD kabupaten melalui peningkatan produktivitas yang tinggi dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka OTDA tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki daerah dengan bekerja secara professional yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Maka APBD tingkat kabupaten juga harus menampakkan tampilan kinerja yang efisien dan tidak menghabiskan anggaran hanya untuk menutup biaya rutin seperti gaji pegawai, pembelian fasilitas kantor, SPJ pejabat dsb, tetapi juga menuntut pegawai negeri untuk lebih profesional dalam melayani kepentingan publik yang telah menyediakan dana untuk pembayaran gajinya.

Mari kita kembangkan otonomi desa untuk memperkuat OTDA dan tidak perlu meremehkan keberadaan desa, karena sebenarnya kehidupan kota sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari desa, baik dalam penyediaan bahan pangan maupun kebutuhan lainnya.

Dengan demikian harus ada prioritas bagi Pemerintahan desa sebagai aparat negara yang paling dekat dengan rakyat di desa untuk diberdayakan terlebih dahulu, karena seperti kita ketahui masyarakat masih bersifat paternalistik dan sangat bergantung pada tokoh adat, dan tokoh agama . Pengelola pemerintahan desa harus memegang prinsip partisipatip, bottom up dan menfasilitasi aspirasi masyarakat, dan bukan menjadi bawahan Camat maupun Bupati. Pemerintahan desa harus memikirkan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan mendasarkan pada potensi lokal yang ada tanpa merusaknya , menjamin rasa aman, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi warganya. Pemerintahan desa juga harus transparan dalam hal kebijakan yang diambil, penggunaan keuangan dan mampu mempertanggungjawabkannya kepada warga sebagai wujud tanggungjawabnya kepada publik dan yang pasti kepad Sang Pencipta. Dengan demikian setiap kebijakan yang diambil harus merupakan representasi dari aspirasi masyarakat dan harus selalu memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pejabat maupun kalangan bisnis dari luar. Badan perwakilan Desa (BPD) harus mampu mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di desa, namun tidak boleh menjadi arogan dalam artian BPD juga harus dikontrol oleh masyarakat desa yang memilihnya. Dan harus ada perubahan sistem dalam manajemen pemeritahan negara Indonesia, dimana desa diberi wewenang untuk memutuskan apa saja yang akan dilakukan dalam satu tahun, sehingga bukan lagi Bappeda yang memutuskan, namun tetap dalam keterkaitan dengan wilayah lain dan peran Bappeda dibutuhkan dalam membantu keterkaitan dalam tataran makro.

Namun sayangnya baru beberapa tahun UU 22/1999 berjalan, Pemerintah telah menggantinya dengan UU 32/2004 yang mengganti BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa sehingga tidak lagi menjadi badan yang mampu menyuarakan kepentingan warga desa.

Pengembangan ekonomi kerakyatan

Perekonomian merupakan denyut nadi yang utama dalam pengembangan pedesaan. Peningkatan taraf hidup masyarakat desa sangat bergantung pada tingkat pendapatan yang mempengaruhi dalam kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk investasi/ modal usaha.

Masalah utama yang dilihat dalam pedesaan sebenarnya bukan masalah modal berupa uang untuk modal usaha, namun yang lebih utama adalah masih lemahnya jiwa dan ketrampilan berbisnis/berusaha, kurangnya kemampuan mengelola ERT (Ekonomi Rumah Tangga) sehingga menjadi ERT (Ekonomi Ribut Terus), tergerusnya aset/kekayaan karena biaya sosial yang tinggi mengatasnamakan adat yang bertubi- tubi. Tapi tidak berarti kita meniadakan adat/budaya melainkan bagaimana nilai-nilai luhur tetap terpelihara dan diterapkan namun terjadi pengurangan/ rasionalisasi dalam pembiayaannya.

Kita sering mendengar keluhan masyarakat yang selalu mengeluh ketiadaan uang sebagai modal dalam berusaha, namun kalau kita mau mengkaji lebih jauh, banyak faktor yang mempengaruhi lambatnya peningkatan pendapatan masyarakat, meskipun berbagai upaya untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan oleh pemerintah telah sangat gencar dilakukan, mulai dari IDT, P3DT, PPK, maupun dari pihak lain seperti dari LSM, bantuan luar negeri dll. Menjadi pertanyaan kita, kemana uang bantuan yang selama ini mereka terima ?

Dari perspektip makro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :

  • Kebijakan pembangunan yang selalu terpusat (sentralistik) di ibukota baik ibukota negara, propinsi, kabupaten maupun kecamatan, sehingga prasarana dan sarana dasar hanya terbangun diseputar ibukota tersebut.
  • Kebijakan ekonomi nasional selama ini lebih memihak kaum kapitalis /konglomerat, sehingga desa hanya dijadikan obyek dan diperas SDA nya untuk kepentingan kaum kapitalis. Kebijakan ekonomi yang diambil tidak berdasar ekonomi kerakyatan seperti yang diharapkan oleh pendiri bangsa dalam pasal 33 UUD 45.

Dalam UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). yang mengartikan desa sebagai bawahan Camat sehingga tidak menjadikan desa sebagai daerah yang otonom. Masyarakat beserta Kepala Desa tidak mampu menolak semua kepentingan dari luar meski tidak sesuai dengan kehendak/aspirasi masyarakat desa. Maka desa hanya dijadikan obyek pembangunan dan ‘tempat sampah pembuangan semua jenis proyek’


Dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi, desa tidak mempunyai akses ke jaringan pasar karena tiadanya sarana komunikasi untuk mendapat informasi harga maupun kebutuhan pasar dan rendahnya posisi tawar dalam berbisnis serta tiadanya jaringan pemasaran bersama , sehingga banyak kegiatan usaha produktip menjadi sia-sia karena produknya tidak mampu mengakses ke pasar. Kalaupun desa dijadikan tempat industri melalui program PIR, sebenarnya keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha daripada rakyat di desa tersebut. Ketika ada usaha pengelolaan SDA yang ada di desa, maka keuntungan akan ke pemerintah pusat dan daerah serta pengusaha, sementara yang masuk sebagai pendapatan desa sangat kecil prosentasenya.

Dalam kaitanya dengan kebijakan makro, maka sebenarnya kebijakan pembangunan telah mengorbankan sektor pertanian dimana sebagian besar warga desa merupakan petani sehingga berakibat sulitnya meningkatkan harkat dan martabat warga desa/ petani melalui peningkatan kesejahteraan hidupnya.

Ironis memang begitu banyak pejabat yang “menjadi orang” karena jerih payah orang tuanya yang petani namun setelah menduduki jabatan lupa membangun infrastruktur di desa dan membantu keluarganya yang berprofesi sebagai petani.

Dalam perspektip mikro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :

  • Rendahnya kemampuan manajemen wirausaha/ bisnis yang dimiliki rakyat desa karena ketiadaan pelatihan dan dukungan dari pihak terkait.
  • Adanya kebiasaan hidup boros atas nama adat-istiadat setempat, sehingga banyak uang yang tidak dapat disisihkan untuk modal/investasi.
  • Rendahnya ketrampilan teknis yang dimiliki masayarakat desa terkait dengan usaha yang dipilih dan dijalankan sehingga tidak efisien dan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja.
  • Terbatasnya kapasitas intelektual karena kebiasaan budaya lisan dan kurangnya budaya “baca”, diskusi maupun keinginan menambah informasi dari berbagai mass media (radio, TV, surat kabar, majalah, poster, leaflet , internet dll). Seandainya program warnet pedesaan benar-benar bisa terwujud alangkah indahnya.
  • Adanya budaya paternalistik dan pemilik modal/ tuan tanah yang menguasai sebagian besar asset di desa sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan.
  • Pengembangan institusi keuangan di tingkat desa yang mampu dikelola oleh warga desa seperti Koperasi kredit sangat diperlukan sehingga terdapat institusi keuangan pengganti bank yang mengakibatkan terjadinya perputaran uang ditingkat desa, dan dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari di desa diharapkan juga tersedia ‘mall’ ala desa alias warung serba ada yang menjual barang dengan harga wajar dan adil. Maka penguatan organisasi/ badan ekonomi desa seperti koperasi menjadi sangat startegis karena keuntungan akan dinikmati oleh warga desa sebagai anggota koperasi dan menumbuhkan solidaritas sejati diantara warga.

Pengembangan industrialisasi pedesaaan

Dalam pengembangan lebih lanjut, perlu dipikirkan untuk membangun sebuah industri skala kecil yang mampu mengolah hasil pertanian, peternakan maupun perkebunan dan kehutanan sehingga tidak terjadi pembuangan hasil yang melimpah karena tidak mampu dipasarkan, dan terjadi proses daur ulang yang terus menerus sehingga limbah mampu terolah dan kembali termanfaatkansebagai sebuah siklus yang berkelanjutan. Disamping itu industri yang dibangun juga harus mempertimbangkan penggunaan teknologi tepat guna yang mampu dikuasai masyarakat setempat, tidak padat modal dan juga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minyak kelapa, sabun, margarin/keju, tepung untuk makanan kecil dll. Pemanfaatn minyak kelapa dan minyak jarak untuk pembangkit listrik tenaga diesel di Ende sangat menarik untuk dikaji karena hasil olahan masyarakat langsung dapat “pasar” yang pasti. Demikian pula untuk memperoleh minyak jarak tidak dibutuhkan modal yang banyak untuk pembelian mesin pengolahnya kira-kira sekitar 150 juta yang dapat didanani dari ADD (Alokasi dana Desa). Industri kerajinan kayu/rotan untuk meubel, cindera mata dll, industri penyamakan kulit hewan, industri kerajinan makanan olahan dsb dapat menjadi pilihan dalam pengembangan industri di desa sehingga mampu meningkatkan nilai tambah yang dengan sendirinya juga akan meningkatkan pendapatan. Produk asinan, manisan, tepung, keripik , dodol dsb dapat menjadi andalan apabila diproses dan dikemas secara baik dan higienis.


Kehidupan yang selaras alam

Pengelolaan SDA berbasis masyarakat harus terwujud dalam realitas, bukan hanya sekedar retorika saja. Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar dari masyarakat sekitar SDA karena mereka akan menyadari pentingnya pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang secara langsung menyangkut hajat hidup masyarakat dilokasi SDA berada. Dengan pengelolaan SDA oleh rakyat, maka mereka akan langsung merasakan manfaatnya bagi peningkatan taraf kehidupannya dan diharapkan akan mengelolanya dengan penuh tanggung jawab. Disamping itu dengan pengelolan berada di tangan rakyat, maka akan ada pemberdayaan ditingkat masyarakat, karena mereka akan memperoleh pelatihan teknis maupun manajemen dari dinas kemakmuran rakyat (dinas perkebunan, kehutanan, pertambangan, peternakan dll) sehingga secara kualitas kemampuan masyarakat bertambah.

Pengembangan pertanian juga akan mengikuti prinsip keselarasan dengan alam dengan mengembangkan Pertanian Berkelanjutan yang ramah lingkungan, memanfaatkan input lokal sehingga tidak dijumpai penggunaan pupuk kimia dan pestisida pabrik yang dapat meningkatkan pencemaran lingkungan dan membuat ketergantungan petani. Benih yang digunakannyapun benih lokal unggul sehingga mereka dapat menyiapkan secara mandiri setiap tahun tanpa harus membeli. Mereka tidak melaksanakan penananam tunggal (monocroping) melainkan diversifikasi/ multicroping yang saling memnguntungkan baik secara ekonomis, ekologis , produksi dan budaya. Mereka menambah kesuburan lahan dengan menanam tanaman jenis legum (termasuk salah satunya asam), memanfaatkan pupuk organis dari kotoran hewan/ternak, daun-daun legume, kompos dll.

Pengembangan peternakan juga memperhatikan daya dukung lahan dan tidak dibiarkan lepas sehingga tidak merusak kebun beserta tanamannya.


Demokratis yang santun

Masyarakat sudah semakin berani menyuarakan aspirasinya, menuntut haknya sekaligus secara bersamaan melaksanakan kewajibannya secara bertanggungjawab. Mereka akan semakin kritis terhadap penyimpangan yang terjadi dan dengan adanya sistem kontrol yang ada ditangan rakyat, maka siapa saja yang melanggar hukum akan dikenai hukuman yang setimpal dan adil. Mereka tidak lagi menjadi masyarakat yang paternalistik dan hanya mengangguk saja, melainkan berani menyuarakan pendapat yang berbeda sepanjang pendapat itu lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara nalar dan nurani. Perbedaan pendapat yang ada tidak menyebabkan perkelahian secara fisik, namun justru lebih mengedepankan pikiran yang nalar, tidak emosional, namun mencari solusi yang terbaik. Penilaian kinerja aparat desa dilakukan secara transparan, menggunakan indikator yang terukur (SMART) yang disepakati bersama antara aparat dan warganya, sehingga tidak lagi terjebak dalam sentimen keagamaan sempit, kesukuan, ras maupun rasa suka tidak suka. Aparat desa mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada warga dan warga berhak menilai berdasar indikator yang sudah disepakati Demikian pula dalam rekruitmen aparat desa , tidak ada lagi kolusi, suap maupun bentuk penyelewengan lainnya, karena proses rekruitmen aparat desa sangat transparan dengan kriteria yang jelas dan beberapa warga yang mewakilinya menjadi pengujinya. Peserta yang tidak lulus boleh bertanya apa penyebab dirinya tidak lulus dan foto kopi hasil tes dikembalikan kepada peserta.


Persaudaran sejati

Di desa imajiner ini sudah tidak ada lagi kata pendatang dan asli, nonpri dan pribumi, tidak lagi membedakan muslim atau non muslim, tidak ada lagi kerusuhan berbau SARA, karena kehidupan didasarkan kepada keimanan yang benar, jernih dan rasional dengan tingkat religiositas yang tinggi yang terwujud dalam kasih kepada manusia lainnya sebagai sesama ciptaan Tuhan. Tidak ada lagi sentimen kedaerahan dalam kehidupan keseharian meski desa ini terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras, budaya. Karena mendasarkan kasih dalam kehidupan keseharian, maka yang terjadi adalah saling tolong menolong dengan ketulusan dan keiklasan hati, tidak ada lagi iri hati/cemburu, tidak ada lagi kesombongan meskipun ada yang kaya dan miskin, ada yang sebagai pejabat dan rakyat. Meskipun berbeda keyakinan/iman, mereka bekerja sama mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesulitan warga lainnya yang ada didesanya, membangun sarana umum secara bersama. Tidak ada lagi kelompok merah atau putih yang saling berseteru dan saling membinasakan, karena mereka telah melebur menjadi merah-putih seperti bendera kebangsaan yang kita cintai, dimana diartikan merah adalah berani dan putih adalah suci sehingga kita berani karena suci. Bukan membinasakan yang berbeda keyakinan untuk atas nama penyimpangan yang disimbolkan sebagai sebuah perang suci, melainkan saling bergandengan tangan bahu membahu mengurangi penderitaan dan permasalahan untuk menjangkau kehidupan yang lebih berharkat dan bermartabat.

Mari kita wujudkan mimpi menjadi kenyataan !!!!!!

Tuesday, October 2, 2007

Kedaulatan Pangan &Ekonomi, atau Ketahanan Pangan?


*Strategi NTT mengatasi rawan pangan


Oleh: Tony Suryokusumo, Pengembang Masyarakat Pedesaan


NTT rawan pangan, apa kata dunia ?

Belum terlalu lama kita di NTT tidak lagi ramai membicarakan mengenai masalah rawan pangan dan gizi buruk, namun saat ini kembali terungkap ke media permasalahan yang sama dari tahun ke tahun tanpa ada upaya sistematis yang mampu untuk mengatasi agar masalah reguler tersebut tidak berulang. Sungguh kenyataan pahit yang harus kita terima dengan sangat menyesal, bahwa rawan pangan dan gizi buruk yang awalnya merupakan sebentuk shock (Kejutan) sudah beralih menjadi cycle (siklus) yang jika dipahami lebih mendalam dapat disimpulkan bahwasanya pendekatan/strategi yang dilakukan pemerintah melalui pendekatan jangka pendek/penyelamatan seperti RASKIN, BLT, JPS dsb belum mampu menyelesaikan permasalahan secara mendasar dan jangka panjang dan sistemik melalui perbaikan terstruktur untuk layanan publik.

Kondisi rawan pangan juga telah menarik minat sebuah stasiun TV Internasional Al Jazeera untuk memotret kondisi nyata yang terjadi di NTT. Tujuannya adalah hasil liputan itu akan menjadi referensi pembanding terkait peristiwa serupa (kelaparan) di Timur Tengah, yang akan disaji dalam bahasa Inggris.


Sungguh sangat ironis, ketika berjuta-juta pasang mata “menatap wajah lain NTT” berupa rawan pangan, disisi lain belum terlihat kepekaan para pejabat publik dalam kesigapannya mengatasi masalah rawan pangan dan gizi buruk secara sistemik dan seolah kondisi ini harus diterima sebagai sesuatu yang mesti terjadi dan harus diterima dengan sabar dan tawakal karena merupakan cobaan.

Manajemen pembangunan nasional yang berwajah sektoral

Sejak Orde Baru wajah manajemen pembangunan nasional sangat sektoral dan hanya berorientasi proyek semata. Kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara Republik Indonesia secara perlahan diperlemah kemampuan swadaya dan rasa kebersamaan melalui budaya gotong royongnya dan berubah menjadi sangat tergantung dengan Pemerintah. Sikap yang semakin apatis dan semakin tergantungnya masyarakat dalam kebersamaan dan tanggung jawab membangun bangsa nampaknya dipicu oleh ketersediaan dana pembangunan yang ada di semua departemen dan dikelola oleh masing-masing tanpa ada koordinasi yang sinergis serta tanpa ada kontrol dari masyarakat yang berujung pada pesta pora KKN dalam pengelolaannya.

Masing-masing departemen memperjuangkan kepentingannya dengan kacamata sektoral, yang mana dapat dilihat dalam proses pembangunan sebuah kota, dimana jika bulan ini ada penggalian jalan untuk telekomunikasi, bulan berikutnya oleh PDAM, dilanjutkan oleh PLN. Terlihat bagaimana susahnya masing-masing dinas untuk berkoordinasi dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi layanan publik dan terlihat betapa telah terjadi pemborosan dana, waktu, tenaga yang luar biasa di pemerintahan karena ketidakterpaduan layanan dalam satu atap. Hanya beberapa daerah di Indonesia setelah diberlakukannya desentralisasi yang mampu berpikir dan bertindak untuk memberikan layanan yang terpadu satu atap yang murah dan efektip.

Betapa susahnya pemerintah baik Tk I maupun Tk II untuk memprioritaskan alokasi dana yang cukup besar dalam memperbaiki dan membangun infrastruktur di NTT yang mampu mendukung peningkatan produksi dan pemasaran komoditi pertanian, meningkatkan efisiensi biaya transportasi dll.

Tawaran solusi keluar dari rawan pangan

1. Pembangunan infrastruktur dasar yang strategis

Prioritas pembangunan yang lebih menfokuskan pada penyediaan infrastruktur dasar akan sangat berpengaruh baik dari sisi pemenuhan kebutuhan akan pangan, transpor yang murah untuk mobilitas warga , layanan informasi yang mudah dan murah, ketersediaan energi yang cukup untuk industri maupun rumah tangga, ketersediaan akan air yang memadai dll.

Sebagai contoh tentang kebutuhan pembangunan “infrastruktur irigasi NTT “ yang mampu memanen dan mengelola air untuk kepentingan multi guna baik pertanian, ternak, manusia dll. Dalam NTT online (http://www.ntt-online.org/2006/12/02/ntt-butuh-60-embung-irigasi-berskala-1-5-juta-kubik) , disampaikan informasi oleh Kepala Sub Dinas Pengairan, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah NTT, Ir. Obet Sabetu, M.Eng, bahwa Nusa Tengggara Timur (NTT) membutuhkan 60 buah irigasi berskala 1-5 juta meter kubik air yang ditampung pada musim hujan, agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik manusia, hewan maupun untuk kepentingan peternakan. “Ada 60 lokasi yang menurut hasil survei kami cocok untuk dibangun embung irigasi dengan daya tampung 1-5 juta meter kubik air,”

Jika kebutuhan 60 embung irigasi itu bisa dibangun seluruhnya, maka sumber airnya bisa dimaanfatkan untuk kebutuhan air baku, peternakan dan pertanian lahan kering seluas 60-70 ribu hektare. Saat ini, baru dibangun 24 embung irigasi diantaranya, embung irigasi Haliwen, Bendung Benenain dan Iri Malaka di Kabupaten Belu, wilayah yang berbatasan dengan negara Timor Timur.

Disamping embung irigasi, NTT juga membutuhkan 2.700 embung kecil, 2.600 sumur air tanah dan 29 buah waduk berskala 10-50 juta meter kubik.

Untuk embung kecil, saat ini baru dibangun 340 buah dari 2.700 buah dan 844 sumur air tanah dari 2.600 buah yang dibutuhkan di seluruh wilayah NTT.

Sedangkan untuk waduk, baru dibangun satu buah waduk di Tilong di Kabupaten Kupang yang dibiayai Jepang, yang mampu menampung air sebanyak 10-50 juta meter kubik. Waduk Tilong ini selain untuk supplesi irigasi Tilong seluas 1.484 hektare, juga untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat Kota Kupang.

Jika program pembangunan embung dan waduk ini bisa terealisir, NTT tidak akan mengalami rawan pangan lagi seperti yang terjadi selama ini.

“Kalau ada air, masyarakat bisa menanam apa saja, bisa beternak, sehingga mereka tidak lagi mengalami kesulitan seperti yang terjadi selama ini,”

Dari uraian diatas terlihat dalam pengalokasian APBD seharusnya lebih diprioritaskan untuk pendanaan sektor yang sangat strategis seperti irigasi, perbaikan dan pembuatan jalan beraspal/semen , pengembangan listrik perdesaan , pelabuhan, bandara dll yang mampu menggenjot sektor riil dan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat . Pembangunan infrastruktur mampu mengurangi berbagai kendala, memberi semangat kepada rakyat untuk lebih produktip karena tersedia prasarana dan sarana yang memadai/ layak sehingga pengembangan ekonomi rakyat menjadi lebih efisien dan tidak terkendala sehingga kedepan mampu bersaing dengan daerah lain. Pemerintah seharusnya berpikir untuk melakukan efisiensi dan memangkas alokasi dana yang dirasa kurang urgent seperti perjalanan dinas keluar daerah, studi banding, insentip untuk para pejabat dan anggota DPRD, mengoptimalkan sarana dinas yang ada dan mengurangi pembelian alat-alat kantor yang tidak perlu. Biaya rutin kantor harus lebih bisa dihemat melalui pemanfaatan “teknologi informasi” seperti pemanfaatan email, sms , teleconference dll yang mampu mengurangi besranya biaya untuk transportasi, akomodasi dll..

Dana SILPA seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendanai infrastruktur yang kedepan mampu membangkitkan dan menggairahkan perekonomian rakyat sehingga mampu meningkatkan PAD yang dapat digunakan untuk pembangunan NTT.

Pengembangan infrastruktur yang telah dilaksanakan seperti pelabuhan peti kemas Bolok dan tersedianya penerbangan regular dari berbagai daerah ke Kupang dan dari Kupang ke Denpasar maupun Surabaya harus menjadi modal dalam pengembangan ekonomi rakyat dan didaya gunakan secara optimal melalui peningkatan produksi hasil pertanian dan kelautan, kerajinan rakyat dll.

2. Reforma Agraria/Land reform

Reforma agraria sebenarnya bukan isu baru, namun menjadi masalah yang terus menerus mengemuka ketika pelaksanaannya yang hanya sebatas retorika belaka. Dalam kampanyenya, Susilo Bambang Yudhoyono juga menjanjikan akan adanya pembaharuan agraria dengan membagikan lahan milik negara kepada para petani yang membutuhkan.

Namun sampai saat ini janji itu belum terealisasi. Demikian pula untuk NTT, perlu ada kajian akan kepemilikan lahan secara adat/komunal yang mampu mengoptimalkan penggunaan lahan untuk memproduksi bahan pangan maupun bahan mentah untuk mendukung industri.

Menurut Henry Saragih (Sekjen FPSI) saat ini rakyat sendiri yang harus bangkit untuk memperjuangkan hak-hak agraria sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Undang-undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960. Karena mustahil menunggu pemerintah atau politisi berinisiatif mewujudkannya. Rakyat harus merapatkan berisan dan mengorganisasikan diri agar kekuatannya menjadi besar.

Dengan organisasi yang kuat, maka suara rakyat akan lebih berpengaruh.

3. Pengelolaan SDA berbasis masyarakat

Sumber daya alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia seharusnya dikelola secara bijaksana, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Manusia meskipun dianugerahi akal, pikiran dan nurani tidak boleh dengan segala keunggulannya dibanding makluk lainnya kemudian memperlakukan SDA dengan seenaknya, mengeksploitasi untuk memenuhi rasa tamak/serakahnya. Manusia sebagai bagian dari alam semesta seharusnya sadar bahwa kerusakan alam dengan sendirinya akan merusak dirinya. Namun sangat disayangkan kemanusiaan kita yang penuh nurani sering dikalahkan oleh napsu ekonomi yang cenderung menguras alam dan memperlakukan secara semena-mena dengan menuhi gaya hidup yang hedonis memuja kenikmatan hidup. Kita dapat melihat kegiatan pembalakan liar yang marak dibanyak daerah dinegeri kita, pembukaan lahan sawit ratusan ribu hektar milik konglomerat dengan cara membakar yang menyebabkan asap yang mengganggu kehidupan dan sampai ke negara tetangga sehingga Indonesia harus meminta maaf.

Di NTT masih sering dijumpai sistem pengelolaan lahan dengan cara tebas bakar dan perladangan berpindah yang dilakukan oleh sebagian petani kita. Padahal metoda ini kurang pas karena dapat mengurangi kesuburan lahan, meningkatkan erosi, menurunkan ketersediaan air karena terganggunya daur hidrologi, meningkatkan polusi udara yang berdampak pada menurunnya produktivitas lahan yang akhirnya lahan tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat alias kurang pangan. Keterkaitan dan saling ketergantungan antara alam dan manusia harus terus diupayakan agar harmonis. Jika mampu mengembangkan dan memanfaatkan teknologi, sebenarnya tidak sulit bagi NTT untuk keluar dari permasalahan rawan pangan, kurangnya ketersediaan air, ketersediaan energi dll.

4. Pemanfaatan Teknologi

Pengembangan jarak untuk biodisel, listrik tenaga surya, microhydro, pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas, pemanfaatan panas bumi dll mampu mencukupi kebutuhan energi secara mandiri di NTT.

Pengembangan sumur bor, embung, waduk, pompa air system vacuum, PAH (penampung air hujan) , pengelolaan daerah HULU sebagai daerah tangkapan hujan melalui pemberantasan pembalakan liar, perbaikan kondisi hutan melalui program nasional GERHAN seharusnya mampu mengatasi permasalahan kecukupan air untuk kehidupan.

Ketersediaan teknologi “bingkai A” yang sangat sederhana seharusnya mampu membantu petani di lahan miring untuk melakukan konservasi tanah dan air melalui penterasan sehingga mampu mengurangi laju erosi, meningkatkan pemanenan air, meningkatkan kesuburan tanah melalui pemanfaatan sisa pangkasan tanaman legume penguat teras sebagai pupuk hijau dll.

Pemanfaatan teknologi buididaya baik tanaman, perikanan dll, teknologi pasca panen dan pengolahan hasil seharusnya mampu meningkatkan produksi yang mampu menjaga kecukupan pangan masyarakat.

5. Penguatan ekonomi rakyat

Indonesia terlalu cepat dalam membuka dirinya untuk penerapan pasar bebas. Kekuatan ekonomi yang pada awalnya bertumpu pada agraris ternyata secara sangat cepat mau diarahkan untuk digantikan dengan sektor industri dan akhirnya ke sektor jasa.

Bungaran Saragih (mantan Menteri Pertanian tahun 2000 – 2004) dalam cuplikan/kutipan tulisan beliau yang menarik berjudul “Memeras Pertanian untuk pembangunan” mengatakan bahwa tahun 1966 WF Owen pernah memublikasikan teori The Double Developmental Squeeze on Agriculture yang kemudian dikenal sebagai teori pemerasan sektor pertanian untuk pembangunan. Teori ini mengatakan, pada tahap awal pembangunan ekonomi suatu negara yang ketersediaan modal masih sangat terbatas, pembentukan modal (capital formation) melalui pemerasan surplus sektor pertanian merupakan cara membiayai pembangunan ekonomi khususnya sektor industri.

Mekanisme pemerasan sektor pertanian dilakukan melalui pemerasan produksi (production squeeze) seperti pengupayaan harga-harga produksi pertanian murah melalui perbaikan produktivitas dan instrumen kebijakan lain. Mekanisme lainnya melalui pemerasan pengeluaran (expenditure squeeze) pertanian seperti instrumen pajak, memaksimalkan net capital outflow pertanian, nilai tukar (terms of trade) pertanian yang makin menurun, dan migrasi sumberdaya manusia dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Dengan mekanisme pemerasan pertanian tersebut, surplus pertanian-pedesaan diisap dan direinvestasikan pada sektor industri dan jasa.

Paradigma pembangunan ekonomi yang memeras sektor pertanian itu diadopsi hampir semua negara termasuk Indonesia. Sejak awal pembangunan ekonomi di Indonesia, praktik pemerasan sektor pertanian-pedesaan berlangsung sampai sekarang.

Beberapa solusi yang ditawarkan oleh Bungaran Saragih berupa ;

Uuntuk memperbesar kapasitas ekonomi pedesaan, perlu perubahan pendekatan pembangunan dari pendekatan produksi pertanian ke pendekatan sistem agribisnis. Dengan pendekatan sistem agribisnis, tidak hanya pertanian primer yang dikembangkan di pedesaan, tetapi juga industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, dan sektor penyedia jasa seperti perkreditan, pelatihan SDM, dan jasa transportasi.

Pengembangan industri hulu pertanian seperti pupuk dan benih dilakukan dan berorientasi pedesaan. Demikian juga industri pengolahan hasil pertanian dikembangkan diperdesaan.

Reinvestasi modal ke sektor pedesaan untuk mempercepat pembangunan sistem agribisnis sangat relevan dengan tujuan otonomi daerah. Ekonomi daerah kabupaten/kota akan berkembang bila terjadi reinvestasi ke pedesaan. Bila ekonomi pedesaan berkembang di seluruh daerah, pada hakikatnya ekonomi nasional secara keseluruhan pasti berkembang.


Pada akhirnya perubahan paradigma pembangunan dengan memperbesar reinvestasi ke pedesaan hanya akan berhasil bila kebijakan pemerintah berubah ke pro-rural. Kebijakan pro-rural sama artinya dengan pro-growth, pro-employment, dan pro-poor.

Namun menurut kami, pendekatan secara makro saja ternyata tidak mencukupi untuk keluar dari permasalahan rawan pangan dan gizi buruk.

Dibutuhkan langkah-langkah pendekatan mikro seperti :

Ø Revitalisasi budaya lokal untuk sikap hemat

Ø Pengelolaan ERT yang harus diterapkan

Ø Penumbuhan jiwa wirausaha dikalangan rakyat melalui pendidikan (formal,informal dan non formal)

Ø Penumbuhan peran BDS (Bussines development services)

Ø Diversifikasi pendapatan on farm, off farm dan non farm

Ø Penumbuhan dan penguatan Lembaga keuangan mikro pedesaan (Koperasi , CU, LKD dll)

Ø Pembukaan lapangan kerja melalui padat karya dll

Ø Penumbuhan agroindustri (Misal pembuatan biofuel jarak, sepatu, minyak kelapa dll)

Ø Pengembangan pariwisata kerakyatan dll.

6. Pengembangan Pertanian Berkelanjutan HULU – HILIR untuk kedaulatan pangan

Berbicara mengenai kecukupan pangan tentu tak terlepas dari bagaimana pangan itu sendiri diproduksi. Dijaman ORBA pendekatan produksi pangan melalui “revolusi Hijau” dan “Monokultur” ternyata hanya mampu mencapai swasembada pangan dalam beberapa tahun meski sempat mendapat penghargaan dari PBB.

Namun untuk selanjutnya dengan pendekatan pangan nasional yang lebih dominan pada beras telah mengantar kita pada ketergantungan yang luar biasa terhadap beras sehingga pemerintah lebih memilih membuka kran beras impor untuk mendapatkan harga pangan yang murah meski merugikan petani padi. Bahkan beras telah menjadi komoditi politik yang ditunjukkan dengan kebijakan pemerintah melalui pendekatan beras murah yang dikenal dengan isitilah “Raskin” dan bukan dikenal dengan istilah “Ngankin alias Pangan miskin”.

Pendekatan sistem pangan monokultur dengan revolusi hijaunya ternyata selain menyebabkan terganggunya ekosistem yang ditandai adanya ledakan hama, juga ditandai ketergantungan pada input luar dari pabrik seperti pupuk dan pestisida pabrik yang berujung pada terjeratnya petani pada para pengijon dan rentenir untuk memenuhi kebutuhan akan input luar berupa saprotan. Program pemerintah menggejot produksi pangan ternyata lebih ditekankan hanya pada bagian HULU (produksi) dan sangat kurang pada bagian HILIR (pasar) sehingga petani selalu diombang-ambingkan oleh fluktuasi harga dalam nilai tukar hasil pertanian. Kenaikan produksi tidak dengan sendirinya menaikkan pendapatan petani. Banyak petani yang frustasi akibat rendahnya harga komoditi pertanian dan kemudian beralih ke komoditi lainnya (contoh kasus penebangan tanaman cengkeh, kopi , panili, maupun Kakao) , namun nasib yang sama tetap menimpanya yakni harga jual yang rendah. Kasus rawan pangan di Sikka beberapa tahun yang lalu ditenggarai salah satu penyebabnya adalah sistem penanaman monokultur Kakao tanpa menyisakan lahan untuk ditanami tanaman pangan sehingga ketika terjadi serangan hama pada tanaman Kakao dan gagal panen maka petani tidak punya cadangan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang selama ini mengandalkan dari pemasukan penjualan Kakao.

Maka sudah selayaknya apabila pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan harus berbasis HULU-HILIR melalui :

Ø Penguatan organisasi petani (OP)

Ø Pengembangan pertanian berkelanjutan berbasis kawasan

Ø Pengembangan tanaman makanan lokal (Gewang, Umbi-umbian , jagung dll)

Ø Konservasi Tanah dan Air

Ø Pengadaan input lokal secara swadaya (pupuk, benih/bibit, pestisida dll)

Ø Diversifikasi pola tanam

Ø Pengembangan TUP (Tanaman Umur Panjang) seperti tanaman perkebunan dan kayu-kayuan.

Ø Pengembangan ternak

Ø Pemanfaatan TTG untuk peningkatan produksi, pasca panen, prosesing/pengolahan hasil.

Ø Pemasaran bersama/kolektip

7. Lumbung pangan kolektip

Keberadaan BULOG ternyata secara tak sengaja mampu menghilangkan kebiasaan masyarakat untuk mempunyai lumbung pangan bersama. Ada yang menarik apabila kita mau belajar dari leluhur kita bagaimana mereka telah menghitung berapa kebutuhan pangan selama setahun dan juga bagaimana mereka mengelola pemanfaatan stok pangan dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan. Juga bagaimana dengan secara cerdas memisahkan hasil panen untuk digunakan sebagai benih yang tidak boleh dikonsumsi. Menarik apabila kebiasaan lama ini dapat dihidupkan kembali untuk wadah mewujudkan solidaritas bersama dalam mengantisipasi rawan pangan.

8. Peningkatan kualitas dan kuantitas layanan publik

Sangat jelas bahwa wajah kemiskinan sebenarnya menunjukkan kegagalan para pelayan publik yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan negara untuk mensejahterakan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dll) sehingga hidup layak.

Maka mejadi tanggung jawab secara penuh bagi pemerintah melalui kerja sama secara sinergis dengan para pemangku kepentingan (Stakeholder) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya melalui berbagai program yang dijalankan seperti antara lain :

Ø Revitalisasi /Penguatan POSYANDU untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengatasi gizi buruk

Ø Pangan murah

Ø Layanan infrastruktur publik dasar

Ø Perumahan rakyat yang murah

Ø Pendidikan gratis untuk wajib belajar 9 tahun dll.

Sudah saatnya ada perubahan yang mendasar dalam paradigma penyelenggaraan pemerintahan kita menuju tata kelola pemerintahan yang bersih, terbuka, adil dan demokratis.

9. Pemimpin yamg merakyat dan melayani

Seperti kita ketahui secanggih apapun sistem yang dimiliki, namun tingkat keberhasilan sangat ditentukan oleh kapasitas SDM sebagai pihak yang menjalankan sistem tersebut. Ibarat sepeti mobil, sebaik apapun sistem pengeremannya, namun apabila sopirnya ngawur, ngantuk atau mabuk maka akan celaka juga. Demikian pula dengan layanan publik, akan sangat bergantung juga pada yang menjalankannya. Jangan berharap terlalu banyak untuk perbaikan kualitas layanan publik apabila sistem pemerintahan kita masih penuh dengan KKN, sistem kepegawaian yang masih menyamakan penghargaan baik pada PNS yang prestasi maupun yang frustasi (malas-malasan, main catur, oportunis dsb), pengangkatan pejabat publik berdasar SARA dan balas jasa dsb, premanisme dalam segala bentuk yang membuat ekonomi berbiaya tinggi dll.. Kita membutuhkan pemimpin yang peka, cakap, kompeten, jujur, disiplin , merakyat dan mau melayani, bukan sekedar pimpinan yang hanya kenal istilah instruksi dan sangat takut kalau dimarahi atasannya.

Kalau mau sungguh-sungguh mengatasi rawan pangan dan gizi buruk, maka kita harus melakukan pendekatan pembangunan yang holistik/integral yang mampu mengurangi angka kemiskinan secara nyata dan terukur dan tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan sektoral yang hanya sepotong-sepotong. Masalahnya apakah kita mau menanggalkan ego sektoral, mau berhenti KKN dan mau melayani negeri ini dengan sepenuh hati ? Kembali kita bertanya pada nurani kita masing-masing dan nilai-nilai kehidupan yang kita anut. Salam pembebasan.