Saturday, May 3, 2008

Menuju "Lost Nation"

Fidel Hardjo

Dalam buku Timaeus, Plato berkisah tentang the lost continent, Atlantis. Alkisah, ketika Atlantis mempersiapkan serangan besar terhadap Athena, tiba-tiba banjir, angin kencang, petir dan gempa yang kejam membaringkan benua itu, dalam tidur abadi jauh di dasar Samudera Atlantik.

Selama berabad-abad Atlantis “tertidur” di dasar samudera, kemudian munculah perdebatan meruncing. Ada yang katakan, keberadaan Atlantis sebatas mitos belaka. Sebagian yang lain, yakin benua makmur nan sejahtera itu memang benar-benar ada.

Tahun 1882, penulis Ignatius Donnelly menerbitkan buku Atlantis--Myths of the Antediluvian World, yang memicu gerakan pencarian "benua yang hilang" itu. Donnelly membagi keyakinannya bahwa pada masa lalu di Samudera Atlantik, berseberangan dengan mulut Laut Mediterania, pernah ada sebuah pulau besar. Dia percaya itulah Atlantis dan benar-benar pernah ada.

Bencana Datang Pergi


Terlepas benar tidaknya keberadaan Atlantis, satu hal patut diyakini, apa pun rupa bencana alam mampu memusnahkan peradaban sebuah bangsa (lost nation) tanpa kecuali.

Indonesia pun bisa saja serupa dengan nasib hilangnya benua Atlantik. Lebih-lebih jika aneka bencana alam seperti tsunami, overheat, banjir, menipisnya suplai air minum, longsor, malaria, kemarau panjang, gizi buruk, busung lapar, flu burung yang menggerogoti negeri ini beberapa dekade terakhir tidak “terdiagnosa” dengan pikiran bening.

Mengapa aneka bencana alam datang silih berganti di negeri pemilik hutan terbesar ketiga di dunia ini? Tak susah dijawab. Hutan saja ditebang secara sadar. Ilegal loging marak terjadi bahkan melibatkan penegak hukum. Ah, apa bisa maling teriak maling?

Ini yang menyebabkan Indonesia telah kehilangan hutan perawannya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Sehingga, kita tak perlu tercengang jika Indonesia menyandang predikat break record kerusakan hutan tertinggi di dunia (Badan Planologi Dephut, 2003).

Artinya, sangat masuk akal, mengapa bencana banjir dan longsor datang terus. Korban pun berjatuhan. Bayangkan, sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003 di Indonesia, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana, dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. Sebanyak 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan eksploitasi hutan (data Bakornas Penanggulangan Bencana 2003).

Pendekatan “Pincang”

Apa yang salah dengan bangsa yang bernama Indonesia (kaya) Raya ini? Inilah dampak negatif, model managemen ekologis yang tidak terawat alias asal-asalan. Yang menurut Jonathan Hughes, dalam artikelnya Ecology and Historical Materialism (2000) mengemukakan, sikap indiferent ekologis merupakan entry point “the death of nature”. Ia mengemukakan dua macam pendekaan pincang ekologis dewasa ini.

Pertama, pendekatan ecocentric (economic centered). Pendekatan ini teriming-iming oleh kepentingan ekonomi tanpa mengupayakan keberlanjutan ekologis secara integratif. Saya pikir kerusakan hutan di Indonesia selama ini juga disebabkan oleh pendekatan ini.

Masalah kemiskinan dan pengangguran membuat kita panik. Akhirnya, kita tergoda “melelangkan” hutan kepada industri ekstraktif. Dengan harapan, negara mendapatkan extra income dan kesejahteraan rakyat membaik. Nyatanya, kesejahteraan itu sulit digenggam. Rakyat semakin sengsara dan alam juga kian rusak. Pada gilirannya, alam siap “merusak” manusia. Kasus Freeport dan Lumpur Lapindo, adalah contoh riil bagaimana kesejahteraan tak lebih sebuah mitos.

Kegelisahan kita kian menguat. Terutama, ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 2 thn. 2008, yang memberi hak legal pembalakan hutan kepada 13 Perusahan Tambang. Inilah therapy kejutan atas kemiskinan. Hutan pun “di-onsale” dengan discount 80%, cuma Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta perhektar hutan. Padahal, tarif sewa Pajak Negara Bukan Pajak dari 13 perusahaan tambang itu hanya mengantong Rp 2,78 triliun per tahun. Sementara total potensi kerugian diperkirakan sebesar Rp 70 triliun per tahun (menurut Greenomics Indonesia).

Kebijakan ini merembes mulus ke daerah-daerah. Inilah yang diincari-incari oleh perusahan tambang daerah, yang selama ini nasibnya terkatung-katung akibat resistensi penduduk lokal. Kita tunggu saja apa yang bakal terjadi.

Alasan laten pemerintah, selalu “dikemas” untuk “mengkayakan” rakyat. Tapi, apa yang diperoleh rakyat setiap tahun adalah kaya banjir, longsor dan bertebaran gizi buruk, kemarau panjang, air minum susah dan beras mahal. Ketika bencana tiba, penderitaan rakyat sering dianulir oleh dana bantuan. Sementara, hati rakyat yang terluka akibat kehilangan orang yang mereka sayangi tak terganti oleh materi apa pun.

Mengapa pemerintah masih nekat jika ongkos kebijakan ini terlampau mahal? Bencana alam yang pernah mendera bangsa kita semestinya menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi kita. Belajarlah dari kesalahan masa lampau dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Inilah optimisme kita jika bangsa ini ingin ke luar dari lilitan bencana.

Kedua, pendekatan anthropocentric (human centered). Manusia diyakini menjadi pilar eksklusif penentu ecology sustainable. Pendekatan ini sama bengisnya dengan ecocentric. Sebab, manusia diposisikan sebagai “tuan” atas alam. Maka, kita terjebak pada pilihan “kenyangkan dan selamatkan manusia lebih dulu daripada konservasi alam”.

Padahal, kita tahu sekian bencana yang ada, diakibatkan oleh pengrusakan alam itu sendiri. Semestinya, kalau kita ingin menyelamatkan manusia maka “diagnosa” dulu alam yang rusak. Jika konsep ini tidak berubah maka jangan harap kita keluar dari lingkaran bencana. Karena, persoalan dasar tidak tersentuh.

Lihat saja, dana APBN 2008 untuk korban bencana sebesar Rp 281,3 triliun. Sementara, alokasi anggaran untuk “pencegahan” risiko bencana masih digabung dengan dana untuk pengendalian wabah penyakit menular hanya sebesar Rp. 9,4 triliun.

Disparitas anggaran dana inilah yang membuktikan pemerintah kita memosisikan kerusakan alam hanya perkara minor. Padahal, dari sana segala bencana mengalir. Jika demikian, adakah pendekatan yang lebih etis?

Etika Ekologis


Ketiga, menurut Jonathan Huges, “runyamnya” nasib ekologis global sekarang ini, idealnya memiliki etika ekologis yang disebutnya pendekatan holistik cosmocentric (cosmos centered). Manusia bukan lagi centrum tapi kosmos. Manusia dan alam adalah entitas kosmos yang punya hak asasi yang sama. Menciderai alam sama saja melukai tatanan kosmos itu sendiri. Ketika kosmos terluka, ia menggangu seluruh tatanan di dalamnya.

Saya pikir kondisi alam Indonesia yang “sakit-sakitan” sekarang butuh penyembuhan ekologis seperti ini. Memperbaiki relasi yang beku yang menempatkan alam sebagai obyek dengan membangun etika ekologis integratif.

Etika ekologis adalah nilai intrinsik interaktif complementer komponen biosphere, perlu dibangun harmonis(i), menghargai pluralistik komponen cosmos biotik dan abiotik, mutlak terjaga(ii), tanpa mengecil peran homo faber, manusia mesti menciptakan relasi ramah dan bertanggung jawab terhadap alam dengan segala kandunganya (iii), relasi take and give niscaya dikembangkan.

Inilah “tali kekang”, yang menurut hemat saya perlu diletakan di pojok hati kita masing-masing. Dengan kesadaran penuh ini, kita dapat menahan laju pengrusakan alam dan meminimalisir bencana alam. Dengan merevolusi perlakuan salah terhadap alam, kita akan bangkit dari bencana alam yang tak bertepi. Dan, selanjutnya kita lebih memfokuskan energi pada perbaikan dan pertumbuhan ekonomi dan pendidikan yang masih carut-marut.

Akhirnya, kita boleh saja memilih: bertahan dengan pendekatan ecocentric dan anthropocentric atau berani menembusi “stabilitas lochi” itu?. Tapi sekali lagi, taruhannya mahal: antara hidup atau mati. Jika mindset kita tidak berubah terhadap alam maka bencana lost generation dalam skala besar bukan sekadar mitos, bahkan bakal bergeser menuju bencana lost nation.



Penulis, Alumnus STFK Ledalero, kini Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila

No comments: