Thursday, March 20, 2008

Friedrich Nietzsche tentang Ecce Homo

Sebuah adaptasi terhadap prolegomena point 3 untuk Jumad Agung
-------------

Siapakah manusia.

Lahir dari kelemahan dan rasa sakit sang ibu.

Rohnya terbungkus dalam daging dan darah.

Terluka. Jatuh. Sakit. Menderita. Mati.

Hidup ini indah.

Yang penting lepas dari pikiran tentang keterbatasan ini.

Kalau bukan demikian,

jiwa dipaksa menari riang gembira dalam iringan elegi

dan bahana getar trompet malaikat maut.

Siapa bisa bernafas dari roh kata-kata ini

akan tahu bahwa ia ibarat angin yang berhembus

dari ketinggian bukit kehidupan.

Entah dia mampu hidup dari kata-kata

sebuah cerita perjuangan,

dia mesti memahami dengan besar hati „ecce homo“.

Jikia tidak, dia akan terkena flu angin dingin dari ketinggian ini.

Hamparan es tidak jauh dari sini.

Kesepian besar akan melanda.

Semesta seperti mimpi dalam tidur malam

di bawah terang langit.

Tenang dan damai.

Tidak harus menjadi seorang moralis atau pengideal

untuk melihat semuanya dengan mata jelih.

Kembali kepada substansi segala kehidupan.

Berapa banyak kebenaran bisa diterima oleh rohmu?

Berapa besar kemampuan tatapan matamu

memandang kebenaran yang ditelanjangi?

Inilah termometer kehidupan.

Kekeliruan adalah hasil kepercayaan terhadap angan-angan.

Kekeliruan bukanlah kebutaan,

melainkan kepengecutan.

Sedangkan setiap langkah pengembaraan

menuju pengetahuan dan pengenalan setiap substansi

adalah keberanian.

Di sana kekerasan bangkit melawan dirinya.

Demikianpun kebersihan naluri bangkit

menerapkan aturan main sendiri.

Ideal tidak boleh dikhianati begitu saja.

Kadang kita mesti mengenakan kaus tangan

untuk menjamah kehidupan ini.

Ia rapuh.

Ecce homo…

20 Maret 2008
Marc SVD

No comments: