Sebuah adaptasi terhadap prolegomena point 3 untuk Jumad Agung
-------------
Siapakah manusia.
Lahir dari kelemahan dan rasa sakit sang ibu.
Rohnya terbungkus dalam daging dan darah.
Terluka. Jatuh. Sakit. Menderita. Mati.
Hidup ini indah.
Yang penting lepas dari pikiran tentang keterbatasan ini.
Kalau bukan demikian,
jiwa dipaksa menari riang gembira dalam iringan elegi
dan bahana getar trompet malaikat maut.
Siapa bisa bernafas dari roh kata-kata ini
akan tahu bahwa ia ibarat angin yang berhembus
dari ketinggian bukit kehidupan.
Entah dia mampu hidup dari kata-kata
sebuah cerita perjuangan,
dia mesti memahami dengan besar hati „ecce homo“.
Jikia tidak, dia akan terkena flu angin dingin dari ketinggian ini.
Hamparan es tidak jauh dari sini.
Kesepian besar akan melanda.
Semesta seperti mimpi dalam tidur malam
di bawah terang langit.
Tenang dan damai.
Tidak harus menjadi seorang moralis atau pengideal
untuk melihat semuanya dengan mata jelih.
Kembali kepada substansi segala kehidupan.
Berapa banyak kebenaran bisa diterima oleh rohmu?
Berapa besar kemampuan tatapan matamu
memandang kebenaran yang ditelanjangi?
Inilah termometer kehidupan.
Kekeliruan adalah hasil kepercayaan terhadap angan-angan.
Kekeliruan bukanlah kebutaan,
melainkan kepengecutan.
Sedangkan setiap langkah pengembaraan
menuju pengetahuan dan pengenalan setiap substansi
adalah keberanian.
Di sana kekerasan bangkit melawan dirinya.
Demikianpun kebersihan naluri bangkit
menerapkan aturan main sendiri.
Ideal tidak boleh dikhianati begitu saja.
Kadang kita mesti mengenakan kaus tangan
untuk menjamah kehidupan ini.
Ia rapuh.
Ecce homo…
20 Maret 2008
Marc SVD
Thursday, March 20, 2008
Friedrich Nietzsche tentang Ecce Homo
Posted by
KabarNTT
at
6:16 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment