Belum habis bagaimana kita mencari solusi yang pas untuk keluar dari permasalahan kelaparan yang melanda Indonesia , termasuk di NTT, khususnya di Timor Barat seperti yang diberitakan di berbagai media akibat berbagai sebab seperti yang telah diutarakan “Yang Mulia Para Pejabat dan Akademisi” (dengan berbagai argumen dan pendapat yang sahih menurut kaidah baku kaum intelektual), maka saat ini kita dikejutkan lagi dengan gagalnya proyek Jathropa alias jarak di beebrapa kabupaten di NTT dan Aldira untuk nama kerennya ubi kayu jenis baru yang dikenalkan di wilayah Manggarai Barat yang menelan dana pembangunan untuk rakyat yang jumlahnya tidak sedikit.sampai milyaran rupiah namun sangat disayangkan berakhir mubazir alias sia-sia.
Terlepas dari alasan penyebab kegagalan proyek tersebut dimana sebagian pejabat kita kebanyakan memang bergelar MBA tingkat dasar (Manusia Banyak Alasan) (bukannya MBA tingkat kedua (Manusia Banyak Akal) sehingga menjadi MBA tk ketiga (Manusia Banyak Aset/kekayaan) dan terakhir menjadi manusia penuh ketika menjadi MBA tingkat empat (Manusia Banyak Amalan) yang dalam isitlah Maslow dikenal dengan ‘aktualisasi diri’), kita sekarang dihadapkan pada dilema yang lebih mengancam apabila kita tak siap dan sigap mengantisipasinya yakni ketika “Manusia” diperhadapkan pada persaingan dengan “Mesin”.
Kegandrungan dan kebijakan pengembangan produk ‘Biofuel’ untuk menggantikan sebagian BBM oleh pemerintahan SBY dan juga negara-negara maju telah membuat bingung dan frustasi para ibu rumah tangga ketika harga minyak goreng sebagai kebutuhan sehari-hari tiba-tiba naik atau lebih tepatnya melonjak tajam karena CPO ternyata berfungsi ganda yakni selain digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng, juga digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan ‘biofuel’ dinegara maju dan harga ekspornya ternyata lebih menggiurkan sehingga berakibat para produsen CPO berlomba-lomba mengekspor tanpa peduli lagi dengan jeritan para ibu rumah tangga yang kelimpungan akibat lonjakan harga minyak goreng tersebut.
Peristiwa lainnya menyusul ketika harga kedelai di pasaran melonjak tajam yang berakibat menghantam keberlanjuta para produsen tahu-tempe sampai ke penjual makanan gorengan, karena Amerika Serikat sebagai pemasok kedelai impor dengan harga murah secara tiba-tiba mengalihkan sebagian lahan kedelainya untuk ditanami jagung sebagai bahan baku pembuatan ‘biofuel’ dinegerinya.
Memang luar biasa dampak dari perubahan yang begitu cepat saat ini, yang kalau dilihat sepintas seolah tidak ada korelasinya, namun ternyata saling kait mengkait seperti kasus diatas.
Sangat sulit bagi ibu rumah tangga yang sederhana untuk menganalisis keterkaitan naiknya harga minyak goreng dan tahu tempe sebagai kebutuhan sehari-hari dengan tren dunia untuk penggunaan biofuel.
Mengharapkan pangan murah: Mungkinkah ?
Melihat terus meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dari waktu ke waktu dan kecenderungan masyarakat yang lebih senang ‘hanya mengkonsumsi beras’ serta banyaknya bahan pangan alternatip yang mulai digunakan sebagai bahan baku biofuel seperti jagung, umbi-umbian dll, maka pertanyaan mendasar untuk kita adalah adalah apakah kebutuhan pangan berupa beras masih terus dapat tercukupi ketika areal padi sebagai penghasil beras tiba-tiba dikonversi untuk memproduksi tanaman lain sebagai bahan baku biofuel karena atas dasar pertimbangan lebih menguntungkan secara ekonomis?
Menjadi sangat riskan ketika kita dihadapkan pada ketergantungan akan kemampuan pemerintah untuk tetap menjaga kedaulatan pangan yang nota bene sangat bergantung pada kecukupan stok beras nasional , sementara kita tak pernah bergerak beranjak dalam melaksanakan diversifikasi pangan di kalangan masyarakat. Belum lagi kalau kita tetap tidak mau merubah strategi dari ‘pangan murah’ menuju ‘pangan mahal’ sehingga masyarakat secara sadar dan sigap mampu mendiversifikasi kebutuhan pangan keluarganya berbasis pada potensi lokal.
Selama ‘Raskin” masih terus disiapkan oleh Pemerintah , maka jangan berharap anjuran diversifikasi pangan akan diterapkan karena masyarakat sudah terlanjur menggangap mengkonsumsi beras lebih bergengsi daripada mengkonsumsi makanan pokok nenek moyang meski telah teruji dapat keluar dari permasalahan kelaparan. Banyak sekali pengetahuan dan kearifan lokal yang mampu menjadi solusi jika terjadi paceklik akibat gagal tanam maupun gagal panen.
Apalagi dengan semakin banyaknya ‘mulut-mulut mesin’ yang tak terhitung jumlahnya, dan harus terus diingat saat ini bukan hanya ‘mulut manusia’ yang membutuhkan ‘pangan’, lalu apa yang harus dan akan kita perbuat?
Pengalaman selama ini membuktikan paham ‘kapitalisme’ yang pada awal gagasan tidak berwajah serakah namun telah bermutasi menjadi ‘neo-ka[pitalisme’ sosok yang sangat serakah dan tidak peduli pada kaum tak bermodal dan menggilas perekonomian rakyat Indonesia. Selama masih menguntungkan secara ekonomi, para penganut kapitalisme akan terus memburu bahan pangan untuk disuapkan pada mesin-mesin yang mampu menambah jumlah uang/ aset yang masuk dalam kocek mereka, mseki disatu sisi akan terjadi bencana kelaparan akibat pangan mahal atau bahkan tak lagi cukup tersedia karena dilalap habis oleh mesin-mesin industri yang menggunakan biofuel.
Seharusnya sejak awal pemerintah harus berani secara transparan menyampaikan peringatan dini serta mengedukasi rakyat Indonesia bahwa mengharapkan beras murah seperti jaman Orde Baru masanya sudah lewat, dan harus siap-siap secara mental dan finansial untuk menyambut era ‘pangan mahal’.
Diversifikasi pangan dan ketersediaan lahan untuk pangan lokal
Sangat mengherankan gebrakan dan promosi untuk membiasakan masyarakat melakukan diversifikasi dalam mengkonsumsi makanan yang bertujuan sangat mulia yakni menjaga kedaulatan pangan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat , ternyata tidak memperoleh tanggapan yang menggembirakan . Hal ini terlihat dari kegiatan diversifikasi pangan yang hangat-hangat tahi ayam dan hanya bersifat seremonial saja tanpa dibarengi dengan gerakan bersama ditingkat masyarakat dan menjadi pola konsumsi keseharian mereka.
Hal ini dapat dimaklumi karena gerakan memasyarakatkan pola konsumsi yang beragam tidak dilakukan secara serius dengan pendekatan yang holistik berbasis budaya, dengan penyadaran yang terus menerus akan arti pentingnya menganekaragamkan konsumsi kita. Bahkan sampai saat ini kamipun juga masih lebih dominan mengkonsumsi nasi dibanding jagung atau umbia-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar dll.
Perlu ada kesadaran kritis secara kolektip yang terwujud dalam gerakan bersama di masyarakat untuk terus menerus tanpa mengenal lelah menggiatkan dan menggalakkan kebiasaan mengkonsumsi pangan secara beragam demi mengurangi subsidi dari negara untuk terus menerus menyediakan pangan murah serta untuk menjaga kedaulatan pangan kita.
Sudah saatnya untuk berpikir ulang dan menata kembali perlunya ketersediaan ‘lahan abadi untuk pangan lokal non beras ‘ yang mampu menjadi buffer/penyangga bagi ketersediaan pangan secara nasional namun diproduksi dan dikelola secara lokal. Kita harus mendata ulang seberapa banyak dibutuhkan luasan lahan untuk pangan terutama di lahan marginal seperti lahan kering yang mampu menjaga stok secara terus menerus tanpa bergantung pada impor pangan terutama beras. Pemerintah tidak bisa lagi menganaktirikan lahan kering dan hanya fokus pada lahan basah persawahan karena meski produksi per satuan luasnya rendah namun ketersediaan dan pemanfaatn lahan kering masih terbuka luas karena sebagian masih berupa lahan tidur. Prioritas untuk membangun infrastruktur yang menunjang pengembangan pertanian lahan kering harus menjadi prioritas dan keharusan apabila kita ingin tetap menjaga kedaulatan pangan kita. Petani sebagai barisan terdepan dalam bertempur memenangkan persaingan antara memenuhi kebutuhan ‘manusia atau mesin’ harus terus diberdayakan melalui berbagai upaya termasuk mengenalkan teknologi komputer dan internet pada para petani sehingga mereka mudah mengakses informasi , dan berpikir global meski tetap bertindak lokal.
Pemanfaatan teknologi
Dijaman teknologi maju sekarang ini , sudah selayaknya para petani terus diupayakan untuk mengenal dan memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa harus terus bergantung kepadanya. Maka yang perlu diingat adalah pelunya menyeleksi pilihan teknologi tepat guna yang mampu dikuaai oleh petani baik dalam rangka meningkatkan produktivitas, penanganan pasca panen dan juga saat pengolahan/ prosesing, pengemasan maupun penyimpanannya.
Salah satu contoh di beberapa desa di Flores Timur tidak lagi mengembangkan Sorghum karena alasan selalu dimakan burung serta susah dalam memprosesnya sebelum dimasak Namun dengan kemajuan teknologi telah ditemukan varietas sorghum yang ada penutupnya sehingga tidak lagi dimakan burung, namun untuk mesin penggiling sorghum untuk mempermudah ibu-ibu memsaknya masih belum ada di desa,
Teknologi sederhana seperti pembuatan anggur melalui fermentasi kulit pisang kepok ternyata dapat memberi nilai tambah karena yang tadinya limbah berubah menjadi bahan baku pembuat minuman anggur. Teknologi pembuatan tempe dan tahu contoh lain bagaimana teknologi sederhana mampu memproses kedelai menjadi makanan yang bergizi tinggi dan digemari di Indonesia . Tugas kalangan muda yang ‘melek teknologi’ untuk melanjutkan temuan teknologi yang mampu mendukung terwujudnya kedaulatan pangan.
Berkaca dari persaingan antara manusia dan mesin dalam mengkonsumsi ‘pangan’, maka sudah selayaknya pemerintah mengambil tindakan antisipatip dalam menyiasati akan “pangan mahal dan terbatas” , sehingga tidak terkesan reaktip seperti yang selama dilakukan dalam penanganan kenaikan harga minyak goreng dan kedelai.
YBT Suryo Kusumo
tony.sueyokusumo@gmail.com
Monday, March 3, 2008
Memilih lebih mengedepankan “Manusia atau Mesin”, mana tahan ?
Posted by
KabarNTT
at
11:57 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment