Sunday, July 29, 2007

Masih Adakah Ruang Bagi Masyarakat Adat?

Kor. Sakeng, Yay. ANIMASI SoE-TTS

Masyarakat menilai sejumlah produk tata ruang yang dibuat negara atau pemerintah (baik pusat maupun daerah), sebagai tindakan pengambilalihan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya. Pasalnya, semua perencanaan tata ruang tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam perencanaan itu. Kemana lagi rakyat mau menghidupi diri kalau semua aset penghidupannya dicaplok? Masih adakah ruang bagi masyarakat (khususnya masyarakat adat) membuat tata ruang sendiri?

Pertanyaan yang dilematis itulah yang menginspirasi masyarakat adat Tune-Bonleu membuat perencanaan tata ruang sendiri dengan perspektif adat. Demikian yang dibeberkan Arit Oematan, seorang tokoh muda dari masyarakat adat Tune-Bonleu di Desa Tune dan Bonleu, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) (24/6).

"Dasar dari pemikiran tersebut terbersit dari apa yang dirasakan masyarakat selama ini. Masyarakat sudah sangat resah dengan berbagai kebijakan tata ruang yang tidak mempertimbangkan akses terhadap aset penghidupan masyarakat," ungkap Oematan.
Menurutnya, segenap unsur masyarakat adat Tune-Bonleu telah melakukan serangkaian tahapan kegiatan yang mengarah kepada rencana tata ruang adat. Pada tahun yang lalu masyarakat Tune-Bonleu telah berhasil membuat peta milik masyarakat yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah di hadapan publik.

Proses pembuatan peta secara pertisipatif memakan waktu selama tiga bulan. Mengapa? Tahap pertama, masyarakat melakukan pemetaan manual di atas tanah dan kertas flap dengan menggunakan metode pandekatan PRA (Participatory Rural Apraisal). Tahap kedua, penjajakan wilayah (transek) dengan menggunakan perangkat manual dan elektornik seperti JPS dan lain-lain. Tahap ketiga, pembuatan peta manual dengan memasukan titik koordinat yang tercatat melalui JPS dan tahap terakhir adalah finalisasi peta dengan menggunakan skala.
Selanjutnya pengesahan peta masyarakat oleh tokoh-tokoh adat yang disebut Amaf dengan pendekatan ritual adat.

Jika dibandingkan, peta yang dibuat masyarakat dengan peta-peta lainnya tidak ada bedanya. Peta ini akan menjadi salah satu alat bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan dan menegakkan hak-hak masyarakat adat yang kian hari kian tereksploitasi.

Tokoh adat Yusuf Liem menambahkan bahwa peta yang dibuat masyarakat itu akan menjadi warisan berharga bagi generasi berikut secara turun-temurun.

Work shop perencanaan tata ruang
Menurut Arit Oematan, sekarang ini sedang dilakukan perencanaan tata ruang. Tahap pertama dalam bentuk work shop yang melibatkan semua unsur yang peduli untuk melihat dan mengidentifikasi apa saja yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang itu. Work shop awal dalam perencanaan tata ruang telah dilakukan oleh masyarakat pada tanggal 22-24 Juni lalu, bertempat di Desa Bonleu, melibatkan sedikitnya 150 warga kedua desa dengan keterwakilan dari unsur Amaf atau tokoh adat, generasi muda dan masyarakat lainnya.

Workshop yang memakan waktu tiga hari ini difasilitasi oleh Tory Koeswardono, aktivis Walhi Jakarta di bawah koordinasi organisasi masyarakat adat AAP (Abuat Atola Pah Manifu) yang diketuai Arit Oematan.
Pada prinsipnya selama workshop peserta yang hadir dalam pelatihan ini sangat antusias. Itu karena masyarakat dilatih untuk melihat kembali wilayah dan kebutuhannya yang selanjutnya menjadi titik acuan dalam perencanaan tata ruang wilayah adat.

Walaupun demikian, ada beberapa agenda tindak lanjut pasca work shop yang mesti dilakukan. Yaitu dokumentasi dan kaji ulang aturan-aturan adat tentang sumber daya alam, identifikasi ketersediaan lahan (baik yang bisa dikelola untuk kepentingan pangan maupun yang harus dilindungi demi kepentingan hidrologi dan ritus adat), mengidentifikasi kembali wilayah-wilayah hutan dan pemanfaatannya, termasuk jenis vegetasi dan tingkat kerapatan serta penyebarannya.
Lalu mengukur kembali debit-debit air untuk mengetahui seberapa besar penggunaan untuk persawahan, mengidentifikasi lahan (baik lahan basah maupun lahan kering), serta menghitung kebutuhan pangan dalam setahun yang nantinya dikonversi pada kebutuhan lahan dan pemetaan kembali padang rumput untuk kebutuhan area penggembalaan dan pakan ternak.

Beberapa agenda tindak lanjut yang dibangun dari kesepakatan workshop tersebut akan dikerjaklan sendiri oleh masyarakat dibawah koordinasi AAP dan Amaf dengan rentang waktu selama tiga bulan jika memungkinkan. Selanjutnya akan dipresentasikan hasilnya melalui workshop dan temu adat.

Jika hasil dari kerja selama tiga bulan ternyata masih ada cela, maka akan dilakukan tahap kedua untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Barulah pada tahap berikut dilakukan penetapan tata aturan (regulasi) dan tata ruang dengan muatan dari hasil pemetaan dan dokumentasi yang telah dilakukan sebelumnya.

"Kita berharap apa yang dicita-citakan masyarakat untuk membuat tata ruang sendiri dapat mencapai hasil yang maksimal agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun," tegas Oematan.

No comments: