Syukurlah, akhirnya fakta bencana di NTT mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan. Sabtu (27/10) dalam kesempatan sosialisasi Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan encana (UU PB) di Kupang, para legislator yang tergabung dalam Forum Parlemen NTT mendukung berbagai upaya penanganan bencana di NTT dengan cara menginisiasi rancangan peraturan daerah penanggulangan bencana (PK, 30/10). Dalam arti yang sangat positif, sikap forum parlemen NTT ini memberikan angin segar bagi harapan akan tersedianya landasan hukum (regulasi) bagi penanggulangan bencana di NTT.
Apa yang terjadi di NTT memang tidak lepas dari konteks nasional. Secara nasional, landasan hukum untuk penanggulangan bencana telah disahkan DPR RI Mei lalu (UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Setelah bencana Aceh 2005, banyak kalangan mulai merasakan kelemahan bangsa ini dalam menanggulangi bencana. Bencana Aceh memberi banyak pelajaran dan informasi berharga mengenai berbagai ketidakpaduan dalam tanggapan kedaruratan, ketidakberesan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, ketidakmampuan dalam mitigasi, dan ketidaksiapan menghadapi bencana berikutnya.
Ketidaksiapan Menghadapi Bencana
Setelah Aceh memberi pelajaran berharga, muncul pula bencana di Jawa Tengah, luapan lumpur di Jawa Timur, dan tempat lainnya. Faktanya sama,
Konteks lokal NTT tidak berbeda jauh. Bencana di NTT memang bukan hal baru. Selalu berulang bahkan dengan intensitas dan frekuensi meningkat. Banyak sebenarnya pelajaran dari berbagai pengalaman bencana. Sayangnya, setiap kali bencana, siapa pun di NTT selalu kebingungan dalam kordinasi, selalu mempersoalkan tidak memiliki titik komando dan wewenang setara, dan kelimpungan dalam soal anggaran. Padahal setiap tahun misalnya banjir, longsor, angin kencang selalu terjadi di Pulau
Sekali lagi, fakta bencana ini bukan baru terjadi dua atau tiga tahun belakangan. Fakta bencana ini sudah terjadi, dan selalu berulang. Entah berapa hitungan kerusakan dan kerugian.
Belum lagi bila kita menghitung implikasi dampak terhadap berbagai hal semisal akses masyarakat korban terhadap kesehatan, pendidikan, pemenuhan pangan, dll. Kualitas hidup masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani secara perlahan menurun. Banjir bukan saja bisa enimbulkan kerusakan secara langsung dan cepat (rapid on-set) tetapi sekaligus secara perlahan (slow on-set) merupakan benih kerusakan sistem penghidupan masyarakat. Tidak heran di beberapa desa langganan banjir di wilayah hilir DAS Benenain seperti Desa Lasaen, Fafoe, Umatoos (Kecamatan Malaka Barat) walaupun memiliki tiga kali musim tanam tetapi tetap saja mengalami kurang pangan dan gizi buruk.
Kesadaran akan pentingnya perhatian terhadap bencana di tingkat lokal NTT memang berjalan tertatih-tatih. Issue penanggulangan bencana kalah seksi dibanding issue politik. Walaupun bencana terjadi di mana-mana tetap saja penanggulangan bencana berada urutan perhatian nomor buncit. Mana ada porsi anggaran pembangunan yang secara tegas dan jelas memprioritaskan penanggulangan bencana. Mana ada rencana pembangunan yang bernapaskan penanggulangan bencana. Tanggapan kedaruratan, rehabilitasi, rekonstruksi pun masih jalan di tempat apalagi praktis mitigas dan kesiapan. Ironis memang. Di satu sisi NTT berada pada wilayah rentan bencana tetapi di sisi lain orang-orang NTT sendiri seakan tidak peduli atas fakta ini. Kerja-kerja penanganan bencana dianggap mengada-ada dan ditertawakan.
Tidak heran, sedikit sekali orang NTT yang tahu ketika International Strategy Disaster Reduction (salah satu lembaga PBB yang secara khusus membidangi bencana) secara khusus memberikan pengakuan dan mengundang secara resmi sebuah lembaga non pemerintah di NTT (Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana/PMPB) sebagai satu-satunya lembaga non pemerintah di Indonesia yang memiliki kepedulian dan bekerja di bidang kebencanaan sejak tahun 1998 untuk hadir dan berbicara dalam forum resmi PBB di
Ranperda dan Forum parlemen NTT
Kita kembali kepada kesadaran "luar biasa" dari Forum Parlemen NTT yang notabene adalah anggota DPRD NTT. Bagi saya, (RAN)PERDA inisiatif tentang penanggulangan bencana di NTT memang harus didukung semua pihak. Tetapi juga harus disadari, siapa pun tidak boleh berlebihan pula meyakini bahwa NTT bisa bebas dari bencana hanya dengan mengandalkan deretan huruf demi huruf dalam isi (RAN)PERDA Penanggulangan Bencana. (RAN)PERDA ini hanya payung bagi sistem, proses, mekanisme, pembagian peran dan tanggungjawab dalam penanggulangan bencana yang terintegrasikan dalam pembangunan.
Bila penanggulangan bencana itu terintegrasi dalam perencanaan dan implementasi pembangunan maka (RAN)PERDA ini akan memainkan peran sebagai: pertama, dasar formal untuk tindakan penanganan bencana. Regulasi ini memberikan dukungan resmi untuk rencana-rencana, penataan-penataan kelembagaan, tindakan-tindakan kesiapan, tindakan tanggap darurat, dsb. Kedua, membagi tanggung jawab secara hukum; dan ini membantu memastikan bahwa tanggung jawab tersebut akan dilaksanakan secara benar. Ketiga, menimbulkan efek secara tepat sehingga memastikan bahwa semua tataran struktur penanganan bencana mendapatkan manfaat dari dukungan yang disediakan. Keempat, menyediakan keruntutan berpikir terhadap hal-hal yang diperlukan untuk penanganan bencana. Kelima, Memberikan kewajiban yang luas kepada pemerintah provinsi NTT untuk memikul tanggungjawab untuk sejauh mungkin melindungi masyarakat dan wilayah NTT dari akibat bencana dan kepada organisasi-organisasi dan orang-perorangan yang mungkin terkena berbagai dampak bencana; Keenam, Memberikan jaminan atas hak-hak yang melekat pada masyarakat NTT, yang dimungkinkan hilang atau lepas pada saat terjadinya bencana.
Untuk itu, bagi siapa saja akan memperjuangkan adanya regulasi daerah ini membutuhkan dua hal penting. Pertama, membutuhkan pemahaman secara tepat tentang bencana. Sangat jamak bencana dilihat sebagai fenomena alam semata. Bencana adalah bencana alam. Pandangan ini tidak seluruh tepat tetapi juga tidak seluruhnya salah. Namun dalam konteks saat ini, kita tidak cukup melihat bencana sebagai urusan alam semata. Bencana saat ini harus juga dilihat sebagai bagian dari kelalaian manusia baik itu dalam pembangunan maupun hal lain. Sebagai contoh, longsor dan banjir di Manggarai baru lalu tidak sepenuhnya merupakan fenomena alam semata. Ada sekian banyak kerusakan lingkungan, ada kelalaian tata ruang wilayah, ada ketidakberesan dalam pembangunan, dan lain sebagainya yang turut andil dalam kejadian bencana longsor ini.
Bencana banjir di Besikama pun sama. Tidak cukup melihat banjir tahunan ini sebagai "mau-nya" alam tanpa berusaha melihat sekian banyak kerusakan di wilayah hulu dan tengah. Peningkatan frekuensi dan intesitas banjir mungkin saja berbanding lurus dengan tingkat kerusakan pesisir DAS Benenain. Selain itu, melihat bencana hanya sebagai fenomena alam hanya akan menghantar pada tindakan kedaruratan setelah kejadian tanpa usaha preventif sebelum bencana. Dalam kaitan ini, RANPERDA sebaiknya memberikan pengartian dan pengertian yang utuh terhadap bencana. RANPERDA akan sangat bermanfaat bila mengatur tata laku dan peran semua pihak secara jelas dan tegas baik sebelum, saat, dan sesudah bencana.
Kedua, (RAN)PERDA Penanggulangan Bencana membutuhkan pemetaan dan analisis risiko bencana secara tegas dan jelas. Sebuah ancaman bencana belum tentu mengakibatkan dampak yang sama dan umum. Akibat bencana (besar dan kecilnya) sangat bergantung pada kuat atau lemahnya sistem dan asset penghidupan masyarakat.
Banjir di wilayah selatan Belu misalnya memang sangat merugikan bagi masyarakat dataran Besikama, tetapi untuk wilayah hulu (TTS) dan tengah (TTU) banjir bukan persoalan utama walaupun dua wilayah ini masuk dalam kawasan DAS Benenain dan mungkin pula sebagai penyumbang kenaikan frekuensi dan intesitas banjir di wilayah hilir. Demikian pun kekeringan misalnya mungkin berbeda dampak bagi wilayah yang masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dengan wilayah yang masyarakat bukan sebagai petani. Pemetaan dan analisis risiko yang tegas dan jelas akan memberikan gambaran yang tegas dan jelas pula mengenai siapa, apa, bagaimana tindakan penanggulangan bencana sesuai konteks wilayah dan manusia setiap daerah di NTT.
*Penulis adalah Koordinator Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) PMPB-NTT
No comments:
Post a Comment