Monday, November 5, 2007

Theofilus, Satu Dari 1001 Kasus Gizi Buruk di TTS

Oleh: Dody Kudjilede

Cerita ini masih segar dalam ingatan saya walau hampir lima tahun berlalu. Singkatnya memprihatinkan. Ternyata ‘kasus luar biasa’ yang pernah terjadi dulu justru terulang kembali. Apa sih yang sebenarnya dilakukan pemerintah di daerah ini? Membeli mobil dinas sebanyak-banyak kemudian diputihkan sesudah masa jabatan berakhir? Atau memberi bantuan untuk rakyat miskin padahal memperkaya diri sendiri dengan memotong sana sini apa yang seharusnya menjadi hak rakyat? Sebelum saya melanjutkan seribu sumpah serapah terhadap para pejabat pemerintahan, sebaiknya saya bercerita dulu.

Rumah Mungil

Arloji di tangan menunjukkan jam dua belas lewat seperempat. Artinya setelah menempuh perjalanan penuh debu selama kurang lebih satu jam, akhirnya kami tiba juga di sebuah rumah mungil. Rumah mungil itu di tengah pedalaman Desa Noemuke, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur.

Noemuke merupakan salah satu daerah endemik gizi buruk (malnutrisi) di Kecamatan Amanuban Selatan. Jumlah balita penderita gizi buruk didesa ini mencapai hampir 80% dibanding dengan balita sehat. Selain kwashiorkor dan marasmus, Pneumonia juga merupakan salah satu momok penyakit yang menyerang balita di sana.

Panas yang menyengat tidak mampu menggoyahkan semangat kami untuk datang menjemput seorang anak gizi buruk yang direkomendasikan oleh teman-teman dari Suplementary Feeding Center (SFC).

Saya ikut untuk menemani teman dari Therapic Feeding Center (TFC), yang belum hafal lokasi-lokasi kerja CARE International Indonesia karena baru bertugas di tempat itu. CARE International sendiri adalah sebuah NGO yang bergerak di bidang kemanusiaan. Di Kecamatan Amanuban Selatan karya mereka lebih difokuskan pada penanganan Gizi Buruk. Ucapan selamat siang kami tak dibalas oleh penghuni rumah itu. Mungkin mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.

Rumah itu tidak memiliki bilik lain selain ruangan tempat kami duduk yang hanya tanah beralaskan tikar. Mungkin disitulah segala aktivitas dirumah itu dilakukan. Tidur, makan, menerima tamu dan lalin-lain. Diatas disebuah ranjang tanpa kasur, terbaring seorang anak kecil berusia tiga setengah tahun, kelihatan lemah tak berdaya. Mukanya pucat, dia menatap saya dalam diam yang mengiris ketika saya mencoba memanggil namanya.

Keceriaan yang saya undang untuk turut hadir bersama dirumah itu seolah tak berarti apa-apa. Bahkan tawa kami seolah sembilu yang mengiris hati kecilnya, entah kenapa, mungkin karena dia tak bisa tertawa seperti kami. Matanya yang sayu memancarkan sebuah keinginan yang kuat untuk bangkit. Tapi keadaannya terlalu lemah bahkan untuk merangkak. Tubuhnya hanya kulit pembungkus tulang, iganya bahkan dapat dilihat dan dihitung dengan pasti. Berat tubuhnya tidak sampai empat kilogram di usianya yang hampir mencapai empat tahun itu. Artinya setiap tahun adik kecil ini hanya bertambah satu kilogram. Ini keadaan yang sudah tentu memprihatinkan bagi siapapun yang melihatnya. Dan dirumah berdinding pelepah berukuran enam kali enam inilah segala penderitaannya dimulai.. Boleh dikatakan, keluarga ini tiarap di bawah garis kemiskinan.

Theofilus namanya

Tidak ada tempat dirumah itu untuk menyimpan persediaan pangan selain beberapa puler jagung kering yang saya lihat menggantung dilangit rumah itu. Dan itulah makanan mereka sehari-sehari. Termasuk si kecil Theofilus. Yah, Theofilus nama anak itu.

Sejak lahir, Theo, begitu dia biasa panggil keluarganya, tak pernah merasakan makanan yang bergizi baik untuk mendukung pertumbuhannya, ASI milik ibunya tak pernah didapat sejak dia berusia dua bulan. Sejak itu Theo hanya bisa makan jagung yang sudah di olah ibunya menjadi tepung dan dimasak.

Dan ketika para orang tua balita yang lain sedang berlomba-lomba membeli bubur SUN untuk anak mereka, saat itu Theo bahkan sedang menyesuaikan perutnya agar bisa menerima ‘bubur’ yang di masak oleh ibunya.

Keadaan itu terus berlangsung hingga saat kami tiba. Saya yang hanya bisa bahasa dawan nao mukae’ akhirnya harus memakai pak kader posyandu sebagai penerjemah untuk menjelaskan maksud kedatangan kami. Dan pak kader yang pintar berkata-kata ini pun mulai dengan menjelaskan hingga detil maksud kami. Kebetulan para kader posyandu di kecamatan Amanuban Selatan adalah ujung tombak keberhasilan CARE sehingga tahu persis apa yang harus dia jelaskan. Mula-mula Bapak dan Mama dari Theo keberatan karena kami harus membawa Theo dan ibunya untuk dirawat, tapi setelah dijelaskan panjang lebar dan dengan sedikit ancaman bahwa kalau tidak ikut maka pak camat sendiri yang akan menjemput, akhirnya kedua orang tua ini menyerah. Menyebut nama pak camat merupakan jurus terakhir agar pasien mau ikut dengan kami, karena masyarakat masih sangat takut dengan yang namanya pemerintah. Di saat yang sama saya mencoba membayangkan siapa figur yang mungkin membuat saya takut. Dan membayangkan Pak Camat.

Theo akhirnya bisa kami bawa ke Panite, ibukota kecamatan, dimana Panti Rawat Gizi (TFC) yang didirikan CARE International berdiri. Begitu sampai di panti, Theo langsung di timbang dan diukur tinggi badannya, hasilnya kemudian di cross check dengan Z-score (tabel gizi) yang ada untuk bisa menentukan pada posisi mana status gizi Theo. Ia dipastikan berada di posisi min 3 Status Gizi Z-score atau sudah berada pada gizi buruk akut (marasmus). Theo diwajibkan untuk minum High Energy Milk (HEM) delapan kali sehari sesuai jadwal yang diberikan oleh perawat. HEM adalah susu yang sudah dicampur lagi dengan lemak (minyak) dan gula.

Setelah menjalani perawatan selama dua minggu, berat badan Theo mulai naik. Dia sudah mulai tertawa, mulai bisa merespon orang yang memanggil namanya, dia bahkan sudah kuat berjalan.

Setelah dirawat selama hampir tiga bulan hingga akhirnya dia benar-benar dinyatakan sehat ia diijinkan pulang oleh dokter. Semua tersenyum puas dengan keberhasilan yang dicapai, upaya luar biasa yang diberikan oleh para nurse dan dokter di Panti Rawat Gizi CARE International memang patut diacungi jempol.

***********

Saya tidak tahu apakah sesudah itu Theo tetap sehat atau kembali lagi seperti ketika pertama kali saya melihatnya. Saya tidak tahu karena sesudah itu pemerintah Kabupaten TTS mengambil alih Panti Rawat Gizi itu dari CARE International dan saya juga berhenti dari pekerjaan saya. Kabar Terakhir yang saya dengar dari teman-teman yang ada di Panite mengatakan bahwa Panti Rawat Gizi itu kini mubazir ditangan pemerintah, tidak ada satupun pasien yang dirawat disitu sejak di hand over ke Pemda. Lalu kemana dana yang tiap tahun dikucurkan untuk penanggulangan gizi buruk didaerah itu?

Sekarang, siapa yang bisa tersenyum dengan keadaan yang sudah dilupakan bertahun-tahun ini dan terulang lagi? Siapa yang harus disalahkan karena keadaan ini terulang lagi? Pemerintah kah? Atau rakyat sendiri yang harus disalahkan? Sumpah serapah saya hilang mengingat bayangan Theo.

No comments: