Oleh. Paul SinlaEloE*
Sebuah bangsa yang memiliki fondasi pembangunan yang kokoh, selalu memiliki syarat mutlak berupa kedaulatan atas pangan bagi rakyatnya dan mampu mengakomodasi setiap bentuk kapasitas rakyat dalam pembangunan untuk menciptakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. (HS. Dillon, 2003). Sayangnya dalam sejarah pembangunan Indonesia, dua syarat mutlak tersebut tidak pernah diwujudkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) sehingga walaupun pembangunan di Indonesia katanya pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disebut-sebut telah memasuki gerbang Negara industri, nyatanya hingga kini penduduk miskin jumlahnya tetap banyak (bahkan terus bertambah banyak), sementara para koruptor semakin merajalela.
Sebuah bangsa yang memiliki fondasi pembangunan yang kokoh, selalu memiliki syarat mutlak berupa kedaulatan atas pangan bagi rakyatnya dan mampu mengakomodasi setiap bentuk kapasitas rakyat dalam pembangunan untuk menciptakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. (HS. Dillon, 2003). Sayangnya dalam sejarah pembangunan Indonesia, dua syarat mutlak tersebut tidak pernah diwujudkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) sehingga walaupun pembangunan di Indonesia katanya pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disebut-sebut telah memasuki gerbang Negara industri, nyatanya hingga kini penduduk miskin jumlahnya tetap banyak (bahkan terus bertambah banyak), sementara para koruptor semakin merajalela.
Sedangkan pada sisi yang lain, data BPS NTT sampai dengan 17 Januari 2006, menunjukan bahwa di NTT terdapat 952.508 RT yang mana 75,45% adalah RT miskin atau dengan kata lain di NTT terdapat 718.640 RT miskin. Data Kemiskinan ini diperparah lagi dengan Angka kematian ibu melahirkan adalah 554 jiwa/1000 kelahiran dan angka kematian bayi adalah 72 jiwa/1000 kelahiran. Disamping itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa NTT juga merupakan salah satu propinsi yang masuk dalam kategori daerah dengan kasus gizi buruk dan busung lapar menduduki prosentase sangat tinggi. Hal ini dipertegas dengan data Dinas Kesehatan Propinsi NTT tahun 2005 yang menunjukan bahwa dari 477.829 jiwa jumlah balita di NTT, terdapat 99.139 balita yang bermasalah dalam hal gizi buruk dan busung lapar dengan perincian sebagai berikut: balita yang mengalami kurang gizi sebanyak 85.604 jiwa, balita yang mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis sebanyak 13.072 jiwa dan balita yang mengalami gizi buruk dengan kelainan klinis sebanyak 463 jiwa.
Bertolak dari fakta tingginya prosentasi angka kemiskinan ini dan spektakulernya angka korupsi di NTT, maka tentu secara logika yang logis akan timbul pertanyaan apakah korupsi sebagai pebab ataukah merupakan akibat dari kemiskinan..?? Dalam melihat korupsi dan kemiskinan di NTT sebagai suatu hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari prespektif teoritis, memang tidaklah gampang karena akan timbul perdebatan yang hasilnya dapat diprediksi yakni Akbar Tanjung (baca: Akan Berakhir Tanpa Ujung), karena hasil perdebatan tersebut sangat tergantung dari latar belakang dan kepentingan dari pihak yang mengeluarkan argumen sehingga mengaburkan kondisi riil yang terjadi di NTT. Namun di satu sisi, yang harus diingat adalah fakta di NTT menunjukan bahwa akibat kemiskinan yang terjadi telah membuat manusia kehilangan martabat karena kontribusi dari kemiskina ini telah membuat manusia kehilangan kapasitasnya (baca: Kemampuan) untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasarnya secara layak.
Hasil pantauan PIAR-NTT terhadap permasalahan korupsi dan kemiskinan di NTT, menunjukan bahwa korupsi dan kemiskinan merupakan 2 (dua) fenomena yang berbeda tapi memiliki keterkaitan yang erat. (Dok. PIAR-NTT, 2005). Sebagai misal, dalam hal pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) rendahan (tingkat golongan bawah) seringkali meminta “uang pelicin” pada saat memberikan pelayanan untuk masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan jumlah gaji dari PNS tersebut terlampau sedikit atau kecil, sehingga untuk menghidupi keluarganya masih kurang atau bisa dikatakan tidak mencukupi. Namun pada sisi yang lain, ada pejabat yang hidupnya sudah berkelimpahan masih tega “menggasak” uang negara hingga milliayaran rupiah, padahal uang tersebut adalah uang yang dikumpulkan dari dan atas nama rakyat miskin untuk pembangunan menuju kesejahteraan.
Pengalaman PIAR-NTT dalam melakukan advokasi terhadap berbagai kasus korupsi dan persoalan kemiskinan di NTT, juga menemukan bukti bahwa korupsi merupakan salah satu faktor pebab terjadinya kemiskinan di NTT. (Dok. PIAR-NTT, 2005). Salah satu buktinya adalah selain dana sebesar Rp. 100,29M yang tidak dapat dipertanggungajawabkan oleh “para petinggi” di NTT sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, terdapat juga dana untuk menanggulangi KLB gizi buruk di NTT pada tahun 2005 sebesar Rp. 64.227.000.000,00 yang belum dipertanggungjawabkan oleh pejabat di 15 dari 16 kabupaten/kota di NTT dan diduga terindikasi korupsi.
Data dugan korupsi diatas belum termasuk sejumlah kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar jutaan hingga Miliyaran Rupiah yang sampai saat ini belum berhasil dituntaskan oleh aparat penegak hukum. Kasus-kasus korupsi tersebut diantaranya adalah kasus SARKES yang terindukasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38M dan diduga melibatkan Gubernur NTT, kasus Dugaan Korupsi Dana Proyek Ressetlemen Di Tude-Mauta- Kabupaten Alor sebesar Rp. 5.540.000.000,- yang terjadi yang kebocoran sebesar Rp. 1.375.658.571,- Kasus Penyalahgunaan Dana Keuangan Negara Pemda Kab. TTS Untuk Membayar Dana Purna Bhakti Anggota DPRD Kab. TTS Periode 1999-2004 yang melibatkan 35 Anggota DPRD Kab TTS Periode 1999-2004 dan Daniel A Banunaek (Bupati TTS) yang diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 1,4 M, Kasus Penyalahgunaan Dana untuk Pembayaran Uang Ganti Rugi Tanah Pembangunan Jalan Lingkar (Jalur 40 Sikumana) Terhadap 24 Warga Masyarakat yang melibatkan Gabriel Yakob Hendrik (Lurah Kelurahan Sikumana) dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp. 41.000.000,- Kasus Penyalahgunaan Dana Kenaikan Tunjangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kab. Belu yang melibatkan Ketua, wakil ketua dan seluruh anggota DPRD kab. Belu periode 1999-2004 dengan total dugaan kerugian negara sebesar Rp. 55.153.560,- Kasus Penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional Tahun 2003-2004 di Pemkot Kupang yang diduga merugikan keuangan negara Rp. 4.500.000.000,- dan duduga melibatkan Magdalena Hermanus, Yefta Bengu, Belina Uly (Mantan Kabag Keuangan Pemkot Kupang dan sekarang mennjadi Asisten II di Pemkot Kupang), Yonas Salean (Sekot Kupang), S.K. Lerik (Walikota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004, kasus dana kontigensi di lingkup Pemkot Kupang, yang terindikasi merugikan keuanagan negara sebesar Rp.2. 682.800.000,- dan diduga melibatkan S.K. Lerik (Walikota Kupang), Yonas Salean (Sekda Kota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004.
Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan diatas, maka pada akhir tulisan ini dapat ditarik suatu titik simpul bahwa Kemiskinan dan korupsi sesungguhnya merupakan dua issue mandiri. Masing-masing mempunyai substansi yang berbeda, namun kedua issue ini kalau dikaji secara kritis memiliki keterkaitan yang sulit dipisahkan. Kedua issue ini memeiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan harus diakui bahwa pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT) korupsilah yang mebabkan kemiskinan dan bukan kemiskinan mebabkan korupsi. Untuk itu, apabila ingin mengatasi persoaalan kemiskinan di NTT, otomatis pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dan sangat urgent, sehingga tidak dapat di tunda-tunda lagi.
*Staf Div. Anti Korupsi PIAR – NTT
No comments:
Post a Comment