Saturday, December 8, 2007

Bas Wie, Kisah Hidup‘The Kupang Kid’

Bas Wie telah menjadi legenda. Kisah bocah 12 tahun yang terbang dari Kupang ke Darwin dengan duduk di bagian roda pesawat (wheel compartment) milik tentara Belanda di tahun 1946 telah menjadi bagian dari ingatan abadi orang Australia dan mendunia. Ia akan selalu dikenang, dengan aksi beraninya, bergantung di bagian roda pesawat selama 3 jam. Itu lah sebabnya sebutan ‘Kupang Kid’ hanya akan menjadi milik Bas seorang.

Koki kecil di Penfui ini menjadi saksi akhir Perang Dunia Kedua. Kupang, dan daerah Timor secara keseluruhan kala itu menjadi medan pedang Australia dan Jepang. Pulau Timor menjadi buffer zone bagi tentara Australia, yang memilih menghadang Jepang di Timor sebelum tentara matahari terbit sempat bergerak menuju daratan Australia. Perang telah memisahkan ia dari keluarga besarnya.

Kisah koki kecil pemberani

Bas Wie, anak yatim piatu, bekerja sebagai koki di bandara. Setelah Jepang kalah perang. Ia hanya ingin naik pesawat dan pergi. “Saat itu, karena masih kecil, sungguh beta sonde tau kalau ada negeri lain di luar sana,” kata Bas jujur di usianya yang sudah melewati kepala tujuh.

Saat itu Bas menyelinap, dan mencoba mencari pintu pesawat, tetapi semuanya terkunci. Hanya bagian roda lah yang kosong. Ia pun hinggap di situ.

Saat pesawat meninggalkan landasan pacu di Penfui, baru lah garis hidup atau mati menjadi begitu dekat dengan Bas. Tarikan balik roda pesawat, saat pesawat lepas landas membuatnya kembali panik. Ia nyaris remuk dimakan roda pesawat DC-3. Bas pun bergeser mencari posisi aman yang paling mungkin. Ia pun meringkuk di bagian pesawat yang dalamnya sekita 20 centimeter, dan tingginya sekitar 51 centimeter. Atau tepat diantara tengki minyak dan pipa pembuangan. Di tempat itu panas dan dingin menjadi satu. Selama tiga jam ia bertahan di sana.

Langit sudah gelap, saat pesawat DC-3 mendarat di markas RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin. “Saat saya menyalakan senter, dan sorot ke atas, ada tubuh seorang bocah di sana. Ia sudah tidak sadarkan diri lagi, setengah tubuhnya terbakar parah, dan di sisi tubuh yang lain membeku,” tutur Jim Fleming, pensiunan air vice-marshal RAAF. Saat itu Jim memang yang bertugas untuk memeriksa pesawat DC-3 milik angkatan udara Belanda yang bermalam di sana.

“Kedua bola matanya berputar, dan yang tampak hanya dua bola mata putih, saat itu kami berpikir bocah ini sudah mati,” kata Jim mengenang kejadian malam itu. Meskipun ia terluka parah di bagian perut, Bas bisa diselamatkan. Hingga hari ini Jim yang akrab dengan sekian jenis pesawat, masih tak percaya bahwa Bas bisa bertahan hidup. Ia pulih setelah dirawat di Australia Utara selama tiga bulan.

Terancam dideportasi

Setelah dinyatakan sembuh, Bas oleh pemerintah setempat hendak dikirim pulang ke Kupang. Menteri urusan Imigrasi kala itu, Arthur Caldwell, beteriak kencang untuk memulangkan Bas, namun keputusannya dihujani protes luar biasa oleh warga Darwin. Masyarakat Darwin, menggangap anak kecil dengan keberanian semacam itu, tak patut dideportasi. Akhirnya Bas Wie pun ditampung dan menjadi tanggungan Negara. Tetapi setiap tahunnya Bas harus memperbarui ijin tinggal di sana. Kebijakan rasial itu memang belum lah dihapus. Untuk itu Bas setiap tahunnya memang harus menghitung apakah akan tetap tinggal atau dideportasi.

Keputusan final baru ada pada tahun 1958 Bas resmi menjadi warga Negara Australia. Penetapan ini memang melengkapi kebahagiaannya, sebab pada Bulan Desember tahun sebelumnya (1957), Bas telah menyunting nona manis dari Perth. Di usia 24 tahun, Bas Wie ‘anak Kupang’ menikah dengan Margaret.

Pertemuan keduanya, menurut Margaret atau kini dikenal sebagai Mrs.Wie sangat berkesan. Saat bertemu pertama kali Margaret baru berusia 15 tahun, dan baru mulai bekerja sebagai junior draftswoman, sedangkan Bas Wie bekerja sebagai internal mail officer di Departemen Pekerjaan dan Perumahan.

“Saat itu ia datang ke meja saya sambil membawa surat, personal delivery,” kata Margaret mengenang dan ia kemudian melanjutkan, “menurut saya, itu memang cinta dalam pandangan pertama.” Delapan belas bulan kemudian Bas dan Margareth menikah di sebuah gereja kecil tempat Bas kecil bekerja sebagai putra altar (ajuda).

Penggalan kisah hidup Bas Wie mendunia di tahun 1978, saat Bas dan keluarganya diangkat dalam program ‘This Is Your Life’. Kisah hidupnya tak hanya mendunia, tetapi sudah menjadi bahan sejarah museum Australia Utara.

Pulang ke Sabu

Setelah sekian lama tahun merantau, pada tahun 1991 Bas pulang dan bertemu keluarga besarnya di Sabu. Pertemuan yang sangat mengharukan. Bocah 12 tahun ini, sudah setengah abad lebih merantau. Entah apa yang dipikirkan Bas Wie saat kembali ke Sabu saat itu, melihat kekeringan, juga kebersahajaan keluarga besarnya. Suka dan duka adalah satu, sama seperti panas dan dingin yang menjadi satu saat itu meringkuk di roda pesawat.

Bas sendiri sudah tidak bisa berbahasa Sabu lagi, dan jarang kontak dengan keluarga besarnya. Menurut Bas keluarga besarnya memang susah, tapi mereka bahagia. Hingga kini ia masih menyimpan foto keluarganya, menurut Margaret kemampuan mengingat jangka pendek Bas sudah menurun, namun ingatannya untuk peristiwa lampau masih lah kuat.

Minggu ini, minggu kedua Bulan Desember 2007, Opa Bas dan Oma Margaret merayakan 50 tahun pernikahan mereka. Keduanya dikaruniai lima orang anak dan tujuh cucu. Dari Kupang, anak-anak Kupang yang lain hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Pernikahan Opa dan Oma. Kisah hidup Opa Bas adalah kisah yang luar biasa, nyaris seperti dongeng.

(Bram, bahan diolah dari Time/ntnews.com/ABC/)

No comments: