Friday, March 28, 2008

Bantuan kemanusiaan yang kuratif dan aditif, akankah terus dipertahankan ?

Tanda-tanda jaman mulai terlihat ketika kemarau panjang masih belum hadir, namun bencana kelaparan dan kematian balita akibat kurang gizi sudah lebih dulu menerjang seperti halnya air bah di musim hujan. Berita demi berita menyangkut penderitaan rakyat di republik ini serasa tak pernah berhenti bagaikan lorong panjang yang tak berujung.

Tangisan para ibu miskin yang kehabisan airmata dan berganti menjadi darah, tatapan mata kuyu, sayu dan kosong anak-anak balita penerus negeri ini terus terpampang diberbagai media sebagai potret nyata kemiskinan Indonesia yang terus bergulir dan bertambah meski terus disangkal oleh para pelayan publik alias abdi negara dan abdi masyarakat (termasuk para pengusaha yang ramai-ramai berganti baju jadi penguasa/pejabat baik di legislatip maupun eksekutip) dengan dukungan berbagai data statistik dari para cerdik pandai yang gemar dengan permainan data.

Bahkan penetapan KLB (Kejadian Luar Biasa) suatu ledakan penyakit juga ditentukan oleh berapa banyak pasien yang terserang dan sudah berapa pasien yang meninggal? Seolah nyawa 1 (satu) orang sebagai manusia masih belum cukup untuk melakukan tindakan medis yang sangat dibutuhkan. Akankah nyawa manusia hanya dicacah berdasar statistik dan melupakan unsur kemanusiaannya ? Bukankah harkat & martabat manusia sebagai ciptaan tertinggi Tuhan YME harus terus ditingkatkan dan dihargai ?

Bantuan kemanusiaan darurat yang reguler ?

Sungguh menyayat hati namun sekaligus menggelikan ketika bantuan kemanusiaan yang bersifat darurat, sementara dan sifatnya segera/urgent berubah menjadi bantuan yang sifatnya reguler terus menerus dan yang lebih celaka lagi bantuan tersebut menjadi bersifat aditif (ketagihan) bagi yang menerimanya maupun pengelolanya seperti halnya para pecandu rokok, alkohol, narkoba, seks bebas dan sejenisnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua pihak yang peduli pada bencana kelaparan, namun dukungan bantuan berupa pangan (terutama beras) baik dari lembaga PBB, lembaga donor internasional maupun dari NGO Internasional dan juga RASKIN dari pemerintah terasa menina-bobokkan dan menjadikan masyarakat penerima bantuan kurang tangguh dalam berjuang mengatasi masalah pangan dalam dirinya dan mengikis semangat untuk bangkit mandiri berdikari dalam pemenuhan pangannya. Bukankah semut dapat mati dalam timbunan gula dan tikus mati dalam lumbung padi ? Jadi perlu dikaji secara jernih dan cerdas apakah penanggulangan pangan dengan memberi bantuan pangan dalam jangka panjang merupakan solusi terbaik, atau ada solusi yang lebih berlanjut dalam jangka panjang seperti yang dilakukan Grameen Bank di Bangladesh dengan memperkuat permodalan untuk pelaku ekonomi rakyat.

Patut dipertanyakan secara kritis mengapa bantuan yang bersifat darurat, segera dan dalam jangka pendek kemudian berubah menjadi reguler ? Ada apa dengan semua ini ? Apakah benar sinyalemen bahwa saat ini bencana telah diproyekkan dan menjadi sumber pundi-pundi keuangan bagi para pengelola yang korup dan tak berperi-kemanusiaan seperti halnya judul sebuah novel yang terkenal yakni “Sengsara membawa nikmat “ dimana rakyat sengsara, namun pengelola bencana merasa nikmat ? Padahal kita tahu Indonesia yang mendasarkan pada Panca Sila telah secara tegas dalam sila-silanya untuk mendasarkan sikap kita pada “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.

Ketika terjadi penyunatan, pemotongan, penggelapan dana bantuan kemanusiaan, apakah para pengelola masih berani menyatakan sebagai seorang Pancasilais sejati ? Apakah seseorang yang melakukan tindakan nista tersebut masih boleh disebut beradab ketika tindakan korupsinya membuat peradaban manusia semakin menunjukkan wajah kebinatangannya?

Lalu dimana tanggung jawab pemerintah (pusat maupun daerah) sebagai penyelenggara negara dalam layanan publik yang didengang- dengungkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ? Kemanakah hasil kerja para dinas-dinas kemakmuran rakyat yang telah disediakan dana dalam jumlah yang cukup besar, sarana berupa kamtor, mobil dinas, staf yang terus bertambah jumlahnya maupun terus ditingkatkan jenjang pendidikannya melalui biaya dinas ? Tanggung jawab seperti apa yang dapat rakyat tagih kepada para dinas-dinas kemakmuran dalam upaya mensejahterakan rakyat yang telah membayar pajak ?

Slogan “Rakyat bijak membayar pajak dan awasi penggunaannya” masih belum cukup dan harus dilanjutkan dengan “Pemerintah bijak sejahterakan rakyat”.

Wajah busung lapar, bencana alam beruntun (banjir, longsor, bencana asap dll) , rusaknya jalan desa/kota karena longsor , mahalnya sembako dll menunjukkan ada yang salah dalam mengelola layanan publik untuk mencukupi kebutuhan dasar rakyat. Atau dengan kata lain telah terjadi kegagalan dalam mencapai kinerja/ performance seperti harapan rakyat Maka wajar apabila layanan publik yang buruk perlu digugat oleh rakyat yang telah memberikan mandat kepada para pejabat dan pelayan publik untuk mewujudkan rakyat yang sejahtera . Tidak bisa lagi kita hanya pasrah dan menyalahkan semua penyebab bencana kepada alam yang kurang mendukung seperti curah hujan yang tinggi ataupun rendah , badai, musim kemarau panjang dll. Bukankah sudah tersedia teknologi yang cukup untuk mengatasi atau minimal mengurangi kemungkinan terjadinya bencana tersebut ? Kata mitigasi seharusnya sudah akrab dengan para pelayan publik. Kebiasaan bertindak re-aktip harus diubah kearah pro-aktip dengan mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan dini melalui berbagai kegiatan yang direncanakan dengan matang.

Kita bisa belajar dari kota-kota besar di Belanda yang meski berada dibawah permukaan laut namun tidak kebanjiran ?

Atau kita bisa belajar dari Thailand dimana teknologi pangan dan pertanian telah mampu menjadikan pertanian sebagai sebuah industri yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani ?

Atau kita bisa belajar dari Israel yang mengubah padang gurun menjadi areal perkebunan sayur nan hijau ?

Mencegah lebih baik dan lebih murah daripada mengobati ?

Inilah sisi buram dari republik yang didera krisis karena kebiasaan masyarakat yang menginginkan jalan pintas dan mau serba instant/cepat tanpa mau mempedulikan proses. Kehidupan telah mengajarkan bahwa untuk berhasil dan maju harus melalui tahapan proses. Anak manusia lahir setelah berproses selama 9 (sembilan) bulan dalam perut si ibu. Jadi sangat wajar apabila kita saat ini menghadapi krisis yang berkepanjangan karena sebagian besar tidak mau berproses secara wajar.

Korupsi yang merupakan kejahatan kemanusiaan dan pengingkaran terhadap keimanan pada TUHAN merupakan wujud dari tidak maunya para koruptor yang masih bebas berkeliaran dinegeri ini untuk berproses dalam memperoleh uang/kekayaan dan memilih jalan short cut yang akhirnya memotong dana –dana untuk penanggulangan kemiskinan sehingga angka kemiskinan terus bertengger di puncak dan tidak mau turun.

Kebiasaan memberi bantuan pangan langsung dalam jangka panjang maupun BLT secara reguler dan bukan bersifat darurat dan sementara, menunjukkan cara berpikir kuratif yang aditif karena tidak mau susah dengan proses pemberdayaan masyarakat yang selain butuh dana, juga butuh hati , waktu, tenaga dan komitmen tinggi untuk kebangkitan masyarakat menuju berdaya.

Sebagai misal penanggulangan kelaparan tidak bisa hanya didekati secara sektoral dan harus secara holistik/integral. Sebenarnya pemerintah pusat melalui program PNPM telah mengarah kesana, namun yang menjadi pertanyaan apakah para pelaksana di lapangan sudah paham arahnya, atau mereka tidak mau tahu karena lebih mudah melaksanakan program melalui pendekatan sektoral yang berpeluang bisa setor uang ke saku ?

Betapa mahal biaya perawatan untuk anak yang terlanjur terkena Marasmus atau Faskyakor dibanding kalau seandainya semua pihak mau bersinergi melalui pendekatan integral dalam mencukupi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat.
Pendekatan kuratif selain mahal juga sering tidak bisa mengembalikan potensi anak pada keadaan semula sebelum terkena marasmus.

Berapa banyak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat ketika banjir bandang menerjang, baik kerugian berupa nyawa, harta, psikis, tenaga, pikiran yang semuanya berujung pada penghilangan atau pengurangan asset.kekayaan masyarakat.

Seandainya dinas-dinas terkait seperti perkebunan, kehutanan, pertanian, kesehatan , koperasi, perdagangan dan perindustrian , kimpraswil dll mau duduk bersama dan merancang program pengelolaan SDA dari hulu sampai hilir (pasar) secara integral dan meninggalkan ego sektoralnya maka kita tidak perlu lagi kita hilir mudik kesana kemari untuk mencari para penderita busung lapar, TBC, kurang gizi , gangguan jiwa dll.

Mari kita tengok, seandainya para PL dari dinas kehutanan, pertanian, perkebunan secara sungguh-sungguh bersama-sama mau mendapingi petani untuk mengelola lahannya secara menetap dan tidak melakukan tebas bakar dengan menerapkan pola Wana tani (tidak hanya jagung dan padi ladang) , seandainya semua lahan dilakukan konservasi tanah dan air, seandainya petani mau menanam TUP (Tanaman Umur Panjang) seperti kayu-kayuan diatas bukit maka banjir dan kekeringan akan menjauh dari kita.

Seandainya masyarakat tani diorganisir oleh dinas perdagangan dan perindustrian dalam pemasaran hasil pertaniannya dan tidak terjebak dalam ijon/rentenir sehingga mendapat harga yang layak yang berakibat pada meningkatnya pendapatan yang dapat untuk membeli susu dan telur untuk anaknya maka busung lapar dan kematian balita akibat kurang gizi tidak perlu terjadi lagi

Seandainya dinas koperasi mengajarkan cara berpikir bisnis/usaha dan pola hidup hemat sehingga tidak ada lagi pesta yang berlebihan, seandainya dinas kesehatan menyampaikan akan bahayanya ‘sopi’ atau minuman alkohol lainnya bagi kesehatan tubuh kita dan lebih baik untuk membeli “sapi” , seandainya ………….. maka kejadian kelaparan, sakit liver, hutang melalui rentenir , kejadian banjir, kekeringan, dan bencana lainnya tidak perlu terjadi.

Seandainya banyak Pemkab lebih mau bersabar untuk tidak terlalu cepat melakukan pengadaan kendaraan/mobil dinas dalm jumlah yang berlebihan dan mengalokasikan pendanaan SPJ yang diambil dari APBD untuk perjalanan dinas keluar daerah/negeri yang sering tidak jelas hasilnya dan mau lebih fokus serta berani menanamkan investasi APBDnya kepada infrastruktur yang mendukung pada kecukupan pangan dan pemasaran hasil pertanian seperti embung/dam/waduk , jalan desa beraspal dll maka rintihan para korban bencana akan terkurangi dan diharapkan tidak ada lagi , digantikan dengan sorak sorai anak-anak yang terlihat sehat, montok karena kecukupan gizinya, penggembala sapi yang dengan riang ria menuntun sapi-sapinya pulang ke kandang karena tidak ada lagi ternak yang dibiarkan lepas dan liar, senyum para ibu yang sedang menumbuk padi ladang dengan iringan musik dangdut atau sedang menanak “ jagung bose” aaaaaaaaaaaaah alangkah indahnya

Terkaget dan tidak disadari terjaga dari lamunan panjang, wah capek deh memikirkan bencana dinegeri ini. Lebih enak sambil rebahan di ranjang mendengarkan lagu anak gaul EGP (Emangnya Gue Pikirin) atau mendendangkan hit terbaru Ratu yang telah diubah syairnya :
Ketika rakyat lapar, kuingat pemerintah
Ketika beberapa balita mati, kuingat koruptor yang sedang berpesta pora
Ketika banjir terjadi, kuingat ilegal logging
Ketika kekeringan terjadi, kuingat tebas bakar
Ketika sembako mahal, kuingat wakil rakyat yang hanya pandai memperkaya diri
Ketika hati nurani para pejabat mati, kuingat diri sendiri yang tidak berbuat apapun untuk sesama dan negeri ini.

Tuhan ampunilah, sebab aku tak tahu apa yang harus kuperbuat

YBT Suryo Kusumo; tony.suryokusumo@gmail.com

1 comment:

Anonymous said...

Beta sonde tahu, kapan sempat baca detail tulisan ini. Kepanjangan,... sorry!

Mungkin harus dipotong jadi berapa bagian, jadi kitong bacanya cicil.

Secara singkat dari hasil scan secara cepat, beta cuma pikir, suara hati nurani begini perlu selalu diperdengarkan. Syukur kalau ada usul jalan keluar yang realistis yang bisa ditempuh. Nah, kalian yang belajar ilmu-ilmu sosial tolong kasih jalan....Ketong talalu sibuk urusan hidup, yang bagini sonde sempat pikir lai. Dalam ceritera silat ada istilah, ibarat pousat (dewi kwan im yang harus dipikul dalam perarakan) melanggar sungai, diri sendiri susah lindungi,.... Ketong masih tenggelam dalam masyalah pribadi, yang urusan besar begini sonde tahu harus karmana.

Tabik,

Penjaga Pak Laru.